Just a Friend to You

By galaxywrites

740K 93K 11.3K

[Sudah Terbit] Ada dua alasan kenapa aku menganggap jatuh cinta sama Arka adalah sebuah kebodohan yang aku ci... More

Author's Note
Prolog
Chapter 1 : Teman
Chapter 2 : Tempered Glass dan Ducati Biru
Chapter 3 : Rasa Cemas
Chapter 4 : Jatuh dan Tertimpa Tangga
Chapter 5 : Kenapa Harus Izin Dulu?
Chapter 6 : Serasi
Chapter 7 : Pacar Baru Arka
Chapter 8 : Kembalinya Rafa
Chapter 9 : Baper?
Chapter 10 : Sesuatu yang Aneh
Chapter 11 : Ngajak Jalan
Chapter 12 : CoziCafe
Chapter 13 : Kemungkinan
Chapter 14 : Sakit
Chapter 15 : Merasa Tersisih
Chapter 16 : Lebih Dari Teman?
Chapter 17 : Kisah yang Tak Sama
Chapter 18 : Pesta Jess
Chapter 19 : Pengakuan
Chapter 20 : Lagu Untuk Kita?
Chapter 21 : Isyarat
Chapter 22 : Obrolan Ringan
Chapter 23 : Menatap Punggung
Chapter 25 : Rencana Pindah
Chapter 26 : Bukan Sosok yang Sempurna
Chapter 27 : Sebagai Teman
Chapter 28 : Diantara Kalian
Chapter 29 : Di Bawah Langit Malam
Chapter 30 : Keputusan
Chapter 31 : Teruntuk Kamu
Chapter 32 : Insiden
Chapter 33 : Gea Bagi Arka
Chapter 34 : Akhir Segalanya
Epilog
Pengumuman
Cover Just a Friend to You Versi Cetak
SPECIAL ORDER JUST A FRIEND TO YOU
Playlist
LOVE LETTER (PDF RESMI)

Chapter 24 : Dua Medusa

11.7K 1.8K 130
By galaxywrites

Chapter 24

"Lo dapet oleh-oleh gelang juga dari Arka?" Pertanyaan yang meluncur dari bibir Jess sontak membuat kegiatanku mengaduk siomay langsung terhenti.

Aku melirik gelang tali berwarna cokelat yang melingkar cantik di tangan kiriku sekilas kemudian menatap Jess dengan senyum mengiyakan. Pandanganku teralih pada tangannya yang juga terpasang gelang yang nyaris sama, hanya saja punya dia berwarna hitam. Itu pasti pemberian dari Arka juga.

Sekarang sedang jam istirahat, aku, Lana, Jess dan Mela memilih untuk makan di kantin bersama. Hal yang beberapa hari belakangan tidak kami lakukan karena kesibukkan masing-masing.

Lana dan Mela tampak tertarik melihat gelang kami yang samaan.

"Oleh-oleh dari mana emangnya?" tanya Mela penasaran.

"Bali. Nyokapnya baru balik dari sana soalnya," balasku.

"Kok gue nggak dikasih Arka, sih?" sungut Lana sebal.

"Gue juga enggak. Stock-nya habis kali," jawab Mela asal. Aku cuma tertawa singkat sebagai tanggapan dan lanjut memakan siomayku.

"Mungkin yang dikasih cuma orang terdekatnya aja kali, ya," komentar Lana enteng.

Dianggap menjadi salah satu orang terdekat Arka di depan Jess membuatku merasa canggung. Aku tak berani menatap Jess untuk melihat reaksinya.

"Eh, Ge, ceritain dong awal lo bisa jadi temen deket Arka," pinta Jess tiba-tiba. Aku agak tersentak, dan entah kenapa detik berikutnya aku merasa mulas. Ini jenis percakapan yang tak ingin aku hiraukan.

"Ya begitu, kayak yang kalian liat, kenalnya kan dari kelas satu SMA, jadi bisa temenan lumayan akrab." Sebuah jawaban yang tentunya sangat tidak memuaskan.

"Maksudnya, ada momen apa gitu sampe-sampe kalian bisa akrab? Apa dia pernah bantuin lo? Atau lo yang bantuin dia? Atau gimana?" Jess menyerbuku dengan rasa penasarannya.

Sejujurnya ya, aku juga tidak tahu dengan jelas alasanku bisa begitu akrab dengan Arka. Seingatku, saat awal masuk SMA, Arka sama seperti teman-temanku yang lainnya. Kami bicara seperlunya saja. Lalu di suatu waktu, ada momen dimana dia membagikan kertas jawaban ulanganku, dan saat itu aku menyadari Arka menatapku begitu dalam dengan mata indahnya. Hari-hari berikutnya aku sering curi-curi pandang ke dia, dan dalam pengelihatanku, dia juga melakukan hal yang sama.

Lalu, kami lebih sering berinteraksi karena terlibat tugas bersama. Kalau sudah mengobrol rasanya kami nggak bisa berhenti karena kami berdua nyambung banget. Lama kelamaan, nggak ada lagi kecanggungan kalau kami bersama, yang ada malah rasa nyaman. Kami pun semakin akrab. Kami saling peduli, sering tertawa bersama. Dan puncaknya adalah ketika Arka mengatakan bahwa aku adalah teman terdekatnya. Dia memberiku label sebagai sahabat baiknya.

"Dulu sering satu kelompok kalau ada pembagian tugas, jadinya sering interaksi, deh. Ternyata nyambung, dan akhirnya jadi temen yang lumayan solid," kataku. "Yah, walaupun sebenernya Arka orangnya nyebelin juga," kekehku kemudian.

Jess manggut-manggut seakan mengerti. Kayaknya Jess nggak mau lagi melanjutkan percakapan ini karena dia kembali menyendok bakso ke mulutnya.

"Kalian pernah berantem nggak?" tanya Mela, kayaknya cuma pertanyaan iseng doang.

"Jangan ditanya, sering banget." Lana mengambil alih untuk menjawab.

"Namanya persahabatan mana ada yang sempurna, ya nggak? Tapi bagusnya sih, kalian berdua masih bisa balik lagi jadi temen meski kadang suka beda pendapat," balas Mela diplomatis.

Aku tersenyum tanpa arti.

"Eh, tapi, gue penasaran nih. Arka sering cerita tentang Jess nggak sih sama lo?" tanya Mela.

Pikiranku melayang ke kilasan belakang. Seingatku Arka jarang membicarakan Jess kalau tidak dipancing.

"Pernah cerita, sih." Dari pada menjawab "sering" aku memilih menggunakan kata "pernah".

"Kapan? Apa aja yang diceritainnya?" Jess kembali membuka suara.

Waduh, masa aku harus bilang kalau Arka sempat bertanya padaku apakah dia harus menembak Jess atau tidak? Kesannya kayak Arka minta restu dariku dulu atas tindakan yang dia ambil.

Atau, aku memberi tahu Jess kalau Arka sempat bertanya padaku kado apa yang cocok diberikan untuk Jess saat hari ulang tahunnya? Jess akan mengira kalau kado yang diberikan waktu itu adalah pilihanku. Bukan Arka.

Kok aku merasa serba salah sekarang, ya? Atau aku bohong saja?

"Kalau abis nge-date sama lo, Arka cerita ke gue, katanya hari yang dilalui bareng lo sangat menyenangkan. Paling gitu yang dibahas." Kebohongan yang tidak begitu mencurigakan kurasa.

Jess tersenyum, sepertinya sedikit tersipu. Mela yang duduk di sampingnya langsung menggodanya dengan bercie-cie ria.

Lana menatapku sambil mengangkat alisnya meremehkan, seakan dia tahu bahwa aku sedang berdusta.

Selanjutnya, kami kembali melahap menu brunch yang tersedia di meja masing-masing. Obrolan pun berganti dari Arka menjadi rencana Mela yang mau melanjutkan sekolah fashion ke luar negeri. Sebentar lagi kami memang mau menghadapi Ujian Nasional, yang berarti pula bahwa kami akan segera lulus sekolah dan mulai memilih jenjang karir.

Sedang asyik-asyiknya bercerita tentang Universitas fashion di Paris, di samping meja kami muncul dua orang perempuan. Selly dan temannya, Daniar.

Wah, kenapa wanita gila ini berhenti disini?

"Hai, boleh gabung nggak?" tanya Selly dengan nada suara sok ramah.

Harusnya diantara kami berempat ada yang berkata bahwa meja kami penuh. Dan harusnya orang itu adalah aku. Namun, Mela lebih dulu mempersilahkan. Mela pasti setuju-setuju saja karena ada Daniar disitu, temannya.

Selly dan Daniar bergabung dengan wajah santai. Ketika pandanganku dan Selly bertemu, aku membuang muka.

Hening tercipta untuk beberapa saat karena kami berempat sibuk makan, hingga kemudian Selly membuka suara.

"Tumben nggak sama Arka," kata Selly.

"Dia lagi kumpul sama anak ekskul sepakbola," jawab Jess dengan senyum simpul.

"Eh? Gue niatnya nanya sama Gea, lho. Kan dia yang biasanya lengket banget sama Arka."

Emang jahanam mulutnya si Selly ini. Untung saja sambal siomay nggak langsung melayang ke wajahnya yang menyebalkan itu.

Jess langsung kagok. Dan kulihat pula ekspresi terkejut dari dua temanku yang lain.

Aku menghela napas pelan, mencoba sabar. "Lo kalau ngomong suka ngasal." Aku tahu dia pasti dengan sengaja mau memanas-manasi Jess disini.

"Lho, dari jaman gue pacaran sama Arka dulu aja kalian emang luar biasa deket banget. Gue kadang suka nganggep kalau lo yang sebenernya ceweknya, bukan gue." Selly begitu santai mengeluarkan argumennya.

"Itu karena lo aja yang negative thinking terus sama Arka," balasku. Sebenernya berantem gara-gara cowok itu nggak banget di kamusku. Tapi mana bisa aku diam saja disudutkan begini oleh medusa macam Selly.

Selly mengangkat bahu sekenanya. "Seharusnya lo yang pinter-pinter nempatin posisi."

Sialan! Tanganku terkepal di bawah meja.

"Kalian ngapain sih bahas Arka sampe ribut begini?" Lana menengahi.

Lalu, entah kenapa, air muka Selly berubah. Wajahnya tampak kaget dibuat-buat. Dia menganga sesaat dan menutup mulutnya menggunakan telapak tangan dengan gaya dramatis.

"Astaga, Jess, gue lupa kalau Arka sekarang pacaran sama lo," ucapnya sok bersalah. "Sorry, ya, gue jadi bahas milik lo satu itu," imbuhnya.

Akting yang buruk. Aku tahu dia berbohong.

Menanggapinya, Jess cuma tersenyum masam.

***

Ketika bel pulang sekolah berbunyi, seisi kelas kompak menghela napas lega. Pak Lukman menutup sesi pelajaran hari ini lalu berjalan meninggalkan kelas.

Aku memasukkan buku-bukuku ke dalam tas. Bersiap pulang.

"Hei, Ar, pulang bareng, ya?" Suara Jess yang bertanya pada Arka membuatku menoleh.

"Ok," balas Arka. Kemudian Arka menoleh padaku. Aku langsung menoleh ke arah lain, takut kepergok lebih dulu memperhatikannya.

Arka mengetuk mejaku sekali. Membuatku kembali mendongak menatapnya. "Lo bawa motor sendiri kan? Gue pulang duluan, ya," kata Arka.

"Iya. Dadah," aku melambai sambil tersenyum kikuk.

"Duluan ya, Ge," pamit Jess kemudian dia mengamit lengan Arka dan mengajak cowok itu berjalan bersisian meninggalkan kelas. Aku menghela napas pelan, setidaknya Jess masih mau menegurku, dia tidak langsung berburuk sangka padaku meski Selly sudah mengomporinya di kantin tadi.

Aku keluar kelas dan memilih untuk duduk di kursi panjang tepat di koridor depan kelas. Sedikit mengulur waktu karena aku tak mau berjumpa lagi dengan Arka dan Jess di parkiran.

Setelah duduk hampir lima menit dan hanya memandangi lapangan yang dilalui banyak orang, akhirnya aku kembali ke parkiran.

Aku tertegun melihat Arka dan Jess ternyata masih disana, berdiri saling berhadapan di dekat motor Arka. Tampaknya mereka sedang membicarakan sesuatu yang serius dilihat dari ekspresi mereka.

Motorku letaknya di dekat motor Arka. Untuk sampai kesana, aku harus melewati mereka. Jadi aku berjalan kesana sambil bersikap tak acuh, aku tak mau jadi penganggu.

"Semua orang sadar, Ar, semua orang tau. Apa lo masih mau bohong?" Meski pelan, aku dapat mendengar suara Jess.

Arka berbohong? Tentang apa?

Aku sebenarnya penasaran setengah mati, tapi untuk menghargai privasi mereka, aku berlalu begitu saja.

"Mau langsung pulang, Ge?" tanya Arka ketika satu langkah aku melewatinya. Aku berbalik lalu mengangguk sekenanya.

"Hati-hati, jangan ngelamun apalagi ngantuk di jalan," tambah Arka. Aku lagi-lagi cuma mengangguk.

"Duluan, ya," aku nyengir lalu langsung menuju motorku. Setelah memasang helm dan naik ke atas motor, aku melajukan kendaraanku meninggalkan area parkir.

Kayaknya topik yang sedang Jess dan Arka bahas begitu sensitif. Walaupun penasaran aku tak mau menggali lebih lanjut. Biarkan Arka atau pun Jess bercerita sendiri nantinya, itu pun kalau mereka mau.

Sesampainya di rumah aku dikagetkan dengan adanya mobil putih yang parkir di carport rumah. Ini mobil mama. Tumben banget mama dateng sore-sore begini tanpa pemberitahuan ke aku lebih dahulu.

Aku masuk ke rumah dan langsung terperangah ketika menyadari mama tidak datang sendirian. Ada Nauri disana. Dia bahkan masih mengenakan seragam SMA.

Mama menyambutku dengan hangat. Namun aku tak mampu menunjukkan ekspresi senang karena kehadiran Nauri di tengah-tengah kami.

"Mama bawain cheesecake kesukaan kamu, lho," ucap mama ketika aku duduk di sofa. Bunda muncul dari arah dapur sambil membawa piring dan pisau kue.

"Apa kabar, Ge?" tanya Nauri dengan lembut lengkap dengan senyum manis terukir di bibirnya.

Itu topeng. Percayalah!

Aku balas tersenyum miring. "Baik," tentu saja tanpa  berbasa-basi menanyainya balik.

"Gimana sekolah kamu?" Pertanyaan standar dari mama dan selalu kudengar apabila kami bertemu.

"Ya masih gitu-gitu aja, Ma. Catnya masih abu-abu, masuknya masih jam tujuh, satpamnya tetap Pak Amin, ulangan tetep nggak dibolehin nyontek dan lain-lain."

"Kamu tahu bukan itu maksud mama."

Aku menghela napas. "Belajarnya lagi ekstra soalnya bentar lagi mau ujian."

"Kamu belajar yang rajin, Ge. Jangan kebanyakan main."

"Iya."

"Kamu bisa belajar bareng Nauri," saran mama yang membuatku nyaris tertawa sarkas. Lebih baik aku private sama guru ter-killer di sekolah daripada belajar bareng Nauri.

Aku dan Nauri memang sama-sama kelas 3 SMA. Dia bersekolah di SMA Negeri yang cukup elite, berbeda denganku yang sekolah di SMA swasta. Meskipun begitu, sekolahku juga tak kalah elite.

"Kamu jangan menutup diri gitu, lah," kata mama lagi.

"Nggak gitu, Ma, Gea mungkin emang belum terlalu nyaman aja sama Nauri," kata Nauri. "Gimana kalau kita hang out bareng, Ge?" tawarnya padaku.

"Iya, bener banget! Kalian tuh harus membiasakan diri satu sama lain, pasti bisa akrab sendiri kok," timpal mama bersemangat.

Dasar Nauri tukang caper!

"Aku nggak mau," balasku jujur. Dan mama langsung memelototiku.

Aku menarik napas dan mengembuskannya tak kentara. Tak ada satu kalimat pun yang keluar dari mulutku.

"Gimana kalau kita ke toko buku sekarang? Kebetulan gue lagi cari buku bank soal persiapan Ujian Nasional," ucap Nauri.

Mama makin berbinar dengan ide Nauri.

Parah, sih. Nauri kayaknya pengin banget dipandang baik oleh mama.

Aku melirik mama, rautnya masih penuh antusias. Aku jadi tak tega mau menolaknya.

"Perginya sama mama?" tanyaku.

"Kalian berdua aja," jawab mama.

Nauri mengangguk dan menatapku seakan sedang menantangku untuk menolak. Sebenarnya aku tahu kalau ini nggak akan berhasil. Jalan berdua dengannya hanya akan memancing keributan. Aku tahu dia pasti sudah punya rencana buruk.

Tapi, aku harus membuktikan bahwa aku tak akan terpengaruh olehnya. Dan semua rencana buruknya itu tak akan pernah bisa menjatuhkanku.

"Ok kalau gitu, gue ganti baju dulu," balasku akhirnya.

Nauri tersenyum. Dan aku tahu bahwa itu adalah senyum penuh kemenangan.

Ini sungguh hari yang sial karena aku harus berurusan dengan dua medusa bernama Selly dan Nauri.

***

Continue Reading

You'll Also Like

3.6M 234K 45
[Sudah tersedia di toko buku terdekat. Sebagian part sudah dihapus.] "Jadi kalau nggak ada halangan, kita akan menikah satu bulan lagi." Pernyataan i...
277K 60K 38
Ketika Ivory kembali berurusan dengan Silver, mantan pacarnya, tanpa sadar perempuan itu harus siap menerima kemungkinan terburuk untuk diganggu kemb...
644K 25.1K 36
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
255K 6.3K 8
MISI PENYELAMATAN: Pacarin Saga. Buat dia tutup mulut. Jangan sampai terbongkar. Orion, sang Pemburu, memiliki tiga bintang berjajar yang paling mud...