Bunga Iris dan Takdir

By hanyapisang

77.4K 11.5K 2.1K

Iris Art University adalah salah satu universitas seni ternama di Seoul, Korea Selatan. Salah satu tempat yan... More

PROLOG
Apa Kabar?
Teman?
Bendera Perang?
Tuan?
Canggung?
Kabar Buruk?
Kehadiranku?
Pindah?
Spekulasi?
Kesan Pertama?
Choi Seungcheol: Takdir, Sial!
Choi Seungcheol: Double Sial!
Setuju?
Jatuh Cinta?
Nyaman?
Mengobatiku?
Tidak Berbakat?
Jengkel?
Tawaran Perdamaian?
Pernyataan Cinta Soonyoung?
Cemburu?
Kemungkinan?
Alasan?
Kepastian?
Fokus?
Tanpa Kabar?
Tidur Bersama?
Sialan?
Berbicara?
Bagaimana?
Special Story I
Berbeda?
Move On?
Kencan?
Hai?
Pesan?
Orang Luar?
Milikmu?
Mengejutkan?
Power Bank?
Akhirnya?
Satu Menit?
Lee Jihoon: Dua Orang Bodoh
Choi Seungcheol: Hah!
Choi Seungcheol: Drama!
Harga Diri?
Bekas Ciuman?
Payung sebelum Hujan?
Yang Terbaik?
Special Story II: Lets Play A Game!
Special Story II: Never Have I Ever...
Deal?
Harga Diri? #2
Sudah Saatnya?
Hangat?
Keras Kepala?
Spesial Story III Seungcheol: Urgent! Help Mee!!!
Spesial Story III Seungcheol: Urgent! Help Mee!!!
Ragu?
Berbicara? #2
Special Story IV Seungcheol's Birthday

Pulanglah?

802 105 70
By hanyapisang

No blood will spill if we both get out
Now, still it's hard to put the fire out
What seemed like a good idea
Has turned into a battlefield

(Battlefield, Lea Michele)

--------------------------------------

"Seungcheol?" aku mendengar Jihoon, yang tepat berada di belakangku, mengucapkan pelan nama itu. Menginterupsi keheningan canggung yang terjadi selama beberapa detik.

"Halo?" Seungcheol menyahut dengan senyum ragu yang terlihat jelas tidak sampai ke matanya.

Mendengar suaranya lagi rasanya...

Detak jantungku...

Ugh!

Aku berdehem, mengulur waktu untuk meredakan segala emosi yang berkecamuk di dalam dadaku. "Apa ada yang bisa kubantu?"

Seungcheol melihatku dengan ekspresi sedihnya, sebelum memandang dengan canggung orang-orang di belakangku. "Aku..." kali ini dialah yang berdehem, dan aku bisa mendengar kecemasan dari dehemannya tersebut. "Aku ingin berbicara denganmu."

Aku tahu bahwa Seungcheol saat ini sedang sangat teramat grogi. Dan hal itu dapat terlihat dengan jelas dari ekspresi dan gerak tubuhnya.

Tetapi tentu saja aku sedang berusaha untuk tidak peduli.

Aku tidak peduli padanya.

"Apa kau dan aku masih punya urusan?" tanyaku dengan nada yang kubuat monoton, menunjukkan ketidaktertarikanku tentang apapun yang ingin ia bicarakan. "Bukankah segala macam hal yang mengaitkanku padamu sudah terselesaikan beberapa hari yang lalu? Tidak ada lagi urusan yang harus aku bahas denganmu."

"Jeonghan..."

"Dengan kata lain," sambarku cepat, memotong apapun yang ingin diucapkan Seungcheol. "Aku tidak ingin berbicara denganmu."

"Tolong berikan kesempatan padaku untuk membicarakan apa yang terjadi," sahut Seungcheol dengan suara rendahnya yang merayu. "Maafkan aku mengenai ke—"

"Aku sudah dengan sangat jelas menangkap maksudmu dari obrolan kita terakhir kali," kali ini aku tanpa sadar membuat suaraku terdengar lebih dingin, bahkan untuk telingaku sendiri. "Aku sudah cukup paham. Tidak perlu repot-repot membicarakannya lagi."

"Tidak aku..." terlihat begitu emosionalnya Seungcheol berkata dengan nada memohon. Ia melangkahkan kaki ragu, berusaha untuk lebih mendekatiku. "Jeonghan tolong be—"

Tepat ketika jarak di antara kami hanya tersisa sekitar enam puluh sentimeter, langkah Seungcheol segera terhenti. Bukan hanya karena isyarat tanganku, tetapi juga karena salakan tiba-tiba dari Cheol. Cheol yang seperti memahami bahwa aku sedang merasa tidak nyaman kini berdiri di antara aku dan Seungcheol, menatap Seungcheol dan menyalak padanya.

Aku hanya membiarkan saja anjingku melakukan hal itu, karena aku sangat yakin bahwa ia tidak akan melukai Seungcheol. Cheol bukanlah anjing yang agresif.

Tidak menghiraukan gonggongan Cheol di depannya, Seungcheol yang menunjukkan ekspresi memelasnya kemudian melanjutkan dengan suara yang agak keras untuk menandingi suara berisik dari Cheol, "Kita..." ia tiba-tiba berhenti untuk lagi-lagi berdehem sejenak. "Aku butuh bicara denganmu. Berikan aku waktu sebentar dan setelah kau mendengarkanku, aku berjanji akan menghargai setiap apapun keputusanmu. Jad—"

"CHEOL, DIAM!" Aku meninggikan suaraku supaya Cheol mendengar dengan jelas perintahku.

Aku memang memberikan perintah tegas itu pada anjingku yang tengah menggonggong, tetapi tatapan mata tajamku tidak pernah meninggalkan wajah Seungcheol yang tiba-tiba tercekat memandangku, seolah-olah perintah itu diberikan untuknya. Hah! Kalau saja kami berada di waktu yang berbeda dan dengan situasi yang lain, aku pasti akan menertawakan ekspresinya saat ini.

Hanya dengan satu perintah yang kuberikan, ada dua Cheol yang dengan segera mematuhinya. Benar-benar menggelikan.

Cheol yang seperti dapat menangkap betapa seriusnya perintahku langsung saja menutup mulutnya dan mendudukkan diri dengan posisi tegak. Meskipun terlihat lebih tenang, Cheol masih begitu waspada mengawasi Seungcheol, tetap memosisikan diri di antara kami.

Seketika terjadi keheningan yang menyesakkan setelah Cheol menghentikan gonggongannya. Sambil tetap menatap tajam Seungcheol, aku menarik bibirku menjadi senyuman sinis. "Kau tahu, terakhir kali aku mengikuti permintaan seseorang untuk berbicara..."  Aku membentuk tanda petik menggunakan jari telunjuk dan jari tengahku ketika mengucapkan kata 'berbicara' dengan penuh penekanan. "...dan kemudian aku berakhir dengan luka-luka lebam. Apa kau masih mengingat hal itu? Jadi bagaimana mungkin kau mengharapku untuk jatuh ke lubang yang sama?"

Seungcheol segera menunjukkan penyesalannya, secara samar menggelengkan kepalanya. "Kali ini aku..."

"Aku tahu waktumu sangat berharga," kembali aku tidak memberi Seungcheol kesempatan untuk berbicara, sebelum kemudian mendengus mencemooh padanya. "Jadi jangan buang waktu dan tenagamu untuk hal yang sia-sia atau untuk orang sepertiku yang ketika kau melihat wajahnya mebuatmu ingin menghajarnya...ugh, sepertinya aku melantur. Mungkin karena lelah. Jadi aku permisi..."

"Aku akan menunggumu!" sahut Seungcheol dengan begitu keras kepalanya sebelum aku sempat berbalik. "Di depan rumahmu. aku akan menunggumu di depan rumahmu sampai kau mau berbicara denganku."

Wajahku tiba-tiba menjadi kaku karena rasa marah yang saat ini kurasakan. Menatap Seungcheol dengan sinis aku lalu memberikannya sebuah cibiran. "Apakah kau yakin kalau aku akan mau berbicara denganmu?" aku menanyakan sebuah pertanyaan retorik, diiringi tawa mengejek yang diselimuti oleh kemarahan yang coba untuk kutahan. "Untuk apa aku harus berbicara denganmu sekarang? Terakhir kali aku berusaha untuk berbicara denganmu kau bahkan tidak ingin mendengarkanku..." aku lagi-lagi mendengus mencemooh. "Memangnya kau pikir siapa dirimu sehingga mengira hanya dengan mengatakan bahwa kau akan menungguku di depan rumahku, aku langsung bersedia berbicara denganmu?!"

Seungcheol semakin terlihat sedih. Ia menunjukkan gesture lesunya, tidak berdaya untuk membalas kata-kataku. Saat ia membuka mulut, tidak ada suara apapun keluar darinya, lalu ia menutup kembali mulut, terlihat pasrah.

Aku tidak peduli dengan Seungcheol.

Aku tidak ingin peduli padanya.

Aku tidak akan peduli meskipun ia mengangis dan memohon di depanku saat ini.

Aku yang sudah begitu marah padanya, memendam kekecewaanku padanya, tentu saja tidak akan lagi mempedulikan kesedihan yang tergambar jelas di wajahnya. Dia telah menyakitiku, dia tidak ingin mendengarkan penjelasan yang kutawarkan, dan dia sudah menghakimiku. Jadi untuk apa aku harus berbelas kasih padanya?

Cukup sampai di sini hidupku dengan Seungcheol dan drama-drama yang disebabkan olehnya.

Sudah cukup.

"Pulanglah," kataku lagi dengan nada suara yang kembali berubah datar, sembari mengusap-usap wajahku untuk menunjukkan kelelahan yang kurasakan. "Sudah cukup Seungcheol, aku lelah. Aku tidak ingin berbicara denganmu. Tidak ada yang bisa kita bicarakan lagi."

"Jeonghan, aku mohon padamu..." kali ini gelengan kepala Seungcheol tidak lagi samar-samar dan ekspresi wajahnya semakin terlihat panik. Ia mengulurkan tangannya berusaha untuk meraih tanganku, yang segera kutepis dengan sedikit kasar. "Jeonghan, berikan aku kesempatan untuk berbicara. Aku mohon dengarkan aku... beri aku waktu sebentar saja.  Aku tidak ingin kau meninggalkanku dengan sebuah rasa bersalah. Aku tidak ingin membuat diriku menyesal seumur hidup karena tidak memberimu penjelasan yang sebenarnya..."

"Cukup!"

"Jeonghan..."

"Aku bilang, CUKUP!"

"Tapi aku mencintaimu..."

"SIALAN KAU SEUNGCHEOL!" Demi Tuhan aku tidak tahu dari mana datangnya tenagaku untuk bisa tiba-tiba meninggikan suaraku seperti ini. Aku sedang berteriak. "KAU HANYA MEMIKIRKAN DIRIMU SENDIRI! SEMUANYA HANYA TENTANG DIRIMU SENDIRI! DULU KETIKA KAU MEMUTUSKAN INGIN MENGHAKIMIKU ATAS SEMUA YANG TERJADI PADAMU, KAU MENDORONGKU MENJAUH! KAU MENOLAK UNTUK MENDENGARKAN CERITA DARI SISIKU! DAN SEKARANG SETELAH KAU LAGI-LAGI MEMUTUSKAN UNTUK DIRIMU SENDIRI INGIN MENJELASKAN PERSOALANMU PADAKU, SUPAYA KAU TIDAK DILIPUTI RASA BERSALAH SIALAN ITU, KAU JUGA SEENAKNYA MEMUTUSKAN KALAU AKU HARUS MENDENGARKANMU! SIALAN KAU, SEUNGCHEOL! AKU TIDAK DILAHIRKAN UNTUK MEMUASKAN EGOMU! PERSETAN DENGAN PENYESALANMU! PERSETAN DENGAN RASA BERSALAHMU! PERSETAN DENGAN DIRIMU!"

"..."

Dengan mulut sedikit teranganga, Seungcheol hanya mengerjapkan matanya. Ia memandangku dengan bermacam-macam emosi yang berkelebat di wajahnya.

SIAL!

Sial!

Sial...

Akhirnya, apa yang ingin kukatakan kusampaikan juga.

Lebih baiknya lagi, akhirnya aku bisa mengumpati Seungcheol. Aku bisa meneriakinya.

Dan kemudian keheningan yang begitu tidak nyaman kembali terjadi setelah aksi penuh amarahku. Suasana di antara kami semakin terasa berat dan menyesakkan. Aku mengatur napasku yang sedikit terengah sambil memincingkan mata menatap Seungcheol yang masih mengerjapkan matanya, terlihat sangat terguncang. Entahlah, aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Yang jelas gurat penyesalan, kesedihan, terluka, dan rasa kaget menjadi satu di ekspresi Seungcheol saat ini.

Seungcheol memandangku dengan takut, dan aku tidak berusaha memahami apa penyebab di balik ketakutannya itu.

"Maafkan aku..." aku mendengar Seungcheol berbisik dengan suara lemahnya. "Maafkan aku..."

Menghela napas, aku mencoba untuk mengatur emosiku untuk kembali lebih tenang. Aku benar-benar merasa lelah, sangat merasa lelah. Segala konfrontasi ini begitu menguras tenagaku yang memang sejak awal sudah tidak tersisa banyak. Dengan lemah aku berkata, "Terserah apapun yang ingin kau lakukan. Selamat tinggal!"

Tidak ingin mendengar respons apapun dari Seungcheol lagi, aku lalu dengan cepat membalikkan badanku setelah menyuruh Cheol untuk mengikutiku. Tidak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi setelah ini, aku memutuskan untuk pergi ke kamarku dan beristirahat, hal yang sekarang sangat kubutuhkan.

Aku butuh pergi dari sini.

Aku butuh menjauh dari Seungcheol.

Aku butuh menenangkan diri.

Samar-samar aku masih bisa mendengar bisikan pelan Seungcheol yang mengatakan kalau dia akan tetap menungguku, tepat ketika aku membalikkan badanku. Tetapi aku tidak menghiraukannya, tidak menunjukkan tanda-tanda mendengar bisikannya. Dengan gontai dan rasa berat yang menekan bahuku, aku melangkahkan kakiku pergi. Tidak mempedulikan Seungcheol. Tidak mempedulikan Jihoon dan Soonyoung.

Aku butuh sendiri.

***

Aku terbangun pagi ini dengan kondisi yang sedikit kacau.

Kalut.

Kepalaku pusing.

Dan perasaanku yang bercampur aduk.

Semalam aku tidak keluar kamar untuk makan malam. Jihoon ataupun Soonyoung juga tidak menghubungiku. Mereka seperti ingin membiarkanku sendiri dan menenangkan diri.

Tidak banyak yang kulakukan setelah mengasingkan diriku di kamar, selain memblokir segala kontak Seungcheol di ponselku, memaksakan diri untuk mandi, dan bergelung di atas tempat tidur sambil memeluk anjing-anjingku sebagai penghiburan. Sepanjang malam aku meratapi diriku sendiri dengan begitu dramatisnya, sungguh menyedihkan. Dan sekarang aku terbangun dengan perut yang keroncongan.

Melihatku menggerakkan tubuh dan mendudukkan diriku di atas tempat tidur, Odie dan Cheol sama-sama saling mengangkat kepalanya. Mereka menatapku seolah bertanya 'apakah kau sudah tidak apa-apa?'

Sial!

"Aargh!" aku mengacak-acak rambutku, diiikuti dengan erangan menyesal.

Kalau mengingat kejadian kemarin aku sangat ingin merutuki diriku sendiri.

Berteriak-teriak seperti itu dan bisa didengar oleh penghuni rumah ini? Di depan Soonyoung dan Jihoon?

Demi Tuhan!

Aku telah mempermalukan diriku sendiri hanya karena seorang Choi Seungcheol sialan itu!

Mau bagaimana lagi, kemarin rasanya amarah telah mengambil alih akal sehatku. Membuatku berteriak pada Seungcheol untuk melampiaskan rasa kesal yang teramat besar yang memang sudah berada di hatiku dari beberapa hari yang lalu. Setidaknya perbuatanku kemarin membuatku sedikit puas...

Hah!

Sambil menyeret badanku yang masih terasa berat, aku bangkit menuju kamar mandi, mencuci muka, dan menggosok gigiku. Setelah selesai melakukan rutinitas pagiku, aku memutuskan akan keluar kamar untuk sarapan. Namun sebelum aku sempat melaksanakan rencanaku, terdengar ketukan perlahan dari pintu kamar. Aku yang memang sudah berdiri di dekat pintu, dengan cepat membukanya dan mendapati Jihoon sedang berdiri di depanku. Tatapan matanya terlihat khawatir ketika membalas tatapanku.

Dengan canggung Jihoon menyunggingkan senyum untuk menyapaku. "Apa aku mengganggumu?"

"Tidak," sahutku. "Aku sudah bangun dari beberapa menit yang lalu... masuklah!" menggeser badanku dari ambang pintu, aku meminta Jihoon untuk masuk ke dalam kamarku. Kemudian sementara ia memilih untuk mendudukkan diri di atas sofa di dekat jendela kamarku, aku menuju kursi belajarku dan duduk di sana.

Sial!

Rasanya suasana di antara kami sedikit lebih canggung dari biasanya. Dan itu semua gara-gara Choi Seungcheol!

"Bibi Seok memintaku untuk memberi tahumu kalau sarapan akan siap sekitar lima belas menit lagi," Jihoon menjelaskan, masih menunjukkan ekspresi cemasnya padaku. "Dia khawatir karena semalam kau tidak makan malam jadi memintaku untuk memastikan bahwa kau akan sarapan kali ini."

"Oke, baiklah..." ugh! Aku benar-benar bingung harus berkata apa supaya setidaknya dapat sedikit mencairkan suasana. "umm... Jihoon... maafkan aku untuk yang kemarin."

"Tidak perlu meminta maaf," Jihoon menggelengkan kepalanya dengan segera. "Apa yang terjadi bukan salahmu dan tentu saja semua di luar kendalimu..." Jihoon menghela napasnya sebelum bertanya khawatir, "Apa kau yakin baik-baik saja?"

Aku mengendikkan pundakku. "Lumayan. Setidaknya tidur sangat membantu untuk mengembalikan tenagaku."

"Syukurlah kalau begitu," gumam Jihoon.

"Jadi apa rencanamu dan Soonyoung hari ini?" tanyaku, mencari topik pembicaraan baru yang menurutku akan lebih 'aman' untuk diobrolkan saat ini. "Kalian sudah membicarakannya?"

"Hanya berjalan-jalan ke kota," jawab Jihoon. "Kau tidak perlu menemani kami dan istirahatlah di rumah."

"Aku baik-baik saja," sahutku meyakinkan. "Tidak apa-apa kalau aku menemani kalian, sungguh..." aku mengernyitkan kening ketika baru mengingat sesuatu. "Tapi pagi ini adalah jadwal Odie dan Cheol untuk pergi ke dokter dan melakukan pemeriksaan rutin. Kakek memintaku untuk membawa mereka. Mungkin aku akan menyusul kalian setelah urusanku selesai?"

"Kau membawa dua anjing sendirian?" Jihoon bertanya dengan tatapan mata yang meragukanku. "Atau mungkin kau mau kutemani ke dokter? Aku bisa memberi tahu Soonyoung..."

"Tidak perlu," tolakku. "Aku akan pergi bersama Paman He."

Jihoon mengangguk-anggukan kepalanya sebagai tanggapan, menunjukkan penerimaannya atas penolakanku. "Oke."

"Apa Soonyoung masih tidur?" tanyaku, lagi-lagi mencari topik obrolan baru untuk mencegah kemungkinan terjadinya keheningan yang nantinya bisa membuat suasana di antara kami kembali canggung. "Kenapa aku tidak melihatnya?"

"..."

Aku mengernyitkan kening melihat reaksi Jihoon atas pertanyaanku.

Kenapa Jihoon menatapku seperti itu? Apa aku tanpa sengaja menanyakan hal yang salah?

Mendengar pertanyaanku barusan, Jihoon tiba-tiba mengerutkan keningnya, membuatku merasa bingung atas reaksi yang diberikannya. Membalas tatapanku yang sedang menatapnya penasaran, Jihoon lalu memberikanku sebuah kendikan lemah bahunya. Entah kenapa aku dapat menangkap gesture meminta maaf dari gerakannya tersebut.

"Soonyoung kemarin memutuskan untuk ikut bersama Seungcheol," jelas Jihoon pelan, ketika aku hanya memberikan tatapan mata penuh tanya padanya. "Dia tidak tega meninggalkan Seungcheol sendirian dan membantunya mencari tempat menginap."

Oh, baiklah. Dan sekarang aku terkesan sudah menjadi orang yang buruk karena apa yang kulakukan kemarin.

Hah!

Tapi tentu saja aku memiliki pembelaan untuk tindakanku "mengusir" Seungcheol dari rumahku. Enam pembelaan langsung.

Pertama, ini adalah rumahku, jadi aku berhak memutuskan siapa yang boleh tinggal di dalamnya.

Kedua, aku tidak ingin melihat Seungcheol apalagi berbicara dengannya.

Ketiga, Seungcheol sudah menyakitiku, tidak ada alasan untukku bersikap baik padanya.

Keempat, Seungcheol dengan sikapnya itu telah menggangguku.

Kelima, demi Tuhan Seungcheol bahkan bukan anak-anak lagi jadi aku yakin dia pasti bisa bertahan hidup di luar sana, jadi aku tidak peduli.

Dan keenam, baiklah aku mengakui kalau aku memang bersikap buruk padanya tetapi aku mempunyai alasanku sendiri, yang sudah kujelaskan pada poin satu sampai lima tadi.

Melihatku tidak merespons apapun dan hanya menganggukkan kepalaku, samar—hampir menyerupai bisikan—Jihoon berkata dengan ragu, "Jeonghan mengenai Seungcheol..."

"Aku tidak ingin berbicara tentang dia," sambarku dengan ekspresi tegas, mengucapkan kalimatku dengan penuh penekanan. "Jadi bisakah aku meminta tolong padamu untuk tidak membicarakannya?"

Menatapku dalam diam selama beberapa detik, Jihoon kemudian menghela napasnya, terlihat begitu pasrah. Ia lalu memberikanku anggukan setujunya. "Baiklah."

Aku tersenyum menunjukkan rasa terima kasihku. "Mungkin sebaiknya sekarang kita memeriksa apakah Bibi Seok sudah menyiapkan makanan untuk kita?"

Jihoon menyambut ajakanku. "Oke."

***

Selesai sarapan Jihoon segera bersiap-siap dan pergi untuk memenuhi janjiannya bersama Soonyoung, sementara aku setelah menunggu beberapa menit sehabis sarapan baru memutuskan untuk mandi dan bersiap-siap juga. Dan sekarang, sekitar tiga puluh menit setelah itu, aku sedang menaruh bantal di atas kursi belakang mobilku untuk alas Cheol dan Odie.

Paman He membantuku memegangi pintu mobil supaya tetap terbuka dengan lebar ketika aku meminta Odie dan Cheol untuk masuk ke dalam mobil secara bergantian. Sesudah memastikan semuanya aman, aku lalu membuka pintu penumpang depan, masuk untuk mendudukkan diri di dalamnya dan menggunakan sabuk pengamanku.

"Ayo kita berangkat, Paman!" seruku setelah Paman He duduk dengan siap di belakang kemudi.

Paman He memberikanku anggukan mengerti sebelum kemudian menghidupkan mesin mobil dan perlahan mulai melajukannya menuju gerbang yang telah dibuka oleh penjaga untuk kami. Paman He menyapa mereka dengan membunyikan klakson ketika lewat di depan pos penjagaan sebelum kemudian mengemudikan mobil keluar dari area rumah.

Sial!

Aku mengerutkan kening tidak sukaku ketika tanpa sengaja dapat langsung menangkap sosok Seungcheol sedang berdiri di seberang jalan rumahku. Tatapan sedihnya seperti menembus melalui kaca depan mobil tepat ke arahku. Untung saja dia tidak melakukan apapun dan hanya berdiri saja di tempatnya, menatapku, dan menyunggingkan senyum lemahnya ketika tatapan mata kami bertemu.

Aku segera memalingkan wajahku pura-pura tidak melihatnya, bersikap seakan sosok laki-laki yang sedang berdiri di seberang jalan adalah udara yang tak kasat mata. Aku lalu membuat ekspresi mukaku menjadi sedatar mungkin, begitu tak acuh mengabaikan sepasang mata yang rasanya menatapku dengan penuh harap.

Padahal jantungku...

Apa Paman He mendengar detak jantungku yang bertalu-talu dengan keras saat ini?

Kalaupun ia dapat menangkap keanehan dari sikapku, Paman He dengan bijaknya memutuskan untuk tidak berkomentar apapun dan hanya fokus dengan kegiatan menyetirnya. Aku tidak tahu apakah Paman He merasa aneh dengan keberadaan Seungcheol, yang jelas sekarang aku melihat ekspresi wajahnya begitu tenang, tidak menunjukkan semburat apapun di dalamnya.

Sial!

Aku harus segera menyelesaikan masalah ini.

Merogoh ponselku dari saku celana, aku kemudian mencari nomer di daftar kontakku, dan menekan tombol hijau di layar ketika menemukan apa yang aku cari. Sedikit menunjukkan ketidaksabaran, aku menempelkan speaker ponsel ke telingaku, dan menunggu sampai panggilanku tersambung.

Aku mendengar sebuah bunyi yang menandakan bahwa orang di seberang sana sudah mengangkat teleponku. Tanpa menunggu ia mengatakan apapun aku segera berucap dengan cepat, "Kakek kapan kau akan pulang? Pulanglah! Aku sudah memutuskan untuk tetap pindah sekolah ke luar negeri. Aku tidak perlu menunggu kakek pulang untuk mengatakan keputusanku karena aku sudah memutuskannya dengan sangat bulat. Kakek bisa langsung menguruskan kepindahanku... segera... pulanglah..."

***

Semoga kalian menikmatinya dan terima kasih sudah bersedia membaca cerita ini :)

Berantakan ya chap ini?

Ya ampuun jadi aku sudah nonton Avengers: Endgame tiga kali. Hari pertama sama temen-temenku, setelah itu jumat kemarin sama adikku dan malam tadi dikasih tiket sama temenku yang katanya salah beli :"D  Nonton hari pertama aku sama temen-temen dapet tiketnya malam jam sembilan. Tiga jam nonton benar-benar gak berasa. Keluar bioskop mataku bengkak T.T  Nonton sama adikku mataku lagi-lagi bengkak. Yang ketiga ini agak mendingan, aku nonton sama temenku jam 12 malam dan lebih fokus ke cerita buat ngejawab pertanyaan yang belum kejawab... (btw abaikan saja... cuma mau curhat kalau fimnya seru dan aku berani ngasih nilai 9/10) :"D 

TIDAK DIEDIT!!! Maafkeun jika banyak menemukan typo, kalimat aneh, ataupun hal-hal yang rancu lainnya. Semoga ff ini tidak menyakiti mata kalian~ _/\_

Silahkan cari tempat yang aman jika kalian mengalami tanda-tanda kebosanan dan kejenuhan saat/setelah membaca cerita ini. Dan tentu saja, terima kasih banyaaaak untuk kalian yang bersedia mengapreasiasi ff ini~^^

Naa^^

Continue Reading

You'll Also Like

42.9K 6.7K 36
Rahasia dibalik semuanya
34.3K 7.6K 38
Selama ini Taehyun tidak pernah menyadari jika cowok populer di kelasnya itu berhasil membuat dirinya menjadi seperti orang bodoh karena jatuh cinta...
424K 4.5K 85
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
229K 34.3K 62
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...