Love Is Not Over ✔

By ririrrrii

8.4K 745 347

"Aku tahu Kookie-ya, tapi tidak bisakah kau menahan diri? Kau sudah berada di tingkat akhir." "Kalau aku mena... More

(1) Noona
(2) Holiday
(3) Dream
(4) Love is Not Over
(5) Date
(6) In Luv
(7) Drive
(8) Boyfriend
(9) Relationship
(10) Stuck
(11) First Love
(12) Jealousy
(13) Jealousy 2
(14) Confession
(15) Gloomy
(16) Break Up
(17) Date 2
(19) Girlfriend
(20) Annoy
(21) Be My Lover
(22) Caught Up
(23) Stay Strong
(24) Happiness

(18) So Sorry

208 16 6
By ririrrrii




Anggota Bangtan sudah siap di area luas salah satu taman yang ada di Seoul. Mereka akan tampil di sana, menyanyi dan menari seperti yang sering mereka lakukan di akhir pekan. Orang-orang banyak yang berkerumun, ingin menyaksikan penampilan yang sepertinya menarik itu. Tak ketinggalan Jungra dan Chaeyeon yang berada pada barisan paling depan.

Bukan tanpa persiapan dan dilakukan begitu saja mengingat ini adalah penampilan pertama anggota Bangtan di tempat terbuka seperti ini. Tentu saja mereka tidak mungkin membeberkan identitas begitu saja. Bisa gawat jika orang tua tahu. Jadi mereka mengenakan masker untuk menutup bagian atas wajah mereka.

“Bangtan hwaiting!!!” Teriak Jungra dan Chaeyeon bersamaan.

Chaeyeon sangat bersemangat menyaksikan hal ini. Dia adalah maniak boy group, jadi dia akan sangat senang jika ada pertunjukan seperti ini. Terlebih sang kekasih ikut serta di sana. Pasti akan sangat keren.

“Aku jamin setelah menyaksikan mereka, kau akan menjadi penggemar mereka.” Ucap Jungra penuh semangat.

“Sekarang pun aku sudah menjadi penggemar mereka. Eonni, walau hanya berdiri saja mereka terlihat sangat keren.”

Jungra mengangguk setuju.

Tak berselang lama, musik diputar dan mulailah tujuh orang pria itu menari dan menyanyi. Sangat keren dan penuh semangat. Terlebih mereka membawakan lagu yang diciptakan sendiri oleh Yoongi dan Namjoon.

*

*

*

Penampilan telah usai setelah Bangtan membawakan tiga lagu. Kini Jungra dan Chaeyeon sedang duduk di salah satu bangku sambil menyaksikan anak-anak Bangtan yang sedang dikerumuni orang itu. Benar-benar seperti idola.

“Keren kan?” Tanya Jungra dengan tidak bersemangat. Bukan berarti dia tidak suka cita atau apa, hanya saja dia sudah lelah. Dia terus-terusan berteriak dengan semangat, ditambah dengan cuaca yang lumayan panas membuatnya kehabisan banyak energi.

Chaeyeon mengangguk. Dia pun sama lelahnya dengan Jungra.

“Aku sangat suka dengan Jimin Oppa.”

Seketika Jungra menoleh, wajahnya yang semula terlihat layu kini terlihat merekah. “Benarkah?”

Emm.” Chaeyeon mengangguk. “Aku sangat suka saat dia menari dan menyanyi. Benar-benar keren.”

Wuaaaa aku juga. Dia adalah bias-ku di Bangtan.”

“Benarkah?” Kini Chaeyeon ikut merekah seperti Jungra.

Jungra mengangguk. “Serius, Jimin itu sangat keren. Aku tidak tahu bagaimana menjabarkannya tapi dia benar-benar sangat berbeda saat sedang tampil. Cara dia menggerakkan tubuhnya itu benar-benar sangat pas, sangat memukau. Dan suaranya… Aaaaaa aku tidak tahu harus bagaimana tapi yang jelas aku sangat mengidolakannya.” Jungra menjelaskan dengan penuh semangat. Dia yang semula lebih tertarik dengan dunia k-drama kini mulai tertarik dengan dunia k-pop.

Eonni benar. Aku yakin Jimin Oppa akan memiliki banyak penggemar jika dia menjadi idola. Dan fancam yang khusus menyorotnya pasti akan mendapat views yang banyak.”

Jungra mengangguk penuh semangat. Sedetik kemudian wajah Jungra berubah murung, teringat dengan apa yang sebenarnya terjadi pada anak-anak Bangtan.

Jungra POV

Aku menjadi sedih jika mengingat kisah mereka. Mereka dilarang keras oleh para orang tua untuk mengekspresikan diri dan terjun dalam dunia hiburan. Aku paham jika mereka tidak sekedar ingin tenar tapi juga ingin menyampaikan pesan penuh semangat melalui musik. Tapi apa daya mereka tidak bisa melakukan itu.

Tujuh orang yang baru tampil itu adalah pewaris yang kelak akan meneruskan kepemimpinan dalam bisnis orang tua mereka. Bukan alasan yang buruk sebenarnya. Daripada harus jatuh pada tangan orang lain, sebaiknya diteruskan oleh keturunan sendiri kan?

Dalam hal ini sebenarnya Yoongi oppa sedikit beruntung karena dia masih diizinkan untuk menjadi produser dan penulis lagu. Dengan catatan, saat ayahnya pensiun nanti dia harus sudah siap untuk meneruskan kepemimpinan di bisnis perhotelan mereka.

Sebenarnya appa juga mengizinkan Jungkook jika yang dia ingin adalah menjadi produser atau penulis lagu seperti Yoongi oppa. Tapi Jungkook tidak mau. Bocah itu lebih suka menjadi idola, tampil di panggung dan dikenal banyak orang.

Eonni, sepertinya mereka sudah selesai. Ayo kita ke sana.” Chaeyeon menyadarkanku dari pergumulan dengan pikiranku sendiri.

Eoh, ayo.” Aku dan Chaeyeon bangkit menghampiri para pria bertopeng itu.

Sesegera mungkin aku mengubah ekspresiku menjadi ceria, tak ingin Jungkook ataupun yang lainnya tahu jika aku sempat bersedih.

Wua kalian sangat keren.” Chaeyeon segera memberikan pujian begitu sampai pada anak-anak Bangtan.

“Benarkah? Kau suka?” Tanya Jungkook penuh semangat.

Chaeyeon mengangguk tak kalah semangat. “Aku sangat suka penampilan Jimin Oppa.”

Mwoya?” Jungkook terlihat tidak suka, sangat menggemaskan bagiku.

Wuaaa terima kasih. Aku tahu kok kalau aku keren.” Jimin memamerkan deretan gigi depannya.

Inginnya sih mencaci karena dia sombong. Tapi apa yang dia sombongkan itu ada buktinya. Dia memang benar-benar keren, jadi aku mengiyakan saja. “Iya, kau memang keren. Kau idolaku.” Aku memberikan dua jempolku padanya.

“Idolakan aku saja, jangan Jimin.” Kali ini Taehyung membuka suaranya.

“Suka-sukaku, apa urusanmu?” Tanyaku dengan nada kubuat menyebalkan.

Aish sudah-sudah, ayo kita pergi dari sini. Aku sudah lelah memakai topeng ini. Wajah tampanku ini perlu terpapar udara bebas.” Jin menengahi. Terdengar sedikit menyebalkan karena dia menambahkan kata-kata penuh pujian untuk dirinya sendiri. Iya iya, aku tahu kalau dia itu memang tampan.

Kami pun pergi, menuju mobil masing-masing. Perlengkapan dan peralatan sudah ada yang membereskan. Tentu saja anak-anak Bangtan tak mau bersusah payah untuk mengurus properti. Mereka membayar orang untuk melakukan itu.

Aku satu mobil dengan Taehyung, Jungkook dan Chaeyeon. Memang seperti itu sejak berangkat tadi. Awalnya sih aku ingin berangkat dan pulang dengan Yoongi oppa saja, tapi ternyata pagi-pagi sekali Taehyung sudah datang ke rumah. Bahkan ikut sarapan bersama keluargaku. Dan seperti biasa, istri appa-ku yang centil itu terus-terusan menjodoh-jodohkan Taehyung dengan Sunny. Menyebalkan.

Noona, kenapa diam saja?” Tanya Taehyung sambil menyenggolku. Aku baru sadar, sepertinya aku melamun. Sudah berapa lama aku ketinggalan obrolan?

“Apa?” Sungguh, aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Aku terlalu fokus dengan gambaran peristiwa tadi pagi saat sarapan di rumah.

“Chaeyeon masih ada sedikit waktu, bagaimana kalau kita makan siang dulu?” Jungkook yang sedang menyetir di depan menjelaskan padaku. Oh, rupanya perkara makan siang. Ku kira apa.

“Baiklah. Lalu anak-anak yang lain?”

“Biar saja, mereka sudah ada urusan sendiri.” Jelas Taehyung yang duduk di sebelahku.

“Jimin juga ada urusan?” Entah, pertanyaan ini keluar begitu saja dari mulutku.

“Kenapa tiba-tiba menanyakan Jimin?” Tanya Taehyung dengan nada seperti tidak suka.

“Memangnya kenapa? Aku kan ingin sekali-sekali makan dengannya.”

“Makan denganku saja sudah cukup, tidak perlu Jimin. Tadi Chaeyeon yang membicarakan Jimin. Sekarang kau.” Taehyung sepertinya memang kesal. Oh jadi selama aku melamun tadi, Chaeyeon juga membicarakan Jimin? Ah tahu begitu aku tidak usah melamun agar bisa ikut membicarakan Jimin.

Eoh, kenapa sih kalian para gadis selalu membicarakan Jimin Hyung?” Kali ini Jungkook.

“Memangnya kenapa? Jimin Oppa kan memang keren.” Chaeyeon mengungkapkan pendapatnya yang tentu saja langsung aku setujui.

“Chaeyeon benar. Tak heran jika Jimin memang sangat terkenal di kalangan para gadis. Bukankah sekarang dia sedang sendiri? Dia tidak sedang berkencan dengan siapa-siapa kan?” Aku menoleh pada Taehyung, ingin tahu jawaban dia sekaligus ingin tahu seperti apa ekspresi wajahnya. Kali ini aku memang berniat menggodanya. Biar saja, sekali-sekali biar dia merasakan seperti apa rasanya berada di posisiku yang terus-terusan digoda dan dibuat kesal.

Woho… Lihatlah wajah Taehyung yang cemberut itu. Benar-benar menggemaskan. “Eoh. Sekarang ini dia memang sedang sendiri. Tidak sedang berkencan dengan siapa-siapa. Wae? Ingin berkencan dengannya?” Rentetan kalimat dan pertanyaan yang ditekan dengan sangat jelas. Woho Kim Taehyung, kau sedang cemburu ya? Hihi.

Aku mengangguk penuh semangat. “Eoh. Nanti aku akan bilang pada Jimin.”

“Tidak boleh!” Taehyung berteriak, cukup keras. Aku, Chaeyeon dan Jungkook jelas saja terkejut.

Hyung, aku sedang menyetir.” Protes Jungkook tapi tak diindahkan sama sekali oleh Taehyung.

“Kenapa sih harus Jimin? Padahal kan sudah ada aku. Aku sudah menunggu lama. Aku juga sudah susah-susah membantumu putus dengan Yoongi Hyung tapi sekarang kau justru tertarik pada Jimin.”

Aku mengerjap beberapa kali. Terkejut sekaligus sedikit tidak percaya saat Taehyung mengungkapkan hal tersebut. Di sini tidak hanya ada aku dan dia, ada juga dua bocah yang sedang duduk di depan. Apa dia tidak malu? Ok, lupakan. Taehyung tidak punya malu. Tapi aku yang malu.

“Kau ini bicara apa sih?” Niat awal aku ingin menggoda, tapi aku justru dibuat malu oleh kata-katanya yang blak-blakan itu. Jika hanya ada Jungkook sih masih tidak apa-apa. Tapi di sini juga ada Chaeyeon. Aku kan malu.

“Kau sungguh tidak peka.” Dan sekarang apa lagi? Pria ini merajuk? Cih, kekanak-kanakan sekali.

“Sudahlah Hyung, kau jangan terpancing. Noona hanya menggodamu saja.” Kali ini Jungkook menengahi. Ada gunanya juga dia.

“Iya, aku tahu kalau aku hanya digoda. Tapi tetap saja aku kesal.”

“Kau ini sedang datang bulan ya?” Sindirku. “Lihatlah, ada Chaeyeon di sini. Kau tak malu?”

Taehyung melirik Chaeyeon kemudian diam, tak lagi mengucapkan apa-apa. Sepertinya dia malu. Daripada keadaan semakin buruk dengan merajuknya Taehyung, maka kami semua memilih diam. Tak enak juga jika harus membiarkan Chaeyeon melihat bayi besar ini merajuk.

Jungra POV End

*

*

*

Jungkook, Jungra dan Taehyung telah mengantar Chaeyeon menuju café tempatnya bekerja. Kini di dalam mobil hanya ada tiga orang. Satu di depan, dua di belakang.

“Salah satu dari kalian tidak adakah yang ingin pindah ke depan? Kenapa aku terkesan seperti sopir begini sih?”

“Kau memang sopir.” Ucap Taehyung asal.

Kemudian terjadilah perdebatan kecil antara Taehyung dan Jungkook. Perdebatan tidak penting yang memang sudah biasa terjadi antara mereka.

Sementara itu Jungra sama sekali tak memberi respons. Dia hanya duduk bersandar dalam diam. Sama sekali tidak tertarik untuk terlibat dalam percakapan dua pria itu.

“Kau melamun lagi ya?”

Tak ada respons. Taehyung menjadi bingung. Jungkook yang semula fokus menyetir sekaligus berdebat ringan kini juga ikut penasaran kenapa noona-nya diam saja sejak tadi. Dia pun menoleh sekilas. “Noona.”

Barulah Jungra sadar. “Wae?” Tanyanya penuh dengan kebingungan.

Noona, kau baik-baik saja? Kenapa melamun terus?”

“Aku baik-baik saja.” Tapi wajah Jungra tidak menunjukkan seperti itu. Dan Taehyung yang ada di sebelah Jungra dapat menangkap itu dengan jelas. Jungra tidak sedang baik-baik saja.

*

*

*

Taehyung POV

Aku menurunkan Jungkook di apartemen tempat latihan karena aku ingin mengajak Jungra jalan-jalan. Melihat dia yang terus-terusan melamun, aku menjadi penasaran dengan apa yang sedang dia pikirkan. Jadi sekalian saja, aku mencari tahu apa yang mengganggu pikirannya sekaligus mengajaknya mencari hiburan.

Yah namanya juga perempuan. Saat aku tanya ingin ke mana, jawabnya adalah mall. Jadi aku menurut saja. Lagi pula lebih baik jalan-jalan di mall  daripada di luar mengingat cuaca sedang sangat panas.

“Kau ingin membeli sesuatu?” Kami sedang berjalan beriringan. Inginku sih saling menggenggam tangan, tapi nanti saja kalau suasana hati Jungra sudah baik.

“Aku… Ingin ice cream.” Jungra menoleh padaku, menunjukkan senyumnya. Tapi yang aku tangkap sekarang adalah dia sedang pura-pura baik-baik saja padahal terlihat jelas dari wajahnya jika dia sedang tidak baik.

“Baiklah, kita beli ice cream. Kau mau yang di sebelah mana?”

“Tempat biasa.” Jungra berjalan lebih cepat, sedikit meninggalkanku di belakangnya.

Tunggu dulu. Tempat biasa? Maksudnya adalah tempat biasa aku dan dia beli ice cream semasa sekolah dulu? Jungra mengajakku ke sana? Ke tempat kenangan kami? Wah bahagia sekali rasanya.

Aku mempercepat langkahku, menyamakan dengan langkahnya. “Woho… Kau ingin bernostalgia ya?” Godaku.

Dia hanya tersenyum. Senyum yang misterius.

*

*

*

Jungra membuka mulutnya lebar saat pesanan yang kami—atau lebih tepatnya aku pesan telah datang. Tak heran, dia pasti terkejut.

“Ini pesanan kita?” Tanyanya heran.

Aku mengangguk sambil tersenyum.

“Kau yang memesan ini?”

Aku mengangguk lagi, masih dengan senyum merekah.

“Kim Taehyung, kau ini waras atau tidak sih? Kita hanya berdua dan kau memesan sebanyak ini?”

“Memangnya kenapa? Katamu ingin makan ice cream kan?”

“Iya, tapi tidak sebanyak ini juga. Kau ingin membuatku gendut?”

“Jangan salahkan aku. Tadi saat aku suruh memilih kau bilang terserah. Jadi aku belikan semuanya saja.”

Jungra menanggapinya dengan tatapan jengkel. Aku senang melihatnya. Daripada melihat Jungra murung, lebih baik melihat dia kesal seperti ini. Hihi.

“Kenapa diam saja? Ayo, dimakan sebelum mencair.”

Tak ada ucapan apa pun keluar dari mulut Jungra. Dia hanya menggeser satu cup ice cream mendekat padanya kemudian mulai melahapnya. Pilihannya masih sama seperti dulu. Matcha ice cream. Sebenarnya aku sudah hafal jika dia bilang ‘terserah’, maka yang akan dia pesan adalah rasa matcha karena biasanya dia memang memesan itu kecuali jika dia sedang ingin rasa lain, dia akan bilang. Tapi aku sengaja memesan banyak dengan berbagai rasa yang ada biar dia kesal.

“Enak?” Tanyaku saat dia melahap ice cream-nya dengan penuh semangat. Oh atau mungkin dengan terburu-buru.

Tak ada tanggapan.

“Biar kutebak. Selama berkencan dengan Yoongi Hyung, kau tak pernah diajak ke sini ya?”

Jungra menghentikan kegiatannya, kemudian menatapku. “Kau sudah tahu, kenapa bertanya?”

Aku hanya tersenyum. Kemudian ikut makan ice cream seperti Jungra.

*

*

*

“Tinggal satu cup. Untukmu saja.” Aku menawarkan satu cup ice cream yang sedang dalam ambang cair itu.

“Tidak. Untukmu saja. Aku sudah habis tiga cup. Aku tidak mau gendut.”

“Dan aku sudah habis empat cup, jadi ini untukmu. Aku sudah kenyang.”

Jungra menatapku tajam. “Makanya kalau pesan jangan banyak-banyak.” Pun dia meraih satu-satunya cup yang masih berisi, memasukkan ice cream yang mulai mencair itu ke dalam mulutnya secara perlahan. Terlihat sekali kalau dia sudah kenyang. Andai Jungkook ada di sini, kami pasti tidak akan susah-susah dalam kekenyangan seperti ini. Bocah itu pasti bersedia dengan sangat menjadi tempat pembuangan ice cream yang aku pesan.

“Kalau sudah kenyang tidak usah dimakan, biarkan saja.” Aku tak tega melihat Jungra yang kekenyangan.

Dia memberiku tatapan tapi bukan tatapan tajam. Aku tidak suka tatapannya yang seperti ini. Tatapan penuh misteri yang tak bisa aku pecahkan. “Kau tidak akan memakan ini, jadi aku harus memakannya. Aku tidak mau menyia-nyiakan makanan.”

Jungra memang selalu seperti itu. Walau porsi makannya sedikit, tapi dia selalu tidak bisa jika tidak menghabiskan makanan yang ada. Pedomannya adalah ‘harus bersyukur atas makanan yang ada’. Katanya, di luar sana banyak yang tidak bisa makan dengan layak. Jadi kita tidak boleh menyia-nyiakan makanan.

“Berikan padaku.” Aku meraih paksa cup ice cream Jungra. Belum sempat aku menyendok, dia sudah merebutnya lagi.

“Kau membenci vanilla, tidak perlu memaksakan diri.” Nadanya tak acuh, tapi jelas terselip perhatian. Hei hei hei, dia masih ingat jika aku membenci vanilla? Ya ampun, aku bahagia sekali.

Walau tidak tega membiarkannya kekenyangan seperti ini, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku memang tidak menyukai vanilla. Sangat tidak suka. Bisa-bisa aku mati jika harus memakannya. Jadi tidak apa-apa kan, untuk kali ini saja aku egois?

“Pasti berat ya?”

Eh, apanya yang berat?

Aku menatap Jungra penuh tanda tanya sementara dia menatapku dengan raut wajah penuh kesedihan.

“Kau pasti mengalami masa-masa sulit saat keinginanmu bertentangan dengan Ayahmu.”

Kenapa tiba-tiba membahas ini? Apakah ini yang mengganggu pikirannya sehingga membuatnya begitu sedih?

Iya, aku memang mengalami masa sulit waktu itu. Dan masa sulitku itu juga berdampak padanya. Dia juga mengalami masa sulit gara-gara aku. Apakah aku harus mengatakan padanya jika aku memutuskan hubungan gara-gara krisis mental yang aku alami waktu itu?

Mian.”

Kenapa sekarang justru minta maaf? Dia kenapa sih?

“Harusnya aku ada untukmu waktu itu. Harusnya aku memberimu dukungan.”

Jadi, dia merasa bersalah? Padahal dia tidak salah sama sekali.

“Kau tidak salah, harusnya aku yang meminta maaf. Aku sudah mencampakkanmu waktu itu. Jujur saja, aku sangat depresi waktu itu. Aku memutuskanmu setelah Appa memaksaku menuruti keinginannya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku tidak bisa memilih.” Akhirnya aku bercerita. Kepalaku menunduk, tak berani menatapnya.

“Jadi kau memutuskan hubungan gara-gara itu?”

Aku mengangguk. Ingin tahu seperti apa ekspresi wajah Jungra tapi aku belum berani menatapnya.

Mian.” Barulah aku berani menatapnya saat dia mengucapkan ‘maaf’ lagi. Kenapa harus meminta maaf terus?

“Harusnya aku mencari tahu kenapa kau seperti itu, bukannya malah membencimu. Maaf.”

Aku menggeleng. “Tidak, kau tidak perlu minta maaf. Aku yang salah. Harusnya aku bisa menyikapi dengan lebih bijak. Harusnya aku tidak mencampakkanmu begitu saja dan hanya fokus pada diriku sendiri. Maafkan aku.”

Aish, air matanya mulai mengalir. Aku tidak suka melihatnya seperti ini. “Kau pasti mengalami masa sulit waktu itu. Maafkan aku.”

“Jungra-ya, jangan menangis.” Aku meraih tangannya lalu aku genggam. “Jangan menyalahkan dirimu sendiri, kau sama sekali tidak bersalah. Dengar ya, itu semua gara-gara aku. Andai aku bisa mengendalikan diri, tidak akan terjadi seperti dulu.”

Dia semakin terisak. “Tetap saja aku—”

“Dengar,” Aku memotong kalimatnya sebelum bicara lebih lanjut. “Itu sudah berlalu. Tidak bisakah tidak dibahas?”

Jungra menatapku dengan kedua matanya yang basah. “Kau memaafkanku?” Tanyanya dengan suara parau.

Kenapa harus meminta maaf lagi sih?

Baiklah, aku memilih untuk mengangguk daripada dia terus-terusan meminta maaf.

Gomawo.” Ucapnya terdengar penuh kelegaan.

Aku melepaskan genggaman tanganku pada tangannya, kemudian tanganku beralih untuk mengusap air matanya. “Sudah ya, jangan menangis lagi. Kita bisa memulai dengan lebih baik, tak perlu memikirkan yang sudah berlalu.”

Taehyung POV End

TBC





___________
2019-03-25

Continue Reading

You'll Also Like

8.4M 519K 33
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...
380K 4.1K 83
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
722K 67.5K 50
{Rilis in :1 February 2021} [Fantasy Vampire series] Ivylina terjebak di sebuah Museum kuno di negara Rumania dan terkunci di kamar yang penuh dengan...
1M 83.4K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...