Orang Ketiga (TAMAT)

By VenniaLestari

1.7M 10.4K 607

Kami baru menikah sebulan lalu karena perjodohan. Dan suamiku baru saja mengatakan akan menikahi kekasihnya... More

Orang Ketiga - Bagian 1
Bagian 2
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 5

Bagian 3

150K 1.6K 52
By VenniaLestari

Happy reading 😁

Tepat pukul tujuh pagi Aku dan Adi telah bersiap menuju Bandung. Selesai sarapan bersama, Melati mengantar kami hingga ke teras.

"Hati-hati ya," pesannya pada kami dengan senyum yang tak pernah luput ia tampilkan.

Adi memeluknya erat. Seperti tak ingin berpisah dengan istri kesayangannya itu.

Aku? Tentu saja aku merasa sedikit kesal.

Melati mengurai pelukan mereka lebih dulu. Mungkin karena merasa tak enak dengan wajahku yang mulai cemberut.

"Kau juga hati-hati di rumah. Kabari aku segera kalau ada apa-apa," pesan Adi. Tangannya masih menggenggam jemari Melati.

Melati mengangguk patuh. Kemudian pandangannya beralih padaku, "Nye, titip Adi ya."

Aku sebal Melati mengatakan kalimat itu lagi. Seolah-olah aku ini baby sitter-nya Adi.

"Tergantung orangnya," jawabku. "Terakhir kamu bilang begitu waktu dia sakit. Nyatanya dia tak butuh bantuanku. Jadi kali ini, aku yakin dia juga tak butuh bantuanku, karena dia benar-benar sehat," ujarku menatap Adi kesal kala mengingat kejadian waktu itu.

Adi menatapku tak suka. Sementara Melati masih saja tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin heran atau apa dengan sikapku dengan Adi yang seperti bocah.

"Di ... ingat dia juga istrimu." Aku tersenyum getir mendengar kalimat itu.

"Hm."

"Ya sudah, sana berangkat. Kasihan Ibu sudah menunggu."

Aku dan Adi akhirnya berangkat menuju kota kembang. Kota di mana aku terlahir dan dibesarkan. Aku telah menghubungi bosku, meminta cuti dua hari untuk perjalanan ini.

Satu jam perjalan kami sama-sama terdiam. Aku menyibukkan diri dengan gawai digenggaman. Membuka sosmed, membalas pesan dari bosku dan Marta lalu beralih berselancar di youtube. Sesekali kulirik Adi yang fokus kejalanan.

Adi memang mempesona. Hidungnya tegak berdiri. Mata kecoklatan dengan alis tebal yang hampir menyatu. Badannya memang tidak six pack tapi cukup ideal. Bahunya yang lebar dengan bobot tubuh yang pas membuatnya terlihat maco. Setidaknya, begitu menurutku.

"Kenapa? Aku tampan ya," katanya penuh percaya diri. Ia menatapku sekilas lalu kembali fokus kejalanan.

Aku menghentikan aksiku memandanginya. Kualihkan kembali wajahku pada layar gawai tanpa membalas ucapannya.

"Kenapa diam saja?"

"Aku rasa, aku tidak perlu menjawabnya."

"Kau lapar?"

Aku menatapnya heran. "Tidak."

Kau tak perlu berpura-pura baik padaku.

"Nanti ... bersikaplah sewajarnya seperti seorang istri."

"Kau yang selama ini tak menganggap keberadaanku, Adi," tuduhku.

"Berhenti menyela saat aku sedang bicara, Anyelir. Tidak bisakah kau menjawab iya!"

"Tidak bisakah kau menganggapku sebagai istri sungguhan? Apa kau tahu rasanya berkali-kali diabaikan? Kau itu egois, Adi! Kau memperlakukan Melati begitu baik. Tapi denganku kau ...."

"Cukup!" Bentaknya lagi.

"Kau laki-laki tak berperasaan yang pernah kutemui. Aku semakin yakin akan mengurus perceraian kita."

"Jangan macam-macam kau!"

"Sebutkan alasan yang tepat untukku mempertahankan pernikahan bodoh ini." Aku menatapnya tajam.

"Setidaknya tunggu sampai Ibu pulih, Anyelir." Adi menoleh sekilas lalu kembali fokus ke jalanan.

"Baik. Selama aku menunggu aku akan kos sendiri. Sudah cukup rasanya aku menyaksikan keromantisan kalian."

Tak disangka, Adi tersenyum. Senyum mengejek lebih tepatnya.

"Kau cemburu?" tuduhnya.

"Cemburu terlalu mahal kulakukan untukmu. Aku hanya tidak suka diperlakukan berbeda."

"Kau tentu tau alasannya mengapa aku begini."

Aku tau ... Adi hanya mencintai Melati, namun tidak denganku.

"Baik. Aku pastikan kita akan bercerai secepatnya." Aku berkata penuh keyakinan.

Lagi, Adi tersenyum mengejek. "Lakukan sesukamu, tapi tunggu sampai Ibu benar-benar pulih."

Dua setengah jam perjalanan kami sampai di rumah Ibu mertuaku. Kami turun dengan membawa serta barang bawaan kami.

"Selamat siang A adi, Teh Anye." Teh Fitri, ART di rumah Ibu menyambut kami ramah.

Tangannya dengan cekatan mengambil alih barang bawaan kami. Membawanya masuk ke dalam.

Aku dan Adi bergegas memasuki kamar Ibu setelah mencuci tangan dan kaki.

Terlihat Ibu tengah berbaring dengan mata terpejam. Tangan kanannya terdapat selang infus. Di sampingnya Bapak tertidur dengan posisi duduk dengan kepala bersandar di kasur.

"Kenapa tidak dirawat di rumah sakit saja?" tanyaku pada Adi.

"Bapak maunya dirawat di rumah."

Bapak terbangun mendengar kedatangan kami. Berdiri dari duduknya, ia memeluk kami bergantian sembari tersenyum.

"Istirahat dulu. Kalian pasti lelah," kata Bapak yang kembali duduk di samping Ibu.

"Nanti. Mau lihat Ibu dulu, Pak."

Adi berdiri disamping Bapak lalu mencium kening Ibu lembut. "Maafkan Adi, Bu. Adi baru sempat kesini," ucapnya lirih.

Baru kali ini aku melihat wajah sedih Adi. Sisi lain dari Adi yang membuatku tersentuh tapi sama sekali tidak mempengaruhi keputusanku untuk berpisah darinya.

"Bapak sudah makan?"

Bapak menatapku sembari tersenyum kecil, "sudah, Neng," jawabnya pelan. "Neng istirahat dulu saja. Nanti kalau Ibu bangun, bisa kesini lagi."

Aku mengangguk patuh. Lalu meninggalkan kamar Ibu, menuju kamar di mana Teh Fitri meletakkan barang bawaanku. Tentu saja akan menjadi kamar tidurku dan Adi selama dua malam ke depan. Tidak mungkin juga kami tidur terpisah.

Aku memutuskan untuk tidur. Perjalanan 2,5 jam cukup membuatku merasa kelelahan. Belum lama rasanya aku terlelap, terdengar pintu dibuka oleh seseorang.

Enggan rasanya membuka mata, aku memilih melanjutkan tidur. Sampai aku merasakan seseorang mengguncang tubuhku. Kubuka mata perlahan dan mendapati sebuah wajah yang begitu ku kenal berada tepat di depan wajahku.

"Mau apa kau?" Aku terlonjak kaget. Duduk seketika dan menjauh darinya.

Adi berdecak dengan raut wajah masih tak bersahabat. "Tidur di sofa. Ini ranjangku."

Aku yang masih belum sepenuhnya sadar dari tidurku, mengerjap tak percaya dengan pendengaranku.

"Cepatlah, aku ingin istirahat. Tunggu apa lagi," usirnya lagi.

"Maksud kau--"

"Ck. Kau belum paham juga? Maksudku kau tidur di sofa sana." Adi mengarahkan dagunya pada sofa di dekat jendela. "Ini ranjangku, jadi yang berhak tidur di sini tentu saja aku."

Aku menatap tak percaya pada pria di depanku ini. Sungguh Adi benar-benar pria tak berperasaan. Baiklah, aku mengerti ia tak menginginkanku dihidupnya tapi bukan berarti ia menyuruhku tidur di sofa, sedangkan ia dengan nyaman tidur di ranjangnya.

Jika ia tak menganggapku sebagai istrinya, anggaplah aku sebagai seorang wanita yang mungkin akan merasa tidak nyaman jika harus tidur di sofa.

Aku memilih diam tak menanggapi ucapannya dan segera beranjak menuju sofa.

Dan tanpa bisa kutahan lagi. Butiran bening meluncur bebas dari sepasang mataku.

Iya ... selemah ini memang diriku.

💔

Aku menyuapi dengan telaten Ibu mertuaku. Beliau sudah lebih baik sekarang. Sudah bisa duduk dan berbicara meski kurang begitu jelas.

Adi duduk di bibir ranjang di bawah kaki Ibu. Memijatnya dengan lembut, sembari bercerita mengenai banyak hal. Tidak terkecuali sinetron kesukaan Ibu, Tukang Ojek Pengkolan. Aku memilih menjadi pendengar.

Kalau saja aku tak menyaksikan sendiri bagaimana lembutnya sikap Adi pada Ibu, pasti aku tak percaya jika orang lain mengatakannya.

Aku merasa Adi memiliki kepribadian ganda. Yang sewaktu-waktu sikapnya bisa berubah seketika.

Pukul sembilan malam, setelah makan malam dan salat Isya, kami memasuki kamar. Aku yang tau diri langsung saja duduk di sofa dan menyibukkan diri dengan gawaiku. Dan Adi kulihat tengah duduk dengan bersandar di kepala ranjang. Jemarinya sibuk menari-nari di layar gawainya dengan bibir yang selalu tersenyum.

Bisa kutebak, saat ini Adi sedang ber-chat ria dengan Melati.

Ingin rasanya aku menjerit. Meluapkan perasaan sakit yang coba kutahan selama ini. Tapi aku tak bisa. Ada orang tua yang harus kujaga perasaannya.

Akhirnya dengan tangan bergetar dan menahan tangis, ku unggah sebuah gambar ke akun sosmedku. Mengetikkan sebuah caption yang memang menggambarkan isi hatiku.


Memang sesakit ini rasanya diabaikan 😥

Setelahnya aku memilih meletakkan ponsel di nakas dan berbaring.

Berharap esok hari semua kesakitan ini akan menghilang.

💔

Aku terbangun pukul tiga pagi. Hawa dingin begitu menusuk hingga ke tulang, membuatku enggan melangkahkan kaki untuk mengambil wudhu.

Setelah berperang dengan diri sendiri, akhirnya dengan langkah berat, kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Melewati ranjang di mana Adi tertidur, sekilas kulirik pria itu yang tengah terlelap dengan memeluk guling. Dengkuran halus terdengar dipendengaranku.

Aku melanjutkan langkah ke kamar mandi. Gosok gigi, lalu mengambil wudhu.

Selesai salat aku bertadarus. Membaca surat Ar-Rahman membuat batinku gerimis.

"Fabiayyi alaa'i Rabbi kuma tikadziban"

Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kau dustakan?

Aku merasa tertampar. Masih sering mengeluh dengan kesulitan yang ku hadapi. Termasuk dengan sikap Adi padaku.

Haruskah aku bersyukur bersuamikan pria seperti Adi?

Meski ia selalu mengabaikanku, tapi kebutuhan lahirku selalu dipenuhinya dengan baik.

"Sodaqallahul'adzim." Kupeluk dan kuciami penuh syahdu mushaf ber-cover keemasan ini. Obat dari segala kegundahan, penawar dari segala kesulitan.

"Sudah bangun?"

Suara Adi menahan tanganku untuk membuka mukena. Aku menoleh, pria itu sudah duduk bersandar di kepala ranjang, tengah menatapku.

"Iya." Aku menjawab singkat.

Seketika aku ragu akan melepas mukena di depannya. Bukan apa-apa, karena sering diabaikan membuatku menganggap Adi seperti orang asing. Jadi, aku merasa enggan menampakkan kepalaku tanpa kerudung padanya.

"Belum selesai?" Adi bertanya dengan bingung. Mungkin karena melihatku yang justru melamun.

"Sudah."

"Kenapa tidak dilepas?"

Aku menggigit bibir bawahku. Bingung harus menjawab apa. Rasanya tak mungkin aku mebgatakan malu pada suamiku sendiri harus memperlihatkan kepalaku tanpa tertutupi kerudung.

"Itu ...."

"Malu karena ada aku?" tebaknya. Adi beranjak dari ranjang dan berjalan menghampiriku.

"Aku suamimu, bukan?" tegasnya saat sudah di depanku.

Aku menatapnya. Adi Hutomo Putra, ia tengah tersenyum kecil padaku.

"A--aku ...." Bibirku mendadak kaku untuk berkata-kata.

"Aku berhak melihatnya bukan?" tegasnya lagi.

Aku mencoba mengartikan perkataan Adi. Ah, mungkinkah ia sedang diselimuti gairah? Mendadak aku bergidik ngeri. Hampir setiap malam yang kutahu Adi melakukannya dengan Melati. Mungkinkah ia kini ingin melakukannya denganku karena tak ada Melati di sisinya?

"Atas nama agama dan atas nama pernikahan, kau memang berhak melihatku tanpa kerudung bahkan tanpa sehelai benang pun. Tapi itu hanya akan terjadi ketika kau menganggapku sebagai istri," kataku dengan tenang.

Adi meraup wajahnya kasar. "Ini masih terlalu pagi untuk berdebat, Anyelir."

"Kalau begitu tutup matamu atau keluar sebentar selama aku memakai kerudung," usirku.

Adi membelalakkan mata. Menggeleng pelan lalu hendak berbicara tapi aku menyela lebih dulu.

"Pergi."

Air muka Adi berubah kesal.
"Kau pikir aku tak bisa memasakmu melepaskan ini?" Adi berusaha melepaskan mukena dari kepalaku secara paksa.

"Adi ...." Aku mendesis kesal mencoba menahan tangan Adi yang dengan lancang berusaha melepas mukena yang tengah kupakai.

Adi mencengkeram kedua tanganku agar tak mengahalangi niatnya. Dengan sekali sentakan, mukena yang kekenakan terlepas dari kepalaku. Memperlihatkan rambut panjangku yang tergerai bebas.

PLAK!

Reflek aku menampar keras pipi sebelah kanan Adi.

"Lancang kau!" umpatku. Meski Adi suamiku, tapi aku tak terima dengan kelakuannya tadi.

Adi terlihat murka. Tangannya melayang diudara hendak menamparku balik, aku diam saja, menunggu. Jika tangan itu berhasil menyentuh pipiku, kupastikan hari ini juga akan menggugatnya cerai.

Diluar dugaanku, tangan Adi hanya berhenti di udara. Kedua tangannya mengepal erat.

"Percuma kau salat malam tapi kelakuanmu seperti ini," sindirnya. Berdiri dengan wajah memerah dan menatapku tajam.

"Kau sendiri yang membuatku semakin enggan bersikap baik padamu. Jadi, tunggu saja sampai Ibu pulih, akan kukabulkan permintaan ceraimu."

Adi berbalik dan meninggalkanku di kamar.

Sejenak aku menyesali perbuatanku. Aku telah lancang menamparnya. Padahal Adi berhak atas tubuhku. Tapi kemudian aku meyakinkan diri, bahwa aku tidak sepenuhnya bersalah. Adi yang lebih dulu mengabaikanku, bukan?

Jadi, aku berhak menolaknya untuk sekedar melihat rambutku, bahkan yang lebih dari itu.

.
.

Bersambung ...






Continue Reading

You'll Also Like

7.2M 352K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
1.5M 138K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
393K 22.1K 29
Mature Content ❗❗❗ Lima tahun seorang Kaia habiskan hidupnya sebagai pekerja malam di Las Vegas. Bukan tanpa alasan, ayahnya sendiri menjualnya kepad...
842K 80.3K 34
Lily, itu nama akrabnya. Lily Orelia Kenzie adalah seorang fashion designer muda yang sukses di negaranya. Hasil karyanya bahkan sudah menjadi langga...