ONCE (Titik Teduh) [Sudah Ter...

Door cappuc_cino

351K 34.6K 8.7K

[Novel Titik Teduh berubah judul menjadi Once. Sudah terbit serta beredar di Gramedia dan toko buku] Di hari... Meer

Titik Teduh #Prolog
Titik Teduh #1
Titik Teduh #2
Titik Teduh #3
Titik Teduh #4
Titik Teduh #5
Titik Teduh #6
Titik Teduh #7
Titik Teduh #8
Titik Teduh #9
Titik Teduh #10
Titik Teduh #11
Raja Pisang #1
Titik Teduh #12
Titik Teduh #13
Titik Teduh #14
Titik Teduh #15A
Titik Teduh #15B
Titik Teduh #16
Titik Teduh #17
Info Terbit

Titik Teduh #18

11.3K 1.6K 1K
Door cappuc_cino

Yeay!!! Udah update lagi aja. xD Berkat komen yang lumayan banjir di part kemarin, jadi update-nya semangat banget. *-*

Happy reading. Silakan tandain typo. *-*

***

Papa sedang meminum teh di meja makan saat Salena menuruni anak tangga. Sore ini Salena baru saja pulang dan berganti pakaian, dia ingin menemui Papa karena kemarin Papa bilang kalau malam ini beliau ditugaskan ke luar kota, NTT,  untuk meliput keadaan geografis di sana.

“Papa jadi berangkat malam ini?” tanya Salena. Dia menarik satu kursi dan duduk di hadapan Papa.

Papa menaruh cangkirnya, lalu mengangguk. “Selama Papa di sana, kamu bisa tinggal sama Mama. Nggak lama, cuma dua hari.” Beliau melirik jam tangan. “Kalau mau, Papa antar dulu kamu ke rumah Mama sekarang, biar kamu nggak sendirian di sini.”

Salena menggeleng. “Aku akan ke rumah Mama besok. Hari ini … aku mau lihat Papa berangkat.”

Papa tersenyum. “Papa janji akan cepat pulang.”

Salena mengangguk.

“Hanya tiga orang yang berangkat. Rencananya kami akan terbang ke sana dengan Eurocopter EC135,” jelas Papa.

“Oh, ya?” Salena biasanya tidak setertarik itu dengan cerita Papa tentang pekerjaannya.

“Biasanya kita akan menggunakan drone, kali ini kita juga memantau dari atas dengan helikopter.” Papa menceritakannya dengan antusias, berlanjut tentang pengalamannya meliput dari atas helikopter beberapa tahun yang lalu, berputar-putar mengelilingi pulau, memperhatikan detail geografis, flora dan fauna. Mata Papa tidak berhenti berbinar saat bicara, kentara sekali dia sangat menyukai pekerjaannya.

Suara bel terdengar. Kedatangan tamu di luar sana menghentikan cerita Papa, percakapan mereka. Salena berdiri, tapi Papa menahannya.

“Biar Papa saja.” Papa melangkah ke luar dari area ruang makan, dan setelah itu Papa tidak kembali lagi.

Salena penasaran dengan tamu yang baru saja datang. Itu pasti tamu untuk Papa, karena Papa akan memanggilnya untuk ke luar jika itu adalah teman Salena. Salena melangkah menuju ruang tamu, dan di sana dia melihat seorang wanita sedang berbicara pada Papa.

“Ya sudah, ini jaketnya dipakai ya, Bang. Hati-hati selama di sana.” Wanita itu bangkit dari duduknya, lalu sebelum melangkah ke luar rumah, dia memeluk Papa, menepuk-nepuk pundak Papa.

Saat wanita itu pergi, Papa melambaikan tangan, berteriak, “Hati-hati!” Kemudian beliau berbalik, melihat Salena yang berdiri, sedang menatap ke arahnya.

“Le?” Papa menghampiri Salena seraya menjinjing jaket pemberian wanita tadi. “Itu tadi ….”

Padahal Salena menunggu penjelasan Papa, tapi sekarang Papa malah diam, seperti kehilangan kata-kata.

“Sini.” Papa menarik tangan Salena, tapi Salena menepisnya pelan.

“Aku nggak tahu kalau selama ini Papa punya teman dekat. Perempuan.”

Papa tersenyum. “Le.”

“Ya?”

Papa mengusap wajahnya. “Oke. Papa harus siap-siap. Kita bicarakan ini nanti, sepulang Papa dari luar kota.” Papa berjalan melewati Salena.

“Kenapa sih Papa selalu kayak gini?” tanya Salena.

Papa berbalik. “Kenapa?”

“Kenapa sih Papa selalu bikin aku bertanya-tanya, senang ninggalin aku tanpa penjelasan. Dan ketika aku salah paham, Papa nggak pernah maksa aku buat percaya sama Papa.” Salena merasa dadanya sesak.

Tidak ada tanggapan dari Papa.

“Papa punya hak buat bicara, menjelaskan apa yang ingin Papa jelaskan. Papa juga punya hak untuk maksa aku percaya dengan apa yang Papa bilang, tapi Papa nggak pernah ngelakuin itu.” Salena mengucapkannya dengan suara tertahan. “Papa lebih senang pergi, dan ninggalin aku dengan segala asumsi yang aku punya.”

Papa mengangguk. “Oke, kalau gitu kita bicara.”

“Papa nggak pernah berubah. Dari dulu nggak pernah berubah. Papa lebih senang menghindar daripada menghadapi aku.”

“Saat itu kamu masih kecil,” gumam Papa.

“Kalau itu alasannya, harusnya Papa bisa membela diri di depan Mama. Nggak menyerah gitu aja ketika Mama minta bercerai.” Salena mengusap sudut matanya. “Pa, asal Papa tahu, saat Papa ninggalin kami—”

“Mama yang minta Papa pergi.”

Apa pun alasannya! “Saat itu Mama hancur,” gumam Salena. “Mama masih berharap Papa kembali, tapi Papa memilih ngikutin keinginan Mama. Papa pergi, tanpa pernah membela diri.”

“Karena Papa memang salah saat itu. Sangat salah, Le.”

“Aku tahu Papa salah. Tapi kenapa Papa nggak coba minta kesempatan?”

“Kamu nggak ngerti. Kesalahan Papa sangat fatal.”

“Tapi Mama masih butuh Papa. Begitu juga aku, Kak Kessa, Kak Odile.” Salena mengusap air matanya yang sudah berderai. “Selama ini Papa membiayai semua kebutuhan aku, Papa kirim kado setiap hari ulang tahun aku, Papa mengucapkan selamat setiap kenaikan kelas, tapi Papa nggak pernah memaksa aku untuk mau nemuin Papa.”

“Karena kamu selalu menolak, kan?”

“Tapi Papa punya hak untuk memaksa, kan?” Salena berjalan menuju anak tangga, melewati Papa. “Papa selalu mengalah. Membiarkan aku membenci Papa selama sepuluh tahun ini. Padahal, mungkin … aku nggak akan keberatan memaafkan Papa.” Salena menaiki anak tangga sembari menyusut air matanya berkali-kali, meninggalkan Papa yang masih berdiri di ruang tengah.

***

Salena masih duduk di meja belajar, mengunci diri di kamar. Dia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, lalu kembali menatap syal hitam di tangannya yang tidak sempat diberikan pada Papa.

Pukul delapan malam tadi, Papa mengetuk pintu kamarnya, memberitahu bahwa beliau akan segera berangkat. Namun, sampai mobil Papa ke luar dari carport dan pergi, Salena tidak kunjung keluar kamar, dia masih duduk, memainkan syal hitam yang tadinya akan diberikan pada Papa sebelum berangkat.

Salena sudah mengungkapkan semua perasaannya, tapi semuanya tidak berakhir dengan baik. Papa meninggalkan Salena dengan perasaan buruk, dan mungkin Papa juga pergi dengan perasaan yang sama.

Salena berdiri, menaruh syal di atas meja belajar. Dia melangkah menghampiri rantai lampu tidur pemberian Arghi. Tangannya menekan saklar di ujung lampu, berniat menyalakannya, tapi lampu itu tidak kunjung menyala. Salena mencobanya lagi, mematikan dan menyalakannya berkali-kali, tapi lampu itu tidak kunjung menyala.

“Habis baterai?” gumam Salena. “Tapi kan baru.”

Dia mendengkus, lalu kembali ke meja belajar untuk meraih ponselnya. Mengirimkan pesan untuk Arghi.

Salena Radeya : Ghi?

Pesannya tidak kunjung dibalas, jadi Salena kembali mengirim pesan.

Salena Radeya : Ghi, udah tidur?

Balasan pesan dari Arghi datang lima belas menit kemudian.

Arghi Antasena : Kalau gue tidur, siapa yang nemenin lo kalau lo tiba-tiba kangen gue kayak gini?

Salena Radeya : Apa, sih?

Arghi Antasena : Canda. Gue baru selesai mandi. Hehe.

Salena Radeya : Malem-malem gini?

Arghi Antasena : Gerah, habis ngerjain lampu putar untuk proyek KIR, ntar gue diomelin senior kalau kelamaan ngerjain.

Salena Radeya : Nggak lucu.

Arghi Antasena : Ada apa? Tumben nge-chat duluan.

Salena Radeya : Lampu tidur dari lo nggak nyala. Kenapa, ya?

Arghi Antasena : Masa, sih? Coba matiin, terus hidupin lagi.

Salena Radeya : Udah gue coba, tetap nggak bisa.

Arghi Antasena : Ya udah, nanti gue ke sana.

Salena Radeya : Nanti?

Arghi Antasena : Sepuluh menit.

Salena Radeya : Rumah sebelahan, minta waktu sepuluh menit?

Arghi Antasena : Kan gue bilang, gue baru selesai mandi, harus pake baju dulu. Kecuali lo nggak keberatan lihat gue telanjang. :)

Salena hanya berdecak, menaruh ponselnya ke atas meja belajar dan tidak berniat membalas pesan dari Arghi.

Setelah itu, Arghi datang menepati janjinya, tepat sepuluh menit kemudian. Salena membawa lampu tidur pemberiannya ke teras rumah, karena Arghi sudah duduk di tepi teras bersama satu kotak peralatan yang dibawanya. Dia mengeluarkan obeng dari kotak tersebut, lalu mulai membuka saklar lampu.

Salena duduk di samping Arghi, ikut memperhatikan.

“Pantes mati, sambungan kabel ke saklarnya putus,” jelas Arghi seraya meraih gunting dari dalam kotak, menggunting kabel, lalu melanjutkan pekerjaannya.

“Tadi sore … gue berantem sama Papa,” aku Salena.

Arghi menghentikan pekerjaannya, dia menatap Salena. “Berantem?”

“Bukan berantem, sih. Gue yang marah-marah.” Salen mengembuskan napas berat, lalu menunduk untuk menatap ujung kakinya.

Arghi tersenyum, tangannya mengusap kepala Salena. “Marah-marah mulu, nanti cepet tua,” candanya.

Wajah Salena berubah muram, dan sepertinya Arghi menyadari hal itu.

“Nggak apa-apa kok kalau lo mau marah. Kan, bagus, semua perasaan lo bisa tersampaikan. Tapi …, harus ada solusi kalau habis marah-marah, harus minta maaf juga biar masalahnya selesai,” ujar Arghi. “Udah?”

Salena menggeleng. “Belum. Papa ada tugas ke luar kota, berangkat jam delapan malem tadi,” jawabnya. “Waktu Papa pergi, gue masih kesel.”

Arghi mengangguk. “Kalau gitu lo bisa minta maaf lewat telepon.”

“Tapi sekarang juga gue masih kesel.”

Arghi tersenyum. “Cewek keselnya lama, ya?”

“Nggak akan lama, kalau cowoknya bisa maksa buat baikan, mau ngerayu, mau ngelakuin apa pun biar dimaafin.” Dan Papa nggak pernah setotal itu.

“Yang barusan itu kode, ya?” tanya Arghi.

Salena mendorong lengan Arghi, dan Arghi hanya terkekeh. “Kalau lo, gimana?” tanya Salena.

Arghi mengernyit. “Apanya?”

“Ya, lo tipe yang kayak gimana, kalau ada cewek yang ngambek sama lo?”

Arghi tidak langsung menjawab. Dia bergumam, tatapannya menerawang ke atas. “Lo kan tahu gue ini orangnya gigih banget. Kalau misalnya ada cewek ngambek ya gue minta maaf lah, sampai dimaafin.”

“Kalau ceweknya nggak mau maafin, terus nyuruh lo pergi?”

“Gue peluk lah,” jawab Arghi enteng.

Salena mengernyit. “Peluk?”

“Iya. Sambil gue kasih HP, terus bilang, 'Kamu pengin apa? Nih, pilih sendiri di Shopee’.”

“Arghi!” Salena memukul lengan Arghi. “Nggak pernah serius! Heran.”

Arghi tertawa, kemudian melanjutkan lagi pekerjaannya. “Ya lagian, nanya kayak gitu. Kan, tergantung situasi, Le. Yang ngambeknya siapa, ngambeknya gara-gara apa, masalahnya seserius apa, baru gue bisa nentuin apa yang harus gue lakuin ke depannya.”

“Kalau gue yang ngambek?” tanya Salena, iseng. Dia sedang ingin mendapat hiburan, mengharapkan respons tak terduga dari Arghi, ucapannya yang menggoda atau candaannya yang selalu membuat Salena sulit menahan tawa.

Namun, Arghi sama sekali tidak menoleh, dia tetap sibuk dengan pekerjaannya. Satu tangannya memegang saklar—memperhatikannya, sementara tangan yang lain meraih tangan Salena, menyelipkan semua jemarinya di antara jemari Salena. “Gue selalu berusaha untuk nggak bikin lo ngambek, sih.  Jadi lo jangan ngambek. Bisa?” ujarnya dengan suara pelan.

Salena bisa merasakan permohonan dari jemari Arghi, membuatnya bingung, kenapa Arghi selalu bisa menyampaikan maksud hatinya dengan begitu baik?

Dan sekarang, Salena mendekat, mencondongkan tubuh ke arah Arghi, menyimpan dagunya di pundak Arghi, melihat apa yang dikerjakan laki-laki itu dari balik bahunya.

***

Kalau di dunia nyata, ada cowok macem Arghi, mau dijadiin apa?


Dan ya. Kebersamaan kalian dengan Arghi harus terhenti sampai di sini. Huhu. Tapiii ... Arghi sudah bisa dipesan, sudah bisa kalian peouk wujud aslinya nihhhh. Silakan ikut PO nya yaaaaa.


Dan ini adalah daftar toko buku inline yang membuka PO Novel Titik Teduh atau Once.





SELAMAT IKUT PO! SELAMAT MEMELUK JIJI❤️❤️❤️

Follow ig: citra.novy

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

6.2M 265K 58
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
816K 30K 50
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
5.6M 376K 68
#FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠️ Kisah Arthur Renaldi Agatha sang malaikat berkedok iblis, Raja legendaris dalam mitologi Britania Raya. Berawal dari t...
36.8K 3.3K 13
[ SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU! ] Satu permainan mudah, jangka waktu enam bulan, delapan orang pemain, dan delapan orang lain sebagai target untuk did...