KALI KEDUA ✔ SELESAI

By hisanorano

25.2K 2K 447

Killendra Khalandara menginginkan Langit Aksara di kali kedua nya setelah sebelumnya harus merelakan cowok it... More

Sapa
0. Mereka Yang Berkisah
2. Kebenaran Terpendam
3. Mengalihkan Kekecewaan
4. Seperti Seharusnya
5. Terusik Memori
6. Dia Yang Gundah
7. Kembalinya Seseorang
8. Diburu Kisah Lalu
9. Tak Pernah Padam
10. Manusiawinya Manusia
11. Logika Rasa
12. Sebuah Perasaan
13. Terluka Rasa
14. Tersesat Mengenalimu
15. Tempat Kita Pulang
16. Berharap Tak Berharap
17. Sebab Hati Bisa Goyah
18. Masih Belum Usai
19. (Tidak) Baik-Baik Saja
20. Bukan Karena Sanggup
21. Kita Yang Membuatnya Rumit
22. Hanya Takut Lenyap
23. Melupa Luka
24. Sekedar Angan-Angan
25. Teryakinkan Angan Nyata
26. Pada Yang Seharusnya
27. Luka Ingatan
28. Kepingan Kisah Lalu
29. Lebih Dari Indah
30. Terbaik Bagimu
31. Biar Waktu Yang Relakan
Pamit (Remembering)
D A M A S T Y
Dari Langit

1. Sepasang Separuh Rasa

922 66 5
By hisanorano














2019



***


"Watdepak! Kaget gua nyet!"

Buru-buru Ery menaruh kembali ponsel Langit ke atas meja setelah bunyi berisik sebanyak 10 kali membuyarkan konsentrasinya yang tengah bermain game dan memaksa dia untuk meraih benda pipih itu berniat menjawab telfon yang masuk sebelum kekagetan melandanya.

"Elu ye, pacar sendiri dikasih nama killer pake segala gambarnya tengkorak. Sehat lu?"

Ery lalu meraih kembali hp Langit dan melemparkannya pada si empunya yang baru saja masuk ke dalam sekre himpunan tambang bersama Wafi di belakangnya.

"Si monyet itu kan nomernya Kala." Ucap Wafi yang mengintip di balik punggung Langit.

"Hafal lo nomer cewek gue?"

"Gimana gak hafal tiap kali gue pinjem hp lo pasti tiap lima menit sekali ada yang nelfon ada yang ngechat, begituan semua isinya. Killer killer killer, pas cek nomer itu di kontak gue ternyata nomernya Kala."

Langit terkekeh lalu memilih kembali meletakkan ponselnya di atas meja di samping laptop Ery sementara ia sendiri sudah merebahkan tubuhnya di sofa.

"Eh gue liat PR geostatistik dong Ry. Nomer satu gak ngerti."

Wafi mengeluarkan sebuah buku Sidu dari balik kaos hitam yang dipakainya juga sebuah ballpoint dari saku jeans nya sebelum menarik kursi plastik untuk duduk di hadapan Ery.

"Anjing itu buku apa bungkus gorengan dah? Pulpen warna merah, lu masih anak kuliahan bukan dosen pembimbing."

"Bawel ah. Mana cepet liat."

Ery lalu merogoh tas nya dan mengeluarkan bundelan hvs yang lalu ia serahkan pada Wafi.

"Etapi itu gua nomer 10 nya belom."

"Bahkan gue jadi males ngerjain karena nomer 1 aja udah susah. Bete."

"Teladan emang anak bapak Nuraga."

"Eh diketik emang?"

"Iya badrul."

"Ah tai. Gue kira ditulis tangan."

"Yeu elah mangkanya di kelas tuh jan molor mulu."

"Buat kapan si ini PR?"

"Besok." Jawab Ery sambil fokus ke layar laptopnya lagi.

"Lo udah Lang?" Wafi melirik ke arah Langit yang tengah membuka bungkus bengbeng.

"Udah dikumpulin."

"ANJAAAYYY." Ucap Ery dan Wafi kompak.

"Kalo hari itu bisa dituntasin kenapa hari itu gak sekalian dikumpulin?"

Kress kress...

Langit mengunyah bengbeng nya santai.

"Lu lagi ngiklan bengbeng apa begimana?"

"Hahaha."

"Iya tau yang pinter yang cakep yang jadi kesayangan dosen." Wafi nyinyir sebelum sebuah ide jenius muncul di otaknya yang biasa saja.

Iya, kata Wafi otaknya biasa saja padahal dia termasuk pintar cuma tidur memang di atas segalanya bagi dia.

Kalau Ery dia juga sama pintarnya cuma kerecehannya kadang mengalahkan kepintarannya.

Kalau Langit, "Pintar nya bikin sakit hati." begitu kata Ery dan Wafi.

Bukan, bukan karena Langit pelit atau suka pura-pura budek pas ujian, cowok itu malah dengan senang hati membocorkan jawabannya, yang membuat Wafi dan Ery sakit hati adalah keliatannya Langit sama sekali bodo amat dengan tugas, PR, dan bahkan ketika dosen menjelaskan di kelas tapi begitu ditanya bisa ngejawab dan jawabannya benar atau begitu ada tugas udah ngumpulin sebelum disuruh.

Tipe-tipe teman yang bilang, "Duh gak bisa." tau-tau dapet A.

Kan tai.

"Eh, copas lah punya lo. Masih lo simpen kan file nya?" Wafi menggeser kursinya pada Langit.

"Anjing penghianat lu!"

"Anjing kan gue berkhianat juga demi lo, kata lo nomer 10 belom kan?"

"Nomer 10 ampe 20. Hehe."

"Anjing tolol. Haha."

Ery nyengir tanpa suara.

"Satu jawaban satu nomer cewek."

"Aduh gusti, cewek mulu ya lu."

"Nah ini, tau punya temen brengsyek kayak lo jadinya gue udah mempersiapkan segalanya. Hahaha."

Tawa kencang Wafi dibarenginya dengan menyodorkan ponselnya pada Langit.

"Mohon bantuannya nyet."

Seketika Langit bangkit duduk bersila setelah berhasil meraih ponsel Wafi dan mulai mencari-cari mangsa baru.

"Di tas, di flashdisk." Ucapnya sambil masih berfokus pada layar ponsel Wafi sementara dengan cepat Wafi berjalan menuju lemari dan tidak kalah cepat berhasil menemukan flashdisk itu.

"Jan bilang lo mau pinjem laptop gua? Gua lagi maen badrul!"

"Paus dulu lah paus. Demi nilai nyet!"

"Oiya bener juga, ya udin."

Dan jadilah Wafi duduk di sebelah Ery sementara Ery mengalihkan fokusnya pada ponsel Langit yang kembali berdering.

"Aduh itu tengkoraknya nyet, gua takut. Angkat dah mending."

"Biarin aja. Ntar kalo capek berhenti sendiri."

"Yeu elah. Serah dah."

Tadinya Ery berniat mengabaikan panggilan telfon itu seperti apa kata Langit, tetapi ia tidak cukup tega dan pada akhirnya memutuskan untuk mengangkat telfon itu.

"Halo!" Ucapnya cepat lalu menjauhkan ponsel itu dari telinganya.

Hafal betul kelakuan pacar sahabatnya itu yang kalau telfonnya telat diangkat atau diabaikan pastilah bom suara yang muncul pertama kali.

Tetapi kemudian...

"Halo, Langit?"

Sebuah suara lembut membuat dahi Ery mengerut dan mulai mendekatkan ponsel Langit pada telinganya.

"Ini Kala?"

"Eh bukan, ini Citra temennya Kala."

"Lang, Lang," Ery memajukan sedikit badannya untuk berbisik pada Langit.

"Ini bukan si Kala, temennya."

"Ha?"

"Citra namanya."

Begitu mendengar nama Citra, Langit langsung meraih ponselnya dari Ery.

"Iya Cit, kenapa?"

"Kala di sana gak?"

"Kala? Gak ada. Bukannya kalian ada kelas?"

"Nah itu dia, pas gue balik dari toilet Kala tiba-tiba gak ada di kelas cuma ada hp nya doang. Mana bentar lagi ada kuis lagi."

Cukup lama Langit terdiam sambil berfikir.

"Lagi ngelabrak maba mene kali. Lo udah cek?"

Mene itu kependekan dari manejemen.

"Udah dan gak ada keributan di gedung mene."

Langit terdiam lagi sebelum kemudian sebuah nama muncul di otaknya.

"Biar gue cari."

"Oke. Tolong ya, kalo ketemu bilangin suruh cepetan balik ke gedung, kuis medusa bentar lagi di mulai."

"Haha. Oke."

"Sape tu? Suaranya lembut banget kek pantat bayi."

"Cabut bentar."

Mengabaikan pertanyaan Ery, Langit bangkit lalu berjalan keluar.

"Anjing gua dikacangin."

"Eh Waf, Citra sape sih?" Ery lalu menggeser duduknya mendekat ke arah Wafi yang masih mengotak-atik laptop miliknya.

"Lah lo gak tau? Satpam rumah kita aja tau."

"Hah? Demi?"

Wafi mengangguk lalu dengan kurang ajarnya berucap,

"Citra kan yang iklan di TV itu kan."

"Yeu badrul!"

Ery lalu bangkit dan berjalan keluar meninggalkan Wafi yang tengah menggaruk lehernya dengan ekspresi yang antara memang bego atau terlalu bego.











***

"Lisa! Lisa! Tugas buku himpunan udah belom?"

"Eh iya ada tugas!"

"Lisa liat dong!"

"Gue juga dong!"

"Lisa cantik, gue juga ya ya ya?"

Cewek berambut coklat kemerahan itu hanya duduk tersenyum sedikit kaget ketika teman perempuan dan teman laki-laki nya tiba-tiba mengerubunginya yang tengah berada di kantin tambang khusus maba alias mahasiswa baru.

"Em, kenapa ke gue ya?"

"Ih lo kan deket sama kak Langit!" Ucap salah seorang dari mereka.

"Gue?"

"Iya lah lo! Siapa lagi coba yang bisa digendong sama kak Langit sampe ditungguin di UKS? Cieee."

"Gila, keajaiban tau kak Langit baik ke maba! Biasanya dia dingin dan terkesan benci sama maba kayak kita. Tapi lo pengecualian kayaknya."

"Pengecualian? Maksudnya?"

"Ya pengecualian karena lo tuh cantik! Siapa tau kak Langit lagi pedekate sama lo."

"Atau gak lo tuh calon mangsa baru nya!" Serobot seorang cowok yang tiba-tiba duduk di hadapan Lisa.

"Mangsa? Apaa deh. Haha." Lisa tertawa pelan.

"Tau nih! Dateng-dateng bahasa lo kayak begitu."

"Gue ngomong fakta."

"Bilang aja lo sirik kan sama kak Langit?" Pemuda itu terdiam tampak kesal.

"Udah-udah, kalian semua boleh liat tugas buku himpunan punya gue."

"Widih thank's!"

Lalu terpecahlah menjadi dua kubu, satu kubu yang tengah sibuk menyalin tugas di meja samping dan dua kubu Lisa yang masih duduk berhadapan dengan cowok itu.

"Ada sesuatu di muka gue?"

"Hah?"

"Ngeliatin gue sampe segitunya. Haha."

"Bukan!" Cowok itu terkekeh setengah tersipu karena tertangkap basah.

"Eh tapi gue serius Lis."

"Serius soal?"

"Langit. Gue juga tau lo pasti udah denger kan gimana dia? Dia itu player. Mending lo jauh-jauh deh dari dia. Waktu dia nolongin lo itu cuma awalnya aja. Pasti niat dia ujung-ujungnya ke sana."

"Ke sana?"

Cowok itu mengangguk mantap sebelum kembali berucap dengan menggebu-gebu.

"He will use you as he pleases and then throw you away as he pleases, just like trash. Like what he had done with many other girls."

"Is it true? But it seems like he's not that bad."

"You just don't know yet. Because all the girls who have been hurt by him can't do anything."

"Do you know why?"

Lisa menggeleng pelan.

"Because he is too perfect."

"Oh."

"Oh doang?"

"Haha. Ya abisnya gue harus gimana dong? Gue gak nyangka bakalan pingsan terus gak tau juga kalo kak Langit yang bakalan nolongin gue. Jadi itu cuma kebetulan gak lebih."

"Semoga ucapan lo bener deh, itu cuma kebetulan dan gak lebih. Soalnya selain Langit itu player dia juga punya pawang yang super galak. Lo mungkin juga udah pernah denger."

"Pawang?"

Cowok itu mengangguk sebelum menunjuk-nunjuk ke arah selasar menuju kantin yang membuat Lisa mau tak mau memfokuskan pandangan matanya ke arah yang sama.

"Itu dia pawangnya Langit. Kak Kala anak Bisnis Manajemen." Bisiknya ketika sesaat kemudian Kala sudah berdiri di samping Lisa sambil melipat kedua tangannya di dada.

"Lo gak ada kelas lagi kan?" Tanya Kala langsung.

Lisa menggeleng pelan, "Gak ada."

"Ikut gue."

Lalu Lisa mengangguk, berdiri dari duduknya dan mengikuti Kala dari belakang bersama dengan puluhan pasang mata yang tadi terlihat diam saja sekarang malah memantau dengan penuh keingintahuan.

"Mampus si Lisa! Belom apa-apa udah di lahap nenek lampir."

"Menurut lo bakalan diapain?"

"Dimaki."

"Jambak."

"Tampar."

Dan masih banyak lagi sampai kemudian sosok keduanya sudah tak terlihat digantikan dengan Langit yang tiba-tiba sudah berada di sana.

"Lo semua tau Lisa di mana?" Para cewek malah diam dan hanya menggeleng manja dengan shining love emoticon di kedua mata.

Sementara para cowok juga menggeleng sambil berkhayal kapan akan punya badan sebagus badan Langit.

Hingga kemudian cowok yang tadi duduk di hadapan Lisa bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Langit.

"Tadi Lisa di sini cuma abis itu dajak pergi sama kak Kala."

"Oke. Thank's."

"Emang dia tau Lisa di bawa kemana?" Ucap cowok itu pelan ketika Langit dengan langkahnya yang besar berlalu begitu saja meninggalkan kantin.

"Mau kemana sih? Gak usah terlalu jauh. Toh yang lain gak bakalan ngeliatin juga."

Kala seketika menghentikan langkahnya kemudian berbalik menatap Lisa yang sudah menyandarkan punggungnya ke tembok belakang gedung FTTM.

Lalu tanpa di duga cewek itu mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya, mengambilnya sebatang, menyelipkan rokok itu di antara bibirnya dan bersiap menyalakan pemantik api ketika dengan cepat Kala melangkah ke arahnya dan menyambar pemantik juga rokok itu.

"Apaan sih lo? Balikin."

"Gak! Ini bukan smooking area."

Lalu begitu saja Kala membuang rokok dan pemantik itu ke tempat sampah.

"Gue ngajak lo kesini bukan buat dicemari sama asap rokok lo, tapi buat ngomong."

Lisa terkekeh,

"Jauhin Langit."

Lalu sepasang matanya menatap Kala tajam.

"Langit gak cocok buat lo." Ucap Kala tegas.

"Kenapa gue harus nurutin ucapan lo?"

"Karena gue ceweknya Langit. Udah seharusnya lo nurutin gue."

"Haha. Lo fikir gue gak tau?"

Kala mengepalkan tangannya ketika Lisa bergerak mendekat padanya.

"You're just a painting on display for him."

"LISA!"

"JANGAN TERIAK KE GUE!"

Bukkk!

Kala tidak sempat menghindar ketika kedua tangan Lisa mendorong bahunya cukup keras hingga punggungnya menabrak tembok di belakangnya.

"You have no right to shout at me, bitch." Bisiknya pelan untuk kemudian menyeringai pada Kala.

Sebenarnya tangan Kala sudah gatal untuk menjambak rambut yang menurutnya mirip rambut jagung itu juga sudah bersiap untuk menampar mulut pedas yang pedasnya seperti level pedas seblak kesukaannya. Tapi entah bagaimana hatinya tanpa diduga memaksanya untuk tidak melakukan hal itu.

Sebagai gantinya Kala berdeham lalu bergantian mendorong bahu Lisa hingga punggung cewek itu bersandar kembali ke tembok.

"Pokoknya gue gak mau tau, jauh-jauh dari Langit!"

"Kalo gue gak mau?"

"Ya gue bakalan terus bilangin lo buat jauhin Langit. Lo pikir gue bakalan nyerah gitu aja?"

"Haha. Ternyata bener ya, lo itu pawangnya Langit."

"Jaga ucapan lo! Langit itu senior lo!"

"Kasih gue alesan kenapa gue harus jauhin pacar lo itu."

Kala terdiam, mengigit bibir bawahnya kaku sementara matanya masih bertatapan dengan mata Lisa.

"Dia gak cocok buat lo! Lo juga gak cocok buat dia."

"Siapa tau? Gue sama Langit kan belom mulai."

"Jangan ada niatan buat memulai, Lisa."

"Kenapa? Lo takut gue disakitin? Haha. Emangnya lo siapa?"

"Don't act like you care about me."

"Indeed!"

Untuk sesaat keduanya terdiam.

Saling menatap lagi dengan mata yang berkaca-kaca.

Hingga kemudian Lisa berdecak sebelum memalingkan wajahnya ke samping.

"Pokoknya jauhin Langit. Terserah lo mau bilang gue sok peduli atau apapun."

"Yang jelas gue gak mau liat lo berdua sakit,"

"Terutama Langit. Gue gak mau dia disakitin."

Lisa terdiam menatap Kala yang sudah berbalik memunggunginya untuk mengusap air mata cewek itu yang pada akhirnya jatuh juga.

Kemudian ponsel Lisa bergetar dan setelah mengangkat telfon itu ia berjalan meninggalkan Kala setelah sempat terdiam sebentar, tidak menoleh hanya mengepalkan tangannya kesal sebelum kembali berjalan.

Dan begitu Kala berbalik kepalanya menabrak dada bidang Langit yang sudah berdiri menjulang di hadapannya.

"Ah aduh! Sialan!" Pekik Kala sambil mengusap keningnya.

"Sialan sialan. Harusnya lo bersyukur yang lo tabrak dada gue bukan tembok. Kalo tembok dahi lo yang jenong itu bisa berdarah."

"Dahi gue gak jenong ya!"

"Lebar deh."

"Ih!"

Kala lalu mendorong pelan dada Langit menjauh.

"Ngapain lo di sini?" Ucapnya mendongak menatap Langit yang juga menatapnya.

"Iseng."

"Bilang aja lo stalking gue ya?" Wajahnya yang tadi serius berubah jahil sambil mengedip-ngedipkan sebelah matanya pada Langit.

"Gue tadi liat Lisa jalan keluar dari sini."

"Hah? L-lo dari tadi di sini?"

"Gak lah."

"Hoh. Syukur deh." Kala mengusap dadanya tenang.

"Lega banget lo. Takut ketauan kalah sama maba ya?"

"Maksud lo?"

"Itu tadi gue liat Lisa biasa aja. Rambutnya rapi, giginya masih ada, pasti lo gagal ya ngelabrak dia?"

"Sembarangan. Emang gue sebrutal itu apa?"

Langit terkekeh.

"Cieee kalah sama maba."

"Langit diem!"

Kemudian Langit benar-benar diam, menatap Kala dalam hingga cewek itu salah tingkah.

"K-kenapa deh."

"Maskara lo luntur."

"HAH MASA?!"

Seketika Kala menunduk, mengusap-usap sekitar pipinya sambil menggerutu.

"Aduh malu banget gue! Kenapa harus luntur maskara di depan Langit sih?"

Lalu tangannya merogoh-rogoh saku celananya, mencari kaca yang biasa dia bawa dan sayangnya Kala ingat dia tadi menaruh kaca itu di meja di kelasnya. Membuatnya kemudian mendongak mulai mencari-cari keberadaan kaca terdekat tapi sayangnya hanya tembok yang ada di sana.

"Nih."

"Hah?"

Ketika Kala menengok ke arah Langit, cowok itu sudah mendekatkan wajahnya sambil menunduk untuk menyeimbangkan tingginya dengan tinggi Kala.

Awalnya Kala bingung tapi ketika Langit dengan sengaja melebarkan kedua matanya Kala mengerti. Ia lalu mendekat dan melihat dirinya sendiri pada sepasang mata bening Langit.

"Dih beneran luntur!"

"Kan udah gue bilangin."

"Mahal nih padahal."

"Mahal gak selalu berarti bagus kan."

"Jangan ngedip."

"Ya buruan. Lo pikir gak capek?"

"Ada tisu gak?"

"Gak ada."

Melihat Kala yang kembali mencari-cari Langit lalu bergerak maju lebih dekat pada Kala.

"Pake kaos gue."

"Boleh emang?"

"Lo gak bakalan berhenti nyari sebelum maskara lo kehapus dan selama itu gue harus nahan buat gak ngedip. Menurut lo?"

"Hehe."

"Buruan Kal!"

"Iya!"

Lalu begitu saja Kala menarik bagian depan kaos Langit lalu ia gunakan untuk menghapus maskara yang luntur di sekitar mata dan pipinya.

"Makasih."

"Item banget!" Langit menunduk menatap kaos putihnya yang terdapat noda hitam di tengah-tengahnya.

"Hehe." Cengenges Kala sambil ikut melihat ke arah kaos putih Langit.

"Eh iya, kenapa lo gak bawa hp? Citra tadi nelfon gue, gue kira lo."

"CITRA!" Pekik Kala keras membuat Langit otomatis menutup kedua telinganya.

"Itu pita suara lo sehat?"

"Langit! Telfon Citra lagi dong! Gue ada kuis hari ini. Aduh kan! Gara-gara lo sih!"

"Kenapa jadi gue?"

"Ya lo lah! Siapa lagi emang yang kemaren meluk-meluk Lisa mesra banget terus berduaan di UKS sampe bikin gue ada di sini sekarang?"

"Mesra apanya, gue cuma gendong dia karena dia pingsan, ga meluk. Terus kebetulan aja panitia yang lain lagi tugas semua jadi gue yang jagain dia di UKS."

"Ya bisa kan orang lain aja yang gendongnya jangan elo? Terus lo juga nungguinnya gak usah di dalem banget bisa kan?"

"Ck. Drama lagi drama."

"Ah udah deh! Telfon Citra sekarang cepet!"

"Iya-iya, berisik."

"Eh tapi bentar."

Kala menahan tangan Langit yang sudah akan meraih ponselnya.

"Apalagi?"

"Jangan telfon deh, chat aja. Takutnya kuis nya udah mulai."

"Ya udah."

"Eh bentar!"

"Jadi gak nih?"

"Telfon aja. Ke nomer gue tapi."

"Ck."

Setelah beberapa saat terdengar suara seseorang di sebrang sana, bukan Citra melainkan seorang cowok yang suaranya begitu Langit kenal.

"Lah?"

"Elu ye, cewek lu nih ngasih nama di kontak lo 'Langitku pake lope'. Lah elu, 'Killer' gambar tengkorak."

"Kok hp Kala di lo?"

"Ini tadi si Citra-Citra itu dateng ke sekre, nyariin lo tapi lo nya gak ada terus nitipin hp Kala ke gue."

"Apa katanya?" Kala menginterupsi yang kemudian membuat Langit membiarkan cewek itu mengambil alih ponselnya.

"Halo Cit?"

"Ini Ery bukan Citra."

"Loh kok malah lo bukan Citra?"

"Ini tadi dia ke sini, nitipin hp lo ke gue. Katanya kuisnya mau di mulai terus dia udah minta ijin buat lo gak ikutan kuis, lo lagi sakit perut, gitu. Terus katanya lo gak usah balik lagi ke gedung, bisa gawat kalo si Medusa tau."

"Ah, iya juga ya. Itu medusa kalo gak ikutan kuisnya dia tapi terus masuk kelas dosen lain suka nyinyir."

"Eh emang di SBM ada dosen namanya medusa?"

"Ada. Mau gue kenalin? Masih perawan."

"Amit-amit punya satu aja udah cukup buat gua. Ya udah cepetan ambil nih hp lo, bentar lagi gua ada kelas."

"Oke. Makasih Ry!"

"Iye."

Kala lalu mengembalikan ponsel Langit.

"Lo katanya bentar lagi ada kelas. Ayo cepetan, gue sambil mau bawa hp gue." Kala berucap sambil berjalan mendahului Langit tetapi kemudian langkahnya terhenti ketika Langit menahan tangannya.

"Gue mau skip kelas hari ini."

"Dih, kok mapres skip kelas sih?"

"Kelasnya bikin bosen, cuma cuap-cuap dari text book. Baca sendiri bisa."

"Oh. Ya terus lo mau kemana?"

"Ngelakuin sesuatu yang gak ngebosenin."

"Apa?"

"Godain lo."

"Hah?"

"Cieee yang kalah sama maba. Cieee yang gak berhasil ngelabrak Lisa. Cieee."

"Sialan! Diem lo!"

"Cieee yang kalah cieee yang-"

"LANGIT!!"

Bahkan ketika Kala memukul-mukul bahu Langit cukup keras cowok itu tetap menggodanya sambil sesekali menjulurkan lidahnya jahil.

Dan ketika Kala bersiap untuk membuka sepatu nya Langit sudah berlari sambil masih menggodanya. Membuat Kala kemudian ikut berlari mengejar Langit tanpa peduli puluhan pasang mata yang kembali memperhatikan mereka ketika berlarian melewati kantin maba dimana Lisa juga sudah duduk kembali di sana.

Menatap Langit dengan tatapan yang tak terbaca ketika cowok itu sekarang sudah menggenggam tangan Kala untuk kemudian mereka berjalan bersisian.






***

Langit menggenggam tangan Kala erat.

"Rambut lo bagus. Poninya keren."

"Ih, lo tau?"

"Iya lah."

"Beneran keren?"

Langit mengangguk kemudian ketika Kala tersenyum-senyum sambil menyentuh poni nya, cowok itu diam-diam ikut tersenyum.

Sebelum kembali bermuka datar ketika Kala melirik ke arahnya.

"Jalan tuh liat ke depan jangan liatin poni mulu!"

"Iya!"

Dan Langit tanpa sengaja tertawa yang kemudian ia samarkan dalam bentuk batuk yang dibuat-buat.



















***

Secukupnya.

"Misi..."

"ANJING! Eh anj-sapa lu?!"

Ery berteriak kaget sambil memegangi dadanya sendiri begitu ia hendak akan masuk kembali ke dalam sekre himpunan tambang tetapi sebuah suara membuat langkahnya seketika terhenti untuk kemudian cowok itu menatap bingung pada sosok seorang cewek cantik berambut sebahu di hadapannya.

"Gue manusia kali, bukan anjing."

"Eh mon maap nih, gua ga maksud sumpah. Kaget gua tadi. Ini pasti kualat sama Riga nih gua. He. Eh tapi lo sia-"

"Gue Citra, temennya Kala."

"Hoh! Jadi elu yang tadi di telfon? Pantesan suara lu lembut banget."

"Maksudnya?"

"Kan lu Citra. Citra lembut kan? Apaan dah, lupain. Hehe. Ada apa nih?"

Seperti biasa dengan sifatnya yang terlalu supel dan terlalu banyak bacot disertai cengengesan wajahnya yang menurut sahabat-sahabatnya sangat tabokable tetapi menurut para cewek sangat kissable , Ery berjalan mendekat menghampiri Citra yang menatapnya tenang.

"Ini gue mau nitipin hape nya Kala."

"Hoh, bole-bole," Tadinya Citra akan langsung menyodorkan ponsel Kala pada Ery tetapi urung ketika cowok itu kembali bergurau,

"Tapi nitip ada ongkirnya loh."

"Hah?"

"Canda."

"Gaje."

"Dih nyaut aja lu."

"Mulut-mulut gue."

"Iya sih. Hehe."

"Nitip ya... Kak?"

"Hah siape? Kak Seto maksud lu?"

Lalu Citra tertawa, tawa yang sudah ditahannya sejak melihat Ery kaget tadi.

"Lucu ya?"

"Eh, sorry-sorry."

"Gak kok, gua emang lucu jadi ketawa aja kali. Lo lucu kalo lagi ketawa."

Kemudian Citra seketika terdiam berdeham kaku sebelum akhirnya menyodorkan ponsel milik Kala pada Ery.

"Ya udah nitip ya, tolong kasih ke Kala. Terus tolong bilangin juga gak usah masuk kelas, gue udah izinin dia kalo dia sakit perut jadi gak usah ikutan kuis sama gak usah balik lagi ke gedung bisa gawat kalo medusa tau."

"Medusa?"

"Udah ya, thanks!"

Lalu seketika Citra berbalik, berjalan terburu-buru sebelum berhenti di tempatnya ketika Ery bersorak memanggilnya.

"Oy!"

Melihat Citra yang hanya diam di tempatnya, Ery kembali berteriak.

"Neng Citra! Gak jadi kenalan nih? Gua gak mau dipanggil kakak ah, karena gua bukan kak Seto."

Citra terkekeh sebentar sebelum berbalik menghadap ke arah Ery yang masih cengengesan.

"Terus gue harus panggil apa?"

"Sayang boleh, ayang boleh, atau gantengnya aku juga gak apa-apa. Terserah lu deh."

"Gue panggil sule aja gimana?"

"Kok sule? Gak sekalian Rizky Febian?"

"Kan lo lucu."

Giliran Ery yang terdiam, cowok itu menggaruk-garuk kepalanya bingung tetapi kemudian masih cengengesan ia menatap Citra lagi.

"Kalo itu panggilan kesukaan lu, gak apa-apa dah. Gue ikhlas ridho rhoma eh ikhlas ridho lillaahi ta'ala. Hehe."

"Ya udah, gue duluan ya Sule!"

Citra melambai-lambaikan tangannya lalu berbalik setengah berlari menjauhi Ery.

Sementara Ery terkekeh sendiri di tempatnya.

"Kenapa gua baru tau ya si Kala punya temen kayak dia?" Ucapnya pada dirinya sendiri kemudian tersenyum kecil sebelum senyum itu pudar ketika ia merasakan ponsel dalam genggamannya bergetar tak sabaran, itu ponselnya dan nama yang tertera di layar itu membuat raut wajahnya seketika berubah.

"Ha-"

"KAMU KENAPA SIH? MARAH SAMA AKU? HAH? GAK GINI CARANYA! KAYAK BOCAH TAU GAK!"




















👋👋👋





Continue Reading

You'll Also Like

80.8K 5.3K 23
Gawat! Lola dan Arsen berada di kelas yang sama. Sial sekali Lola gagal move on karena Arsen pacar pertamanya. Hal yang membuat Lola makin susah melu...
11.3K 1.5K 25
[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] REPUBLISH ( TELAH DIREVISI & ROMBAK ULANG ) ──────────────── Adlyne nggak pernah percaya sama yang namanya, "Enemies to Lo...
362K 7.2K 22
skylar x kairi x kiboy ini cerita threesome/trisome atau apalah itu ⚠️WARNING⚠️ cerita ini mengandung • boypussy [lanang bervagina] • bxb, boyslove...
783K 35.4K 48
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞