Ocean Echo

By PenephthysVia

53.6K 7.3K 268

{Fantasy & (Minor) Romance} Namaku Mika. Kelas sepuluh. 15 tahun. Aku benci hujan. Hujan menyayangiku. Mereka... More

Echo I
Echo II
Echo III
Echo IV
Echo V
Echo VI
Echo VII
Echo VIII
Echo IX
Echo X
Echo XI
Echo XII
Echo XIII
Echo XIV
Echo XV
Echo XVI
Echo XVII
Echo XVIII
Echo XIX
Echo XX
Echo XXI
Echo XXII
Echo XXIII
Echo XXIV
Echo XXV
Echo XXVI
Echo XXVII
Echo XXVIII
Echo XXIX
Echo XXXI

Echo XXX

1.7K 165 44
By PenephthysVia

Hal diam, memilih mengabaikanku. Dia menatap tajam ke atas, tepat ke arah pria berambut emas. Nafasnya menggebu di belakangku.

Seketika ruangan menjadi rusuh kembali. Bukan. Bukan karena mereka panik atau takut terjadi sesuatu kepadaku. Mereka hanya sedang bahagia saja. Para makhluk sialan di sini akhirnya memiliki tontonan seru untuk mereka.

Cekikikan mereka yang bagaikan badai di malam hari tidak lagi terdengar menakutkan. Hawa tajam menyengat yang berasal dari mereka tidak lagi semengerikan itu. Bagaimana tidak? Semua kengerianku sudah terwujud. Sebuah ketakutan mendalam dari seonggok hati yang rapuh.

"Ibu...." gumamku pelan. Terlampau pelan bahkan, sampai-sampai Hal tidak bisa mendengarnya.

Biasanya saat aku menangis, Ibu akan mendatangiku lengkap dengan pelukan hangatnya. Kemudian tanpa bertanya apa masalahku, dia mengelus rambutku, menepuk pelan punggungku, menunggu hingga tangisanku mereda dan membiarkanku terlelap, terlelap dalam dekapannya.

Lalu Ibu menyuruhku pindah ke kasurku. Waktu itu, Ibuku berkata, "Tentu saja, tubuhmu tidak sekecil dulu untuk bisa Ibu gendong sampai kamar, Mika."

Pernah juga, saat aku menangis diam-diam. Bergelung dalam selimut dengan lampu kamar yang mati, menahan isakan tangis. Kemudian Ibu masuk tanpa menghidupkan lampu. Menggeser poni yang menjuntai berserakan di wajah dan mengecup dahiku beberapa saat.

Seolah dalam satu kecupan itu, Ibuku memberikan kekuatan yang kubutuhkan, memberi segalanya yang dia punya. Bukankah semua Ibu di dunia seperti itu?

Sial.

Semua itu hanya omong-kosong.

Lagipula kenapa aku mengingatnya di saat seperti ini? Bahkan aku terlalu baik masih menyebutnya 'ibu'.

"Akh...." jeritku tertahan.

Hal menekankan ujung pisau semakin dalam ke leherku. Menghasilkan sayatan tipis dengan percikan merah yang merekah. Wangi zat besi tercium di hidungku. Aku pasrah saja saat tangan Hal yang melingkari leherku mengerat seiring semakin dalamnya sayatan yang diciptakan pisau sialan itu.

Aku mendengus, "Lakukanlah, aku tidak akan melawan." Bibirku membentuk senyuman tanpa makna dengan mata kosong.

Dia tetap mengabaikanku. Jadi, dengan cepat kedua tanganku menggenggam gagang pisau yang di pegangnya dan mendorongnya lebih dalam. Ya, perasaan ini yang membuatku gembira. Aku akan terbebas ... selamanya.

Dalam, lebih dalam, dan lebih kuat lagi.

Aneh.

Tangan Hal malah menahan tanganku. Pisau yang kami genggam sedikit bergetar akibat besarnya perlawanan. Lengan Hal yang bebas segera dengan mudah meredam tenagaku.

"Bukankah kau ingin aku mati, Hal?" tanyaku heran.

Kali ini, perhatiannya dialihkan kepadaku. Namun, dia hanya membatu. Ada sesuatu yang tak kupahami dari mata itu. Sebuah penyesalan ... mungkin.

Pria berambut putih bersiul. Hal bersikap awas, memandang pria itu. Dia menikmati 'pertunjukan' ini, heh?

Pria itu tertawa keras sambil bergumam, "Bodoh, bodoh."--berulang kali.

Aku membencinya. Orang yang telah merusak kesenanganku. Orang yang mengambil alih perhatian Hal dariku. Aku benar-benar ... membencinya.

Aku memanggil para rukh. Menawarkan energi kehidupanku pada mereka. Para rukh berteriak gembira, dengan senang hati meminjamkan mana padaku.

Mataku terpejam. Kekuatan mengaliri setiap sendi di tubuhku. Tanah yang kupijak bergetar ringan. Energi yang mengelilingiku membuat Hal terhempas menjauh.

"Mika!" teriak Hal.

Aku membuka mata dan menoleh padanya. "Jangan sebut namaku!"

Aku melayang tiga puluh senti dari lantai. Tubuhku memancarkan sinar biru. Rambutku berkibar dan bergelung seperti lautan.

"Apa yang kau lakukan, Mika? Tubuhmu bisa hancur!" Hal berjalan mendekatiku.

Aku menatapnya dan berkata sinis, "Apa pedulimu? Berkat kau, aku bahkan tidak bisa lebih hancur lagi."

"Hentikan, Mika. Kau boleh membenciku, tapi jangan membenci dirimu sendiri." bujuk Hal dengan suara yang lebih lunak.

Aku menaikkan satu alisku. "Kenapa aku harus melakukan apa yang kau katakan?"

Hal menampilkan ekspersi terkejut. Dia gelisah. "Karena kau mencintaiku."

Hening.

Apa aku pernah berkata aku mencintainya?

Sial. Ternyata aku sangat bodoh karena berhasil dibohonginya.

Setelah ini semua, apa dia masih yakin aku mencintainya?

Dari atas terdengar suara tawa yang kian membesar. Pria berambut putih mencemooh, "Sepertinya, mulai menarik." Pria itu tersenyum culas.

Aku melesat cepat ke hadapannya dan mengirim dentuman air padanya. Pria berambut putih itu terlambat menyadarinya. Dia hanya bisa menangkis dengan katana-nya, terdorong beberapa meter dari tempatnya tadi.

Belum sempat melawan balik, aku menyerangnya sekali lagi. Aku membentuk butiran-butiran air kecil dan mengarahkannya pada pria itu. Dia kewalahan menangkisnya.

Aku menghentikan seranganku dan memperhatikannya. Keringatnya bercucuran, sebuah goresan di pipinya mengalirkan darah segar.

"Cih, boleh juga kau." decihnya.

"Tutup mulutmu." bisikku diikuti dentuman air yang mematikan.

Kekuatanku saat ini sangat luar biasa. Tempat ini dipenuhi mana. Energiku tidak akan habis kecuali ... nyawaku melayang.

Dia akan mati jika tidak bisa menghindar dan aku tidak peduli.

Rasa sakit mulai menyelimutiku. Luka yang kurindukan. Darah merekah di penjuru indraku.

Setidaknya, setidaknya aku tidak membutuhkan Hal atau siapapun untuk melakukan ini. Aku akan membebaskan diriku sendiri dari rasa sakit.

Kupejamkan mataku seraya menunggu ledakan dari pria itu dan kehancuran dari diriku. Aku mengangkat kedua sudut bibirku keatas, membentuk senyuman indah untuk terakhir kalinya.

Namun, detik-detik terakhir itu tak kunjung datang. Tidak ada bunyi ledakan. Sementara itu, tubuhku tetap sakit tapi tidak hancur.

Aku membuka mataku. Tatapan emasnya membekukanku. Aku terpaku, terhanyut dalam mata itu.

"Ke-kenapa ... kau selalu saja," aku terbatuk mengeluarkan bercak darah, "selalu saja membuatku tidak berdaya."

Dia melangkah mendekat. "Aku tidak akan membiarkanmu membunuh bidakku yang masih berguna." Perkataannya sedingin es. "Apalagi menghancurkan dirimu."

Kakiku melemas. Lututku goyah dan akhirnya menyentuh lantai. Aku menunduk menekuni lantai. Pria berambut emas berdiri di hadapanku.

"Apa maumu?"

Dia tidak menjawab.

Hatiku berdenyut sakit. Aku terlalu lelah dengan ini semua. Air mataku lolos dengan sempurna. Tidak ada satu pun yang sesuai dengan keinginanku. Tidak ada.

"Mika...." Pria itu mengulurkan tangannya padaku.

Aku mendongak. Mata emasnya menghilang. Warnanya kembali seperti semula--hitam pekat. Entah kenapa, aku merasa aman di dekatnya. Aku pun tanpa ragu-ragu menyentuh tangannya.

Dia mengirimkan semacam mantra dan rasa sakit di tubuhku lenyap. Namun, yang dilakukannya itu belum seberapa. Seketika saja dia membawaku kembali ke tempatnya--kursi seperti singgasana.

"Toji." panggil pria ini pada pria berambut putih yang tidak berhasil kuhancurkan.

"Baik, Kuuhaku-sama." Toji membungkuk hormat kemudian pergi meninggalkan ruangan.

Aku melihat ke bawah. Hal masih berdiri di sana dengan tatapan membunuhnya. Dia tidak kabur ataupun melawan seperti tadi.

Suara pintu raksasa yang terbuka mengalihkan perhatianku. Dan setelah pintu itu terbuka, aku menemukan fakta lain yang sialnya baru kusadari. Toji masuk dan mengibaskan rambut putihnya yang panjang. Dia membawa seseorang bersamanya.

Gadis cantik dengan rantai yang dilapisi mantra melilit kedua tangan, kaki, dan lehernya. Diseret secara paksa oleh mana Toji. Pakaian gadis itu sobek di mana-mana, wajahnya pucat, bibir mungilnya kering, rambutnya yang lurus berwarna cokelat terlihat lusuh.

Gadis itu sangat lemah. Tetapi pancaran kehidupan di matanya yang cokelat bersinar kuat.

Awalnya dia melawan, namun saat melihat punggung lelaki itu dia menegang. Tanpa sadar sebuah kata muncul dari bibirnya, "Hal."

Suaranya sangat kecil dan halus, bahkan terlampau halus. Meski begitu, Hal tidak mungkin melupakan suara ini, suara yang sangat dirindukannya. Hal membalikkan badannya dan tatapan mereka bertemu.

"Li-lily...." Hal menatap penuh harap. Seakan, mereka akan melakukan apapun agar dapat melihat satu sama lain seperti ini.

Setelah melihat mereka, masih adakah yang perlu di pertanyakan lagi?

Bukankah semuanya sudah jelas?!

Gadis ini ... adalah segalanya bagi Hal. Dan aku~

Hanyalah bayangan semu yang dimanfaatkan oleh Hal.

:
:
:
:
:
:
Sampai jumpa di gema yang akan datang.

Salam Husbando;
Saskeh💓

Continue Reading

You'll Also Like

153K 22.6K 30
"Kehidupan ku tidak berubah, hanya jalan ceritanya saja yang berbeda." ** Van J. Camero, seorang aktor pendatang yang namanya tidak cukup dikenal. D...
136K 10K 46
(WAJIB FOLLOW SEBELUM MEMBACA!) Ini tentang Amareia Yvette yang kembali ke masa lalu hanya untuk diberi tahu tentang kejanggalan terkait perceraianny...
100K 9.7K 28
Teman SMA nya yang memiliki wangi feromon buah persik, Arion bertemu dengan Harris dan terus menggangunya hingga ia lulus SMA. Bertahun tahun tak ter...
3.3M 316K 87
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya.