Ocean Echo

By PenephthysVia

53.6K 7.3K 268

{Fantasy & (Minor) Romance} Namaku Mika. Kelas sepuluh. 15 tahun. Aku benci hujan. Hujan menyayangiku. Mereka... More

Echo I
Echo II
Echo III
Echo IV
Echo V
Echo VI
Echo VII
Echo VIII
Echo IX
Echo X
Echo XI
Echo XII
Echo XIII
Echo XIV
Echo XV
Echo XVI
Echo XVII
Echo XVIII
Echo XIX
Echo XX
Echo XXI
Echo XXII
Echo XXIII
Echo XXIV
Echo XXV
Echo XXVI
Echo XXVII
Echo XXVIII
Echo XXX
Echo XXXI

Echo XXIX

913 121 4
By PenephthysVia

Seluruh tubuhku mati rasa, lidahku kelu. Angin malam yang masuk lewat jendela berbingkai kaca menggigitku hingga ke tulang rusuk. Aku dikecam dengan ketidaktahuan. Seperti berdiri sendiri menatap semesta yang berisi kegelapan, hatiku raib, jiwaku hanyut ditarik kepingan ingatan kilas balik masa lalu.

Badanku masih menggigil menanggung akibat perbuatanku beberapa jam lalu, akibat dari pengkhiatan keji. Begitu mataku terbuka, rasa sakit yang tak terhingga menyergap jiwa dan ragaku. Kasur yang empuk dan halus tidak terhiraukan oleh ku, atap-atap bertaburkan bintang tidak juga meringankan penderitaanku.

Memori saat Zefa memancarkan aura membunuh dengan tangan berlumur darah sedang menusuk perut Hal menggunakan sebuah pisau membuat napasku tercekat. Aku memang membenci mulut kasarnya, tidak menyukai cara berpakaiannya yang eksotis, semua yang ada dalam dirinya tak satu pun membuatku suka padanya. Tapi, sungguh disayangkan bahkan hatinya lebih buruk dari dugaanku. Aku tidak ingat apa yang terjadi selanjutnya, tetapi syukurlah Hal berhasil selamat. Jika Hal tidak tertolong saat itu....

Lupakan!

Kepalaku kembali berdenyut. Kedua alisku menyatu dengan mata terpejam dan mulut mendesis kesakitan. Ini aneh, rasanya ada sesuatu yang hilang. Saat aku memikirkan kejadian waktu itu, kepalaku berulah kembali. Hal ini semakin menambah kecurigaanku. Kekosongan itu meminta untuk diisi, dia memberitahuku bahwa kekosongan itu merupakan fakta yang tak ingin kuterima, fakta itu adalah ... ketakutan terbesarku.

Tempat ini penuh dengan energi dari para rukh. Hal yang membawaku kesini, aku harus bertanya padanya dimana tempat ini berada.

Tunggu, bukannya kami di istana si Tanpa Nama?

Argh. Sial!

Menggerakkan tanganku untuk memijit pangkal hidungku saja aku tak bisa. Sekelebat ingatan malam itu menerobos masuk. Hal, bagaimana bisa dia begitu tega menipuku?

Tidak!

Aku tidak boleh sembarangan mengambil keputusan, apalagi sesuatu yang penting seperti ini. Saat itu aku berada di tengah-tengah kesadaran dan kegelapan, aku bisa saja salah mendengar atau salah menduga. Tapi jika benar begitu, aku pasti akan sangat membencinya.

Aku memaksakan kakiku untuk berdiri. Kugunakan tumpuan tanganku di kasur untuk menyangga sebagian berat badanku. Kasur ini diletakkan di sebuah dipan berbahan kaca dengan butir-butir mutiara di dalamnya yang menghasilkan suara gesekan halus saat aku bergerak turun.

Suara derit nyaring bergema memenuhi ruangan menjalar ke lorong-lorong sepi di balik tirai pintu kamar ketika aku tidak sengaja menggeser kursi besi berwarna perak di dekatku. Jendela yang terbuka membuatku masih bisa bernapas lega karena menampilkan sebuah harapan ... dari dunia luar.

Tertatih-tatih aku mengintip dari balik tirai, meninjau segala sesuatu yang asing. Tidak ada siapa-siapa. Semua yang terlihat olehku hanya ruangan mewah lainnya, yang dihias dengan apik, dan dibangun dengan berbagai bahan mewah. Semua terlihat mengkilau dan menyedihkan disaat bersamaan.

Namun aku tidak boleh lengah sedikit pun. Aku berbalik dan menghampiri jendela. Aku mendongak mengukur ketinggian jendela dari lantai. Sedangkan atapnya berjarak sepuluh meter dari jendela. Jendelanya berukuran raksasa, tapi aku sama sekali tidak bisa melihat apa yang ada di luar.

"Tempat ini benar-benar mengagumkan," gumamku takjub. Aku tersadar, kemudian menggeleng dan mendengus, "Indah tidak pada tempatnya."

Jika aku ingin keluar dari kamar ini, aku akan memilih jalan keluar yang paling aman--jendela.

"Tapi ... bagaimana caraku naik ke atas sana?" Aku menatap jendela itu dengan saksama.

Suara langkah kaki mendekat terdengar. Satu, dua, tidak! Mereka ada banyak. Suara langkah kaki mereka terdengar halus, aku mungkin tidak akan bisa mendengarnya kalau saja tempat ini tidak sesunyi sekarang. Karena itu aku sangat yakin tidak ada Hal di antara orang-orang itu. Hal tidak akan berjalan secara tenang dan halus seperti langkah kaki yang kudengar.

Jantungku berdebar kencang, otakku bekerja dua kali lebih cepat. Aku menarik napas dalam-dalam dan mengambil mana dari para rukh. Rukh-rukh itu dengan senang hati menghampiriku.

Akh.

Waktuku memakai kekuatanku semakin berkurang, aku tidak bisa berlama-lama menerima energi para rukh. Baru beberapa detik kepalaku sudah sakit dan pandanganku berputar-putar.

Detik demi detik terasa sangat berharga apalagi mendengar orang-orang itu semakin mendekat. Maka di detik berikutnya aku mengulurkan tanganku dan menghempaskannya ke arah lantai membuat sebuah dorongan kuat dari air yang menghantam lantai untuk melompatkanku ke atas. Tapi kekuatannya masih belum cukup sehingga aku melakukan gerakan itu sekali lagi dan tanganku berhasil menangkap sela-sela jendela. Karena lompatan yang tidak mulus, sikuku tergores ujung kaca dan terluka. Aku menggantung di sisi jendela dengan tangan mengucurkan darah merah dan pandangan yang memburam.

"Kau sungguh menyusahkan, ya?" Seseorang bicara dari atas kepalaku--dia tepat duduk menyilang santai di samping tanganku yang menggantung dan terluka.

Aku mendongak dan terkejut sampai melepaskan peganganku. Sebelum membayangkan sakitnya jatuh dari ketinggian beberapa meter aku melindungi punggung dan kepalaku dengan gelembung air. Gelembung air pecah saat mengenai lantai dan punggungku mendapat sakit yang tidak seberapa karena harus mendepak lantai.

Orang itu terkekeh. Dia turun sangat mudah dari jendela menggunakan sebuah tangga tak terlihat. Aku mengernyit curiga. Pria itu bersikap sangat santai dan sombong. Rambutnya berwarna putih memanjang sampai menyentuh bahunya. Matanya berwarna biru sejernih lautan. Di pinggangnya terdapat sebuah katana bersarung biru sewarna matanya.

"Pedang?" tanyaku tak percaya. "Sihir yang kuno," sindirku sarkas.

Dia mengangkat sebelah alisnya dan dengan cepat menarik katana-nya menebasku. Kepalaku bergerak mundur sejengkal. Sebelum ujung katana menyentuh kepalaku seseorang lainnya menangkisnya dengan secepat kilat menggunakan dua buah kodachi--sebuah pedang berukuran pendek--yang disilangkan. Mereka bertatapan cukup lama.

"Hei-hei, kenapa kalian diam saja? Dia sedang menghina kita, lho," ungkit si rambut putih sambil mengkibaskan rambutnya.

Dia bergerak menjauhiku dan pria yang melindungiku. Pria itu berbalik menatapku, mata kuningnya terlihat tenang tak tegoyahkan oleh apapun. Dia menyarungkan kodachi-nya lalu berjongkok dan membungkukkan kepalanya padaku. Dia berkata, "Maafkan saudara kami, Putri."

Lalu yang lainnya mengikuti gerakannya dan mengulangi ucapannya. Mereka yang tak terlihat bergerak dalam bayangan, sungguh mengerikan.

Tiba-tiba tubuhku bagaikan tersengat listrik dan mengalami kejang. Energi yang ada dalam tubuhku ingin meledak. Luka di sikuku hilang tak berbekas tetapi darah keluar lewat mata dan telingaku. Semua yang kulihat hanya titik-titik putih.

"Mika." Sekelebat bayangan emas terlihat.

Aku merasakan diriku diangkat oleh seseorang. Tangannya menyentuh lembut balik lututku dan pundakku. Dia menyandarkan kepalaku di dada bidangnya. Pria berambut emas membisikkan mantra-mantra di telingaku dan seketika rukh-rukh di sekitarku menjerit ngilu kemudian hilang tanpa jejak bersamaan dengan raibnya rasa sakitku.

Aku membuka mataku perlahan. Aku tidak mengenalnya tetapi di hadapan orang yang baru kutemui ini air mataku lolos dengan sempurna. Tanpa sadar tanganku mengelus lembut pipinya.

"Maaf," kilahku cepat seraya menarik tanganku kembali.

Pria itu hanya diam tanpa sepatah kata pun. Jadi aku berdehem dan berkata, "Tanganku bergerak sendiri." Tidak ada respons darinya. Dia hanya memandang lekat ke dalam mataku. Aku mengelap air mataku. "Ah, maaf. Kau terganggu ya dengan air mataku."

Lagi-lagi tidak ada reaksi.

Tawa seseorang terdengar. Dia si rambut putih. Dia memegangi perutnya sambil terus terkekeh.

"Cih." Aku mendelik padanya.

"Bahkan di hadapanmu, dia seperti dinding es. Tuan Putri apanya?!" katanya di sela-sela tawa. "Apa jangan-jangan Paladin itu salah orang?" lanjutnya.

Paladin?

Aku memasang telingaku baik-baik mendengar kata itu. Itu berarti....

"Hal tidak mungkin melakukan kesalahan. Kelemahannya ada di genggaman Tuan kita." Pria bermata kuning menyahut.

Aku membeku. Kelemahannya itu ... mungkinkah, aku?

Berarti mereka adalah musuh Hal.

Aku mencoba turun namun tidak berhasil. "Bisa turunkan aku?"

Untuk apa aku bertanya? Jika aku ingin turun ya suruh saja dia menurunkanku. Tidak. Hati kecilku menolak untuk berbicara kasar pada pria berambut emas ini.

Dia tidak peduli dan terus melangkah. Langkahnya sangat halus--tidak bersuara. Aku merasa aneh di dekat pria ini padahal hanya beberapa jam lalu berjumpa.

Kami melewati dua pintu raksasa yang sudah terbuka menuju ruangan lain. Saat aku hendak mengedarkan pandangan keseliling, kepalaku di tahan oleh pria berambut emas. Dia mengelus lembut rambutku dan membuatku patuh begitu saja.

Aura di ruangan ini sangat ganjil, penuh dengan tekanan dari rukh--bukan. Penuh tekanan dari makhluk-makhluk lain. Tentu saja aku bisa merasakannya. Pria berambut emas mendudukkanku di pangkuannya saat dia duduk di sebuah kursi mewah yang hanya bisa sekilas kulihat.

"Siapa?"

"Manusia biasa? Tidak. Slay vega."

"Hadiah dari Tuan?"

"Benar. Benar."

"Tidak! Dia milik Tuan."

"Tidak mungkin Tuan menginginkannya!"

"Itu benar."

"Tidak."

"Itu benar."

"Tidak, tidak, tidak!"

Semua makhluk yang ada di sini meraung heboh. Aku bergerak tidak nyaman. Sedetik kemudian pria berambut emas mengeluarkan aura yang lebih mematikan, membuat semuanya terdiam.

"Lepaskan aku!" Sebuah suara yang kukenal terdengar dari luar ruangan. "Dia telah berjanji padaku, lepaskan! Aku ingin bertemu dengannya!"

Jantungku berdebar tidak keruan. Lelaki berambut emas melihat kepanikanku dan tersenyum lembut. "Biarkan dia masuk." ucapnya kemudian.

Mataku menatap lekat pintu raksasa. Tanganku kuremas dengan kuat. Rasa khawatir, senang, lega, marah, bercampur menjadi satu. Saat pintu terbuka terlihatlah sosok itu masuk dengan tangan di ikat ke belakang. Di samping kanan dan kirinya berdiri dua penjaga berwajah beringas.

"Hal!" teriakku spontan.

Orang yang kupanggil mendongakkan kepalanya. Tapi kemudian membuang wajahnya. Seketika dia terdiam, menurut saja ketika diseret paksa oleh penjaga untuk menghadap kami. Aku terus menelisik matanya tapi dia menghindari tatapanku. Hal hanya menatap tajam orang di belakangku.

"Hal...." lirihku sekali lagi.

Aku mendesak turun dari pangkuan pria berambut emas--dia tidak menghalangiku sama sekali. Lantai yang dingin menyengat telapak kakiku.

Sial. Aku tidak tahu dimana sepatuku.

Aku baru menyadarinya. Ruangan ini lebih menakutkan dari yang aku kira. Tempat besar dengan dilingkari beberapa tingkatan lantai. Aku berada di lantai paling atas melihat ngeri ke setiap lantai yang terdiri dari makhluk-makhluk aneh mengerikan. Sedangkan Hal berada di lantai dasar.

... dan tidak ada tangga.

Aku menyusuri tepi lantai dan berjongkok di sana. Semua mata mengarah padaku. Mungkin mereka menganggap ku bodoh karena mencoba turun dengan menggantung di tepinya.

Ya! Anggap aku bodoh. Bahkan di sekolah semua orang memanggilku si Bodoh. Aku hanya tidak punya kekuatan yang bisa terbang sesuka hati seperti kalian.

Salah satu Ogre di bawah kugunakan sebagai pijakan kakiku. Ogre itu bergerak marah dan menghancurkan keseimbanganku.

Jika aku terjatuh dari sini apa aku akan mati? Aku memejamkan mataku menikmati sensasi ini. Ah, aku jadi teringat saat aku jatuh dari langit dulu. Sama menyenangkannya.

Tidak! Aku tidak boleh menyerah.

Di detik terakhir aku menggumamkan namanya, "Hal!"

Dan dia menangkapku tepat waktu. Senyumku merekah dengan cepat. Semua ketakutanku hilang sekejap.

Sayangnya, aku terlalu bodoh untuk menyadarinya. Tidak ada kebahagiaan yang datang dengan cepat dan bertahan lama. Secepat senyumku merekah, sekejap itu pula semua itu pupus.

Aku membuka mataku dan terkejut saat sebilah pisau kecil di arahkan ke leherku. Kali ini seluruh tubuhku benar-benar mati rasa. Sesuatu yang paling kutakutkan akhirnya terjadi juga. Seluruh pertahananku hancur. Aku lelah menangis, hatiku begitu sakit.

'Kebenaran berada di dalam kegelapan.'

Kata-kata Baba-san terngiang kembali. Sudahlah, kalau begini aku boleh pasrah, 'kan, Baba-san?

Wajahku berubah tanpa ekspresi. Aku melirik orang yang menodongkan pisau ke arahku. Dia menampilkan sorot kebencian yang sangat dalam.

Aku berbisik tanpa hasrat, "Apa kau ... ingin aku mati~

Hal?"

:
:
:
:
:
:
Sampai jumpa di gema berikutnya.

Salam Peluk;
Mika🙇

Continue Reading

You'll Also Like

150K 395 17
21+++ Tentang Rere yang menjadi budak seks keluarga tirinya
2M 104K 39
Menjadi istri dari protagonis pria kedua? Bahkan memiliki anak dengannya? ________ Risa namanya, seorang gadis yang suka mengkhayal memasuki dunia N...
119K 7.6K 17
Ini dia jadinya kalo gadis bar-bar seperti Joana transmigrasi ke dalam sebuah novel romansa dan menjadi anak perempuan dari protagonis yang digambark...
124K 155 14
Kumpulan cerita dewasa part 2 Anak kecil dilarang baca