KIMBERLY 2: The Scarlet Return

By salsyalala

2.4K 100 21

Kimberly yang sudah merasa hidupnya telah sempurna karena pada akhirnya bisa menemukan cinta sejatinya, kemba... More

The Twin
Nightmares
Where Am I?
New Person
Doom
Beginning
When Ariana speak up...
Now it's over
The Marriage

Truth Hurts

194 9 1
By salsyalala

Sepanjang perjalanan kembali menuju rumah Ariana, bayangan kedua orang itu muncul silih berganti dalam benakku. Aku selalu saja membandingkan cara kerja kedua orang itu dan memperkirakan mana yang jauh lebih bagus kinerjanya. Jason si senior atau Isaac anak baru yang banyak gaya?

Sekarang, aku sedang memikirkan apa yang akan dilakukan Jason kalau dia yang berada di posisi Isaac tadi. Kalau Isaac langsung mengancamku menggunakan pistol, kira-kira apa yang akan orang seperti Jason lakukan jika ada orang tak dikhendaki masuk ke kamarnya?

Beberapa kemungkinan berputar di dalam otakku. Kemungkinan, Jason pasti akan melakukan hal yang sama padaku yang sedang menyamar saat itu. Tapi setelah itu kemungkinannya menjadi bercabang.

Dia bisa saja langsung tertawa dan berpura-pura kalau dia hanya membuat takut  orang yang menyamar itu, atau dia bisa mengenali orang yang sedang menyamar itu. Jason kan punya Chelsea yang ahli dalam penyamaran, dia pasti tahu cara mengetahui orang yang sedang menyamar.

Tapi lain lagi ceritanya kalau Isaac hanya berpura-pura tidak tahu aku sedang menyamar.

Huuuhh. Otakku makin kacau saja tiap kali memikirkan apa yang diinginkan dariku oleh Isaac. Semua kemungkinan yang pernah terlintas diotakku, sudah tereliminasi karena kedengarannya cukup tidak mungkin.

Apa dia sejak awal mengetahui kualitas kerjaku dan berniat mengajakku bergabung dengan organisasinya? Kalau begitu, aku akan segera menolaknya dengan sangat sopan dan halus.

Atau mungkin, dia tahu kalau aku akan menolak tawarannya, jadi dia langsung menculikku begitu saja? jika benar begitu, maka dia adalah pria pengecut yang pernah ku kenal. Untung Jason bukanlah orang semacam itu.

Sudah kubilang kan, Isaac ini kemampuannya masih dibawah rata-rata dan sama sekali belum diasah oleh tenaga ahli seperti aku dan Jason. Bahkan Ariana sebenarnya bila difikir-fikir lagi, kemampuannya masih setara dengan Isaac.

Mesin mobil pun dimatikan ketika mobil sudah memasuki halaman rumah. Seperti semudah merapikan rambutku, aku mengubah ekspresi wajahku lagi seperti wajah seseorang yang masih sangat merana. Percampuran antara wajah kelaparan, menahan buang air besar, mengantuk dan bosan hidup kucampur menjadi satu ekspresi wajah yang mengerikan ketika aku mengeceknya di kaca spion.

Ariana tentu tidak boleh tahu kalau aku sedang senang dan baru saja mengambil ponselku yang menyebabkan kebahagianku saat ini. Setelah ponselku disimpan di kantong celana bagian belakang, sambil berharap Ariana tidak memperhatikan, aku berjalan masuk kedalam rumah.

Begitu pintu terbuka, kulihat Ariana sedang duduk cemas diatas sofa tapi dia tak menyadari kedatanganku hingga aku ikut duduk disampingnya. Ariana sedikit tersentak kaget sebelum dia menoleh kearahku dan menanyakan kemana saja aku pergi.

“Trying to suicide.” Jawabku dingin dan tatapan kosong. Ariana menatapku sedih. Kecemasan yang tadinya tergambar jelas diwajahnya kini sirna. Kelihatannya aku berhasil menipunya. “I apologize, Kim. Gue tau lo ga mau punya kehidupan kayak gini. Tapi ini semua demi keselamatan elo juga.”

“Lo kira gue gatau gimana caranya ngejaga diri gue sendiri? Lo tau sekarang yang lebih terancam keamanannya adalah anak-anak gue? Dimana sih otak lo berada sekarang?” balasku dengan nada yang amat tenang hingga membuat Ariana diam membeku. Tak tahu harus menjawab apa.

“Kalau lo punya hati, harusnya lo ngebiarin gue mati aja biar gue nyusul Jason. I’d be happy forever after then.” Setelah berkata begitu, aku langsung beranjak dari atas sofa menuju lantai atas.

Saat itu, aku tidak tahu apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh Ariana padaku. dan kalau saja aku tahu, hal apa yang akan terjadi selanjutnya tidak akan seburuk yang pernah kukira sebelumnya.

Aku masuk kesembarang kamar dan menutup pintunya begitu saja lalu langsung melompat keatas tempat tidur sambil tertawa-tawa mengerikan. Ku keluarkan ponselku dari dalam kantong dan begitu aku menemukan nomor ponsel Nathan, langsung saja kuhubungi dia.

Sayangnya, Nathan sama sekali tak mengangat telefonku sama sekali. Baiklah aku akan mencoba menelfon Max. aku sendiri heran kenapa bukannya aku menghubungi Max terlebih dahulu baru Nathan.

Oh ya. Pria itu kan yang sama sekali tidak menyadari hilangnya diriku dan tidak menolongku sama sekali. Huh. Sedangkan Nathan, dia kan orang yang menjaga Emily.

Berbeda dengan Nathan yang kuharapkan dialah orang pertama yang akan menjawab telefonku, Max justru langsung mengangkat telefonku di deringan kedua. Pasti ponselnya berada tepat di depannya.

“Holy Mother of skittles! Kimberly, kemana aja lo selama 5324325 jam yang lalu dimana lo menghilang begitu aja di pub?!”

Aku tertawa dengan wajah dibenamkan keatas bantal supaya Ariana tidak mendengarku tertawa lepas.

“Sorry, Max. waktu itu pas gue ke toilet, baliknya lupa jadi gue tersesat dan nyasar kemana tauk.”

Jawabku asal dan Max dengan mudahnya mempercayai jawabanku itu.

“TERUS? Lo lagi dimana sekarang? Biar gue jemput!”

Mulutku sudah terbuka hendak memberitahu Max dimana aku berada sekarang tapi kututup kembali karena aku masih penasaran dengan apa yang sedang terjadi dan tak akan pergi sebelum tahu what the hell is going on here.

“Dikamar. Entar kalo udah selesai gue pulang sendiri deh. Pasti. Yang jelas, sekarang lo jagain anak-anak gue ya. Tolong banget, Max.”

Max pun ikut terdiam juga mendengar jawabanku itu. Aku tak tahu apa yang dia fikirkan tapi anehnya dia bersedia memenuhi permintaanku. Dia bahkan tidak bertanya alasannya. Hanya mengatakan dua kalimat.

“Ya. I will.”

Andai Max bisa melihat wajahku sekarang. Aku sedang tersenyum kearah Max yang tak bisa kulihat dihadapanku kini, namun bisa kurasakan kehadirannya disini sebagai mestinya. Yeah. Apapun yang terjadi, Max tetap selalu jadi orang nomor satu dihatiku.

“Tapi lo harus hati-hati.”

Ini kedengaran sedikit aneh ditelingaku. Apakah Max sudah tahu kalau aku sedang menanti sebuah marabahaya?

“Tenang aja, kan elo hatinya gue.” Jawabku asal-asalan. Lalu terdengar suara tawa Max yang menggeletik telingaku.

Bertepatan dengan telefon yang kumatikan, pada saat itu jugalah terdengar suara pintu diketuk. Aku memicingkan mata kearah pintu yang masih tertutup rapat. Mau apa lagi sih, dia? Lalu, apa yang harus kulakukan berikutnya? Menyambutnya, atau berpura-pura sudah tidur?

Paling-paling dia hanya ingin mengucapkan permintaan maafnya padaku. tapi bisa saja dia juga ingin memberitahukan apa yang sedang terjadi hingga menimbulkan kejadian aneh yang datang berturut-turut kepadaku yang tak tahu apa-apa sama sekali.

Pilihanku jatuh pada pilihan kedua. Kalaupun Ariana memang hanya meminta maaf juga tak apa. Anak itu masih sangat polos, tapi sering sekali terlihat sok kuat padahal suka sekali menangis ketika tak ada yang melihatnya. Dan mungkin saja tadi dia sempat menangis. Who knows?

“Yap?” tanyaku sambil membuka pintu dan melihat ada Ariana di depannya. Dia menghela nafas begitu melihat wajahku yang sama sekali tidak terlihat sehabis marah atau menangis. “Lo boongin gue, ya?” tanya Ariana balik. Aku menahan tawa melihat Ariana marah padaku.

Aku bukan tipe orang yang suka sekali balas dendam. Contohnya seperti Jason dan bahkan Isaac. Jason yang orangnya sebegitu menyebalkannya saja tidak sempat ku kerjai sebagai pembalasan dendam. Begitu juga Isaac. Walaupun dia sudah membunuh Jason, bayangkan. Membunuh Jason! Yang bisa kulakukan hanyalah berteriak kedepan wajahnya dan memberikannya sebagian dari liur yang kupunya.

Jadi aku tidak akan membalas semua perlakuan Ariana terhadap diriku ini. Tapi aku akan membuatnya kesal, sedikit lagi.

“Ya paling nggak kita impas.” Ariana diam. Dalam hatinya sekarang, dia pasti sedang menyumpahiku habis-habisan. Maafkan aku, Ari. Yang sekarang ini tak ada apa-apanya kok, dibandingkan kamu yang sudah mengaduk-aduk perasaanku sejak beberapa bulan yang lalu.

Kemudian tanpa banyak bicara, Ariana mengajakku turun kebawah. Sambil mengikuti langkahnya dari belakang, aku mengira-ngira apa yang ingin dia tunjukkan atau bicarakan sampai kami harus turun kebawah segala.

Kalian pasti tertawa begitu melihat apa yang terjadi sebenarnya, jauh sekali dari dugaanku. Aku pun ingin menertawai diriku sendiri begitu mengetahui kalau Ariana hanya mengajakku makan malam dibawah.

“Lu kira gue mau ngapain, emang?” tanya Ariana. Aku hanya tertawa. Tak mau memberitahu apa yang ku fikirkan sebelumnya karena takut Ariana akan ikut menertawakanku. Sekarang Ariana kan sudah berlaku kurang ajar terhadapku.

Kami menikmati suasana makan malam kami dalam diam dan terkadang terdengar bunyi benturan garpu dan pisau yang terdengar secara bergantian. Aku merasa gemas dengan bunyi-bunyi itu dan hampir saja aku memainkan piring dan gelas menggunakan pisau dan garpu itu.

Selesai makan, aku menawarkan bantuan pada Ariana untuk membantunya membersihkan piring-piring kotor ini namun dengan halus Ariana menolaknya. Aku memasang wajah tak berdosa dan mengangguk. Baguslah. Aku juga tak terlalu berminat dalam pekerjaan rumah tangga. Untuk saat ini.

Dalam diam, aku berjalan menuju tangga dan pergi ke kamarku tanpa mengucapkan selamat malam pada Ariana. Aku tak boleh mengganggu pekerjaannya, kan?

Dan di kamar, aku hanya mengambil ponselku. Di layar ponsel itu terdapat pemberitahuan adanya panggilan skype tak terjawab dari Selena. Adikku itu pasti mengira aku masih ada dirumah, sendirian bersama kedua anakku. Mengharap kedatangannya kerumah, tapi dia sendiri sedang sibuk.

Aku mencoba untuk menghubunginya kembali dan secara tak terduga, adikku itu langsung menjawabnya dan muncullah sesuatu berbentuk aneh di layarku. Tak lama, terdengar suara teriakan Selena. “Hey! Put it down!” setelah Selena berteriak, sekarang terdengar suara tawa Justin dan wajahnya terlihat di layar ponselku.

“Cie anak ilang. Are you happy, now?” tanya Justin sambil terus terkekeh padahal aku sama sekali tak menemukan hal yang lucu kecuali saat Selena berteriak tadi. Dahiku mengkerut. Tak mengerti sama sekali apa yang dia maksud oleh kata-kata anehnya itu.

Memang aku bisa disebut sebagai anak hilang. Tapi mulai dibagian—are you happy, now?—nya tak bisa ku mengerti. At all. “Seneng kenapa?” bentuk aneh yang sempat terlihat dilayar ponselku sama sekali tidak teringat dalam otakku. “Tadi gue nunjukkin bokong gue. Lo nggak seneng?”

Belum sempat aku tertawa setelah menyadari kalau benda putih dan memiliki belahan di tengahnya adalah milik Justin. Sedikit mirip dengan buah dada, tapi  dia tak memiliki buah dada, bukan?

Begitu Selena yang mengambil alih pembicaraan, aku baru tertawa terbahak-bahak. Dan sekarang yang kebingungan hanyalah Selena. “Oke, Kim. Gue tau gue baru bangun tidur tapi muka gue nggak sejelek itu kan?”

Aku cepat-cepat memperbaiki kesalah pahaman ini. Ayolah, aku bahkan tidak tahu kalau anak ini baru saja bangun tidur! “Oke, oke dik. Apa yang ingin kau bicarakan denganku?”

Selena segera menjawab. “Banyak! Lo tau gak gue sama Justin lagi dimana, sekarang?” “Dirumah… lo? Dirumah… Justin?” tanyaku ragu. Aku tidak yakin. Pemandangan disekitarnya sama sekali tidak terlihat seperti mereka sedang berada dirumahnya atau Justin.

Mata Selena menyipit. “No, stupid. Gue lagi dirumah lo.” Hampir saja aku menyemburkan air kewajahnya. “Kok bisa?!” aku yakin sekali kalau aku sudah mengunci pintu rumah, dan kuncinya juga kubawa bersamaku dan sekarang mungkin kunci itu masih ada di dalam kantong celanaku yang berada di kamar hotel Isaac.

“Lo lupa? Lo kan pernah ngasih gue kunci cadangannya.” Wajah Selena masih belum berubah sejak tadi. Sekarang, akulah yang tertawa malu. Menertawakan sifat pelupaku yang memalukan. “Itu ga penting. Masalahnya sekarang, lo lagi dimana, sih Kim?”

Tepat ketika aku ingin menjawab pertanyaan Selena, tiba-tiba ponselku mati. Yap. Apalagi kalau bukan karena kehabisan baterai? Dasar ponsel murahan. Baru dipakai beberapa detik saja sudah habis baterainya. Apa boleh buat. Aku akan meminjam charger miliknya saja.

***

Pagi lainnya yang ku lalui di Miami. Sebenarnya aku tak ingin meninggalkan tempat tidur hangat dan nyaman ini, tapi berhubung panggilan alam ini memaksaku, dengan sangat tak rela aku bangun dan turun, pergi meninggalkan tempat tidur itu.

Aku bisa saja setelah menuntaskan panggilan alam itu, kembali melanjutkan tidurku yang nyenyak. Tapi entah kenapa ketika melihat tempat tidur berantakan, keinginanku untuk kembali jatuh ke pelukan tempat tidur itu menjadi sirna. Dengan berat hati, aku pun melambaikan tanganku kearah tempat tidurku bersamaan dengan jatuhnya beberapa tetes air mata turun melewati pipiku.

I love it so much, bro.

Suasana di rumah ini sepi sekali hingga aku bisa mendengar langkah kakiku sendiri, dan bahkan seekor tikus yang sedang bernafas pun dapat terdengar oleh telingaku. Hiiyy. Disini ada tikus?

Baiklah. Kelihatannya yang punya rumah ini sedang tak berada dimanapun dirumah ini dan orang itu juga tidak meninggalkan pesan untukku sama sekali. Ini berarti, lagi-lagi aku bisa menggunakan rumah ini untuk apapun yang ku mau. Dan aku juga bisa kemana saja, kemanapun aku mau.

Hal pertama yang kulakukan, tentu saja mandi. aku menghabiskan hampir setengah jam. Mandinya sih tidak terlalu lama, hanya saja aku lebih lama bermain air sambil bernyanyi ketika mandi.

Sampai aku selesai mandi pun, aku masih bersenandung kecil sambil berpakaian. Menari di depan cermin dengan keadaan telanjang bulat, dan sebagainya. Tidak, aku tidak mabuk. Tadi malam aku langsung tidur tanpa sempat meminum minuman alkohol jenis apapun itu.

Untuk mengeringkan rambutku, aku mencari-cari Ariana menyimpan hairdryer-nya. Tidak mungkin manusia yang memiliki rambut seperti dia tidak memiliki atau menyimpan hairdryer. Lalu, bagaimana cara mengeringkan rambut tebalnya itu? Menggunakan sinar matahari?

Rumah ini sedikit mirip dengan rumahku yang di London. Hanya jumlah kamarnya saja yang sama dan sepertinya Ariana menggunakan kamar utama jadi aku langsung berjalan menuju kamar yang satunya lagi.

Hairdryer itu pun ku temukan dan aku memakainya sebagai mainan sebelum aku benar-benar menggunakannya untuk mengeringkan rambutku. Saat sedang menikmati angin panas yang keluar dari hairdryer itu, mataku tertumbuk pada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang tidak sebagai mana mestinya.

Aku menyelesaikan pengeringan rambutku dan barulah aku menghampiri benda aneh itu. Kusebut benda aneh, karena pigura foto itu ditelungkupkan. Semua pigura foto yang dipajang disana ditelungkupkan dengan posisi yang aneh dan menarik perhatian.

Tanganku meraih pigura foto yang terletak dipaling awal dan mengangkatnya. Dengan penasaran, aku memandangi foto itu baik-baik hingga akhirnya aku menyadari kalau foto keluarga itu adalah foto keluarga Ariana.

How can I tell? Entahlah, kalau dilihat-lihat, caranya tersenyumnya itu sama seperti Ariana. Dalam foto itu, terdapat lima orang yang terlihat sangat bahagia dan ceria. Senyum mereka amat sumringah. Membuatku teringat akan beberapa kenanganku bersama keluargaku.

Selain kedua orang tua Ariana dan Ari sendiri, ada dua orang anak lelaki yang wajahnya tak kukenali. Lelaki pertama, kelihatan lebih tua daripada lelaki yang kedua. Anak lelaki pertama merangkul lelaki kedua sedangkan Ariana sendiri berpose ‘’peace’’ disebelah ibunya.

Melihat foto itu, tanpa sadar bibirku menyunggingkan senyum. Aku jadi ingin bertemu dengan keluarga besar Ariana. Pasti menyenangkan. Tiga foto berikutnya adalah foto masing-masing dari mereka, full face dan sedang menunjukkan gigi pertama mereka yang lepas.

Foto keluarga mereka semuanya lucu sekali. Aku tak henti tersenyum ketika melihat foto-foto itu. Aku heran, kenapa Ariana harus menyembunyikan foto-foto menggemaskan ini dariku? Kalau aku jadi dia, aku pasti sudah dengan bangganya memarken foto-foto itu pada Ariana.

Namun, begitu aku beralih pada foto terakhir, senyuman-senyuman yang kulihat di foto sebelumnya, tak tampak sama sekali. Yang terlihat hanyalah kesedihan dan kepedihan yang amat dalam.

Mungkin aku terlalu berlebihan, tapi foto Ariana beserta seorang lelaki yang satu ini sangat terlihat menyedihkan karena mereka berfoto disamping sebuah makam. Aku mengira-ngira siapakah yang meninggal itu ketika aku menyadari siapa orang yang ada di foto selain Ariana yang mulai beranjak dewasa itu.

Tidak. Tidak mungkin. Aku pasti hanya salah lihat.

Tanganku bergetar memegangi pigura foto itu lalu kuletakkan secara perlahan-lahan kembali ke tempatnya semula. Ini bercanda kan? Cowok itu, yang kulihat di foto tadi, adalah Isaac? Kalau begini, sial. Aku berada dalam bahaya besar. Aku harus segera pergi dari sini.

Tanpa memikirkan apapun lagi selain ponselku yang tak ingin kutinggal lagi ditempat asing lainnya, aku segera beranjak bangun dan berlari menuju pintu depan.

Tak ada waktu lagi untuk berpamitan pada foto-foto menggemaskan itu lagi. Tak ada waktu pula untuk mengecek dua kali apakah lelaki yang sudah tumbuh menjadi dewasa itu adalah Isaac dengan perubahan tak berarti. Wajahnya masih mudah untuk dikenali.

Namun sayangnya, begitu aku membuka pintu depan untuk melarikan diri, dua orang berbadan kekar menghalangi jalan keluarku. “Shit.” Umpatku sambil berusaha melarikan diri dari hadapan mereka terlebih dahulu.

Entah gerakanku yang kurang cepat, atau kekuatan dan kecepatan orang itu, dengan mudahnya badanku ditarik menggunakan tangan orang itu dan dia menghempaskan badanku hingga aku terjatuh membentur lantai yang dingin.

Kepalaku terasa sangat sakit sampai-sampai aku tak bisa berdiri lagi akibat kepala membentur lantai itu. Sekali lagi sial. Kalau begini caranya, bagaimana bisa aku melarikan diri karena tak mungkin bagiku untuk melawan pria yang bertubuh tiga kali lipat dari badanku.

Selain itu, usahaku selalu saja sia-sia. Belum sembuh sakit kepalaku, dan saat aku berusaha untuk bangun, pria ini selalu saja kembali memukul atau menamparku. Bahkan hingga tanganku terkena pecahan kaca. Entah dari mana asalnya kaca sialan yang memperburuk keadaanku.

Benar-benar tidak berperi kemanusiaan, dengan perkasanya pria itu terus menghajarku habis-habisan. Jason saja belum pernah menyiksaku seperti ini, eehh..dia sudah melangkahi Jason.

Dan ketika akhirnya kekuatan telah mengajak kesadaranku pergi meninggalkan tubuhku sejenak karena sudah tak tahan lagi dengan semua siksaan ini, barulah terlintas ide bagus dari otakku.

Kenapa aku tidak ingat dari tadi kalau aku bisa berpura-pura sudah pingsan jadi dia tak perlu melanjutkan penyiksaannya terhadapku lebih lama lagi. Benar saja. begitu melihatku sudah tak bergerak lagi karena aku sudah benar-benar pingsan, orang itu pun langsung membopongku.

Setelah itu, aku tak tahu apa lagi yang telah terjadi pada diriku selanjutnya.

***

Continue Reading

You'll Also Like

7.4M 227K 46
Beberapa kali #1 in horror #1 in thriller #1 in mystery Novelnya sudah terbit dan sudah difilmkan. Sebagian cerita sudah dihapus. Sinopsis : Siena...
2M 326K 66
Angel's Secret S2⚠️ "Masalahnya tidak selesai begitu saja, bahkan kembali dengan kasus yang jauh lebih berat" -Setelah Angel's Secret- •BACK TO GAME•...
3.4M 29.6K 29
Tentang jayden cowok terkenal dingin dimata semua orang dan sangat mesum ketika hanya berdua dengan kekasihnya syerra.
13.2M 1.1M 81
♠ 𝘼 𝙈𝘼𝙁𝙄𝘼 𝙍𝙊𝙈𝘼𝙉𝘾𝙀 ♠ "You have two options. 'Be mine', or 'I'll be yours'." Ace Javarius Dieter, bos mafia yang abusive, manipulative, ps...