Invidious

Av Atiya_AW

10.1K 765 98

Ray hadir sebagai cowok misterius dalam hidup Levi. Bukan hanya karena sikap dingin dan sorot mata tajam Ray... Mer

Prolog
1. Namanya Raymond
2. Kisah Raymond
3. Khawatir
4. Peduli
5. Berdua Denganmu
6. Masalah
7. Marah
8. Kecewa
9. Fakta
10. Hukuman
11. Kerja
12. Berdua
14. Pengakuan
15. Kalah
16. Jadian
17. Kencan
Ray dan Levi
18. Kacau
19. Masa Depan
20. Misteri Bekal
21. Curiga
Info
22. Sayang
23. Tentang Masa Lalu
24. Masalah Baru
25. Salah Paham

13. Cantik

318 30 3
Av Atiya_AW

“Gue kira Dexie naksir lo.”

Angin malam yang dingin merasuk ke tulang. Tapi efek dinginnya tidak seperti saat mendengar penuturan Ray yang sama persis seperti apa yang dikatakan Yola. Sekarang ada dua orang yang menduga hal yang sama bahwa Dexie menyukainya. Mungkin sudah ada orang lain di luar sana yang menduga demikian tapi dirinya belum tahu.

“Itu cuma perasaan lo aja.”

“Gue punya dua dugaan. Dugaan pertama dia naksir lo. Dugaan kedua, dia benci gue punya temen, siapa pun itu.”

“Gue tahu sifat Kak Dexie emang dingin dan nggak mudah bergaul. Gue cuma baru tahu kalau dia bisa ngelakuin apa aja buat nyingkirin orang yang nggak dia suka.”

Pesanan dua gelas teh hangat datang. Ray memberikannya pada Levi. “Minum dulu.”

Levi mengambilnya kemudian menyesapnya. Tubuhnya terasa lebih hangat. Dia hirup lagi dan dia menikmatinya. Setelah itu dia menyandarkan punggung. Kulitnya yang terasa lengket karena belum mandi sejak pagi, membuatnya tak nyaman berada di dekat Ray. Padahal Ray sendiri juga belum mandi sore. Akhirnya Levi hanya mengetatkan sweaternya.

“Dingin?” tanya Ray perhatian. “Lo mau pakai jaket gue?”

“Em, nggak, makasih. Ini aja udah cukup kok.”

Levi pura-pura mengabaikan Ray yang masih saja memperhatikannya. Dia tidak bisa menebak apa yang ada dalam pikiran Ray sekarang. Hanya dugaan jika Ray sedang mengamati apa yang membuat Dexie suka jika itu memang benar.

“Lo juga suka Dexie?”

Dan Levi habis kesabaran. “Ray, bisa nggak lo berhenti ngomongin Dexie?” Levi sendiri bingung kenapa dia harus mengatakannya penuh penekanan. Terlihat sekali kalau dia tidak suka. Tapi mendengar nama Dexie yang diucap berkali-kali membuatnya tak nyaman karena dia sedang menenangkan hatinya yang bergemuruh setelah beberapa jam hanya berdua dengan Ray.

“Lo marah?” ada seringai geli di wajah Ray.

“Lo malah senyum?”

“Kalau lo marah, gue justru curiga kalau kalian memang ada hubungan.”

“Stop, Ray!”

“Kenapa?” Ray masih ingin menggoda Levi yang terlihat tidak sabar.

“Karena kita lagi berdua, tapi lo malah―” Levi ingin menggigit lidahnya sendiri karena hampir saja kelepasan mengungkapkan isi hatinya. Wajahnya tiba-tiba terasa hangat dan khawatir Ray akan mengartikan yang tidak-tidak.

“Ya, kita lagi berdua. Nggak seharusnya gue ngomongin cowok lain,” ucap Ray tenang kemudian menerima dua piring dari pedagang sate.

Levi menghela napas panjang untuk meredakan kegelisahannya sendiri. Dia heran juga bagaimana bisa Ray mengucapkannya begitu santai dan senyum samar-samar. Padahal dirinya sudah panas dingin.

“Makan dulu, Lev. Mau gue suapin?”

Levi menoleh cepat. Seringai menggoda itu masih dilihatnya di wajah Ray. Sialan, kenapa gue jadi baper?

Dengan gerak cepat, Levi menarik piring hingga tepat di hadapannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu melahap tanpa ampun tujuh tusuk sate dan tujuh potong lontong dalam piringnya. Segelas teh hangatnya juga telah tandas dalam waktu tak lebih dari lima belas menit.

“Lo termasuk orang yang doyan makan saat stress.”

“Gue nggak stress, Ray. Lo ngaco.”

Terdengar Ray tertawa ringan. Tentu saja Levi tidak ingin melewatkan momen langka itu, ketika dia bisa melihat Ray tertawa. Levi harus akui, wajah Ray sangat macho. Benar-benar wajah lelaki. Rahangnya kokoh, sorot matanya tajam menguasai, dan bibirnya... astaga!

“Gue minta maaf.”

“Hah? Buat apa?”

“Buat semuanya.” Cowok itu membersihkan mulutnya dengan tisu. “Buat sikap gue yang dingin selama ini ke lo. Dan buat yang barusan, gue baru ngerti kalau lo nggak suka ngomongin cowok lain waktu lagi bareng sama gue.”

Telinga Levi seakan panas mendengarnya. Rasa malu menguasai dirinya sampai-sampai Levi tak mau memandang wajah Ray. Dia khawatir Ray melihat mukanya yang mungkin memerah.

“Lo capek?”

Terpaksa Levi menoleh. “Nggak.”

Ray tersenyum lagi. Entahlah, kenapa senyum itu terkesan sangat menggoda. “Masih jam enam.” Cowok itu melirik jam tangannya, lalu melihat lalu lalang kendaraan yang padat merayap di jam pulang kantor. “Kita jalan bentar, mau?”

Lagi-lagi seperti robot, Levi mengangguk. Kemudian sensasi itu hadir kembali. Ketika Ray memboncengnya sehingga membuat mereka begitu dekat, Levi tak bisa menghilangkan rasa berdebar ini. Dia pun heran, apa yang membuatnya setertarik ini pada Ray. Ah, apakah baru saja dia mengakui perasaannya?

Motor Ray berbelok pada sebuah gapura perumahan kelas menengah ke bawah. Suasananya cukup ramai. Ada dua orang satpam yang bekerja menyeberangkan orang-orang yang akan masuk atau keluar ke dalam perumahan.

“Kita mau ke rumah siapa, Ray?”

“Nggak ada. Hanya muter-muter aja.”

Kesannya tidak ada gunanya jika hanya berputar-putar saja. Tapi kemudian Ray berhenti di depan sebuah rumah yang terlihat kosong. Cowok itu mengeluarkan ponsel dan mengetikkan sesuatu.

“Lo mau beli rumah ini, Ray?” tanya Levi bingung ketika melihat tulisan rumah dijual di dinding rumah itu.

“Nggak. Gue mau bantuin jualin kalau aja yang punya rumah mau.”

“Lo agen pemasarannya, begitu?”

“Lebih tepatnya broker properti. Beberapa hari yang lalu gue ikutan pelatihan broker properti di sebuah kantor jasa pemasaran properti. Kali ini gue mau nyoba ngelisting.” Ray masih sibuk mengetik info yang ada di dinding tersebut.

“Bukannya lo udah kerja di bengkel?”

“Lo tahu?”

“Emm, gue pernah denger Edo ngomong begitu.”

“Iya gue emang kerja di bengkel. Tempat pencucian mobil dan motor tepatnya.”

“Lo nggak capek Ray masih mau jadi broker juga?”

Ray menoleh dengan posisi mereka masih di atas motor. “Nggak ada yang pengin kerja capek disaat orang-orang di deket kita bisa ngasih lebih, Lev. Gue begini karena keadaan. Tanpa gue cerita, lo pasti udah tahu semuanya. Tapi gue nggak ngeluh, gue justru semangat.”

“Gue kagum sama lo, Ray,” desis Levi lembut masih dengan saling menatap. Ray tak mengalihkan pandang sedikitpun dari gadis itu. Sampai beberapa detik kemudian, Levi merasa tak nyaman. “Ray...” Dan Ray masih saja terdiam dengan sorot lekat. “Ray...” Levi kembali berdesis dengan jantung berdetak tak beraturan.

“Lo cantik.”

***

Lo cantik.

Dua kata itu terus terngiang di telinga Levi. Gadis itu baru saja merebahkan diri setelah mandi. Dia tidur membelakangi Yola hanya supaya temannya itu tidak melihat wajahnya yang berseri atau bahkan tersenyum sendiri seperti orang tidak waras.

“Lev, baru jam delapan udah mau tidur lo?” Yola memasuki kamar setelah menonton tv dengan kedua saudaranya.

“Capek, Yol,” jawab Levi pendek. Padahal dia belum mengantuk, hanya saja tidak berniat untuk bergabung di ruang tv. Gadis itu masih ingat seperti apa tatapan ketiga bersaudara itu―terutama Dexie―saat dirinya dan Ray baru saja sampai di ujung tangga dengan masih berseragam sekolah.

“Capek?” Yola melompat ke atas tempat tidur. “Lo habis dari mana sih sama Kak Ray? Kelihatannya lo makin deket sama dia? Dan tunggu-tunggu, lo tadi kan pamitnya mau jengukin Inge, terus kenapa bisa pulang sama Kak Ray sampai semalem ini? Lev, lo harus jujur sama gue!” Yola menggoyang-goyangkan bahu Levi.

“Aduh apaan sih,” terpaksa Levi berbalik dengan wajah cemberut, lalu duduk.

“Lo harus cerita, Lev. Ceritain sampai gue nggak penasaran lagi.”

“Gue ketemu dia waktu mau berangkat ke rumah sakit. Ya udah gue barengan sama dia. Nggak sengaja juga.”

“Lo bilang udah pesen taksi?” tanya Yola dengan menyipitkan mata, tanda curiga.

“Gue batalin,” jawab Levi bohong.

“Kok gue ngerasa lo nggak jujur ya.”

“Ya ampun, Yol. Beneran deh gue nggak sengaja ketemu Ray, terus jadinya bareng.”

“Dan kalian makan malem bareng juga, kan?”

“Hah? Kok lo nyangkanya gitu sih?” tanya Levi kesal karena Yola terus menyerangnya.

“Kalian nggak mau makan waktu mama suruh makan tadi. Itu udah jelas kalau kalian habis makan bareng.”

Levi menghela napas lelah. “Iya, gue makan bareng Ray. Puas?” dengan kesal Levi membaringkan tubuhnya lagi. Ketika Yola berhenti bertanya dan memilih keluar dari kamar―mungkin mau menginfokan apa yang baru saja didengar kepada Dexie dan Sammy―Levi tersenyum teringat sore harinya yang dihabiskannya bersama Ray.

Belum sempat dia memejamkan mata, ponsel yang masih di dalam tasnya, berbunyi. Sesegera mungkin Levi berlari menyambarnya lalu berbaring lagi mencari posisi nyaman ketika nama yang tertera di layar ponselnya adalah nama Ray. Sebelum pulang tadi mereka bertukar nomor telepon.

“Halo, Ray,” sapa Levi dengan suara lirih.

“Gue kira lo udah tidur.” Di kamar sebelah, Ray tersenyum menyadari betapa cepatnya Levi menerima panggilannya.

“Baru aja mau tidur.”

“Lo nggak nonton tv sama mereka?”

“Nggak. Gue capek.”

“Capek atau males ditanyain sama mereka?”

Levi tersenyum dengan hembusan napas di ponselnya, membuat Ray tahu dan ikut tersenyum. “Yola baru aja nginterogasi gue. Sekarang mungkin lagi menyampaikan laporan.”

Ray tertawa ringan. “Lo nggak khawatir mereka ngejauhin lo gara-gara lo deket sama gue?”

“Gue nggak ngerasa ngelakuin hal yang salah, Ray. Jadi nggak perlu ada yang dikhawatirkan.”

“Lev, makasih udah mau jadi temen gue, di saat orang lain pengin menghindari gue.”

Levi tersenyum lagi, senyum tulus tapi sayang Ray tak bisa melihatnya. “Gue seneng akhirnya lo ngerti kalau gue nggak ada maksud apa-apa. Gue cuma mau jadi temen lo.”

“Cuma temen? Nggak pengin lebih dari temen?”

“Em, maksudnya?” tanya Levi terbata, sedikit berdebar mendengar pertanyaan Ray.

“Lo pernah bilang kalau lagi deketin gue.”

Levi merasa hawa panas menerpa wajahnya. Dia ingat ketika Ray dan Dexie berseteru setelah kejadian pengrusakaan motor itu, Ray memasuki kamar Dexie dengan kalap. Saat itulah dia mengatakan kalau bukan Ray yang mendekatinya, tapi dirinya.

“Em, itu―”

“Gimana kalau sekarang gantian gue yang deketin lo?”

Napas Levi tersendat. Dadanya sesak. Apa yang baru saja diucapkan Ray adalah sesuatu yang membuat kepalanya seolah melayang-layang. Antara percaya dan tidak. Antara yakin dan tidak. Antara mimpi dan bukan. Sampai mereka telah mengakhiri obrolan, Levi belum terlelap mengingat pernyataan yang sangat membuatnya baper.

Tepat sesaat ketika akan terlelap, ponselnya berdering lagi. Secepat mungkin Levi menyambarnya lagi sampai membuat Yola yang telah memasuki kamar menjadi heran.

Gue tunggu di taman belakang.

***

Fortsätt läs

Du kommer också att gilla

456K 51.8K 34
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
ALZELVIN Av Diazepam

Tonårsromaner

3.6M 217K 27
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
D'ARCY Av imlovata

Tonårsromaner

639K 60K 45
𝐖𝐀𝐑𝐍𝐈𝐍𝐆 𝟏𝟖+ [ 𝗞𝘆𝗹𝗲𝗿 𝗦𝗲𝗿𝗶𝗲𝘀 𝟯 ] D'arcy, nama Tengahnya yang berarti kegelapan melambangkan kehidupannya. Tidak ada siapapun yang...
5.2M 350K 67
#FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠️ Kisah Arthur Renaldi Agatha sang malaikat berkedok iblis, Raja legendaris dalam mitologi Britania Raya. Berawal dari t...