MUNGKINKAH?(Completed)

Oleh NieyaNaruHinalovers

179K 9.1K 2.4K

[Revisi] Hidup dalam lingkungan keluarga yang kaya tak membuat kehidupan seorang Namikaze Naruto bahagia. Bah... Lebih Banyak

Chapter 1
Chapter 2
chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24

Chapter 18

6.3K 361 94
Oleh NieyaNaruHinalovers


Naruto © Masashi Kishimoto

Mungkinkah © NieyaNaruHinaLovers

Pairing : NaruHina

Warning !!!

Typo(s).
Jika bosan tinggal klik tombol 'Back' nya

Don't Like Don't Read

.

.

.

.

.

***

Menma mencengkram jaket hoodie yang Naruto kenakan. Menatap tajam shappire milik sang adik, yang sama seperti miliknya. Naruto yang ditatap tajam hanya balas menatap Menma dengan tatapan malas dan jengah.

"Aku muak mendengarmu berbicara seolah-olah kau tak memiliki orang tua dalam hidupmu! Apa kau tidak memikirkan perasaan Kaa-san juga Tou-san, hah?" ujar Menma dengan penuh amarah.

"Menma...

"Biarkan aku beri anak ini pelajaran Tou-san, jangan halangi aku," Menma langsung memotong panggilan Minato.

"Sudahlah Menma, adikmu sedang sakit. Ingat kata dokter," timpal Kushina mencoba melerai cengkraman Menma pada Naruto, namun Menma semakin erat mencengkram jaket hoodie tersebut. Membuat tubuh Naruto sedikit terangkat dan tubuh Kushina kembali mundur.

"Biar Kaa-san, kekerasan kepala yang dimilikinya harus dilunakkan," desis Menma tanpa menatap sang Ibu, "Apa kau pikir Kaa-san dan Tou-san tak menyayangimu, hah? Mereka sangat menyayangimu! Mereka begitu sedih, khawatir dan cemas serta ikut merasakan sakit saat melihat kau terbaring lemah tak berdaya. Kenapa kau masih saja bersikap dingin dan acuh pada Tou-san juga Kaa-san? Dimana hatimu, hah? Setidaknya hargai perasaan mereka, dengan kau tidak berkata yang membuat hati Kaa-san juga Tou-san terluka. Mereka orang tuamu Naruto, orang tua kita!" imbuhnya geram dengan gigi yang bergelutuk, matanya pun memerah menahan emosi yang seperti ingin meledak jika ia tak ingat tempatnya kini berada.

Naruto memegang tangan Menma guna melepaskan cengkraman pada jaketnya. Tatapan yang awalnya malas kini menatap tajam sepasang shappire yang sama seperti miliknya.

"Khe...orang tua ya?" kekehnya tersenyum kecut,
"Dan aku pun lelah mengatakannya padamu. Kau mungkin terbiasa merasakan bagaimana kasih sayang dari orang tua, Menma-nii. Tapi tidak denganku, aku tumbuh tanpa kasih sayang kedua orang tua walaupun aku memiliki mereka di sisiku, kau tahu kenapa? karena mereka terlalu sibuk memperhatikan anak sulungnya sehingga lupa dengan keberadaan anak bungsu dan mengabaikannya," imbuhnya dengan suara dingin.

"Kau bilang kalau aku tidak menghargai perasaan mereka, dan menyakiti hati mereka?" Naruto kini melontarkan pertanyaan pada sang kakak dengan mata yang berkilat tajam pun sudah memerah.

"Lalu bagaimana denganku, hah? Apa mereka pernah menghargai dan memahami perasaanku sedikit saja? Tidak pernah!! Mereka terlalu sibuk memberikan kasih sayang mereka untukmu, tanpa mempedulikan ku yang juga membutuhkan kasih sayang dari mereka!" sentak Naruto tersulut emosi, dengan napas yang memburu menahan sesak di dadanya.

"Sekarang kau berkata mereka khawatir dan mencemaskan keadaanku? Kenapa? Kenapa baru sekarang? Saat tahu kondisiku yang sebenarnya, kemana saja mereka selama ini? Bukankah aku pernah bilang, aku tidak butuh cinta dan kasih sayang yang dibangun hanya atas dasar kasihan semata!" lanjutnya memekik dengan keras.

"Kau tidak pernah merasakan bagaimana menjadi diriku Nii-san. Bagaimana aku harus selalu menekan rasa sakit, dan sesak dihatiku saat melihat mu tertawa lepas dan bercanda dengan Kaa-san juga Tou-san. Mengalah untuk kesekian kali demi kebahagiaanmu karena permintaan mereka, tanpa peduli perasaanku!" kata-kata Naruto telak membungkam amarah Menma. Niat hati ingin memberi sedikit pelajaran pada sang adik, malah berbalik dirinya yang kini terdiam membisu.

Isak tangis Kushina sudah pecah sedari tadi saat Naruto berteriak kepada Menma. Dadanya sungguh terasa sesak mendengar ucapan demi ucapan yang keluar dari bibir Naruto.

Tak berbeda dengan sang istri, Minato bahkan seperti membeku tak berkutik.

Sedang Hinata dan yang lain hanya terdiam menyaksikan perdebatan kedua saudara tersebut tanpa bisa melakukan apa-apa.

Air mata jatuh membasahi kedua pipi bergores milik Naruto. Dia merasa sudah lelah berada di lingkaran keluarga ini. Dan dia ingin mencari jalan hidupnya sendiri.

"Mereka datang menawarkan kebahagiaan untukku dengan perjodohan. Tapi, apa mereka berpikir jika aku nantinya akan bahagia dengan keputusan mereka? Aku dan kau berbeda Nii-san. Kau mudah mendapatkan apa yang kau inginkan, sedangkan aku? Aku harus berjuang mati-matian untuk sekedar mendapatkan sedikit saja perhatian mereka. Tapi, apa yang kudapat? Tidak ada. Aku selalu berpikir, apa takdir hidupku memang hanya begini-begini saja? Aku muak! Aku lelah!" lanjutnya terdengar frustasi.

Naruto kemudian berbalik seraya mengambil tas ransel yang tadi ia kemas, menyampirnya ke bahu dan berjalan melewati mereka yang berada didekatnya.

"Naruto kau mau kemana, nak?" Minato menahan pergerakan Naruto dengan memegang sebelah bahunya.

"Aku mau kemana itu terserah diriku," Naruto menjawab tanpa menoleh.

"Tapi keadaanmu masih lemah, kau harus banyak istirahat Naruto."

"Aku yang paling tahu bagaimana tubuhku. Jadi, kalian tidak perlu khawatir dengan keadaanku. Aku masih mampu hidup dan berdiri sendiri dengan atau tanpa kalian," ujarnya sarkatis.

"Khe... tanpa sum-sumku kau mungkin masih sekarat sekarang," emosi Menma kembali tersulut.

"Cukup Menma!" bentak Minato ikut emosi saat mendengar ucapan Menma yang menurutnya keterlaluan.

"Dan aku tidak pernah memintamu memberikan sum-sum tulang belakangmu. Jika aku harus memilih antara hidup dan mati, maka aku lebih memilih kematian dari pada hidup dalam keluarga yang hanya mementingkan egonya!" menoleh menatap Menma kembali, dengan amarah yang memuncak. Dan berjalan kembali menjauhi mereka.

"Naruto-kun!" teriak Hinata saat mendengar ucapan Naruto, lalu mencoba menghadangnya dengan air mata yang sudah membasahi pipinya.

"Sudah cukup...!!" tak kalah, Kushina berteriak sambil menutup telinganya dengan berderai air mata, "Sudah cukup! Kaa-san, mohon! Naruto, Menma kalian berdua putra kami. Jangan bertengkar lagi," pintanya terisak dan menatap Naruto yang sedari tadi masih memunggungi dirinya dan yang lain.

"Naruto Kaa-san tahu, di sini Kaa-san dan Tou-san yang salah. Kami memang orang tua yang buruk. Orang tua brengsek yang hanya mementingkan keegoisan kami sendiri. Selalu membanding-bandingkan dirimu dengan Menma. Tapi, tolong! Tolong beri kami kesempatan untuk memperbaiki semuanya, nak. Membuka lembaran yang baru. Ini mungkin terdengar egois, kami terlalu banyak menyakiti hatimu, dan sekarang kami datang untuk meminta maaf atas segalanya Naru...

Belum selesai Kushina berbicara, Naruto langsung memotongnya, "Aku memang berniat melupakan segalanya dan memulai dari awal. Tapi, kalian...

Dan ucapannya kini terhenti kala kepalanya kembali berdenyut hebat. Keringat sebesar biji jagung mengalir dipelipisnya. Namun dia mencoba tetap bertahan, mengeratkan pegangan pada tasnya. Serta mengerjapkan mata sejenak guna mengusir rasa pusing yang menyerangnya.

Naruto kembali melangkahkan kakinya, namun lagi-lagi Hinata menghentikan. Hinata menatap Naruto intens cukup lama, bibir mungilnya bergetar saat akan mengeluarkan kata-kata.

"Naruto-kun... k-kau mau kemana?" tanyanya lirih.

"Aku akan pergi mencari jati diriku sendiri Hinata-chan. Dimana aku bisa dihargai tanpa ada ikatan dan bayang-bayang nama Namikaze dalam hidupku. Sekarang namaku hanya Naruto. Bukan Namikaze maupun Uzumaki, hanya Naruto," ucap Naruto mantap dan mengusap kasar wajahnya yang basah oleh air mata.

Jantung Minato dan Kushina seakan berhenti berdetak mendengar ucapan Naruto. Sakit juga sesak, kenapa rasanya hati mereka seperti diremas. Mungkin dulu mereka memang pernah berpikir untuk tak mencantumkan Naruto dalam daftar keluarga Namikaze saat perjodohan dan pernikahan Naruto dan Saara telah terlaksana.

Namun itu dulu, saat keegoisan dan kebencian menguasai hati dan pikiran mereka. Dan sekarang, sungguh Minato dan Kushina telah benar-benar menyesali perbuatannya itu, keduanya akan berusaha untuk memperbaiki semuanya walau sulit namun mereka benar-benar telah bertekad tidak akan menyerah berusaha.

Naruto.

Anak yang telah mereka sakiti, benci, dan dianggap tak berguna.

Anak yang selalu diabaikan dan dikucilkan. Kini akan pergi dengan meninggalkan sejuta rasa penyesalan sebelum mereka bisa memperbaikinya?

Tidak!

'Ini tidak boleh terjadi,' batin Minato seraya menggeleng, begitu juga Kushina 'Ti-tidak, aku tidak boleh membiarkan Naruto pergi. Tidak akan!" batinnya menjerit.

"Kau mau pergi kemana Nami-kun?" tanya Saara tiba-tiba mengintrupsi, berjalan mendekat kearah Naruto. Sedang Naruto menghela napas jengah karena sikap gadis yang selalu memanggilnya Nami-kun itu.

Hinata bahkan terlihat cemburu, saat Saara datang dan berdiri begitu dekat dengan Naruto. Apa lagi saat tangan Saara memegang tangan Naruto dan menggenggamnya erat, seakan tak peduli akan keberadaan dirinya diantara mereka.

"Aku tidak akan membiarkanmu pergi Nami-kun. Bagaimana bisa kau mau pergi begitu saja, saat aku jauh-jauh datang dari Rouran kesini hanya untukmu. Dan sekarang, aku di sini berdiri di depanmu ingin meminta janjimu saat kita kecil dulu, bahwa kau akan menikahiku jika kita sudah dewasa," ungkap Saara seraya memegang pipi Naruto, "Dan sekarang aku menagih janjimu itu," lanjutnya lagi.

Naruto memutar mata bosan sambil menghela napas lelah, dengan keberadaan gadis yang ada didepannya ini. Dan Naruto semakin risih saat tangan Saara masih menempel dipipinya. Naruto akhirnya memegang tangan itu, menurunkannya agak sedikit keras sehingga Saara sontak terkejut dengan sikap Naruto.

Denyutan kepalanya semakin sakit, mendengar pengakuan dari Saara. Namun segera dirinya melihat Hinata yang memalingkan mukanya seperti tengah menahan kesal.

"Dengar nona Saara, atau siapalah namamu. Aku tidak peduli. Aku benar-benar tidak menginginkan perjodohan ini, karena aku sudah memiliki kekasih pilihanku sendiri. Dan sungguh aku tidak mengenalmu. Aku tidak pernah merasa punya teman masa kecil. Jadi, tolong berhenti memintaku untuk memenuhi janji masa kecil seperti yang kau maksud. Dan satu lagi, berhenti memanggilku dengan sebutan Nami-kun itu, karena namaku adalah Naruto," suaranya terdengar begitu dingin, menatap tajam Saara.

Mengaitkan tangan tan-nya pada tangan seputih porselen milik Hinata, hingga sang pemilik tangan sedikit tersentak. Dan menoleh menghadap Naruto, lalu beralih menatap ketangannya yang digenggam erat.

"Namanya, Hyuuga Hinata. Dia adalah gadis yang aku cintai. Sangat! Karena dia adalah satu-satunya gadis yang telah memberikan warna baru dalam hidupku yang hanya abu-abu," ungkap Naruto mantap, mengenalkan Hinata pada Saara. Menatap Hinata dengan senyum tulusnya. Hati Hinata pun menghangat mendengarnya, air mata turut keluar dari matanya.

Bukan air mata kesedihan, namun ini adalah air mata bahagia miliknya. Hinata sedikit merasa berbangga dengan pengakuan Naruto atas dirinya. Kecemburuan yang sejenak menghampirinya tadi, kini tiba-tiba serasa menguap begitu saja.

"Kau mengerti 'kan sekarang? Jadi tolong... berhentilah mengejar cinta semu mu itu. Aku tidak ingin kau terluka dan sakit hati jika kau dan aku bersama, karena hanya ada cinta sepihak diantara kita. Bagaimanapun kau berusaha membuatku jatuh cinta padamu nantinya, aku tidak akan pernah bisa mencintaimu karena cinta dan hatiku ini telah kuberikan sepenuhnya hanya untuk Hinata-chan seorang," imbuhnya lagi menegaskan.

Saara menatap bergantian Naruto dan Hinata. Saat matanya jatuh pada Hinata, Saara benar-benar merasa sakit juga cemburu. Terlihat dengan tatapannya pada Hinata dengan pandangan yang penuh keirian.

'Kau sungguh beruntung dicintai olehnya Hinata-san.'

Sekuat tenaga Saara menahan air matanya agar tidak jatuh, saat medegar pengakuan Naruto. Terlebih saat Naruto meminta maaf untuk menolak perjodohan itu.

"Jadi sekali lagi maaf, aku tidak bisa menerima perjodohan ini," Naruto kemudian melangkah kembali setelah ia melepaskan genggamannya pada Hinata.

Namun lagi-lagi Hinata menahan pergerakannya, dengan menahan pergelangan tangan Naruto yang melewatinya, "Kau mau pergi tanpa membawaku juga, Naruto-kun?" Naruto kemudian berbalik, dan juga membalikkan badan Hinata agar menghadapnya.

"Bawa aku kemanapun kau pergi Naru," ucap Hinata saat mata mereka bertatapan.

"Tapi Hime...

"Bukankah kau sudah berjanji akan selalu disisiku?" potong Hinata.

Naruto menghembuskan napasnya pelan, terkadang ia tidak bisa melawan kekerasan kepala milik Hinata-nya ini, "Apa kau yakin dengan keputusanmu, Hime?" tanya Naruto yang dijawab anggukan mantap Hinata. Kemudian senyum terbit dari bibirnya lalu mengangkat tangannya terulur didepan wajah Hinata.

"Kalau begitu kau juga harus berjanji tidak akan meninggalkanku apapun yang terjadi."

"Tentu Naruto-kun, aku berjanji," ungkap Hinata menyambut uluran tangan Naruto.

Kehangatan menjalar dalam hati Naruto, tapi tidak dengan Saara yang merasa sesak melihat kedekatan Naruto dan Hinata.

"Tidak...!" teriak Kushina saat Naruto dan Hinata berjalan melewati Kakashi yang sedari tadi hanya terdiam mematung didekat pintu. Hingga tangan Naruto yang memegang knop pintu terhenti saat mendengar teriakan Kushina.

"Kalian tidak akan pergi kemana-mana. Naruto, Hinata tolong, jangan pergi!" isaknya tersendat, namun apa yang keluar dari mulutnya seakan angin lalu, tak didengar oleh Naruto dan menyeret Hinata untuk ikut melangkah keluar bersamanya.

"Naruto...!!" teriak Kushina memanggil nama Naruto yang sudah menutup pintu. Hingga akhirnya kesadarannya menghilang.

"Kushina / Kaa-san!!" teriak Minato dan Menma bersamaan, saat tubuh Kushina ambruk didepan mereka. Bersamaan itu juga, Saara pun jatuh berlutut sambil terisak.

"Saara..." panggil Kozuya lirih melihat anaknya yang terpuruk. Ia pun berjalan mendekat ke Saara.

Kebahagiaan yang diimpikannya sirna sudah sekarang. Menma menatap prihatin kondisi yang dialami Saara saat ini, tiba-tiba hatinya sakit melihat Saara yang menangis seperti itu. Hatinya tergerak mendekati Saara setelah dirinya dan sang Ayah membopong Kushina untuk ditidurkan diranjang pasien milik Naruto.

"Kau jahat, Nami-kun. Kau membohongiku," racau Saara.

Kozuya tak mampu menenangkan putrinya yang sedang meracau, hingga dirinya terkejut melihat Menma yang tiba-tiba datang dan langsung membawa Saara kedalam dekapannya.

"Ssttt... jangan menangis Saara, aku ada di sini bersamamu," hibur Menma tulus dan mengelus lembut rambut merah Saara.

Mata Saara sontak membulat saat merasakan dirinya tiba-tiba ditarik kedalam pelukan seorang pemuda, begitu juga dengan jantungnya yang berdegup kencang, bergemuruh dua kali lipat.

'Pelukan ini? Begitu ha-hangat, seperti pelukan Nami-kun dulu.'

Sementara itu, Kakashi yang mengejar Naruto dan Hinata yang sudah berada jauh dari loby rumah sakit akhirnya berhasil mencegat mereka.

"Naruto tunggu! Apa ini, hah? Bukankah sudah kubilang kalau tidak ada yang...

"Ji-san tolong, kali ini biarkan aku memutuskan apa yang baik menurutku. Naruto mohon!" potong Naruto cepat sebelum Kakashi menyelesaikan kalimatnya.

"Tapi kau akan pergi kemana? Juga Hinata, kau akan membawanya pergi kemana?" tanya Kakashi kembali dengan raut cemas.

"Khe... Ji-san seperti tidak mengenalku saja. Dan soal Hinata, tidak usah khawatir aku akan menjaganya."

"Apa yang dikatakan Naruto-kun benar. Kakashi-ji tak perlu khawatir, aku akan baik-baik saja selama aku selalu berada disamping Naruto-kun," timpal Hinata ikut menyakinkannya.

Menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba gatal, karena ia tak berhasil meyakini Naruto agar tak keluar dari rumah. Kakashi lantas hanya bisa mengangguk, berusaha meyakinkan dirinya kalau Naruto bisa menjaga diri juga Hinata. Bukannya ia tidak percaya kalau Naruto bisa mengatasi ini semua tapi, mengingat kondisi Naruto lah yang membuat kekhawatirannya bertambah.

"Ayolah Ji-san, jangan pasang wajah seperti itu. Aku janji akan baik-baik saja. Lagian, bukankah sudah ada Hinata yang akan merawatku," Naruto terus berusaha meyakinkan sang paman.

Kakashi pun pasrah, lalu menghela napasnya kasar. Mau tidak mau dia harus membiarkan Naruto mengambil jalannya sendiri. Sebagai paman, dia hanya bisa memberi dukungan.

"Baiklah, kalau begitu aku pamit dulu Ji-san, dan...

Naruto menunduk sejenak, kemudian langsung berbalik, "Aku titip mereka, Ji-san," gumam Naruto sebelum dirinya benar-benar berjalan menjauh dari Kakashi.

Kakashi hanya menyunggingkan senyum tipis, saat ia bisa menangkap gumaman yang keluar dari mulut Naruto walau hanya sebuah bisikan.

Naruto tetaplah Naruto, walau seberapa pun hatinya disakiti, tapi dia akan tetap peduli pada orang disekitarnya.

'Pantas saja, dari dulu Tou-san dan Kaa-san menyayangimu Naruto. Kau mempunyai hati yang baik dan lembut, walau seberapapun hatimu sakit dan kecewa tapi kau tetap peduli pada mereka. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu Naruto.' Kakashi memandang tubuh Naruto dan Hinata yang semakin menjauh dan hilang dari pandangan.

.

.

.

.

.

"Naruto..." lirih Kushina dalam tidurnya.

Bersambung...

Hii...

See you next chap...

Salam hangat selalu... 🧡🧡🧡

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

1.5M 132K 69
Ziel adalah candu. Tawanya Candanya Aroma tubuhnya Senyum manisnya Suara merajuknya dan Umpatannya. . . . "Ngeri bang." - Ziel "Wake up, Zainka."...
176K 17.7K 68
FREEN G!P/FUTA • peringatan, banyak mengandung unsur dewasa (21+) harap bijak dalam memilih bacaan. Becky Armstrong, wanita berusia 23 tahun bekerja...
71.4K 7.9K 40
Boruto begitu membenci Hokage, sebab semenjak jadi hokage, ayahnya jarang pulang dan menghabiskan waktu bersama dengan mereka. Hal ini membuat Boruto...
172K 9.4K 11
CADEL, POLOS,IMUT. Semua menganggap Haruno Sakura gadis sempurna. Kaya, cantik, imut, polos, cerdas. okeyyyyyy itu menurut orang-orang yanng belum be...