Pejuang Cinta Allah.

By Rismayn11

1.9K 108 4

Membahas tentang tantangan hijrah bersama teman seperjuangan, sebuah cerita dimana yang diceritakan pernah d... More

Prolog.
sholat sunnah.
Ujian atau Rezki?
Minta maaf?
Calon Imam
Perbaiki ibadahmu.
Kepo yang terbayar.
berakhir.
Hidayah.

Maafkan aku.

200 12 0
By Rismayn11

Maafkan Aku.

Lapangan SMA Bakti mulai ramai dipadati siswa, ciptaan Allah yang menjadi kebutuhan seluruh makhluk bercahaya terik diatas sana, burung-burung yang tadi berkicau sudah pergi mencari makanan.

Beberapa pahlawan yang memakai baju coklat keemasan sudah berjalan menyusuri kelas-kelas yang akan mereka mulai didik lagi hari ini, sementara siswa-siswi yang memakai seragam putih abu-abu yang tadi masih betah berkeliaran kini sudah tidak terlihat, tersisa mereka yang memakai seragam olahraga, kumpulan itu betah berdiri panas-panasan di bawah terik matahari.

Hari ini merupakan pelajaran olahraga bagi kelas XII ips 1 dan 2 maka dari itu sejak 10 menit yang lalu para siswa sudah berbaris di tengah lapangan untuk melakukan pemanasan.

Pemanasan dipimpin oleh satu siswa sebagai contoh sementara yang lainnya mengikuti. Matahari pagi itu cukup terik membuat keringat mereka cepat bercucuran. Setelah melakukan pemanasan, sang guru segera memberitahu materi yang akan di-praktikan hari ini, dan ternyata Sepak Bola, salah satu olahraga yang paling banyak diminati kaum adam. Praktiknya mudah, hanya menendang bola, menggiring dan memasukkan ke dalam gawang sesuai apa yang diajarkan sang guru, tentu ini mudah bagi laki-laki tapi untuk kaum hawa? Tidak, dan disinilah kalian akan mendengar jeritan-jeritan mengenaskan dari mereka.

Setelah semua siswa selesai melakukan praktik, disinilah pertarungan dimulai. IPS 1 vs IPS 2, tanding bola dimana Bapak guru sebagai wasit sekaligus pelatih, ini untuk kaum adam sementara kaum hawa duduk di pinggiran lapangan sebagai pendukung kelas masing-masing.

"Ips satuuuuu, juaraaa" teriak Naya mengundang kehebohan teman-teman sekelasnya untuk ikutan berteriak. Adegan melempar dukungan dimulai. Keringat kaum Adam yang bergulat di tengah lapangan mulai bercucuran, sedangkan yang wanita sudah kehabisan suara karena terus teriak-teriak memberi dukungan.

"Teriak truuuss sampai habis tuh suara" cerocos Nabila yang baru saja duduk di samping kiri Risma. Dia dan Ira baru saja kembali dari kantin untuk membeli air mineral.

"Nih, minum dulu biar tuh suara normal lagi" Ira menyodorkan sebotol air mineral dan cepat diambil Risma lalu meneguknya.

"Thanks"

"Siapa kitaaa"

"Ips satu"

"Siapa kitaaa"

"Ips satu"

"Siapa yang juaraaaa"

"Ips satu"

Layaknya pendukung timnas di gelora Bungkarno, mereka juga tidak mau kalah. Yang menjadi pengumpan adalah Ayu kemudian dijawab oleh seluruh rekan sekelasnya, termasuk Risma dan terkecuali Nabila. Pertandingan mulai panas ketika ada yang terjatuh, tentu akan mengundang emosi, tapi bagaimanapun akan bisa dikendalikan oleh sang guru.

"Rismaaaa, ihhh" pekik Nabila yang ternyata sejak tadi terus berteriak memangil sahabatnya itu yang berjarak sekitar 5 meter.

"Kalian mau kemana? Udah duduk sini aja, tuh pantat gelisah banget sih!" jawab Risma, matanya fokus pada benda bulat yang terus menggelinding di lapangan.

"Dhuha, Rismaaaaa. Ayooo" Ira yang menjawab.

Risma tidak peduli dengan ajakan Ira, ia masih betah berteriak dengan rekannya yang lain sampai lupa kalau mereka memiliki agenda sholat Dhuha hari ini.

Ira terus mendesak Risma agar berdiri dari posisi duduknya, bahkan Nabila pun mulai menarik-narik tangan sahabat nya itu.

"Ikhss, sakit Nabiiil" pekik Risma sambil berdiri dari posisi duduknya.

"Sholat dhuha Rismaaa, udah mau masuk nanti..."

"Kalau mau sholat, sholat aja sendiri. Nggak tahu apa orang lagi sibuk?" bentak Risma tepat di depan wajah nabila.

Nabila dan Ira menatap Risma melongo, tidak percaya kalau kata-kata itu akan keluar dari mulut Risma.

"Lagian kan udah ada Ira, kalau kalian berdua mau sholat udah pergi aja nggak usa ngajak, lagian cuman sholat sunnah kan? Nggak dikerjain pun saya nggak berdosa!" bentak lagi risma semakin menjadi, dia lupa kalau dirinyalah yang meminta untuk selalu diajak jika ingin sholat atau beribadah, apapun itu sunnah atau wajib. Dan sekarang dia mengingkarinya sendiri.

Nabila diam, matanya mulai berkaca-kaca. Ini bukan Risma yang ia kenal, tidak seperti biasanya sahabatnya itu menolak jika diajak beribadah.

"Rismaaa! Kamu kenapa sih?, kita tuh cuman mau ngajak kamu sholat dhuha, kalau emang nggak mau bisa kan bilang baik-baik dan nggak perlu bentak-bentak kayak gini?" Ira mulai membuka suara, dirinya yang kalem sudah tidak terlihat karena sekarang emosinya terpancing akibat Risma yang tiba-tiba mengajak ribut.

"Kalau ngajak tuh nggak usa narik-narik juga" bantah risma tak mau kalah.

"Kita kayak gitu, karena kita berdua peduli sama kamu, sama akhirat kamu" jawab Ira

"Aahh udah deh, urus aja akhirat kalian sendiri, saya mau tetap disini, kalau kalian mau pergi yaudah tinggal pergi aja, beres kan?" pekik lagi Risma tidak pernah mau terkalahkan. Dia memang egois, bagaimanapun kondisi dan apapun penyebabnya dirinyalah yang harus menang, padahal dilihat dari sudut pandang manapun dialah yang salah.

Mereka tidak sadar, kalau perdebatan mereka barusan telah menjadi tontonan beberapa pasang mata.

"Risma, kamu.."

"Udah Ra, mending kita urus diri sendiri dulu sebelum mengurusi orang lain" sela nabila menyindir. Matanya sudah terlihat agak berwarna merah, terlihat bulir air di dalamnya, ia menangis tapi mencoba ia tahan sebisa mungkin.

Sebenarnya Ira ingin meluruskan kejadian yang benar-benar salah ini dulu, namun Nabila memintanya untuk berhenti dan segera pergi ke msuhola, bukan apa tapi nabila sudah tidak kuat membendung air matanya. Baru kali ini ia dibentak oleh sahabatnya sendiri seperti itu, dan di tempat umum dengan mereka sebagai objek utama.

Risma? Mengenai anak itu, ia kembali bersorak berteriak mendukung kaum adam dalam bergulat di lapangan. Ia terlihat biasa saja, seperti tidak ada kejadian mencekam yang baru saja melibatkan dirinya, cengiran juga terlukis jelas di wajahnya. Bahkan ia tidak merasa berdosa sedikitpun, padahal ia sudah menyakiti hati dua sahabatnya, sahabat yang selalu mengingatkan dirinya perkara Akhirat.

***

"Lihat Nabila sama Ira nggak?"

Pertanyaan itu diajukan Risma pada Sukma, hanya gelengan kepala yang ia peroleh sebagai jawaban. Sejak mereka diminta untuk mengganti seragam oleh bapak guru, Risma sudah tidak melihat Ira dan Nabila dan hingga sekarang, jam ke 3-4 yang merupakan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, Nabila belum juga kembali padahal sebentar lagi bel istrahat akan terdengar, Nabila akan dicatat bolos 2 jam mata pelajaran Pendidikan kewarganegaraan.

"Risma, dimana nabila?" tanya Ibu Sumiwati. Cukup peka memang melihat meja depan yang satu kursinya kosong tidak diisi oleh siswa.

"A.anu bu, nggak tahu"

"Lho, tumben kalian nggak sama-sama? Biasanya lengket bertiga"

Risma cengengesan, "Masih di toilet kayaknya Bu, soalnya saya tadi buru-buru" Alibi Risma, dan Ibu Sumiwati merespon dengan anggukan paham dan 'oh' tanpa suara.

"Nabila mana sihh, jangan-jangan niat bolos tuh anak. kira-kira Ira juga ikutan bolos nggak yah? Tumben nih anak belum masuk juga" batin risma terus menoleh ke arah pintu kelas. Kursi disampingnya kosong, pemiliknya entah pergi kemana ia tidak tahu.

Yang ditunggu siswa-siswi datang! Bel istrahat sudah berdering, suasana kelas yang tadinya hening menjadi riuh, beberapa diantara siswa mulai gelisah akan kehabisan stok gado-gado dan empek-empeknya mama Widi. Kini, satu-satunya tempat tujuan adalah kantin.

"Rismaaa, kantin cuss" ajak Novi.

Risma menggeleng, "nggak deh, deluan aja" tolaknya halus.

"Mereka berdua kemana sihhh" risma mulai kesal sendiri. Kakinya menuntunnya berjalan menuju kelas Ira yang berada di samping kelasnya.

"Assalamualaikum, Ira ada nggak?" tanyanya.

"Nggak ada, Ris. Bolos dua mata pelajaran nggak tahu kemana, tumben banget" jawab Astrid teman sekelas Ira.

"Gitu yha? Thanks yah"

"Sama-sama. Eh, Nabila mana?"

"Nggak tahu! Dia bareng ira kayaknya"

"Lha, tumben banget nggak lengket bertiga, kalian bertengkar?" tebak Astrid dan direspon dengan kerutan alis oleh Risma.

"Nggaklah!" bantahnya, "Oh ya, saya ke Mushola dulu yah, barangkali mereka berdua ada disana, bye"

"Nggak ke kantin Ris?" teriak Astrdi dari dalam kelas. "Nggaak" jawab Risma juga dengan teriakan.

Sepanjang koridor yang Risma lewati lumayan ramai, maklumlah sekarang jam istrahat. Puluhan siswa berlalu lalang, ada yang menuju kantin ada juga yang dari kantin sambil membawa kantung kecil berisi makanan. Mushola tidak jauh lagi, dari tempat Risma berdiri sudah bisa ia lihat bahwa kondisi mushola saat ini sepi, hanya beberapa pasang sepatu berjejer di depan mushola.

Risma membuka sepatunya lalu masuk dengan kaki kanan terlebih dahulu, tidak lupa membaca doa dalam hati lalu memberi salam.

Risma mendapati Ira dan Nabila duduk di pojok mushola saling berhadapan.

"Kantin yuk?" ajaknya kemudian merasa tidak berdosa sedikitpun. Ira dan nabila tidak merespon, bahkan melihat kearah Risma pun mereka berdua enggan.

"Kamu nangis, Bil?" tanyanya, karena melihat Nabila terisak beberapa kali

Tidak ada respon.

"Ira, Nabila kenapa?" ia bertanya kembali.

Diam. Mulut Ira terlalu enggan untuk menjawab pertanyaan Risma, musthail dia tidak tahu kalau penyebab Nabila seperti ini adalah dirinya sendiri.

"Kok saya didiemin sih" Kata Risma, nada suaranya naik satu oktaf.

"Ini urusan kita, bukan urusan kamu. Biarkan kita berdua mengurusi diri sendri" jawab Ira, niat menyindir namun apalah daya jika yang disindir tidak peka.

"Ngomong apaan sih?"

"Ra, ke kelas aja" ucap nabila yang sudah berdiri dan berjalan menuju pintu keluar Mushola.

Ira mengangguk. Keduanya lantas keluar bersama meninggalkan risma yang terus minta penjelasan apa yang terjdi pada keduanya, dan mereka berdua bungkam membiarkan risma bertanya pada dirinya sendiri.

Sampai di kelas pun masih tetap sama, nabila terus diam. Bukan hanya Risma yang bingung dengan sikap sahabatnya itu, tapi juga teman-teman sekelasnya yang lain. Biasanya mereka akan selalu bercerita panjang jika tidak ada guru, mendengar murrotal bersama, atau menonton kajian-kajian dari beberapa ustadz kondang. Namun, sekarang keduanya terlihat canggung, seperti orang yang tidak saling kenal.

Hingga adzan Zuhur berkumandang, Nabila pergi ke Mushola sendirian. Ia idak mengajak Risma atau menawarkan. Hal ini tentu semakin membuat Risma yang terbilang tidak peka itu semakin bingung, apalagi untuk teman-temannya yang lain.

"Lo bertengkar yah sama Nabila?" tanya Festi yang sudah duduk di sebelah Risma.

Risma merespon dengan mengedikkan bahunya.

"Bukan bertengkar, tapi ada yang kecewa" sahut Amalia dari belakang, mengundang keduanya menoleh serempak.

"Maksud lo?"

"Nggak sadar? Tadi lo ngebentak Nabila sama Ira di pinggir lapangan, karena mereka berdua ngajak lo buat sholat dhuha. Siapun pasti sakit hati lah dibentak kayak gitu, temenyya ngajak ngelakuin hal positif malah di bentak, jadi wajar kalau Nabila sama Ira nge-diemin elu"

Risma yang mendengarkan baik-baik penjelasan Amalia lantas melongo. Benar, ia tidak sadar sama sekali kalau tadi ia sudah membentak keras kedua sahabatnya, di pinggir lapangan dan menjadi pusat perhatian banyak orang. Risma menunduk, menyesali apa yang sudah ia lakukan tadi pagi, benar-benar bodoh pikirnya.

"Mending lo minta maaf deh! Kasian Nabila, kayaknya nangis lo bentak kayak gitu," saran Festi mendapat anggukan serta jempol dari Amalia.

"Dulu lo pernah bilang ke gue, bersyukur benget punya sahabat kayak mereka berdua, lo juga bilang kalau nggak pernah mau ngelepasin mereka, lah sekarang di ajakin ibadah kayak yang lo mau kok malah ngebentak mereka sih?" komentar Amalia.

"Buruan minta maaf!" pekik Festi mendapat anggukan dari Risma.

Risma keluar kelas, berlari menuju tempat yang ia yakini kedua sahabatnya itu ada disana, tempat itu adalah Mushola. Ia sempat menangis, betul-betul menyesal karena telah bersikap tidak baik pada Nabila dan Ira. Semoga ia dimaafkan oleh kedua sahabatnya.

Jika kau memiliki sahabat yang selalu mengingatkanmu pada Akhirat, genggamlah ia dengan sangat erat, kalau perlu rantai hatinya agar betah bersamamu. Karena, mendapatkan sahabat seperti itu sangatlah sulit, sementara untuk melepaskannya sangatlah mudah.

Continue Reading

You'll Also Like

13.7M 550K 80
"I know that we will never be a real couple, but we can at least be nice to each other Aneel" I told him. I've had enough. Tears were starting to pri...
157K 14.3K 33
Story of a surgeon Dr. Zulaid Afandi and a medical student Dr. Inara Ibrahim. Age gap Enemies to lovers Grumpy×sunshine Arranged marriage "What did...
25.7K 3.8K 20
She was not only born with a silver spoon, she was rocked in a diamond cradle and raised in a gold castle. She had the world at her feet and on her f...
2.8M 120K 32
Stay in your limits. Don't think that I don't know anything. I cannot forget what you and your mother did to me and with my sister. Be there where yo...