The Little Bird

By DyahUtami

276K 5.3K 104

Side Story Disini akan menceritakan kehidupan yang penuh dengan kekonyolan dari karakter semua ceritaku. More

Special Note
1. The Cat
2. Karaoke
3. Rencana
4. Second Honeymoon
6. Fanboy

5. Pergi ke Mall

29.3K 443 6
By DyahUtami


UPDATE!!!

AYO SEMUA MERAPAT SEKARANG JUGA!!! siapa yang udah nunggu side story ini? Hohohoho

Waktu itu aku bertanya mengenai pilihan kalian, dan banyak yang meminta Limerence, walaupu Nefarious juga banyak. Tadinya aku mau bikin side story Nefarious, tapi tidak jadi wkwkwk

Side story ini untuk merayakan Limerence yang sudah dibaca >300K pembaca dan sequelnya Limerence : Redemption, yang sudah dibaca sebanyak 100k pembaca. Wihii!!!

Jadi sebagai perayaan, aku memilih Limerence aja hahahahaha

Mungkin di chapter side story selanjutnya, aku akan buat cerita Nefarious sebegai perayaan 100k pembaca, mudah2an secepatnya kay  😊😊😊

Oke langsung aja ke cerita, semoga kalian suka dan happy reading 😊😁

Vote comment share

Follow recommend

Love,
DyahUtamixx

PS : belum diedit



[LIMERENCE]



Hari ini adalah hari yang langka bagi Luciano. Setelah cukup lama bekerja dan mengurus perselisihan kecil yang cukup fatal antara klan Gambino dengan klan mafia lain, dia bisa bernapas lega dan bersantai. Cuaca yang begitu cerah juga mendukungnya untuk bersantai atau sekedar membaca buku dengan tenang serta damai.

Ditambah lagi, hari ini dia sendiri, karena Bambolinanya bersama putra mereka memutuskan untuk meninggalkan dirinya sendiri di Costello mansion dengan bermain di taman kota. Tentu saja semula dia tidak menyetujui usul dadakan itu, tapi bambolinanya selalu saja mengungkit masa lalu untuk membuat dirinya merasa bersalah. Sejujurnya, Luciano mulai kesal karena selalu saja diingatkan akan masa lalu, tapi rasa kesal dan tidak sukanya, tidak sebanding dengan masa lalu.

Luciano menghela pelan dan meraih koran minggu yang diberikan butler kediaman Costello sebelum sarapan padanya. Bertingkah normal selama beberapa saat seperti ini tidak ada salahnya, lagipula dia sudah bosan membaca buku yang tebalnya bahkan melebihi koleksi buku foto idola milik bambolinanya, yang bisa Luciano katakan cukup tebal. Dia mendengus pelan mengingat istrinya yang terlalu mengidolakan seseorang, yang bahkan sama sekali tidak macho. Bahkan ketampanan pria korea bernama Kim Soo Hyun itu kalah dengannya.

Dengan gelengan kepala singkat, dia menepis pikiran anehnya itu dan mulai memusatkan perhatian pada informasi berita di laman koran, tapi itu tidak bertahan lama saat pintu ruang kerjanya dibuka tanpa permisi dan Bambolinanya berjalan masuk.

Hari ini, wanita itu berpenampilan layaknya penampilan wanita di musim panas—bambolinanya itu tidak pernah memakai summer dress di rumah dan lebih memilih kaus serta celana piyama atau training. Tubuh mungilnya terbalut summer dress berlengan pendek berwarna biru muda dengan aksen polkadot putih yang panjang roknya hingga mata kaki, aksesoris yang menghiasi wanita itu hanyalah sepasang anting mutiara sederhana serta jam tangan pemberiannya tahun lalu, rambut cokelat panjanganya yang tidak pernah Luciano izinkan untuk dipotong pendek, digerai dengan indah, dan terakhir kakinya terlihat hanya memakai sandal gladiator.

Keseluruhan, penampilannya sangat biasa, tapi mampu membuat Luciano merasakan gejolak panas di dalam tubuhnya dan saat ini, yang dia inginkan hanyalah mengurung istrinya di kamar tidur mereka hingga waktu makan malam tiba. Luciano berdehem pelan dan menampilkan raut wajah jengkel. "Kenapa kau masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu? Dan bukankah seharusnya kau pergi bersama Nico ke taman?"

Danielle menggeleng cepat. "Tidak. Batal." Kemudian dia jeda sejenak sebelum kembali berkata, "Luci ada hal gawat!" Dan dengan wajah yang sedikit panik, dia berjalan menghampiri meja kerja dimana Luciano sedang menyenderkan tubuh kekar nan tegapnya sambil memperhatikan tingkah Danielle lekat. "Gawat sekali!"

"Apa yang gawat? Dan kenapa rencanamu dengan Nico batal?"

Danielle menjawab pertanyaannya dengan serius. "Nico bersama Aria dan Stephano di ruang bermain. Kami tidak jadi pergi karena Stephan dan Aria datang."

"Lalu?"

"Aku lupa kalau aku belum membeli bahan makanan! Aku harus memasak untuk makan siang dengan porsi besar! Kau ini sama sekali tidak paham!"

Luciano mengerutkan kening bingung. "Ada pelayan dan staff dapur yang melakukannya ..." ucapnya seolah yang bodoh disini adalah bambolinanya.

Danielle memutar bola mata jengah, dan reaksi itu membuat Luciano mengepalkan tangan serta merasakan kedutan di sudut matanya, dia gatal ingin memberikan hukuman pada bambolinanya saat ini juga karena sudah bersikap tak hormat di depannya, tapi semua itu sirna saat Danielle berkata, "mereka semua kuliburkan. Setiap hari minggu. Kau sudah pikun rupanya." Luciano terkejut bukan main. Siapa? Dirinya? Apa Danielle baru saja mengejeknya? "Sekarang temani aku pergi ke supermarket ... tidak! Kita pergi ke mall."

"Mall?" Tanya Luciano dengan ekspresi horror. "Kenapa harus mall jika ada supermarket?" Seumur-umur dia belum pernah menemani seorang wanita belanja dan selama ini dia akan selalu memerintahkan anak buahnya atau Marcello untuk menemani Danielle pergi berbelanja, bukan tidak ingin, tapi dia terlalu sibuk untuk melakukannya. Namun setiap melihat ekspresi anak buahnya setelah menemani Danielle berbelanja, membuat Luciano tidak yakin untuk menemani bambolinanya. Lagipula, kenapa tiba-tiba hal random seperti itu keluar dari mulut istrinya yang cantik? "Kau sedang hamil, bambolina, dan sudah memasuki trimester akhir. Lagipula seharusnya aku tidak memperbolehkanmu melakukan apapun bahkan memasak sekalipun, kau harus bed rest total."

"Aku tahu! Aku tahu! Tapi kau tahu, ada baju bayi yang ditunjukkan Aria saat terakhir dia ke mall, dan aku menginginkannya. Lagipula aku tidak pergi sendiri, tapi pergi bersamamu, dan aku belum selemah itu yang harus berbaring di kasur setiap saat. Ayolah Luci!"

Luciano menarik napas panjang, Bambolinanya bisa begitu keras kepala jika dia menginginkan sesuatu, apalagi yang berkaitan dengan barang untuk bayi mereka. Semakin lama mereka hidup bersama, semakin paham dirinya mengenai sifat tersembunyi sang istri. Sejenak kemudian dia tersadar. Bukankah istrinya itu ingin berbelanja bahan makanan? Kenapa sekarang jadi barang keperluan bayi mereka? Luciano mencapit pangkal hidungnya frustasi. "Tidak. Pesan secara online. Bahan makanan kau bisa menyuruh Aria ..."

"Tidak baik memerintah tamu untuk melakukan apapun."

"Ini rumah mereka juga Bambolina."

"Itu dulu. Sekarang mereka sudah tidak lagi tinggal disini."

"Bambolina ..."

"Ayolah Luci ... ini keinginan bayi kita ... aku ingin merasakan belanja bahan makanan lagi dan juga keliling melihat baju." Dan Luciano tidak bisa berkutik, selain mengungkit masa lalu, senjata yang digunakan Danielle agar dirinya mengalah dan menuruti keinginannya adalah dengan menggunakan kehamilan wanita itu atau putra mereka. Luciano mengerang dalam hati, ingin sekali dirinya menolak, tapi dia tidak enak hati untuk berkata tidak pada bambolinanya. Jadi dengan terpaksa, Luciano menganggukkan kepala dan beranjak dari posisinya. Dia melangkah menghampiri Danielle dan merangkul tubuh mungil wanitanya ke dalam pelukan. "Jadi?"

"Baiklah ... baiklah ... biarkan aku berganti pakaian terlebih dahulu. Aku tidak akan pernah bisa menang darimu, bambolina."

"Yay!" Danielle berteriak girang sebelum membalas pelukan Luciano, setelah itu dia melepaskan diri dan berjalan keluar ruang kerja sambil berkata, "aku tunggu di ruang tamu. Jangan lupa Luci, kita pergi ke mall, jadi jangan ada kemeja atau jas atau pakaian formal lainnya."

"Aku tahu itu, Yang Mulai Ratu." Luciano membalas dengan nada sarkastik yang begitu jelas kentara. Danielle menyunggingkan senyum lebar sebelum melambaikan tangan pada Luciano. Setelah wanita itu menghilang dari pandangan Luciano, ruang kerja kembali menjadi hening. Dia melirik ke arah koran yang tergeletak di atas meja dan masih dalam keadaan terbuka, sebelum berjalan meninggalkan ruang kerja. Lebih baik dia bergegas berganti pakaian sebelum bambolinanya kembali.

Untuk pertama kalinya, dia ingin menarik ucapannya dan menginginkan istri beserta anaknya pergi ke taman.

***

Danielle bangkit berdiri dari posisi duduknya saat mendengar suara langkah kaki milik Luciano mengarah ke ruangan dimana dirinya berada. Dia memperhatikan penampilannya sekali lagi sebelum melirik ke arah Aria yang sedang menampilkan cengiran lebar serta mengacungkan ibu jarinya pada Danielle. "Nico, sayang. Jangan nakal dan tunggu kami kembali ... bibi Aria dan paman Stephan akan menemanimu—" ucapannya terhenti saat melihat Nico memberikan wajah cemberut, lalu memalingkan wajah. Kedua tangannya saling terlipat di atas dada dan saat itu juga dia melihat Luciano di dalam diri putra mereka.

"Bambolina, ayo kita berangkat seka—ada apa dengan Nico?" Suara baritone milik Luciano tiba-tiba mengalun di telinganya. Danielle berjengit kaget dan menoleh ke arah pria yang ternyata sudah berdiri di belakangnya dengan kunci mobil berada di dalam genggaman. Danielle meneguk ludah saat melihat penampilan kasual yang Luciano gunakan.

Jantung Danielle berdegup dengan cepat. Jika Luciano terlihat tampan, berwibawa, dan begitu dewasa saat menggunakan setelan jas mahal, ditambah dengan aura berbahaya serta dominasinya yang membuat semua tidak akan mengalihkan tatapan dari sosok bos Mafia Gambino, maka saat ini, ketika pria itu hanya mengenakan kaus sederhana berwarna hitam yang dipadupadankan dengan jaket kulit hitam, lalu celana jeans hitam serta sepatu tali berwarna hitam, Luciano terlihat dua kali lebih tampan. Penampilannya diperlengkap dengan kacamata hitam yang digantung di kerah kausnya. Danielle berdehem pelan dan berkomentar, "aku sudah takut kau tidak mendengarkanku dan tetap memakai kostummu itu."

Luciano mengernyitkam dahi, tapi tidak menanggapi ucapan Danielle. Pria itu memilih menghampiri Nico dan berbicara pelan dengan putra mereka. Danielle memperhatikan interaksi Luciano dan Nico sebelum mengalihkan mata ke Aria. "Dimana suamimu itu?"

Aria mengedikkan bahunya tak acuh. "Mungkin pergi ke ruang rekreasi untuk menghibur anaknya yang hiperaktif itu."

"Baiklah, kita pergi sekarang." Luciano menginterupsi percakapan mereka mengenai Stephano. Danielle mengerjapkan mata saat melihat Luciano menggendong Nico dengan lengan kekar dan kuatnya itu. Tentu saja Luciano menyadari tatapan yang diberikan oleh Danielle dan memutuskan untuk berkata, "dia ikut bersama kita, lagipula tidak ada salahnya menghabiskan waktu bersama."

"Tentu saja aku tidak masalah, tapi apakah kau yakin? Kau yang lebih protektif pada Nico daripada diriku."

"Ada aku bersama kalian, jadi tidak akan terjadi apapun."

Danielle memberikan senyum paham dan menganggukkan kepala. Lalu dia berbalik, dan saat itulah senyumnya meluntur sebelum berbisik jengkel, "dasar sombong ..."

***

"Uhh ... Luci, kenapa mallnya sepi dan tidak ada pengunjung? Sekarang masih jam buka." Itu adalah hak pertama yang Danielle katakan saat mereka memasuki salah satu mall eksklusif yang terletak di salah satu distrik pusat kota Manhattan. Manik birunya bergerak ke kanan dan kiri, tapi yang dirinya lihat hanyalah para staff mall yang bersiaga dengan senyum ramah menghiasi wajah mereka. Jantung Danielle berdegup dengan cepat, dan firasat tidak nyaman menyusup ke dalam dirinya.

Dia memperhatikan Luciano yang sedang menggendong Nico selama sesaat sebelum kembali menatap sekeliling mall. Kemudian dia mendelikkan mata curiga pada pria yang memiliki pekerjaan ganda dan merangkap sebagai suaminya tersebut. "Semoga apa yang aku pikirkan tidaklah benar."

"Memangnya apa yang kau pikirkan?" Tanya Luciano dengan santai. Pria itu justru lebih memilih berbicara dengan Nico, meladeni ocehan putra mereka yang begitu senang karena diajak pergi ke mall. My poor baby, karena memiliki ayah yang super protektif hingga melarangnya pergi ke fasilitas umum. Danielle menghela keras dan mengusap perutnya yang sudah membesar dan seperti siap untuk meledak kapan saja. Setiap pagi dia melihat perkembangan bayinya yang tumbuh sehat di dalam perut, dan perut pucatnya perlahan demi perlahan hingga terlihat garis urat untuk memberikan ruang bagi bayi yang dikandungnya. Sejujurnya Danielle tahu kalau Luciano sedang khawatir dan takut dengan keadaan dirinya saat melahirkan nanti, apalagi dia memiliki riwayat kesehatan yang berkaitan dengan rahimnya, tapi Danielle percaya kalau dia dapat selamat seperti ketika melahirkan Nico.

Lagipula, keadaan ketika dirinya melahirkan Nico dengan sekarang sangatlah berbeda. Luciano, yang menyadari gerakan Danielle, langsung berhenti melangkah dan menghadap Danielle sepenuhnya. "Bambolina, apa perutmu terasa sakit? Atau kakimu terasa pegal?"

Dengan gelengan kepala singkat, Danielle menjawab, "tidak. Aku baik-baik saja, aku hanya ingin menyentuh perutku saja." Dia jeda sejenak dan kembali bertanya, "apa kau mengusir seluruh pengunjung mall?"

"Kau pikir aku akan membiarkan kalian berjalan diantara orang asing? Bagaimana kalau ada yang tidak sengaja menabrakmu? Lagipula mall ini bagian dari aset perusahaan."

Danielle menghela keras. Seharusnya dia sudah tidak terkejut dengan jawaban Luciano, tapi nyatanya dia masih terkejut dan tidak percaya dengan apa yang dirinya dengar. "Kau itu berlebihan seka—"

"Aku tidak berlebihan." Luciano memotong dengan tegas. "Aku hanya berusaha mengurangi resiko yang ada. Keselamatanmu dan Nico adalah hal utama. Aku memiliki banyak musuh yang bisa kapan saja menyerang kalian sebagai bentuk pembalasan."

"Baiklah ... baiklah ... dosen Angelo mulai kembali memberikanku ceramah."

Luciano mendelik dan membalas, "apa aku perlu menghukummu lagi sama seperti saat itu?" Danielle membulatkan mata dan tidak terasa pipinya mulai merona merah seperti kepiting rebus. Dia memberikan tatapan tajam pada suaminya sebelum berjalan cepat ke arah salah satu toko yang menjual perlengkapan bayi. Luciano yang melihat respon Danielle, menyeringai puas dan berjalan santai di belakang Danielle. "Papa, kenapa wajah mama terlihat merah?" Luciano terkekeh pelan dan mengcak rambut Nico dengan sayang. "Papa?"

"Dia hanya sedang merajuk. Jangan khawatir."

***

Luciano mengerang lelah setelah dia mendudukkan diri di kursi baguan kemudi. Manik abunya melirik ke arah Nico yang sedang tertidur pulas di kursi belakang—sama sepertinya, anak itu juga kelelahan menemani sang ibu berbelanja, kemudian dia melirik ke arah Danielle yang sibuk memakan ice cream rasa cookies and cream berukuran besar. Semua belanjaan sudah Luciano masukkan ke dalam bagasi.

Sekarang dia tahu kenapa Marcello atau anak buahnya yang lain akan menjadi sensitif dan bermuka masam setelah menemani Danielle berbelanja. Betapa beruntungnya dia karena mereka hanya memasuki supermarket dan toko-toko yang menjual perlengkapan bayi. Dia tidak bisa membayangkan jika Danielle memutuskan untuk memasuki seluruh toko yang ada di mall.

Luciano menggelengkan kepala, berbelanja secara online lebih baik baginya dibandingkan seperti ini. "Biarkan Aria dan Carolina yang memasak makan siang. Kau lebih baik beristirahat setelah berjalan cukup lama. Lagipula waktu makan siang sudha lewat, jadi aku yakin mereka sudah memesan makanan."

"Ups, aku terlalu serius melihat barang-barang lucu untuk bayi kita." Tanpa rasa bersalah, istriny berkata seperti itu. Luciano ingin sekali membenturkan kepalanya di setir mobil. Meladeni Danielle yang sedang mengandung seperti ini, lebih sulit daripada meladeni semua musuhnya di dunia kriminal. Jika Danielle seperti ini  bagaimana dengan Carolina? Karena wanita itu sedikit banyak menyumbang sifat buruknya pada Danielle. Mengingat wanita eksentrik itu, Luciano jadi merasa kasihan pada Ivan, tapi dia tahu kalau Consiglierenya itu pasti senang 'menjinakkan' wanita seperti Carolina. "Luci, apa kau lihat keranjang bayi yang ada di etalase toko?"

"Bambolina, kita sudah mempersiapkan kamar untuk Josephine, kau sendiri yang mendesainnya."

"Kita bisa meletakkan keranjang bayi itu di kamar utama. Kau tidak mau bolak balik dari kamar nursery ke kamar kita bukan?"

"Ada pintu penghubung."

"Aku tidak tahu kalau ternyata kau pria yang pelit."

Luciano menggigit bibir bawahnya dan ingin sekali melampiaskan kejengkelannya, tapi wanita di sampingnya ini sudah kebal dengan sikapnya dan dia yakin yang akan meminta maaf disini adalah dirinya nanti, karena Danielle sudah bisa memainkan perannya sebagai wanita sensitif yang mudah menangis dengan sangat baik. Dia menarik napas panjang, berusaha mengatur emosinya yang terkadang susah untuk dikontrol sebelum membalas dengan nada yang begitu tenang. "Aku bukan pria pelit, bambolina, tapi kau sudah membeli banyak barang untuk Josephine, bahkan yang belum lama kau pesan, masih berada di kardus dan belum dimasukkan ke dalam lemari karena lemari untuk Josephine sudah penuh."

"Kau benar." Danielle diam sejenak dan kembali berkata, "tapi ini berbeda, keranjang bayi itu tidak akan memenuhi lemari ..."

"Cukup. Aku akan membelikannya untukmu nanti, tapi kau harus pikirkan baik-baik dimana ingin meletakkannya dan tidak akan berujung sebagai barang yang tidak terpakai." Luciano berkata dengan tegas dan tidak bisa dibantah.

"Jika dipikir baik-baik, kurasa aku akan membelikan sesuatu untuk Nico saja." Astaga, apa yang harus aku lakukan untuk menghadapi istriku ini? Luciano mengeluh dalam hati. Dia melirik ke arah Danielle yang masih sibuk memakan ice creamnya, dan mau tidak mau senyum terukir di wajah Luciano. Walaupun menguras tenaga dan emosi, setidaknya di hari liburnya yang jarang terjadi ini, dia bisa menghabiskan waktu bersama dua orang paling berharga di hidupnya.




(Ceritanya ini Danielle)

(Deuh babang Luci mulai berulah, gantengnya bikin diriku meleleh)

(Kita perkenalkan ... Nico! Jengjengjeng!)


Continue Reading

You'll Also Like

1M 64.1K 38
SLOW UPDATE [END] Kisah tentang seorang bocah 4 tahun yang nampak seperti seorang bocah berumur 2 tahun dengan tubuh kecil, pipi chubby, bulu mata le...
105K 9K 57
Tiada yang rela mengurus Pasha setelah bapak meninggal. Gadis itu terpaksa ikut dengan Winda ke ibu kota. Putus sekolah, mencari pekerjaan dan harus...
83.7K 7.1K 32
Kisah seorang gadis cantik yang hidup penuh kasih sayang dari kedua orang tua nya dan kakak laki-laki nya,berumur 20 th pecinta Cogan harus bertransm...