With Your Body

By Aniwilla

241K 7.8K 393

Ruby Carefanessa. Wanita dengan senyuman miringnya itu selalu menggoda. Paras cantik, tubuh seksi, harta berl... More

00 || Prolog
01 || Dia Tidak Tertarik?
02 || Pelamar
03 || Alasan
04 || Pasta
05 || Namaku, Ruby
06 || Nyaman?
07 || Kejutan
08 || Hadirnya Intan
09 || Tidak Suka
10 || Siapa Axel?
11 || Keberadaannya
12 || Identitas
13 || Tidak Pernah Menyesal
14 || Nyanyian Bruna
15 || Pria Berbahaya?
16 || Lari
17 || Pikiran Kecil
18 || Sakit Hati?
19 || Abu-abu
20 || Biru
21 || Bodoh
22 || Petir
23 || Penculikan
24 || Bertemu Axel
25 || Pengakuan
26 || Cinta
27 || Api dan Air
28 || Bukan Cemburu
29 || Ayah
30 || Berbintang
31 || Hilang
32 || Gengsi
33 || Pergi
34 || Pudar
35 || Dia Ingin Pergi

36 || Aku Mencintaimu

8.1K 222 65
By Aniwilla

===

Wanita itu menghentikan langkahnya saat ia merasa sudah berlari semakin jauh. Ia menatap sekitar dan mendapati dirinya berada di komplek perumahan kosong yang sepi. Tepatnya tak berpenghuni! Ia memutuskan untuk berjalan sembari menikmati sepi dan embusan angin saat itu.

Ruby sebenarnya tidak marah pada Safir, ia hanya kecewa dan itu hal yang wajar. Bukan berarti wanita itu ingin meninggalkan Safir, ia hanya butuh ruang sendiri. Ruang di mana Ruby dapat berpikir dengan jernih tentang kehidupannya. Tadinya ia tidak pernah mau mengaku sebagai 'Ruby' anak dari Elsa itu, tapi tanpa sepengetahuannya Safir tiba-tiba saja mengatakan hal itu pada Elsa, membuat Elsa mengeluarkan kata-kata sialan yang lebih tajam dari belati. Membuat Ruby mendengar makian menyakitkan itu.

Tidak tahu mengapa dadanya sangat sesak dan terasa sakit. Ia menangis, seperti biasa dengan wajah tanpa ekspresi. Apa dosanya terlalu besar sampai harus mendapatkan semua ini?

"Ruby!" teriak Safir yang kelelahan mengejar Ruby. Wanita itu menoleh, ia mengerutkan keningnya tidak suka. Kenapa Safir tidak bisa membiarkannya sendiri?

"Tetap di situ!" seru Safir menunjuk Ruby dan mulai berjalan perlahan dengan napas yang masih terengah.

Ruby hanya diam menuruti perkataan Safir. Mungkin di saat hatinya kalut, bersama Safir adalah opsi yang baik. Sampai akhirnya mata coklat terang Ruby menangkap bayangan seseorang berjas hitam tengah menodongkan pistol ke arah Safir. Untuk pertama kalinya, selain memori itu, Ruby merasa ketakutan. Tubuhnya bahkan membeku.

Ruby melihat Elzar. Pria yang tengah menodongkan senjata api itu pada Safir adalah sahabatnya sendiri!

Ruby berlari. Ia berusaha menggapai Safir secepat yang ia bisa. Kau tahu? Ruby mungkin tidak mencintai Safir, lebih tepatnya sangat mencintai Pria itu. Tidak peduli pria itu mencintainya atau membenci Ruby, wanita itu akan tetap keras kepala.

Keras kepala untuk melindungi hatinya. Untuk berada di sisi Safir. Untuk melihat senyum Safir. Untuk menatap binar biru Safir. Untuk Safir, semuanya ia lakukan untuk Safir. Tidak! Ruby tidak berkorban untuk Safir. Ia hanya memperjuangkan apa yang dia cinta dan apa yang menurutnya membuat bahagia. Dan jika ia merasa berkorban, ia ingin meminta imbalan. Tapi Ruby sadar, ia wanita jenis seperti apa untuk dicintai orang seperti Safir. Untuk dunia tahu, Ruby mencintai Safir tanpa pamrih.

DOORR!!

Ruby menubruk Safir dan memeluknya erat bersamaan dengan suara yang yang sama sekali tidak Safir sukai. Suara ledakan pistol itu memekak telinga Safir sampai rasanya ia merasakan jantungnya berhenti berkerja.

Safir balas memeluk Ruby dan tangannya tak sengaja menyentuh sesuatu yang hangat dan basah. Safir menatap Ruby, lantas menatap tangannya yang tiba-tiba berlumuran darah, ia terkejut. Ruby terluka! Safir kembali mengadahkan kepalanya untuk mencari orang yang tiba-tiba meluncurkan besi panas itu, dan yang pertama kali ia lihat dengan mata tajamnya itu adalah Elzar, tersenyum miring. Elzar masih berusaha menarik pelatuknya dan ingin meluncurkan peluru ke arah tubuh Safir.

Mungkin Safir terlalu bodoh untuk memedulikan seorang sahabat yang telah mengkhianatinya. Pria itu lebih memilih menatap Ruby khawatir, ia ingin menangis saat melihat Ruby yang masih memeluknya erat, tanpa mau melepas pelukannya bahkan saat wanita itu terluka. Kenyataannya Ruby tertembak, dan itu untuk melindungi Safir. Jadi biarkan saja, Safir tak memedulikan hal lain atau jika Elzar ingin menembaknya kali ini. Biarkan saja, Safir lebih memilih untuk memastikan apakah Ruby baik-baik saja atau tidak.

Tubuh Safir menegang karena amarahnya sendiri. Ia semakin takut saat darah di perut belakang sebelah kanan Ruby tak mau berhenti mengalir. Pria itu merobek lengan kemejanya untuk mencoba menghentikan pendarahan Ruby. Tangannya bahkan gemetar hebat karena takut. "Ruby! Maafkan aku! Tolong maafkan aku!"

Ruby memandang Safir dengan senyuman miringnya, ia menutupi rasa sakit yang akan mematikan seluruh saraf yang ada di tubuhnya. "K-kau." Tangan Ruby mencoba menggapai pipi Safir yang dengan cepat Safir masukkan ke dalam hangatnya genggaman tangan besarnya. "Apa kau terluka?"

Hati dan netra Safir mendadak panas. Jantungnya berdegup sangat cepat menimbulkan rasa nyeri di dalam dada. Bulir hangat itu meleleh dari mata biru sang Safir. Untuk kali ini ia merasa takut kehilangan. "Kau harus bertahan Ruby, kumohon!"

Ruby menggeleng pelan. "Safir. Lebih baik. Ka-kau."

Safir berusaha menunggu dengan sabar dengan apa yang ingin Ruby katakan. Terlihat wajah Ruby mulai meringis membuat hati Safir semakin teriris dalam.

"Aku. Adalah," kata Ruby pelan. "Lukamu."

Safir memeluk Ruby erat seolah mengatakan bahwa yang Ruby katakan tidaklah benar.

"Selama. Aku," lirih Ruby lagi. "Masih hidup. Kau, tidak pernah aman!"

"Ruby, diamlah!" seru Safir dengan gigi gemeletuk menahan marah. Wajahnya memerah. Ia meraih ponselnya dan menghubungi ambulance. Dan saat itu pula Elzar kembali menembakkan pelurunya dan meleset mengenai bahu Ruby dan Safir.

"Sial!" umpat Safir dan membaringkan Ruby perlahan. Ia berlari ke arah Elzar sembari membawa batu besar yang ada di sampingnya. Elzar berlari dan Safir tak mau mengejarnya. Pria itu melemparkan batu itu dan tepat mengenai kepala Elzar sampai berdarah, hanya saja yang membuat Safir kecewa Elzar tak langsung mati. "AKAN KUBUNUH KAU NANTI DASAR PECUNDANG!!"

Safir kembali berlari menemui Ruby. Ia mengangkat tubuh Ruby perlahan hendak menggendongnya setelah Safir membuka kemejanya untuk membalut semua luka Ruby. Jadilah Safir bertelanjang dada dan menggendong tubuh Ruby yang berlumuran darah.

"Safir," panggil Ruby begitu lirihnya sampai hampir tak terdengar. Safir tetap berjalan membawa Ruby mencari ambulance yang ia panggil tadi. Tolong Tuhan! Untuk kali ini aku tidak mau Ruby jauh dariku.

"Aku mencintaimu," lanjut Ruby.

Reflek, kaki Safir berhenti. Jantungnya serasa dipukul begitu keras hingga Safir kembali menangis dalam diam.

Safir kembali berjalan dengan cepat untuk membawa Ruby ke Rumah Sakit sembari mengatakan hal yang tak pernah keduanya sangka. "Aku juga. Aku sangat mencintaimu. Aku sangat mencintai Ruby. Safir sangat mencintai Ruby dan seterusnya akan tetap begitu."

Tapi terlambat. Ruby tidak mendengarnya karena wanita itu telah menutup mata, membuat Safir semakin mengeluarkan banyak bulir bening dari mata birunya yang mulai memerah. "Aku mencintaimu, Ruby!"

===

Dua bulan kemudian ....

Kau tahu apa yang lebih melelahkan? Rindu? Iya, rindu memang melelahkan. Tapi lebih melelahkan dan menyakitkan lagi saat kau berusaha menunggu seseorang yang kau sayang kembali sadar. Kembali tersenyum dan menggoda. Safir memang rindu meski kini Ruby berada tepat di hadapannya, tapi wanita itu hanya diam, menutup matanya dengan semua alat medis di tubuh.

Setiap hari, bahkan menit menjadi saksi atas hadirnya Safir di sana. Pria itu tidak pernah mau berhenti memandang wajah Ruby yang tengah tertidur pulas di atas brankar rumah sakit. Monitor pendeteksi denyut jantung pun masih berbunyi seiringan waktu yang yang masih setia bergulir.

Sudah 2 bulan Safir menunggu di balik kaca besar penghubung dirinya dan Ruby. Ia terus menatap Ruby tanpa berkedip takut jika wanita itu sadar dan Safir tidak mengetahui hal itu.

Semua hal ia lakukan di depan kamar rawat Ruby. Ia bahkan menumpang mandi di Rumah Sakit, takut jika Ruby terbangun dan mencarinya.

Safir tak lagi memedulikan Restoran atau perusahaannya. Pikirannya hanya terfokus dengan Ruby. Setiap hari ia selalu membawa boneka-boneka lucu berharap Ruby kembali sadar dan menemukan banyak boneka di dalam kamar yang akan mengembalikan senyuman itu. Senyuman yang saat ini Safir rindukan.

Sera, sahabatnya pun sempat merasa miris dengan keadaan Safir yang mulai kurus hanya karena memandang ke arah brankar Ruby, tapi wanita itu bisa apa? Safir sama keras kepalanya dengan Ruby. Mereka benar-benar cocok pikir Sera.

"Kau pernah bilang bahwa kau tidak pernah memiliki hati," kata Safir berbicara pada Ruby di sebrang sana. "Dan kau pernah bilang aku ini hatimu!"

"Sekarang ... aku jatuh hati kepadamu, bagaimana jika kau ijinkan aku untuk menjadi hatimu sekali lagi agar aku tidak kehilanganmu?" Pertanyaan itu lolos dari bibir Safir. Matanya bahkan sudah mulai menghitam karena kurang tidur. Ia lelah, dan Safir tidak bisa berhenti untuk menunggu Ruby.

Ponsel Safir berbunyi. Membuat mau tak mau pria itu harus mengangkatnya.

"Masih di sana, huh? Apa kau sudah makan? Sudah mandi? Cukup tidur?" maki orang di seberang sana, Bruna.

Safir tersenyum miris. "Aku sibuk."

"Pulanglah! Jika dia bangun pihak Rumah Sakit pasti menghubungimu! Jangan menyiksa dirimu seperti ini, bodoh!"

"Aku bilang aku sibuk. Akan aku matikan telponnya."

"Sibuk menatapnya seperti orang yang sudah kehilangan akal! Pulanglah sebentar, aku memerlukan bantuanmu."

"Baiklah," kata Safir sembari memutuskan sambungan ponselnya dan pergi dari sana. Ia harus pulang karena Bruna membutuhkannya, tapi Safir akan kembali lagi untuk menemui Ruby dan membawa boneka lagi, seperti yang biasa ia lakukan.

Tapi setelah kembali dengan harapan bahwa Rubynya akan siuman. Salah satu Dokter mengatakan bahwa Ruby sudah tidak ada! Rubynya sudah pergi. Safir yang tidak percaya akan hal itu berlari ke ruangan Ruby, tapi tak ada siapa pun di sana. Boneka yang ia bawa terjatuh karena Safir yang terlalu panik saat itu. Safir terus berlari mencari Ruby, bahkan ke setiap penjuru Rumah Sakit.

Safir kembali ditampar kenyataan. Jika Rubynya sudah tidak ada, lalu di mana jasadnya? Ada apa ini sebenarnya? Siapa orang yang membawa Ruby? Ruby bahkan masih koma!

Safir menangis di depan kaca besar tempat biasa ia memandang sosok Ruby yang terbaring lemah. Raut wajahnya menjelaskan ia tengah dilanda panik luar biasa, Safir merasa sangat frustrasi. Ia sudah kehilangan segalanya. Ia bahkan tidak bisa menjaga orang yang ia cintai. "Tidak! Ruby adalah wanita kuat! Ia tidak mungkin mati! Aku akan mencarinya!" ujar Safir penuh penekanan. "Aku akan menemukan siapa orang yang telah mengambil Rubyku!" Safir berteriak dan tidak sengaja memukul kaca di hadapannya sampai retak.

===

Angin menerbangkan dedaunan kering yang sudah berguguran. Ia bahkan meniupkannnya pula pada rambut seorang Wanita bermata coklat yang tengah menggenggam banyak balon berwarna merah dan menerbangkannya satu per satu dengan senyuman merekah.

"Kau tahu aku sangat menyukai senyuman itu," kata Pria di sebelahnya.

Wanita itu tidak menanggapi dan terus memainkan balon-balon di tangannya. Sampai akhirnya Pria itu pamit meninggalkan Wanita itu ke suatu tempat.

Wanita dengan mata coklat selaras dengan warna rambutnya itu menatap satu balonnya yang terbang rendah berbeda dengan balon lain, tertiup angin dan menuju seseorang. Awalnya wanita itu tidak peduli, tapi saat suara ledakan itu memekak telinga wanita itu buru-buru menoleh dan menatap miris balon yang sempat tertiup angin itu meledak karena genggaman seorang pria bermata biru.

"Safir!"

Wanita pirang bermata biru memanggilnya, tapi pria itu tidak menoleh sama sekali. "Aku mencarimu. Harusnya sekarang kau berada di Restoran, bangunan itu hampir roboh karena kau tidak mengurusnya."

"Kau saja!" jawab pria itu datar.

"Aku?" tanya Bruna tidak percaya. "Kau tahu aku tidak akan pernah sudi mengurus Restoranmu. Aku bahkan sudah berusaha mengurus perusahaan dan kau malah terus berdiam seperti patung tanpa melakukan apa pun."

"Diamlah! Cerewet!" sambar Safir tidak peduli.

Wanita yang masih menggenggam banyak balon itu menyunggingkan senyum sebentar dan berbalik hendak pergi. "Juan?"

Pria yang bersama wanita tadi itu kembali dan tersenyum memegang sebuah boneka dan menyodorkan itu kepada sang Wanita balon. "Kupikir kau sangat menyukai boneka, Essa."

"Ah!" Wanita yang dipanggil Essa itu tertawa kecil. "Tidak. Aku sudah memilikinya ratusan di kamar. Bukan berarti Aku menyukainya, tapi mereka sangat berarti untukku."

Juan mengerutkan dahi. "Lalu kau tidak mau menerima satu saja dariku?"

Essa menggeleng pelan. "Berikan saja pada Pria berwajah datar di sana! Sepertinya dia kurang hiburan sampai meledakkan satu balonku."

"Kau yakin?"

"Cepatlah!"

Juan menghela napas berat, tapi ia tetap melangkah mendekati Safir dan Bruna yang masih berdebat tidak penting. Pria itu menyodorkan boneka beruang berwarna merah muda itu tepat di depan hidung Safir membuat pria itu mengarahkan tatapan tajamnya ke arah Juan. Bahkan Juan hampir bergidik melihatnya.

Safir lantas menoleh menatap adiknya, Bruna. "Kekasihmu, ya?"

Bruna mengerutkan kening dan menampar bahu Safir keras. "Kau ini bodoh atau gila! Kau tahu aku tidak punya kekasih!"

Juan membasahi bibirnya sekilas. "Ini untukmu, bukan untuknya."

Safir dan Bruna sempat menatap Juan terkejut. Berbeda dengan Bruna yang membuka sedikit mulutnya, Safir masih datar menatap pria itu dari bawah ke atas.

"Kau homo?" tanya Bruna.

Juan memutar bola mata kesal. "Jelas tidak! Calon kekasihku menyuruhku memberikan ini padanya."

"Mana ada calon kekasih! Dasar tidak waras!" umpat Bruna.

Safir yang hanya diam itu menerima boneka itu dan tersenyum untuk pertama kalinya sejak ia kehilangan Ruby. Ia mengingat dulu saat dirinya sering sekali membawa boneka berbagai bentuk dan warna ke Rumah Sakit untuk menyemangati Ruby. Entah ke mana boneka itu sekarang. Safir terus saja tersenyum sembari mengusap boneka yang kini ia genggam.

Semoga saja Ruby menyimpannya dengan baik. Itu pun jika firasat Safir benar, bawa jika Ruby masih hidup.

Ruby ... di mana pun kau berada. Apa kau bisa mendengar suara hatiku?

Aku merindukanmu.

Dan akan tetap seperti itu seperti hati yang mendambakan jiwa. Karena aku mencintai lukaku, yaitu dirimu. Dan ketahuilah bahwa kau tidak pernah kusebut sebagai luka. Hanya saja aku terluka saat kau tak berada di sisiku.

Tidak semua orang yang saling mencintai bisa dibuktikan lewat hubungan, bukan? Tapi aku akan membuktikannya saat aku menemukanmu suatu saat nanti!

-The End-

===

Hai👋👋👋

Ciye udah tamat ahay!


> silakan tinggalkan jejak sebagai kenangan bahwa kamu pernah singgah di sini.







Bye, see you letter!

=Jum'at, 24 Agst 2018.

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 13.3K 23
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...
61.7K 6.4K 18
Siapa yang akan menyangka, jika taruhan yang Yuki lakukan dengan sahabatnya membuat Yuki terjebak dalam permainan Stefan. Pembuat onar nomor satu di...
579K 13K 51
Sebagian cerita di private Untuk membaca silahkan follow Jangan lupa vote dan komennya
26.1K 1.9K 26
[CHECK TRAILER!!] (Lanjutan cerita Oh Baby!) "Beky selalu memanggilku pria tiang es mesum, dan selalu saja ku bungkam bibir kecil pedas itu dengan bi...