Just a Friend to You

By galaxywrites

740K 93K 11.3K

[Sudah Terbit] Ada dua alasan kenapa aku menganggap jatuh cinta sama Arka adalah sebuah kebodohan yang aku ci... More

Author's Note
Prolog
Chapter 1 : Teman
Chapter 2 : Tempered Glass dan Ducati Biru
Chapter 3 : Rasa Cemas
Chapter 4 : Jatuh dan Tertimpa Tangga
Chapter 5 : Kenapa Harus Izin Dulu?
Chapter 6 : Serasi
Chapter 7 : Pacar Baru Arka
Chapter 8 : Kembalinya Rafa
Chapter 9 : Baper?
Chapter 10 : Sesuatu yang Aneh
Chapter 11 : Ngajak Jalan
Chapter 12 : CoziCafe
Chapter 13 : Kemungkinan
Chapter 14 : Sakit
Chapter 15 : Merasa Tersisih
Chapter 16 : Lebih Dari Teman?
Chapter 17 : Kisah yang Tak Sama
Chapter 18 : Pesta Jess
Chapter 19 : Pengakuan
Chapter 20 : Lagu Untuk Kita?
Chapter 22 : Obrolan Ringan
Chapter 23 : Menatap Punggung
Chapter 24 : Dua Medusa
Chapter 25 : Rencana Pindah
Chapter 26 : Bukan Sosok yang Sempurna
Chapter 27 : Sebagai Teman
Chapter 28 : Diantara Kalian
Chapter 29 : Di Bawah Langit Malam
Chapter 30 : Keputusan
Chapter 31 : Teruntuk Kamu
Chapter 32 : Insiden
Chapter 33 : Gea Bagi Arka
Chapter 34 : Akhir Segalanya
Epilog
Pengumuman
Cover Just a Friend to You Versi Cetak
SPECIAL ORDER JUST A FRIEND TO YOU
Playlist
LOVE LETTER (PDF RESMI)

Chapter 21 : Isyarat

23.3K 2.8K 769
By galaxywrites

Selamat membaca!❤️

Chapter 21

Semua anak kelasku kini sudah memenuhi ruang musik di sekolah. Menunggu giliran untuk tampil memainkan alat musik demi menjamin nilai UTS Seni Budaya.

Kami duduk lesehan di lantai. Di depan sana terdapat alat musik seperti drum, piano, gitar listrik dan gitar akustik, serta bass yang terletak di tempatnya masing-masing. Meskipun alat musik sudah disediakan oleh pihak sekolah, beberapa anak-anak kelasku memilih untuk membawa sendiri alat musik mereka. Seperti Rafa dan Dhanu yang membawa gitar mereka masing-masing, Widya yang membawa Ukulele-nya, serta Mela yang membawa biola.

Bu Eka, guru Seni Budayaku yang hari ini memakai pakaian serba merah sambil menenteng tas berlogo kereta kuda dengan warna senada masuk ke ruang musik dan duduk di sebuah kursi yang tersedia. Sudah ada tumpukan kertas di atas mejanya.

Kemudian, Bu Eka mengulurkan selembar kertas pada Akbar, meminta cowok itu untuk memulai presensi.

"Lima menit lagi kita mulai, ya. Siap-siap," ucap Bu Eka.

"Tampilnya berdasarkan absen, Bu?" tanya Akbar.

"Nggak, Ibu bakal pilih acak. Yang pertama tampil..." Bu Eka melihat kertas di atas mejanya. Aku langsung harap-harap cemas. Semoga bukan aku.

"Gea," timpal Arka yang duduk di belakangku. Spontan aku menoleh ke arahnya dan melayangkan pukulan maut ke bahunya.

"Rafa. Siap-siap ya, Raf," ucap Bu Eka. Seketika aku menghela napas lega. Kulirik Rafa yang semula duduk tak jauh dariku. Dia tersenyum padaku sekilas, kemudian dia beranjak dan pindah ke barisan paling depan. Dia melakukan itu agar dapat segera maju bila namanya kembali dipanggil.

"Untung bukan gue," ucap Lana yang duduk di sampingku.

"Lo mau gue rekam nggak pas tampil nanti?" tanya Arka dengan suara pelan.

"No, thanks," kataku malas.

"Rekam gue aja dong, Ar!" sahut Lana antusias.

Arka tersenyum sekilas, "Sori, untuk lo, gue nggak bisa. Nggak ada tripod, pegel."

"Ish, giliran sama Gea aja malah nawarin diri. Pilih kasih lo emang sama temen sendiri!" cibir Lana.

"Kalau Gea kan temen spesial."

Aku menoleh ke Arka, "Spesial gimana?" tantangku.

"My forever and always."

"Idih, udah kayak lagu Taylor Swift aja. Emang ada ya yang kayak gitu? Dia cuma temen lo, tau!" dengus Lana, ekspresinya mendadak kesal.

"Kok lo sewot sih?" Sebelah alis Arka terangkat.

"Cowok yang udah punya pacar nggak seharusnya bilang gitu ke cewek lain," balas Lana tanpa ragu.

"Santai, gue emang gitu kok sama Gea. Jess nggak bakal salah paham, ya nggak?" Arka berkata sambil menumpukan pergelangan tangannya di bahuku.

Aku cuma tersenyum miring tanpa arti. Jess duduk di barisan paling depan, bersama Mela. Aku tidak yakin bagaimana reaksinya kalau mendengar Arka mengatakan hal tadi. Mungkin dugaan Arka salah. Bisa jadi dia tidak bisa menerimanya begitu saja.

Lana berdecak. "Oke. Jess mungkin fine-fine aja. Tapi lo nggak mikirin Rafa, ya?"

"Eh?"

"Kenapa Rafa?" tanya Arka tak mengerti.

"Rafa kan sebentar lagi resmi jadi pacar Gea," ucap Lana enteng.

"Lana!" tegurku pelan sambil memelototinya.

"Beneran, Ge?" Arka seakan minta konfirmasi dariku.

"Rafa tuh udah nembak Gea tau! Pas pulang dari acara ultah Jess waktu itu. Makanya lo jangan suka ngomong aneh-aneh ke Gea, ntar ada yang salah paham," lanjut Lana setengah berbisik.

Kalau di ruang musik ini ada karung, udah aku karungin Lana dan kubuang dia ke sudut terjauh di sekolah ini.

Kurasakan tangan Arka yang semula ada di bahuku menjauh dengan canggung. Sepertinya dia kaget. Tak percaya bahwa pada akhirnya ada cowok yang menyatakan cinta padaku.

"Oh," gumam Arka.

"Mereka serasi kan, Ar?" tanya Lana lagi.

Sialan. Aku tahu Lana sengaja mengatakan ini pada Arka. Dia ingin tahu reaksi cowok itu.

Arka tersenyum tipis. "Serasi."

Aku sudah menduga dia akan mengatakan itu.

Kemudian suara Bu Eka yang menyuruh Rafa untuk maju terdengar. Rafa segera beranjak lalu duduk di sebuah kursi yang telah disediakan dan memangku gitar akustiknya. Aku jadi deg-degan karena mungkin saja setelah Rafa, namaku yang akan dipanggil.

"Oh ya, Ibu belum menjelaskan hal satu ini, ya. Kalau memungkinkan, kalian bisa main alat musiknya sambil bernyanyi. Itu bisa jadi nilai plus untuk kalian."

Aku melirik Lana, "Lo sambil nyanyi, Lan?"

"Iya. Suara gue kan bagus, sayang banget nggak dipamerin," canda Lana.

Aku mendengus. Kemudian Rafa mulai memetik gitarnya. Jantungku berdetak primitif ketika intro lagu Arms Open terdengar. Ternyata dia sungguh-sungguh memainkan lagu itu.

Aku menatap Rafa yang juga tengah melayangkan tatapannya ke arahku. Gila, jadi pengin kabur! Mana ada cewek yang kuat ditatap kayak gitu oleh cowok ganteng kayak Rafa. Sambil bernyanyi lagu yang mengisyaratkan bahwa dia akan selalu ada untuk orang yang dicintainya pula. Bapernya berlipat ganda.

"Dia ngeliatin lo," ujar Arka di belakangku. Suaranya pelan, berbisik, tapi tentu aku masih bisa menangkapnya.

"Ngeliatin lo, kali," balasku sok cuek. "Atau dinding di belakang."

"Lo suka dia nggak?" tanya Arka.

Aku menelan ludah tak kentara. Mau bilang iya tapi sebetulnya aku masih belum yakin, mau bilang nggak, kok kesannya sok jual mahal banget, ya?

"Well, dia tipe gue," ucapku akhirnya. Baik, ganteng, tinggi, jago nyanyi, jago main gitar, perhatian, kalem, kurang apalagi? Itu jawaban terjujurku sekarang.

"Lo suka cowok yang bisa ngasih lo kepastian?" tanya Arka lagi.

Dahiku berkerut. Arka tentu tak dapat melihatnya karena aku membelakanginya. Entah aku yang memang peka atau ke-GR-an saja, tapi bagiku pertanyaan itu terkesan aneh. Dia seperti sedang membandingkan dirinya dengan Rafa. "Semua orang suka kepastian. Nggak ada orang yang mau hidupnya terombang-ambing nggak jelas."

"Semoga Rafa bisa bikin lo bahagia."

Ternyata aku yang ke-GR-an. Lagi pula apa yang kuharapkan dari cowok yang sudah memiliki pacar yang sempurna?

Hatiku berdenyut. Tak apa. Itu reaksi yang wajar.

"Semoga aja," balasku dengan senyum kecut.

Sepertinya, aku memang harus menerima Rafa dan melupakan cowok sialan di belakangku ini.

***

Namaku dipanggil setelah Mela kembali ke tempat duduknya. Meskipun gugup, aku akhirnya bisa menyelesaikan penampilanku dan disambut tepukan tangan oleh teman-temanku yang lain. Penampilanku tidak buruk. Tapi kurasa itu bukan penampilan yang bisa diingat oleh orang-orang karena penampilanku bisa dibilang benar-benar standar.

Aku kembali ke tempat dudukku setelah sebelumnya mengembalikan gitar akustik milik Rafa yang kupinjam untuk tampil tadi.

Setelah aku, nama Arka-lah yang disebut. Cowok itu langsung beranjak dari tempatnya dan meminjam gitar akustik milik Dhanu.

Dia duduk di kursi yang telah disediakan. "Cuma mau bilang, gue milih lagu ini bukan berarti gue Directioners, ya," ucap Arka di depan sana dengan nada jenaka. Beberapa anak langsung tertawa.

Wow, aku tahu dia memang bukan Directioners, tapi tidak dengan Jess. Berteman dengan Jess dari dulu membuatku tahu Jess adalah fans garis keras boyband atau grup vokal yang terdiri dari lima lelaki yang sayangnya sudah bubar itu.

Arka pasti mempersembahkan lagu itu untuk Jess.

Arka memetik gitarnya dengan wajah serius. Jess bersorak sambil bertepuk tangan. Aku menantikan lagu romantis seperti Little Things yang cocok menggambarkan perasaan memujanya pada Jess.

Suara Arka yang standar itu pun mulai terdengar.

"I'm broken, do you hear me?
I'm blinded, 'cause you are everything I see,
I'm dancin' alone, I'm praying,
That your heart will just turn around."

Alisku bertaut. Menyanyikan lagi ini membuatnya lebih mirip cowok yang lagi patah hati. Aku tak menyangka dari sebanyak lagu One Direction dia memilih lagu bernada sedih ini.

"And as I walk up to your door,
My head turns to face the floor,
'Cause I can't look you in the eyes and say."

Well, aku anggap dia menyukai nadanya. Atau baginya, chord gitarnya mudah untuk dimainkan. Sama sepertiku yang menyanyikan lagi Ed Sheeran tanpa alasan perasaan yang khusus.

"When he opens his arms and holds you close tonight, It just won't feel right,
'Cause I can't love you more than this, yeah,

"When he lays you down I might just die inside, It just don't feel right,
'Cause I can't love you more than this,
Can love you more than this."

Aku menatap Arka. Tanpa sengaja Arka balas menatapku. Aku tersenyum memberinya semangat. Dia balas tersenyum. Tipis.

Tiba-tiba Lana menyenggol bahuku. "Judulnya apa nih? Gue lupa," bisiknya.

"More than this."

Lana langsung mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sesuatu. Dia mencari lirik lagu ini. Selama beberapa detik, dia fokus memperhatikan benda pipih di tangannya.

"Liriknya keren, Lan, salah satu lagu 1D favorite gue sih ini," komentarku pada Lana.

"Liriknya dalem banget, Gea! Pasti dia nyanyiinnya buat lo."

"Ngaco."

"Tuh, dia nyanyi aja sambil curi-curi pandang ke lo."

Aku berdecak. Tadi Rafa, sekarang Arka. Kayaknya posisiku ini adalah posisi yang strategis untuk jadi titik atensi seseorang di depan sana.

Aku tak mengacuhkan Lana dan memilih untuk kembali fokus menonton Arka.

"I've never had the words to say,
But now I'm askin' you to stay
For a little while inside my arms,

And as you close your eyes tonight,
I pray that you will see the light,
That's shining from the stars above."

Aku dan beberapa anak yang lain ikut bersenandung pelan. Larut pada penampilan Arka.

"When he opens his arms and holds you close tonight, It just won't feel right,
'Cause I can't love you more than this,
Can't love you more than this."

Arka menutup lagunya dan tepukan tangan langsung mengudara. Arka tersenyum simpul pada anak-anak yang menyorakkan namanya dengan penuh semangat. Dia bahkan melambai-lambaikan tangan bak penyanyi profesional yang banyak fans-nya.

"When he opens his arms and holds you close tonight, It just won't feel right," Aku menoleh kepada Lana ketika kudengar dia masih menyenandungkan lagu yang telah selesai dibawakan Arka.

Lana balas menatapku. "Coba dengerin lagi deh, lagu itu kayak isyarat bahwa dia nggak baik-baik aja ngeliat lo bareng cowok lain," ucapnya begitu yakin.

"Lan, jangan buat gue GR ya. Gue udah males nebak-nebak perasaannya dari hal sepele kayak gitu," kataku serius. Kulihat Arka sedang berjalan kembali ke tempat duduknya semula.

Lana berdecak. "Sekarang gue ngerti sih kenapa lo bisa terjebak friendzone. Temen lo satu itu emang layak dipertanyakan."

Ketika Arka kembali duduk di belakangku, Lana menambahkan dengan enteng. "Tapi, kalau gue sih tentu pilih yang pasti-pasti aja, bukan yang cuma ngasih isyarat nggak jelas!" ucapnya yang kuyakin mampu ditangkap oleh Arka. Aku langsung melirik Lana gemas. Omongannya itu memang kadang nggak ingat tempat!

"Isyarat nggak jelas? Lo aja kali yang nggak peka," balas Arka datar. Aku menatap Arka dan Lana bergantian. Kok suasananya jadi nggak enak gini, sih?

Arka berdiri, sebelumnya dia sempat menepuk bahuku sekilas. "Gue ke toilet dulu."

Aku mengangguk kaku. Ketika Arka pergi, aku dan Lana kembali berpandangan.

"Tersinggung dia," ucap Lana pelan. "Berarti bener lagu itu isyarat buat lo."

Aku mengembuskan napas panjang. Tak mau membuka mulut untuk berkomentar.

***

A/N

Disini ada yang Directioners?
Aku mau tanya, lirik lagu More Than This yang bener itu yang mana, ya?
"I can love you more than this"
atau
"I can't love you more than this"

soalnya di beberapa blog liriknya beda-beda. Ada yang pake can, ada yang pake can't. Meski cuma satu kata, artinya bisa beda banget wkwk. Nah kalau di joox, mereka pake can't, jadi aku ikutin yang joox aja. Jadi mohon maaf ya kalo misalnya salah.

Anyway, kalian masih betah kah baca cerita ini? Semoga selalu suka, yaa❤️❤️❤️

Luvs,
Ega Dyp

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 18.8K 28
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
5.2M 372K 48
"Lo tahu teori chaos?" "Efek kupu-kupu?" "Hmm... sensitive dependence on initial condition. Kayak lo yang di sini mampu ngerubah gue saat di Finlandi...
7.1M 300K 60
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
277K 60K 38
Ketika Ivory kembali berurusan dengan Silver, mantan pacarnya, tanpa sadar perempuan itu harus siap menerima kemungkinan terburuk untuk diganggu kemb...