#1 : Misteri Maghrib

By CiayoIndah

207K 7.3K 461

Biar puas baca di novel aja, udah keluar Novelnya di Gramedia atau bisa langsung pesan ke wa 081370968830💗 More

Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 14
Part 15

Part 13

10.6K 441 23
By CiayoIndah


Ngos-ngosan..

Kami berlari sudah lumayan jauh dari rumah.

Berhenti, kupegangi lututku yang gemetar.
Gerimis, bajuku lumayan basah.

Roma menunjuk ke arah warung yang masih menyala. Mie dan bubur kacang ijo. Kabarnya yang punya orang Klaten. Orang baru, perantauan, belum kami kenal.

Air menetes di wajahku dan Roma. Keringat bercampur gerimis hujan, kami basah meski belum kuyup.

Dingin. Masuk ke warung.

"Mas, teh manis hangat 2 dong" pesanku. Dengan wajah datar melihat kami, masih ngos-ngosan.

"Habis jumpa setan ya mbak?" tanyanya, suaranya berat, tanpa ekspresi.

"Iya mas, kunti, 3 lagi, serem banget" jelas Roma terbata.

"Kuntinya sampai masuk-masuk ke dalam rumah, Astaghfirullohaladziim" lanjut Roma.

"Wah.. Kalau sudah masuk ke rumah, kalau bukan hantu penasaran, yah kiriman" sahut mas Klaten, tangannya menyodorkan teh manis panas. Langsung kami seruput.

"Sepertinya gitu mas" sahutku.

"Kalau dia kiriman, biasanya dia akan berdiam di satu tempat, di mana 'benda' nya ditanam." jelas Mas Klaten, sekilas tadi kulihat dia datar tanpa ekspresi, tapi setelah kuamati, raut wajahnya dingin. Seperti tak berperasaan.

Aih, apa-apaan aku seenaknya menilai orang. Kugelengkan kepalaku.

"Benda?" tanya Roma tak mengerti.

"Iya. Bisa benda, bisa perintah langsung dari yang ngirim. Kalau lewat benda yang ditanam, jin yang dikirim akan mendatangi benda  dimana dia ditanam. Kalau di rumah kita misalnya di sudut kamar ya disitulah dia berdiam dan mengganggu" Jelas Mas klaten, selama bicara tak sekalipun kulihat barisan giginya.

"Benda biasanya sebagai sinyal buat jin kiriman, disitu dia ditugaskan" lanjutnya.

"Kalau di perintahkan di badan, misalnya di perut, disitulah dia merusak perut kita"

"Kalau dukunnya gak pandai berdialog dengan jinnya, yah dia biasanya langsung mengirim benda seperti jarum, paku, rambut ke dalam tubuh korbannya. Mangkanya ada orang yang dari badannya keluar paku."

"Hiiy..." kami bergidik.

"Sampai hati ya, .. Sadis!" seru Roma.

Mas klaten diam, tapi bibirnya tersungging senyum walaupun teramat tipis.

"Mas sepertinya paham betul soal begituan" tanyaku. Matanya beralih padaku.

Deg!
Tatapannya tajam, dingin.
Kualihkan pandanganku.

"Yaa, di desaku banyak juga yang begitu,.." jawabnya kemudian.

"Kalau yang ganggu kami tadi, berhenti di tengah-tengah tangga mas, anak tangga kelima ..." selah Roma.

Aku mengangguk mengiyakan.

"Artinya mereka di suruh berdiam di situ, sebagai tempat menetap selama waktu yang diperintahkan, sambil mengganggu yang punya rumah." Terangnya.

"Ngusir setan di rumahpun kalau kita gak tahu tempat dia berdiam, akan sulit."

Raut wajahnya serius. Kata-katanya meyakinkanku.

Kami mengangguk-angguk.

"Kalau sudah tau kunti-kuntinya di tangga kelima, tabur aja di situ garam. Kalau gak mau kotor, pakai cermin juga bisa."

"Cermin?"  tanyaku.

"Iya, letakkan aja cermin di dinding pas di anak tangga kelima, kunti akan takut melihat cermin, karena mereka sadar mereka gak cantik lagi, mereka akan menghindari cermin " Jelasnya. Biarpun terkesan seram, tapi dia mau juga ngomong banyak, batinku.

"Serius mas?" tanya Roma.

"Ya katanya begitu " jawabnya masih tanpa ekspresi.

Ku seruput tehku "Sruuuuppp ...ahhhh." Serasa nemu semangat baru.

"Tapi sebaiknya penghuni rumah juga jangan putus tilawahnya, minimal sehari ada yang mengaji. Mereka akan gerah sendiri dan pergi."

" Itu tadi cuma wacana. Jangan ketergantungan dengan benda. Ngaji aja, duduk di tangga." Terangnya kemudian.

Malam itu sepertinya lumayan lama kami mengobrol. Mendengar semua tuturannya, lumayan mengubah rasa takut di hati menjadi semangat melakukan perlawanan.

Kulirik jam di dinding warungnya, sudah jam 11 malam. Kuajak Roma cabut, pulang kerumah. Siapa tau Jalu dan Rangga sudah sampai.

Kami berpamitan pulang setelah Roma merogoh sakunya membayar teh.

Sebelum keluar, kusodorkan tanganku pada mas Klaten, hendak berjabat tangan. Aku sudah berburuk angka menilainya jelek, batinku.

Tapi dia tak menyambut uluran tanganku. Hanya tersenyum dan merapatkan telapak tangannya kedada.

"Gak salaman" jawabnya singkat.

Aku hanya nyengir. Dingin! Tapi kalau dilihat-lihat, manis juga. Seruku dalam hati.
----------------------

Mendekati rumah, kulihat Jalu sudah celingukan di depan pagar bersama Rangga.

"Mbak ngapain di luar gak pakai sandal. Rumah dibiarin terbuka. Kalau masuk maling gimana?" Cecar Jalu.

"Ada penampakan tadi." sahutku singkat, terus berjalan masuk rumah.

Roma mengikuti dari belakang. Jalu dan Rangga terus bertanya-tanya.

"Itu, di situ tadi, tangga kelima mereka berhenti" sambil menunjuk ke tangga.

"Kuntinya?" tanya Rangga, suaranya ragu. Kujawab dengan anggukan.

Kami duduk di ruang keluarga. Rumah mendadak berubah sedikit hangat, ramai.

Kami ceritakan kejadian dari awal sampai saran mas dari Klaten di warungnya.

"Bisa juga sarannya dicoba" Rangga mengangguk-angguk.

"Kami tadi, sudah jumpa ki Gemblong Pesong" lanjutnya.

"Awalnya dia gak mau terima kami ancam.."

"Kami berdebat panjang. Sengaja ngajak ribut, biar dia takut tetangganya berdatangan..!" seru Rangga.

"Iya, mas Rangga kayak preman tadi, saluutt"Jalu mengacungkan dua jempolnya.

"Itu dukun keras juga, walau udah tua sombong, dia merasa hebat dengan banyak jin." terang Jalu.

"Sempat dia berjampi-jampi manggil jin katanya!"

"Iya, waktu itu seperti ada angin ribut didalam rumahnya!"

"Untung saja Jalu segera mengangkat dan membalik meja prakteknya, bruaaakkk haa haaa haa terbalik-balik semua sesajen Haahahaha
.."

Rangga dan Jalu semangat cerita. Roma terkekeh-kekeh mendengarkan.

"Mas Rangga memelintir baju ki Gemblong, sampai terangkat keatas!! Haahahaa bisa kuingat ki Gemblong mohon mohon ampun, takut dibanting!!!" seru Jalu, benar-benar luar biasa mereka memperlakukan ki Gemblong.

"Akhirnya dia nyerah, asalkan kami tidak membongkar prakteknya dan melapor ke polisi"

"Dia juga janji gak akan cerita ke lek Rakyok, seperti tak ada kejadian." sambung Rangga.

"Terus??" Tanyaku penasaran cerita selanjutnya.

"Katanya dia gak bisa menarik semua jin-jinnya, karena sudah terlanjur ditanam?"

"Benda yang ditanam, persis seperti yang di maksud mas Klaten tadi." selahku disambut anggukan Roma

"Benda-benda yang ditanam itu harus dibuang dulu," Terang Jalu kemudian.

"Digali."

"Jadi?" tanyaku.

"Ki Gemblong cuma bisa berjanji gak akan kerja sama lagi dengan Lek Rakyok untuk ngerjain orang atau nambah jin baru. Sama dia ngasih ini... " disodorkan Jalu secarik kertas yang langsung kuraih.

"Itu info dimana-mana aja mereka nanam benda di rumah untuk mengguna-guna ibu"
Terang Rangga.

"Ada 21 semuanya, itulah yang nyerang ibuk kita selama ini," lanjutnya menggeleng-geleng lemah.

"Ya Allah kasihan buk Siti" kataku. Spontan kulirik Roma. Air matanya menetes, pelan diusapnya agar tak kentara menangis.

"Astaghfirullohaladziim, gimana kita menggalinya???? " tanya Roma putus asa.

"Gali guli aja susah..." sahutku.

Serentak kami memandang kearah Jalu.

"Huuuuftt...." mendesah dia.

"Terpaksa mbak, mas, kita main sandiwara lagi," sahutnya perlahan.

Kami bertiga masih diam, menanti instruksi berikutnya. Dalam hati geli sendiri, masak kami mau-maunya ngikuti apa kata anak ABG. Tapi mengingat keberaniannya melempari pocong-pocong dengan batu di kuburan waktu itu, aku masih saja takjub bin terkesima binti terpesona.

"Mbak Roma, jadi pemeran utamanya lagi ya," disambut hempasan tubuhnya ke sandaran kursi..

"Hah...firasatku bener..." katanya.

"Mbak bertugas mengalihkan perhatian Lek Rakyok dan istrinya kalau bisa selama mungkin, karena kita mau gali 22 lobang, 21 benda santet, sama pesan buk siti, semoga aja memang ada wasiat di bawah kaleng guli itu disembunyikan" terangnya.

"Kapan kita kerjain?" tanya Rangga.

"Hari Sabtu aja, mbak Uli libur. Kalo ada kendala bisa kita lanjut Minggunya..."
Kata Jalu.

"Baik, aku akan sewa mobil. Akan ku bawa Lek Rakyok dan istrinya tersesat di daerah bukit bisu, desa jauh.." seru Roma bersemangat.

"Kalau bisa kamu sorongkan ke jurang dua orang itu!" kata Rangga tersenyum-senyum bercanda.

"Kita action Sabtu pagi ya!"

"Siap Bos!" sahut Roma.

Kami tertawa melihat Jalu garuk-garuk kepala dipanggil Bos.

Tak lama kakak beradik itu pulang, Bapak dan Ibu sampai rumah.

Bapak masih terlihat sedih.

"Dia sahabat paling akrab Bapak ..." kata ibu, menjelaskan siapa yang meninggal.

Kami duduk-duduk sebentar makan martabak yang dibawa Bapak. Sambil kuceritakan 'penampakanku'.

Sebatas penampakan.

Ibu dan Bapak masih belum tahu kisah keluarga buk Siti.

Mereka setuju menabur garam di anak tangga kelima menuju kamar Jalu. Sebuah cermin ukuran 30 x 50 centimeter juga dipakukan Bapak di dinding tempat yang sama.

Semoga aja kuntinya memang anti garam, dan takut cermin, batinku. Sementara biar saja garam dan cermin disitu. Sampai hari Sabtu, sampai benda-benda santet itu semua kami bersihkan dari rumah buk Siti.

Jam 2 dinihari semua sudah tidur. Semuanya lelah habis perjalanan jauh. Termasuk aku.

Aku bahkan belum ada tidur seharian. Dari pulang kerja, lari dari Kunti, sampai selesai memasang cermin dan menabur garam. Teramat lelah.

Hari ini masuk Kamis pagi, dua hari lagi baru Sabtu. Rasanya ingin cepat-cepat semua ini berakhir. Aku harus segera tidur, sisa 3 jam lagi waktuku tidur. Sebentar lagi subuh dan aku harus siap-siap pergi kerja lagi.

Kutarik selimut, berusaha terlelap. Mataku sudah ingin terpejam. Tubuhku capek, pegal sebadan.

Gelisah.

Tak bisa tidur juga.

Kubolak - balik badan, tetap merasa tak nyaman. Tenggorokanku kering, haus. Mau minum. Tapi air minum di kamar habis, barusan kuangkat ke dapur sekalian gelas Roma tadi.

Huuuft.

Harus keluar, kulkas di dapur.

Urung, teringat peristiwa beberapa jam yang lalu.

Tapikan udah ada cermin dan garam!
Iya gimana kalau kuntinya baru keluar, masih mau masuk lagi!
Tenang, gak bakalan. Bau garam tercium dia dari pintu! Dia gak kan berani!
Tapi!

Hatiku berkecamuk, berdebat.

Ah, tahan saja, bentar lagi juga pagi. Aku memutuskan mencoba tidur lagi.

Tapi tak juga bisa tidur.

Berdzikir.

Sampai ribuan tak juga bisa tidur.

Baca surah-surah pendek.

Makin terang pikiran.

Buka-buka majalah.

Sampai selesai, belum ngantuk.

Tenggorokanku kering. Haus banget.

Kulirik jam kamar, 4.10. Sudah mau subuh, bentar lagi juga ada suara rekaman mengaji dari masjid yang jauh. Tetap terdengar walau sayup.

Ah, percuma tidur. Keterusan malah berabe. Kuputuskan menunggu Subuh.

"Cklek...ctek.." Suara pintu kamar Bapak di depan.

Ah. Ibu pasti udah bangun. Alhamdulillah.
"Srek .. Srek ...srek .." Suara langkah kaki ibu menuju dapur.

Aku bersiap bangkit. Mau minum.
Tiba-tiba.

"Ulii... Ngapain kamu di situ?" suara ibu, parau.

Aku bingung. Kan aku di sini. Ibu ngomong sama siapa?, batinku heran.

Kubuka pintu kamarku, keluar.

Melihatku keluar, ibu terbelalak.

"Loh, ... Itu siapa?!" tanya ibu sambil menunjuk ke arah tangga, dikira ibu tadi itu aku.

Sesosok wanita. Dari belakang sepertinya persis denganku, berbaju tidur putih terusan. Menatap cermin.

Kepalanya sedikit miring membelakangi kami. Tangan kirinya memegang rambutnya yang sama denganku sebahu. Tangan kanannya menyisir perlahan.

"Heh! Kamu siapa!!" terkejut aku terlompat, mendengar suara ibu keras.

"Kamu kuntilanak ya!!!, kurang ajar!!" bentakan ibu tidak membuatnya ciut. Dia terus saja bercermin membelakangi kami, bahunya bergoyang goyang tertawa pelan.

"Kiih ... Kih ... Kih ...kiiih..." kulihat ibuku semakin emosi mendengarnya tertawa.

Melihat ibuku yang berjalan cepat ke dapur mencari-cari sapu. Akupun jadi tak begitu takut. 

Kakiku melangkah mendekati tangga. Makhluk ini tetap berdiri di depan cermin, menginjak garam yang barusan kutabur. Terus menyisiri rambutnya. Sambil tertawa.

Dalam waktu yang singkat.

Melihat ibu yang tak gentar akupun memberanikan diri, ku coba mengintip bayangan wajahnya di cermin. Raut wajah yang sedang tertawa, sekilas sempurna. Pucat.

Cantik.

Gerakannya terhenti. Dia sepertinya tau sedang kuperhatikan. Dipalingkannya cepat wajahnya kearahku.

Melotot.

Aku terlonjak, terduduk ke belakang. Jantungku seakan berhenti.

Wajahnya terlihat jelas.
Cantik namun bengis. Guratan dendam terbaca. Seperti rasa tak puas yang teramat sangat. Terpancar dari wajah kunti didepanku.

Mata kami bersirebok. Melihatku terduduk, lemas. Kembali menyeringai.

"Kih ... Kih ...kih ... Kiiiiih ..."

Ia melompat seperti akan masuk kedalam tubuhku.

"Ibuuuuuuukk!!!"

"Buaaghhh!!"  Terpental ke atas kuntilanak, tak berhasil masuk ketubuhku. Dipukul ibu dengan sapu ijuknya.

"Bangsatt kowe yo, setaaannn!!!" diayunkan ibu, sapu ijuk itu kearah kuntilanak. Masih saja tertawa-tawa.

Terbang keatas, tubuhnya melayang-layang hingga hampir menyentuh atap.

"Ktipik, ... Ktipik ...ktipik ...ktipik .." ayunan tangannya menimbulkan suara ktipik. Seperti sayap burung.

Ibu terus mengejarnya sambil memukul-mukulkan sapu keatas atap. Menyambar, mengenai gaun panjangnya.

Kunti itu bergerak cepat, terbang kearah pintu samping.

"Eeehhhhiihihihihihihihihihihihihihihiiiiiiiii..." tawanya panjang tak putus-putus, satu nafas.

Hilang, menembus dinding.

Kudengar suara pintu dari atas dan depan terbuka, suara langkah kaki cepat Bapak dan Jalu yang menuruni tangga.

"Ada apa ini buk??!" tanya Bapak, suaranya ikut panik.

"Kenapa mbak?!!" Jalu jongkok memegang bahuku.

Ibu datang menghampiriku. Wajahnya pucat, tegang, tangannya masih gemetar, memegang sapu.

"Gimana? ga apa-apa toh kamu nduk? "

Cepat kupeluk ibuku, jantung kami sama sama berbunyi keras.

Dubh, dubh, dubh!!

Air mata jatuh di pipiku.

Kupandangi garam di tangga dan cermin didinding.

Mengapa tak mempan?

Continue Reading

You'll Also Like

34.3K 1.1K 40
Kisah tentang keluarga dan seorang pengasuh yang diteror oleh hantu penjaga anak kecil.
423K 23.3K 30
Juwita Liliana, gadis berparas cantik, cerdas, kemampuan aneh yang dia miliki mengharuskan dia homeschooling, namun setelah satu tahun terakhir akhir...
54.9K 9.7K 200
(BL Terjemahan) Title: I Became a God in a Horror Game Status: 589 Chapters (Complete) Author: Pot Fish Chili Genre: Action, Adventure, Horror, Matur...
3K 364 33
Ada saatnya, sebuah pengakuan sangat ditunggu oleh sesorang yang haus akan kebenaran. Di mana, realita hidup yang ia jalani, begitu pahit dan kelam. ...