Tentang Dia Buku Kedua, Novel...

By kiantyyura

5.5K 448 69

Meskipun dia tidak bisa melihat lagi tapi orang-orang yang ada di dekatnya tidak pernah merasa bahwa kekurang... More

Bagian Ke-1 Pada Sebuah Perayaan
Bagian Ke-2 Masih Suara Dari Langit - 18
Bagian Ke-3 Sang Petani Anggrek - 19
Bagian Ke-7 The Workaholic Girl - 23
Bagian Ke-10 Tetapi Aku Tidak Memilih - 25
Bagian Ke-11 Pertemuan Dua Keluarga Besar - 26
21 Good News From Utara
mode Marah
Good News Part 11

Bagian Ke-15 Sang Pendoa -30

528 51 0
By kiantyyura


Rangkaian bunga yang menutupi pintu masuk asrama Putri Fatima Azzahra telah digunting oleh sesepuh pesantren, Mbah kyai sendiri, sebagai tanda pesantren putri Fatima Azzahra telah resmi dibuka diiringi oleh shalawat dan salam yang dilantunkan para santri putri yang hadir.

Pembukaannya sendiri dihadiri oleh para sesepuh pesantren, tetua desa, dan para pejabat pemerintahan hingga tingkat kabupaten. Hadir juga para guru, keluarga dekat dan para santri putri yang merupakan murid angkatan pertama dari Pesantren Fatima Azzahra

Pesantren ini memiliki konsep modern, memasukkan kurikulum pendidikan nasional dan tambahan materi ilmu agama termasuk menghapal Al Quran, sama konsepnya dengan pesantren putra yang sudah berdiri lama sebelumnya. 

Hanya saja khusus untuk pesantren putri juga akan diadakan kegiatan ekstra kurikuler keputrian bagi mereka yang berminat seperti menjahit, memasak dan merangkai bunga sebagai tambahan ilmu ketrampilan.

Disamping itu juga pesantren mengadakan pesantren kilat dua kali dalam satu tahun, yaitu pada masa liburan kenaikan kelas dan selama bulan puasa bagi murid dari sekolah biasa yang ingin mencoba kehidupan pesantren sambil memperdalam ilmu tentang Al Quran.  Mereka membuka kelas selama 2-4 minggu tergantung pilihan calon santrinya. 

Hal ini ditujukan agar semakin banyak remaja yang belajar agama tanpa perlu tinggal lama di dalam pesantren disamping juga dapat dijadikan sarana bagi mereka untuk mengisi liburan dengan lebih bermanfaat dan mendapatkan pahala.

Konsep pesantren kilatnya sendiri dibuat sangat menarik karena orang tua dari santrinya juga dipersilakan untuk bergabung sekalian berlibur bersama. Pihak pesantren menyediakan guest house yang modern dan bersih untuk orang tua yang ingin ikut mendampingi putra putrinya. 

Desa santri yang kini ramai itu sudah dilengkapi dengan berbagai fasilitas untuk turis seperti perpustakaan umum, wisata desa, guest house, Coffee shop, mini market sampai restoran dan toko buku serta toko cendera mata.

Mereka juga membuka kebun anggrek untuk tamu yang ingin sekedar foto-foto bersama di dalamnya atau jalan-jalan menghirup udara pagi yang sehat di desa. Bahkan Gudang Telur milik Utara juga dibuka untuk wisatawan yang ingin melihat proses pembuatan telur asin secara langsung dan lalu membeli hasilnya. 

Konsep wisata pesantren ini sepenuhnya dipersiapkan oleh Utara dan team marketingnya yang dipimpin oleh Sarah Aulia, adik iparnya sendiri.

Itu sebabnya sejak Pesantren Fatima Azzahra dibuka, desa mereka menjadi ramai dikunjungi wisatawan baik dari dalam maupun luar kota. Mereka yang menitipkan putra putrinya untuk mengikuti pesantren kilat atau yang sekedar ingin berwisata di desa santri yang cantik dan modern ini.

Kehadiran wisatawan ini pada akhirnya berhasil menghidupkan perekonomian warga desanya sendiri yang banyak menghasilkan uang dengan cara menyediakan lahan parkir, kamar untuk disewakan, penjualan cendera mata khas desa sampai jajanan sehari-hari. 

Utara dan teamnya tidak segan membimbing warga desa yang ingin berbisnis ini mulai dari membantu membuat standar untuk guest house sampai permodalan sehingga desa yang awalnya memang berkecukupan itu menjadi semakin makmur dan sejahtera.

Tidak heran jika tidak ada satu pun anak dari desa mereka yang putus sekolah, karena pihak yayasan pesantren juga menyediakan berbagai fasilitas bea siswa untuk warganya. 

Berkat koperasi desa mereka yang sangat maju mereka juga berhasil menyisihkan dana sosial yang ditujukan untuk membantu kehidupan warga yang sudah lanjut usia dan tidak produktif di desa.

Ada sebuah fenomena baru pula di kampung mereka, yaitu berdatangannya tamu untuk bertemu dengan ustadz Tara. 

Awalnya berupa berita yang simpang siur, tentang seorang ustadz yang doanya selalu manjur. Mulai dari anak tetangga yang sakit panas dan minta didoakan hingga sembuh sampai warga yang sedang sakit keras menanti ajal didoakan oleh Tara dan kemudian bisa meninggal dengan tenang.

Setiap kali Utara melakukan ibadah di masjid, ada saja warga yang menitipkan botol air mineral untuk didoakan, lalu airnya dibawa pulang untuk anggota keluarga mereka yang sedang sakit atau membutuhkan doa. 

Kadang si sakitnya sekalian dibawa ke masjid untuk didoakan secara langsung oleh sang ustadz. Katanya, selalu manjur. 

Kabar dari mulut ke mulut itu akhirnya menyebar sampai ke luar desa dan orang mulai berbondong-bondong datang ke masjid untuk mencarinya.

Awalnya Nisa tidak terlalu menyadarinya. Dia sendiri jarang bertemu suaminya karena kesibukan mereka berdua. Tapi semakin hari dia merasa suaminya ini makin jarang pulang sehingga lama-lama dia merasa aneh juga. 

Ada kesibukan baru apa yang membuat suaminya itu berlama-lama di masjid? Dan dia mulai mengingat-ingat jam berapa suaminya itu berangkat ke masjid dan jam berapa dia akan kembali lagi ke rumah. Dengan sangat heran dia menemukan bahwa bahkan untuk sarapan dan makan siangnya kadang harus dikirimkan ke masjid karena dia tak sempat pulang.

Abah yang sudah sampai di rumah seusai sholat Dhuha yang ditanya, kenapa Aa' tidak pulang bersamanya untuk sarapan pagi hanya mengangkat bahu. Penjelasannya sungguh mengherankan, "Aa' masih banyak tamu."

"Tamu siapa, Bah? Dari mana?" tanya Anissa dengan heran. 

Abah menarik napas panjang, "Kebanyakan warga desa sekitar sini yang anaknya sakit atau mau ujian atau alasan lain dan minta didoakan oleh si Aa'."

Nisa sampai menaikkan kedua alisnya dengan heran, "Minta didoakan? Memangnya mereka tidak bisa berdoa sendiri?" Abah menghela napas panjang.

"Neng, mungkin ini salahnya Abah. Abah yang sering minta bantuannya untuk mendoakan warga yang sakit saat mengajaknya menjenguk mereka. Lalu orang-orang mulai sadar bahwa jika si Aa' yang mendoakan, doanya pasti dikabulkan oleh Alloh dengan cepat,"

Anissa memandangi ayahnya dengan kening berkerut, "Maksudnya, Abah?"

Abah tersenyum, "Masakah kamu tidak tahu Neng? Tidak sadar selama ini Abah selalu mengajak Aa'mu jika akan menjenguk warga yang sakit atau sedang kesusahan? Doanya selalu manjur, Neng. Sekarang bukan hanya Abah yang tahu, orang sekampung juga jadi tahu. Makanya mereka datang ke dia untuk didoakan,"

"Abah! Orang sakit itu ke dokter, bukan malah ke masjid! Mau lulus ujian itu belajar, bukan malah minta didoakan orang lain. Mereka juga kan bisa berdoa sendiri?!? Kenapa nyuruh si Aa' doain?" Nisa masih tidak mengerti. 

Sekarang Sarah yang sejak tadi ikut mendengarkan juga duduk di samping kakaknya dengan kening berkerut, "Jadi itu sebabnya si Aa' sering berlama-lama di masjid sampai kerjaannya berantakan?" ujarnya kesal.

"Ih, atuh! Kalian ini. Tara itu laki-laki yang sholeh. Mengabdikan hidupnya pada agama. Jelas aja doanya lebih didengar dibanding doa kita semua dijadikan satu. Wajarlah orang minta bantu didoakan. Abah aja sering minta didoakan,"

"Abah!!  Bukan berarti dia bisa mengorbankan urusan pribadinya demi mendoakan orang lain dong, Bah! Ini sudah jam berapa dia belum sarapan. Belum lagi urusan kerjaan! Belum lagi waktu bersama keluarga! Dia kan bukan dokter, ulama juga bukan! Masa sih, segitu sibuknya?!" Kali ini Nisa berdiri dan berjalan mondar-mandir dengan kesal.

Pantas akhir-akhir ini suaminya itu selalu tampak kelelahan. Sebagai istri dia merasa sudah lalai memperhatikan suaminya. Terlalu sibuk dengan urusan pesantren sehingga tidak menyadari kesibukan suaminya sendiri. 

Nisa tahu dia harus ikut campur. Dia tahu persis siapa suaminya. Aa' nya tipe orang yang tak tega menolak permintaan orang lain. Jika tidak diinterupsi, dia akan terus menolong orang lain dengan mengorbankan kesehatannya sendiri.

Karena penasaran, Nisa akhirnya berangkat ke masjid ditemani adiknya Sarah. Adiknya  juga sedang membutuhkan Tara untuk mendiskusikan urusan bisnis mereka. Sarah sudah beberapa hari ini berharap bisa bertemu Tara untuk berdiskusi tentang rencana bisnis baru mereka di bidang jasa pariwisata.

Betul saja, masjid lebih ramai dari biasanya. Banyak warga desa yang berjualan di sekitar halaman masjid. Area parkir masjid juga ramai dengan motor dan mobil yang diparkir. Ali yang sudah beberapa tahun ini bertugas sebagai asisten pribadi Utara sedang duduk di salah satu undakan menuju ke dalam masjid.

"Mana bosmu?" tanya Sarah kepadanya tanpa basa-basi. Yang ditanya langsung berdiri dengan salah tingkah.

"Eh, anu, masih di dalam. Masih ada tamu, katanya sambil menyeringai.

"Aku mau masuk!" ujar Nisa sambil mengangkat rok panjangnya dan langsung menaiki undakan menuju ruangan dalam masjid.

"Ehh ... Keh heula, teteh ... Ini tempat lelaki!" seru Ali sambil mengejar kedua perempuan cantik itu.

"Tempat lelaki gimana? Itu banyak juga yang perempuan masuk ke area sini!" omel Sarah sambil mengedarkan pandangannya ke segala arah.  Ada beberapa orang yang kelihatannya bukan warga sini sehingga wajahnya terlihat asing bagi Sarah. Mereka duduk secara berkelompok, dalam barisan yang berantakan menuju ke satu titik di sudut kiri ruangan masjid, tempat Utara duduk diam di atas sajadahnya.

Ba'im tampak berjalan menyongsong kedatangan mereka berdua, "Eh tumben kalian ke sini, ada apa?" tanyanya pada Sarah yang langsung menjawab dengan suara pelan tetapi tajam kepada sepupunya.

"Aku yang seharusnya tanya, ada apa? Kenapa banyak sekali orang? Ini masjid jadi mirip kamp pengungsian gini. Ada apa, sih?"

Nisa dengan tidak sabar meninggalkan mereka berdua berdebat dengan suara berbisik-bisik sementara dengan langkah pelan dia berjalan mendekati pusat keramaian di sudut kiri ruangan. 

Dia sedang duduk menekuri kedua tangannya sementara seorang anak lelaki kecil yang terlihat rapuh dan tidak berhenti menangis bersandar pada seorang perempuan yang sepertinya ibunya yang bersimpuh di hadapannya. Seorang lelaki muda yang mungkin ayahnya tampak berbicara dengan suara pelan dan santun kepadanya, sedang menjelaskan sesuatu. Kenapa mereka datang, siapa nama anaknya, sakit apa dia dan sudah berapa lama dia sakit dan apa harapan mereka terhadap kondisi anaknya ini.

Nisa duduk tak jauh dari mereka, tekun memperhatikan. Meskipun dia duduk diam, tapi matanya tak lepas memperhatikan apa yang terjadi di dekatnya. 

Beberapa tamu yang lain memperhatikannya dengan heran dan sedikit tak suka, mengira Nisa sudah menyela antrian mereka. Tapi seseorang yang sepertinya warga desa yang mengenalnya, meminta mereka untuk diam dan tidak protes. 

Ayah si anak menggeser posisinya agar dia bisa duduk di dekat si anak yang bersandar dalam pelukan ibunya. Selama ayah muda itu bicara, Utara mendengarkan dengan sabar, dengan wajah menekuri kedua tangannya. Lalu dengan gerakan perlahan, dia mengulurkan tangan kanannya untuk membelai puncak kepala anak lelaki kurus yang terus menerus merengek itu dengan lembut. Tubuhnya sedikit membungkuk ketika dia meniupkan doa di puncak kepala si kecil kemudian menganggukkan kepalanya.

"Bawalah dia kembali ke rumah sakit. Insya Alloh dia akan segera sembuh. Jangan lupa berusaha dan berdoa dengan sungguh-sungguh pada Alloh, ya Pak, Bu. Semoga lekas sembuh," katanya dengan suara pelan sambil menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Anak lelaki kurus itu secara ajaib berhenti menangis.

Fathia Anissa memperhatikan dengan mulut nyaris terbuka. Sisi Utara yang ini, adalah sisi yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Ada kedamaian ketika mendengar suaranya yang lembut menenangkan. Ada pengertian dan rasa percaya yang dalam ketika dia meminta mereka berdoa kepada Alloh. Keluarga kecil itu mengucapkan terima kasih lalu berpamitan.

Sang ayah mendesakkan sebuah amplop putih ke tangan Utara ketika mereka bersalaman yang langsung ditolaknya.

"Saya hanya bantu mendoakan Pak, itu gratis. Jika Bapak ingin menyumbang, masukkan saja ke kotak amal milik masjid," ujarnya santun.

Lalu Ba'im yang akhirnya menyusul Nisa, menunjukkan sebuah kotak kayu putih di tengah ruangan.  Bapak itu langsung memasukkan amplop putihnya sambil mengucapkan terima kasih.

Sebelum tamu berikutnya maju mendekatinya, Utara menolehkan kepalanya ke arah Anissa dan menegurnya, "Kau ada perlu denganku?" sapanya lembut.

Sarah yang tiba-tiba sudah muncul di sebelah Nisa, justru yang menjawab sapaannya, "Aku yang ada perlu, A'. Kita ada janji jam dua 'kan? Ini sudah jam satu tiga puluh dan Aa' belum makan siang!" Pelan tapi tajam suaranya.

Utara menggelengkan kepalanya dengan lemah, "Aku sedang berpuasa," ujarnya pelan.

Kali ini Nisa mengerutkan alisnya, "Kapan sahurnya? Aa' puasa karena tak sempat sarapan dan makan siang?!?"

Utara mengarahkan wajahnya kepada istrinya sambil menyeringai, "Bisakah kita bicarakan setelah tamuku habis?" pintanya lembut. 

Nisa melipat kedua tangannya di dada dengan sedikit jengkel, jelas mencemaskan kondisi suaminya yang tampak lelah, berbeda sekali dengan saat sedang menghadapi tamunya barusan.

Sarah dengan ketus berbicara kepada Ba'im tapi memastikan suaranya cukup keras hingga terdengar oleh tamu yang hadir, "Ba'im. Jam dua kurang lima menit sudah harus selesai. Kami tunggu di depan. No excuses! Ayo, Teh!"

Lalu dengan wajah masam Sarah menarik kakaknya untuk keluar dari sana dan menunggu di pintu keluar masjid.

Setelah mencari-cari, Sarah menemukan sandal milik kakak iparnya kemudian langsung memisahkannya untuk diberikan begitu sang kakak datang. Lalu berdua kakaknya mereka berbisik-bisik mengenai langkah apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi kejadian ini agar tidak terjadi setiap hari dalam hidup kakaknya.

"Dia bisa sakit kalau begini caranya. Tamunya gak kenal waktu sampai dia tak sempat istirahat dan makan. Niatnya baik nolong orang, tapi kalau sendirinya malah sakit, kan jadinya runyam!" omel Sarah dengan suara pelan. Nisa setuju. Dia lebih merasa cemas ketimbang jengkel.

Tadi saat melihat suaminya sedang mendoakan anak itu, wajahnya terlihat begitu menenangkan. Bahkan hati Nisa terasa diselimuti ketentraman hanya dengan melihat pancaran wajah laki-laki sholeh itu. Efek itu langsung hilang begitu dia tidak ada di dekat tamunya, mengingatkan Nisa kenapa dia begitu khawatir tadi.

Akhirnya mereka sepakat memanggil Ali, yang sekarang sudah resmi jadi asisten pribadi Tara dan mengawalnya kemana-mana.

"Ali, tamunya si Aa' setiap hari segini banyak?" tanya Sarah sambil memperhatikan satu keluarga lagi yang keluar dari pintu masjid.

"Ya begitulah Teh, kurang lebihnya. Hampir setiap hari sekarang," jawab Ali.  Matanya juga mengikuti mata Sarah dan Nisa ke pintu masjid.

"Gini aja Li. Mulai besok, kamu kasih pengumuman saja sama yang jaga di masjid sini. Ustadz hanya akan terima tamu di hari Jumat,"  ujar Sarah dengan nada otoriter.

"Kok hanya hari Jumat, Teh Sarah?"

"Ya Jumat kan hari yang baik. Dan si Aa' bakalan berlama-lama di masjid anyway. Aku akan kosongkan semua jadwal kerjanya setiap hari Jumat. Khusus didedikasikan untuk hari dia beramal."

"Terus kalau ada tamu yang ingin ketemu di hari lainnya?"

"Suruh datang lagi hari Jumat!"

"Kalau tamunya urgent? Gawat? Sekarat?"

"Suruh ke rumah sakit dong! Masa orang sekarat malah dibawa ke masjid!"

"Atuh Teteh, kalau sudah sampai di Masjid masa iya tega ditolak?"

"Mereka juga tega datang seenaknya! Dikiranya si Aa' tuh malaikat, apah?!? Gak perlu makan, gak perlu istirahat!"

"Sudah gini aja. Tamu di luar hari Jumat dipilah lagi. Kalau memang urgent dan Aa' ada waktu, akan diterima. Jika tidak, harap datang kembali hari Jumat,"  ujar Nisa melerai keduanya.

"Yang urgent yang bagaimana, Teh?! Harus dijelaskan juga biar ngerti nih orang-orang sinting ini. Jangan-jangan kamu terima amplop dari tamu-tamu si Aa' ya, biar boleh ketemu? Dosa tahu!" sergah Sarah masih ketus.

"Ih enggak Teh! Amit-amit kalau sampai Ali terima amplop! Si Aa' aja gak mau nerima kok! Malu atuh, Ali, Teh!"

"Gini aja, untuk tamu yang mau ketemu si Aa' di luar hari Jumat, suruh daftar ke aku dulu. Nama, alamat, tujuannya apa minta didoakan. Sudah gitu aja. Ngerti kamu, Ali?" Nisa terpaksa harus ikut campur kalau begini caranya.

"Eh iya, Teh. Ngerti. Jadi nanti Ali pasang pengumuman di papan depan masjid ya, bahwa tamu yang ingin ketemu ustadz Tara hanya akan diterima setiap hari Jumat. Diluar hari itu harus ijin dulu ke Teh Nisa atau Teh Sarah."

"Nah! Pinter juga kamu. Jelas ya? Mulai besok, aku akan langsung menjemput si Aa' pulang setiap habis Subuhan. Jika dia mau ke masjid lagi, tugas kamu jagain supaya dia tidak diganggu tamu di luar hari Jumat. Ngerti?!"

"Iya Teh. Iya ngerti. Ampun si Teteh ini makanannya apa sih pada galak-galak banged!" pelan saja suara Ali menggerutu menanggapi dua perempuan cantik yang tegas di hadapannya. 

Dalam hati merasa kasihan kepada majikan mudanya yang sebentar lagi bakal menghadapi kedua perempuan galak itu.  Padahal Ali tahu persis majikan mudanya pasti sangat lelah karena sejak pukul tiga pagi belum sempat tidur dan tak kemasukan makanan barang sesuap pun.

Karena sudah hampir pukul dua dia berjalan kembali ke dalam masjid untuk menjemput majikannya, dari pada dua wanita singa ini menyusul lagi ke dalam masjid dan membuat huru hara di dalam.

Continue Reading

You'll Also Like

13.8M 1.1M 81
β™  𝘼 π™ˆπ˜Όπ™π™„π˜Ό π™π™Šπ™ˆπ˜Όπ™‰π˜Ύπ™€ β™  "You have two options. 'Be mine', or 'I'll be yours'." Ace Javarius Dieter, bos mafia yang abusive, manipulative, ps...
5.6K 610 6
Suara lembut milikmu tak kan pernah bisa kudengar lagi...
15.7M 990K 35
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...