Just a Friend to You

Von galaxywrites

740K 93K 11.3K

[Sudah Terbit] Ada dua alasan kenapa aku menganggap jatuh cinta sama Arka adalah sebuah kebodohan yang aku ci... Mehr

Author's Note
Prolog
Chapter 1 : Teman
Chapter 2 : Tempered Glass dan Ducati Biru
Chapter 3 : Rasa Cemas
Chapter 4 : Jatuh dan Tertimpa Tangga
Chapter 5 : Kenapa Harus Izin Dulu?
Chapter 6 : Serasi
Chapter 7 : Pacar Baru Arka
Chapter 8 : Kembalinya Rafa
Chapter 9 : Baper?
Chapter 10 : Sesuatu yang Aneh
Chapter 11 : Ngajak Jalan
Chapter 12 : CoziCafe
Chapter 13 : Kemungkinan
Chapter 14 : Sakit
Chapter 15 : Merasa Tersisih
Chapter 16 : Lebih Dari Teman?
Chapter 17 : Kisah yang Tak Sama
Chapter 18 : Pesta Jess
Chapter 20 : Lagu Untuk Kita?
Chapter 21 : Isyarat
Chapter 22 : Obrolan Ringan
Chapter 23 : Menatap Punggung
Chapter 24 : Dua Medusa
Chapter 25 : Rencana Pindah
Chapter 26 : Bukan Sosok yang Sempurna
Chapter 27 : Sebagai Teman
Chapter 28 : Diantara Kalian
Chapter 29 : Di Bawah Langit Malam
Chapter 30 : Keputusan
Chapter 31 : Teruntuk Kamu
Chapter 32 : Insiden
Chapter 33 : Gea Bagi Arka
Chapter 34 : Akhir Segalanya
Epilog
Pengumuman
Cover Just a Friend to You Versi Cetak
SPECIAL ORDER JUST A FRIEND TO YOU
Playlist
LOVE LETTER (PDF RESMI)

Chapter 19 : Pengakuan

15.3K 2.4K 438
Von galaxywrites

Lagu Dive milik Ed Sheraan menjadi lagu yang mengisi suasana dalam mobil selama perjalanan pulang. Rafa yang sedang menyetir dari tadi bersenandung pelan, sedangkan aku cuma bisa menatap jalanan di depan sambil memikirkan Arka yang mungkin kini masih bersenang-senang dengan Jess.

Kuakui, sejak awal, fakta bahwa Arka dan Jess adalah sepasang kekasih memang cukup mengusikku. Tapi aku tak pernah benar-benar tenggelam dalam rasa sakit berlebihan. Karena pikiranku seakan menyugestiku untuk percaya bahwa Jess sama halnya dengan mantan-mantan Arka yang lain. Tipikal cewek cantik yang dipacari Arka sebatas untuk bersenang-senang dan membuktikan kepada orang-orang bahwa dia laki-laki yang bisa memacari perempuan mana pun.

Namun, kali ini rasanya sungguh berbeda. Melihat tatapan Arka yang dilemparkannya pada Jess tadi cukup untuk menghadirkan denyutan tak suka di hatiku sekaligus membuatku tersadar bahwa alasan Arka memacari Jess bukan semata karena egonya. Melainkan karena perasaan suka secara tulus. Kenyataan itu seakan menjadi peringatan bahwa aku tidak punya celah untuk berharap lagi.

Mataku terpejam sesaat. Kebodohan terbesarku selama ini adalah berpikir bahwa suatu hari nanti aku dapat dicintai oleh orang seperti Arka. Dan aku menyesali kebodohan itu sekarang.

"Are you okay?" Pertanyaan yang tiba-tiba dilontarkan oleh Rafa menyentakku kembali ke realitas.

Aku menoleh ke arahnya, "I'm okay," jawabku sambil balas menatapnya bertanya, heran kenapa dia tiba-tiba menanyakan keadaanku.

"Lo melamun," cetus Rafa enteng.

"Eh, nggak kok."

"Terus kenapa diem aja?"

"Umm, gue cuma ngantuk aja."

Dahi Rafa langsung menciptakan kerutan samar, "Segitu ngebosenin ya kalau lagi bareng gue?"

Dengan cepat aku menggeleng. Bagiku, Rafa sama sekali tidak membosankan. "Bukan gitu maksudnya, Raf," sanggahku.

Rafa lalu tersenyum, "Santai, nggak usah panik gitu, gue bercanda doang, kok," ucapnya. "Lo bisa tidur, Ge. Turunin aja kursinya biar nyaman."

"Thanks, tapi kayaknya kita bentar lagi sampai."

Rafa lagi-lagi tersenyum. Selanjutnya, Rafa tak lagi bersuara, bahkan cowok itu tak lagi turut menyenandungkan lagu yang tengah berputar.

Sepuluh menit kemudian, mobil Rafa berhenti tepat di depan rumahku. Baru saja aku ingin pamit turun, Rafa berkata dengan nada serius.

"Gue boleh minta waktu sebentar buat ngomong sesuatu?"

Aku mengerjap. Kaget. "S-sekarang?" tanyaku tak yakin.

Rafa mengangguk. Aku jadi heran, kenapa bicaranya nggak tadi aja? Ketika kami berada di perjalanan pulang. Namun melihat raut seriusnya, akhirnya aku hanya bisa menyetujui tanpa banyak berkomentar.

Rafa melepas seatbelt-nya, dengan itu dia merasa lebih leluasa bergerak. Lalu, dia menatapku dengan sorot matanya yang begitu dalam.

"Lo suka Arka," ucap Rafa ketika mata kami bertemu. Suaranya terdengar tenang dan tegas.

Mataku memelotot sesaat karena tak menduga akan diserang dengan kalimat itu. Itu pernyataan bukan pertanyaan. Dengan cepat aku membuang muka sambil memasang tawa terpalsu yang kupunya. "Ngaco lo."

"Kemarin-kemarin, gue sempat mikir lo suka Arka dan sebaliknya mengingat interaksi kalian berdua yang begitu deket. Tapi, di sisi lain, kenyataan bahwa Arka punya pacar dan lo fine-fine aja bikin gue berpikir kalau dugaan gue salah, mungkin kalian memang cuma teman."

"Kami memang cuma teman, Raf," potongku.

Rafa menghela napas pelan, "Tapi, tadi, ngeliat tatapan lo ke Arka seakan mengkonfirmasi dugaan gue. Ternyata memang ada something antara lo dan Arka. Lo suka sama orang yang lo bilang cuma teman itu."

Gila, gila, gila. Kenapa Rafa harus membahas hal ini? Aku meremas ujung dress-ku kuat-kuat, mencoba menahan diri.

Kemudian, Rafa tersenyum tipis. "Suka sama Arka bukan dosa yang besar kok, Ge. Lo nggak perlu pasang ekspresi kayak abis ketahuan maling gitu," candanya.

"Gue nggak suka Arka," cicitku.

"Hei, di jidat lo udah jelas ada tulisan lo suka Arka, nggak usah disangkal, apalagi ditutup-tutupin lagi sama gue. Bikin capek lo aja."

Nada suara Rafa terdengar santai. Seakan kenyataan bahwa aku menyukai Arka adalah obrolan mengasyikkan.

"Arka mungkin punya perasaan yang sama kayak lo," lanjut Rafa.

Aku menghela napas. Ternyata Rafa punya bakat persuasif tersembunyi. Dia berhasil membuatku mau tak mau bersikap terang-terangan padanya.

"Nggak mungkin, Raf," balasku akhirnya. "Dia punya Jess yang nggak ada bandingannya."

"Jadi apa rencana lo? Selamanya nggak mau ngakuin perasaan lo ke Arka?"

"Mungkin."

"Selamanya cuma jadi teman Arka?"

"Kayaknya itu bukan ide yang buruk."

"Tapi, dianggap teman oleh orang yang kita cinta itu nggak akan pernah cukup."

"Gue bakal ngehapus rasa suka ini, Raf. Gue yang salah, harusnya gue nggak sampai sejauh ini."

"Emang lo bisa ngehapusnya?"

"Gue bakal berusaha."

"Gue boleh bantuin lo, Ge?" tanya Rafa kemudian.

Alisku bertaut tak mengerti.

"Bantuin lo ngelupain Arka," jelasnya.

"Dengan cara?"

"Menghapus nama dia di hati lo terus digantiin sama nama gue?"

Mataku terbelalak.

Rafa menarik napas lalu mengembuskannya agak kasar. "Gue suka sama lo."

"Hah?!" Aku terperanjat.

"Gue suka sama lo, Ge," ulangnya. "Gue pengin lo mandang gue, bukan Arka, ataupun cowok lain."

"Raf, lo bercanda, kan?!" tanyaku masih kaget dengan pengakuannya.

"Serius, Gea."

"Raf..."

"Gue tahu suka sama cewek yang di hatinya ada nama cowok lain itu bukan hal yang gampang. Tapi, gue mau ambil risiko. Bersama gue, lo bisa pelan-pelan lupain Arka. Hingga pada akhirnya, lo cuma mandang gue, Ge."

Aku meneguk saliva. Jantungku berpacu dengan cepat.

"Gimana menurut lo, Ge? Itu sama aja kayak ngasih gue kesempatan untuk bisa sama lo dan ngasih diri lo sendiri kesempatan untuk terbebas dari friendzone."

Tawaran yang terdengar menggiurkan, tapi tentu semua ada konsekuensinya.

"Raf, sejujurnya, gue nggak tahu perasaan gue ke lo gimana. Kalau gue milih buat nerima lo, gue nggak tahu hubungan kita bakal berhasil atau enggak. Gue terlanjur suka sama Arka. Gue nggak mau ngecewain lo."

"Well, segala kemungkinan bisa terjadi, Ge. Kita jalani aja dulu."

Aku kembali berpikir. Rafa tampak setia menunggu sambil mengetuk-etukan jari telunjuknya di stir mobilnya.

Tapi, otakku tak mau bekerja sama sekarang. Terlalu banyak hal yang mengejutkan membuat proses mikirku jadi lamban.

"Gue perlu waktu, Raf," akhirnya jawaban klise itulah yang mampu kuberikan.

Rafa mengulas senyum lembut. "Oke, Ge, nggak masalah. Gue punya banyak waktu untuk menunggu."

Rafa memang begitu pengertian. Aku sudah kehabisan stok kata-kata untuk memuji betapa baiknya lelaki di sampingku ini.

Aku mengangguk berterima kasih. Kemudian, setelah percakapan itu berakhir, aku pamit pulang karena hari semakin malam.

Ketika aku turun dari mobilnya dan pintu telah tertutup sempurna, Rafa tiba-tiba menurunkan kaca mobil bagian penumpang. Dia memanggil namaku, aku sedikit menunduk untuk melihat wajahnya.

"Gue cuma mau bilang, meski gue udah lihat Jess dan tamunya yang lain, lo tetap cewek tercantik yang gue liat malam ini," ucapnya diiringi sebuah senyum tipis.

Rentetan kalimat itu langsung menghadirkan sensasi panas yang menjalar di kedua pipiku.

"Good night," lanjutnya sambil memberi perintah agar aku segera masuk ke rumah. Setelah aku balas mengucapkan selamat malam untuknya, kaca mobil tertutup kembali.

Mobil Rafa melaju pelan meninggalkan area depan rumahku. Ketika CRV hitam itu hilang dari pandanganku, barulah aku bisa menghela napas panjang.

Aku memegang pipiku yang menghangat sambil mengingat percakapanku dengan Rafa kurang dari lima menit lalu. Rasanya aku ingin mengutuk alam semesta karena ia seakan tidak menyediakan pasokan oksigen setiap kali aku melihat Rafa tersenyum padaku malam ini.

***

A/N

Mau tanya dong, kalian ada yang pernah/lagi ngalamin friendzone? Share pengalamannya yukkk disini :p

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

411K 64.4K 37
Anna selalu merasa cukup. Baginya, hidupnya yang sederhana sudah sangat sempurna. Bukan harta berlebih yang membuatnya bahagia, melainkan saat ia mam...
My Sexy Neighbor Von F.R

Jugendliteratur

1.1M 18.8K 28
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
255K 6.3K 8
MISI PENYELAMATAN: Pacarin Saga. Buat dia tutup mulut. Jangan sampai terbongkar. Orion, sang Pemburu, memiliki tiga bintang berjajar yang paling mud...
4.4M 476K 35
Menurut lo friendzone itu apa? Tempat main kayak timezone, tapi bedanya ini main perasaan. Semacam tidak memiliki namun takut kehilangan, semacam tak...