The Prince Mermaid

By floweryum

150K 10K 325

[fantasy-romance] Berganti judul dari "The Little Mermaid" "Apa yang harus aku lakukan?!" Aku kalang kabut... More

p r o l o g
πŸŒ€ 1
πŸŒ€ 2
πŸŒ€ 3
πŸŒ€ 5
πŸŒ€ 6
πŸŒ€ 7
πŸŒ€ 8
πŸŒ€ 9
πŸŒ€ 10
πŸŒ€ 11
πŸŒ€ 12
πŸŒ€ 13
πŸŒ€ 14
πŸŒ€ 15
πŸŒ€ 16
πŸŒ€ 17
#bukan part
πŸŒ€ 18
πŸŒ€ 19
πŸŒ€ 20
πŸŒ€ 21
πŸŒ€ 22
πŸŒ€ 23
πŸŒ€ 24
πŸŒ€ 25
πŸŒ€ 26
πŸŒ€ 27
πŸŒ€ 28
πŸŒ€ 29
πŸŒ€ 30
πŸŒ€ 31
πŸŒ€ 32
πŸŒ€ 33
πŸŒ€ 34
πŸŒ€ 35
✿bukan part 2
πŸŒ€ 36
BONUS CHAPTER
πŸŒ€ 37
halo!

πŸŒ€ 4

7K 499 9
By floweryum

Aku menyelinap keluar kamar dari jendela tinggi ini. Aku tidak tahu betapa tingginya kamarku dan dasar tanah di bawah sana.

Ya mau bagaimana lagi, kalau aku izin kepada Papa dan Mama pasti tidak akan diperbolehkan. Apalagi keluar malam begini.

Aku merambat lewat dinding-dinding licin ini, kakiku berjinjit dengan sangat hati-hati, dan sepatu flat- ku kutaruh di tas kecil yang kugendong di depan. Dan jangan lupakan batangan besi itu, sudah kumasukkan terlebih dahulu sejak Mama dan Papa tidur. Aku mengambilnya di gudang tempat Papa menyimpan peralatan mekaniknya.

Yuta ... aku juga sudah menelponnya pada saat yang sama. Dan sepertinya dia hanya mengiyakan saja.

Sudah sampai di atap yang jaraknya tak terlalu jauh dari tanah. Aku menginjak gentengnya dan ...

"Ups." Aku terpeleset. Untung saja tiang yang kokoh ini tak jauh dariku. Kalau iya, huft... kacau nanti.

Aku melompat dari atap itu. "Hop!" Kakiku mendarat sempurna tepat di depan Yuta.

"Memang kau mau apa ke perpustakaan?" tanya Yuta setengah berbisik saat aku selesai memakai sepatuku.

Aku menariknya agar menjauh dari halaman rumahku. "Nanti saja saat di jalan," jawabku masih menarik tangannya agar menjauh dari rumahku.

Setelah sudah memastikan bahwa aku sudah sangat jauh dari rumah, aku mulai menceritakan tujuanku ke perpustakaan sekolah.

"Ya, buku itu sangat berharga bagiku."

Aku melihat Yuta lewat ekor mataku, dia tersenyum. "Baiklah. Lagi pula aku juga sedang bosan di rumah. Aku ingin keluar malam, tapi tidak tahu bersama siapa."

Mendengar ucapan Yuta, aku juga terkadang sama sepertinya, bosan, dan sangat ingin keluar malam. Tapi orang tuaku selalu melarang, katanya 'anak perempuan tidak boleh keluar malam, sampai jam 7 malam'. Ya, itu batas aku keluar malam, sampai jam 7, itupun harus sudah berada di atas matrasku dengan lampu tidur yang mati.

Andai aku seperti angin, yang tidak bisa disuruh dan bergerak bebas sesuka hati. Aku akan selalu mensyukuri hidup ini tanpa helaan napas sedikitpun.

"Mau mampir ke cafe sebentar?" tawar Yuta kepadaku.

Aku menggeleng dengan senyum tipis. "Tidak, nanti kemalaman. Lain kali saja." tolakku.

Yuta orangnya santai, tidak pemaksa, dan selalu tersenyum walaupun tugas kimia menempuk.

"Baiklah. Lain kali. Tapi kau harus mau."

Dan, aku salah menilainya tidak pemaksa.

Aku mengangguk, tapi mungkin, kalau keluar malamnya bersama Yuta, akan diperbolehkan.

Tak terasa kami berjalan hingga tiga kilometer dari rumahku. Kami sudah sampai di belakang sekolah. Dinding ini yang kumaksud, kukira tingginya hanya sampai puncak kepalaku, ternyata melebihi kepala Yuta.

"Kau naik di punggungku saja." Yuta sudah memasang punggung kokohnya di bawah kakiku dengan tangan yang menempel di tembok.

Aku gugup, dan menggigit bibir bawahku kuat-kuat. "Apa tidak ada cara lain?" tanyaku.

Yuta menggelengkan kepalanya. "Tidak ada. Ayo cepat, sebelum Pak Mauro menangkap kita!"

Dengan sigap kakiku menaiki badan Yuta yang membungkuk. "Apa kau kesakitan?" tanyaku saat badanya sudah mulai naik keatas.

"Tiiidaaak. Ceeeppaatt." ucapnya seperti keberatan dengan bebanku.

Kakiku mulai naik keatas bahunya. Tanganku berusaha meraih ujung tembok ini. "Tidak sampai!" ujarku melihat kebawah.

Yuta menyuruhku agar kakiku yang satu diangkat dulu kemudian taruh di telapak tangannya. Huft ... untung saja aku pakai celana panjang. Dan setelah kaki kananku berada di telapak tangan kanannya sekarang beralih kekaki kiriku yang mendarat di telapak tangan sebelah kiri.

Aku bisa duduk di ujung tembok ini, dan ...

"Yuta! Bagaimana kau naik?" tanyaku dengan kepala mendunduk melihat Yuta yang berdiri di bawah menatapku.

Bibir tipis Yuta tertarik, "aku bisa memanjat." ujarnya dan aku melotot kaget.

"Kau bisa memanjat?! Memanjat dinding ini maksudmu?!"

Yuta tersenyum mengejek, langkah besarnya mengarah kesebuah pohon besar dengan batang yang menjulur melewati tembok tinggi ini. Entah sejak kapan ada poho besar di sana, aku tidak melihatnya bahkan saat pertama aku mulai naik di punggung Yuta.

"Ayo turun." Mataku masih menatapnya tak percaya. Lincah sekali anak ini.

Bebatuan yang menumpuk di bawah sana menjadi tangga akses agar aku mendarat dengan sempurna. Yuta memegangi tanganku agar aku tak jatuh terlembab ke batuan keras itu.

"Sudah berapa kali kau melompat dan memanjat dinding?" tanya Yuta dengan nada mengejek.

Aku berjalan dengan desahan kecil di bibirku karena hinaan Yuta. "Biarkan saja." jawabku dengan nada datar dan dingin.

"Tak perlu marah begitu." Tangan Yuta mengacak rambutku.

Dan kepalaku entah terasa apa saat disentuhnya.

"Erm... Ryn? Kau membawa alat untuk membuka pintunya?"

Aku menyerakan batangan besi yang kubawa dari dalam tas. "Nih." Pintu perpustakaan ini sekarang sudah mata kami.

Setelah menjelajah lorong-lorong yang lumayan gelap kami berhasil menemukan ruangan ini dan sepertinya Pak Mauro belum menelurusi ataupun memeriksa lorong ini.

Dengan cekatan tangan Yuta mencongkel engsel pintu itu tanpa rusak sedikitpun. "Wah, kau berbakat." pujiku bahagia mempunyai sahabat sepertinya.

Yuta menatapku datar dan terlihat ekspresi wajahnya sedikit kesal. "Kau memujiku seperti maling?"

Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat, sungguh aku tidak bermaksud begitu. "Tidak, aku memujimu-"

"Mengapa kau menarikku masuk?!" tanyaku sedikit kesal, jantungku hampir saja copot karena kaget.

"Ssttt... diam." Telunjuk Yuta mendarat di bibirku. Badannya memiring di balik pintu terlihat seperti sedang mengintip.

Aku ikut melakukan hal yang sama dengannya, "ada apa memang?"

"Ada Pak Mauro sedang melintas di ruang guru dengan lampu senter." ujar Yuta dan aku mengangguk-angguk paham.

Setelah memastikan kalau Pak Mauro sudah menjauh dari ruang ini, aku berjalan mencari stricker lampu.

Aku meraba-raba dinding ini dan bertemulah jariku dengan tombol lampu ini. Aku menekan tombol ini berharap agar lampunya menyala, tapi tangan seseorang sudah menindih tanganku terlebih dahulu.

"Apa yang Kaulakukan?" tanya Yuta padaku.

Aku memiringkan kepala bingung, "kalau gelap aku tidak bisa mencari buku itu, bodoh." balasku kesal.

Yuta terkekeh kecil, "kau mau ketahuan sama Pak Mauro? Lalu kau dilaporkan ke guru kesiswaan dengan tuduhan mencuri, bagaimana?" Tiba-tiba saja aku teringat wajah guru berkepala licin itu, hih ... seram. "Dan orang tuamu akan dipanggil melalui surat, kemudian Papamu memarahimu." sambung Yuta dengan senyum evil- nya dan aku bergidik ngeri, bukan karena senyum evil Yuta. Tapi mengingat wajah marah Papa yang membuatku takut.

Yuta berjalan lebih dulu dan aku bersembunyi di balik punggungnya. Kulihat Yuta mengeluarkan sesuatu dari saku celana panjangnya.

"Kaubawa apa?"

Yuta berbalik badan menatapku, "senter." jawabnya singkat dan mulai menyalakan senter yang dia pegang.

Senter milik Yuta diarahkannya kesegala arah, "di mana kau taruh buku itu?"

"Di ... tempat ... rak buku yang bermuatan tentang sejarah, seingatku."

Yuta menyorotkan lampu itu ke rak-rak buku tepat di bagian judul setiap rak. "Kau jangan berada di belakangku. Apa kau takut hantu?" Kalimat terakhir Yuta terdengar seperti ejekan.

Aku beralih ke sampingnya setelah dia berbicara begitu. "Tidak, sama sekali kali tidak." balasku.

Kulihat mata Yuta menyipit, senyum jahilnya sangat jelas mengartikan bahwa dia mengejekku. "Yang benar?"

"Sudahlah." Aku memutar bola mataku malas. "Ah, ini bukunya." Ketika aku melihat buku ini aku melirik ke Yuta.

"Bagaimana membawanya ya?" tanyaku pada Yuta yang terus menatapku datar.

Tangan Yuta terulur di hadapanku, "tasmu, biar aku saja yang membawanya." ucapnya dan aku memberi apa yang dia minta.

Selesai menaruh buku itu ke dalam tasku, kami pun buru-buru pergi dari tempat itu, takut kalau tiba-tiba Pak Mauro datang dan menangkap kami.

"Habis keluar dari sini, kita ke cafe yuk." ajak Yuta setelah selesai menutup pintu itu.

Ya ampun anak ini.

Aku menghela napas lelah dan memutar bola mata malas. "Sudah kubilang lain kali saja. Nanti kemalaman."

"Ayolah Ry, aku sudah berjuang untukmu. Apa kau tidak mau membalas kebaikan aku?" ucapnya lagi setelah sudah berada di tempat aku dan Yuta naik.

"Huft... baiklah." kataku pada akhirnya.

Tbc

21 Juni 2018.

Note :

Nulis ini deg-degan karena ada Yuta. Aduh Yuta, kamu manis banget sih, gemesz.

Ok, untuk kau. Ya kau, pemuda beriris amber bersabarlah.

Suatu saat kau akan muncul, dan pergi, kemudian kembali lagi, dan muncul lagi, dan pergi lagi //woi!//

Tschüss!

~ Floweryum

~ Dahlia. P

Continue Reading

You'll Also Like

162K 932 15
cie kepo!! sabar ya ubah alur ubah judul wkwk
138K 15.4K 47
Seorang pria yang bertransmigrasi di dalam novel yang terakhir ia baca. Dunia dimana sihir adalah hal normal di sana. Terlahir kembali menjadi orang...
538K 50.1K 20
[BUKAN TERJEMAHAN!] Deenevan Von Estera adalah Grand duke wilayah utara yang terkenal tertutup. Dia adalah pemeran antagonis dari cerita berjudul "Be...
2.4M 173K 49
Ketika Athena meregang nyawa. Tuhan sedang berbaik hati dengan memberi kesempatan kedua untuk memperbaiki masa lalunya. Athena bertekad akan memperb...