SECRETS ✓

By A-noona

750K 91.2K 14.5K

Beberapa orang memiliki rahasia yang ingin selalu disimpan rapat-rapat. Sebuah kelam yang tak ingin siapapun... More

Intro ; Game Of Survival
I. PROBLEM
II. IGNORED
III. SINGULARITY
IV. MANIPULATIVE
VI. JEALOUS
VII. SAME OLD LOVE
VIII. TAKE IT
IX. BEGIN
X. TRUST
XI. ON YOUR SIDE
XII. CATFISHED
XIII. EMERGE
XIV. YOU SHOULD SEE ME IN THE CROWN
XV. WHEN WE WERE YOUNG
XVI. TAKE IT SLOW
XVII. ON MY MIND
XVIII. WHERE?
XIX. TERROR
XX. NIGHTMARE
XXI. FUNERAL
XXII. JIMIN'S TAPE
XXIII. HANDLE
XXIV. NEVER THE ONE pt.1
XXV. NEVER THE ONE pt.2
XXVI. SURRENDER
XXVII. PUPPET
XXVIII. BRIDGE
XXIX. SHALLOW
XXX. BEST NIGHT
XXXI. PITY PARTY
XXXII. TAKE CONTROL
XXXIII. HELL PARTY
EPILOGUE ; EPITOME
EPILOGUE ; Artifact
she's evil + Pre Order Secrets
cover secrets + abel wood case.

V. FAKE

23.9K 3.1K 428
By A-noona

Satu, dua dan tiga. Mari kita hitung berapa banyak orang yang menggunakan topeng. Atau berapa banyak topeng yang dikenakan oleh perorang. Bukan berniat menakuti—kadang mungkin begitu demi sebuah kekuasaan dan citra pemegang kendali, namun lebih dari sebagian melakoni karena sebuah keadaan. Terjebak untuk sebuah pilihan cermat daripada tenggelam pada arus yang mengombang-ambing sampai menertawakan bagaimana kelemahan terlihat jelas. Atau karena mereka tak menyukai diri sendiri—setengahnya tak tahu mereka sendiri seperti apa. Mengerti dan mengenal diri sendiri kadang menjadi hal yang paling sulit.

Malam, hujan, petir dan cuaca dingin menusuk dengan kaki berlarian tergesa membuat kecipak pada ujung dress. Tentu saja bersangkutan dengan Jung Isla. Sudah melewati satu malam dan meranjak untuk malam kedua, Isla masih berada di apartement Park Jimin. Kali ini meringkuk manis di bawah selimut putih yang acak akibat cengkraman keras ketika hentakan pinggul menyiksanya dalam gairah. Nyeri, pusing dan kepalang nikmat. Mungkin jika dijabarkan, kebodohan sudah merajarela dalam diri Isla jika itu menyangkut Park Jimin.

Kepala pemuda Park pusing, terpaksa bangun karena bunyi bel ditambah ponsel yang terus berdering berkali-kali. Rambut hitam legam yang panjang sampai mata namun belahannya menunjukan dahi begitu jelas, dia singkap dengan jemari yang menyisir ke belakang. Jika mencari sebuah pagi, siang, sore atau malam yang menggoda ketika kau terbangun—Park Jimin adalah jawabannya. Seksi sekali.

Tangannya memijat pangkal hidung menemukan nama Kim Taeri di layarnya. Sudah bisa ditebak karena Jimin memang menunggunya. Tapi itu tetap membuat Jimin cukup kesal. Bukan karena Taeri mengganggu tidurnya, tapi karena gadis itu membutuhkan waktu lama untuk datang. Masih dengan kepala pusing, dia bangkit dari kasur. Berhati-hati agar tidak menginjak jarum suntik yang ada di lantai.

Ketika sampai pintu, Jimin segera membukanya karena tahu Taeri pasti akan memandang sinis dengan kesal. Tak banyak bicara tapi dari rautnya saja cukup mematikan. "Halo Taeri. Good—" Jimin menggantung ucapannya. Mengusap matanya sambil melirik ke kanan dan kiri, pukul bersama sekarang. "Night," sambung Jimin ketika berhasil menemukan letak jam dindingnya sendiri.

Taeri di depan dengan kedua tangan dilipat. Melihat wajah Jimin dengan geram. Sama sekali tak berniat menurunkan pandangannya.

"Aku tahu kau baru saja bangun tidur, tapi setidaknya pakai dulu baju. Atau celana. Atau tarik selimut untuk menutupi tubuhmu. Seriously? Telanjang? Menemuiku?" Taeri menggelengkan kepalanya tak habis pikir dan langsung bergegas masuk.

Jimin hanya tersenyum smirk dan meberikan kekehan singkat. "Kau dulu menyukainya," ujar Jimin sambil menutup pintu. Kemudian dia mengikuti Taeri dari belakang.

Taeri langsung duduk begitu saja dan menyilangkan kakinya. Jimin ikut duduk di sebrangnya tanpa rasa bersalah. Taeri sampai menghela napas berat—kehabisan kata. Pun dia langsung bangkit dari sana menuju kamar Jimin sambil mengoceh. "Kau harus memakai sesuatu, bodoh. Di luar hujan besar. Dingin. Kau bisa sakit. Wow, sampai aku yang harus mengambilkannya."

Jimin tersenyum simpul dalam diam.

Sementara Taeri terkejut ketika membuka pintu kamar Jimin. Jung Isla tertidur dengan pulas di sana. Entah bisa dibilang tidur atau tidak. Jarum suntik, obat penenang, dan harum seks yang menyerbak. Taeri tahu jelas apa yang habis lakukan. Dia menoleh dan langsung memberikan tatapan mengintimidasi pada Jimin yang malah tersenyum begitu manis seperti tanpa dosa.

Sulit menghadapi pemuda Park yang sepertinya sudah kehilangan kewarasan. Taeri akhirnya tetap masuk. Berjalan dengan hati-hati membuka lemari Jimin dan mengambil sebuah selimut lain yang ada di sana. Segera kembali ke ruang tengah dan menutupi tubuh Jimin. "Berhenti bertindak bodoh," ujar Taeri dengan raut begitu khawatir.

Jimin yang sedang duduk itu mendongak, menatap Taeri dan tersenyum. Tak dapat diartikan apa arti senyuman itu. "Kau masih sangat peduli denganku?"

Taeri terkesiap dan tergagap beberapa saat sebelum dia mengambil alih kendali penuh terhadap dirinya sendiri. "Aku lebih peduli pada gadis yang ada di kamarmu. Siapa namanya? Jung Isla? Jim, kau gila? Dia bisa mati!"

"Mana yang lebih kau takutkan? Aku yang mati atau dia yang mati?"

"Jim—"

"Aku jadi pembunuh atau aku mati mengenaskan?"

Entah sudah berapa kali Taeri menarik napas dan menghela dengan begitu berat. Oksigen di sekitarnya serasa menipis dengan cara yang tidak benar.

Dan pertanyaan yang Jimin berikan, jawabannya adalah iya untuk semuanya. Tapi sama seperti yang sudah-sudah, ada beberapa hal yang tidak perlu diungkapkan.

"Kau sudah mendapatkan yang aku minta?" tanya Taeri sambil mengulurkan tangannya.

Jimin hanya tersenyum karena untuk Taeri, pertanyaannya retoris. "Ambil saja di samping tv." jawab Jimin sambil mengarahkan dengan dagunya.

Taeri melirik benda berbentuk persegi panjang yang kecil itu. Dia segera mengambilnya dan senyum terlukis di sana.

"Isla yang mengambilnya. Gadis pemberani. Aku menyukainya. Sama sepertimu."

"Aku akan mengirimkan bayarannya ke rekeningmu. Well, bagaimana dia mendapatkannya?"

"Mudah saja, sebagai teman sekelas yang bersedih. Datang mengunjungi rumah temannya yang baru saja meninggal. Ibunya tersentuh membiarkan dia ada di kamar dan—wush! Flashdisk itu ada di tanganmu."

Taeri mengerti jelas. Taeri dan yang lainnya sedang tidak bisa sembarang datang apalagi sendiri karena itu akan membahayakan mereka sendiri. Banyak mata yang mengawasi dan membuat spekulasi acak.

"Jadi, kau benar-benar melindungi Taehyung, huh? Aku menontonnya."

"Kau tidak seharusnya menonton itu."

"Tapi aku harus tahu. Aku dan Taehyung melakukannya bersama."

"Aku tahu."

"Jadi siapa yang kau lindungi, Kim Taeri? Aku atau Taehyung?" tanya Jimin dengan serius. Matanya menatap Taeri dalam. Kali ini tidak berniat sama sekali untuk merayu atau sekadar menggoda. Dia membutuhkan sebuah jawaban.

Taeri sendiri tak langsung menjawab. Jelas ada sebuah kebimbangan di sana. "Tentu saja, Taehyung," jawab Taeri pada akhirnya. Sebuah senyuman tersungging dengan angkuh. "Aku akan selalu berada di pihaknya."

Hening.

Raut Jimin terlihat begitu sedih sampai akhirnya dia tak bisa menahan tawa lagi. Tertawa terbahak-bahak sampai membungkuk. Padahal tak ada yang lucu sama sekali. Taeri masih terlihat tenang.

"Akan selalu berada di pihaknya? Lucu. Ingatkan aku kata-kata ini setelah kau meninggalkannya. Sama seperti kau membuangku begitu saja dulu," sarkas Jimin tersenyum sinis.

Rahang Taeri mengeras. Kedua tangannya mengepal erat. Berusaha mengontrol diri. "Jangan banyak berharap. Kau dan Taehyung berbeda."

"Benarkah? Bukankah semua orang di matamu sama saja? Semua hanya minion untukmu. Alat untuk mendapatkan apa yang kau inginkan."

"Kau merasa seperti itu? Wow kau tahu tapi kau tetap melakukannya. Terima kasih flashdisknya, minionku." Taeri tak berniat untuk berdebat lagi. Dia harus melakukan banyak hal. Istirahat adalah hal yang mustahil untuknya.

"Aku tidak ingin bayarannya, uang. Aku ingin kau—di atas tempat tidurku."

"Kau pikir aku mau membuat diriku mati? Euw!"

Jimin mengedikan bahunya. "Tentu saja. Apalagi kalau aku mengajak Taehyung dan Jungkook. Kau akan menjadi pesta terindah yang kami punya."

Entah kalimat apa yang harus Taeri lontarkan. Kata apa yang dapat mendeskribsikan betapa brengseknya Park Jimin. "You're trully the devil."

Jimin tersentak mendengar itu keluar dari mulut Taeri bersamaan dengan petir dan kilat. Perlahan dia tersenyum menyeringai. Ingatannya mengacu pada pesan yang dia dapatkan. Semuanya sangat menunjukan bahwa Taeri adalah pelakunya. Kata-kata Taeri dan semua yang gadis itu tahu.

"Mungkin orang lain tak tahu, tapi aku tahu apa saja yang telah kau lakukan. Kita semua tahu. Bahkan dipemakan Subin, Yumi sampai berkata seperti itu. Awalnya aku sependapat dengan Eunbyul, tapi lama-lama aku berpikir Yumi ada benarnya. Tidakkah kau yang menyabkan kematiannya?"

Jimin tak menjawab. Hanya terkekeh. Karena jawaban iya atau tidak sama-sama akan percuma.

Mereka berdua sama-sama menaruh rasa curiga saat ini.

"Well, Kalau kau mengira aku yang terburuk dari kita semua, jelas kau salah. Tunggu sampai kau tahu apa saja yang Jungkook bisa lakukan."

Taeri tertegun ketika Jimin mengatakan itu. Bibirnya bergetar. "Kenapa kau membawa nama Jungkook dalam percakapan kita?"

Jimin mengedikan bahu santai. "Kau—selalu menganggap dia yang paling baik di antara kita semua. Adik yang baik?" Jimin terkekeh.

Lalu beberapa saat kemudian kembali menatap Taeri dengan licik. "Kau tak pernah tahu batapa dia ingin sekali menyetubuhimu. Menginginkanmu lebih dari yang pernah kau bayangkan."

Taeri tahu. Dia tahu Jungkook menyukainya. Dia tahu Jungkook menginginkannya di atas kasur. Yang dia tak tahu bahwa Jimin tahu akan hal itu.

Dan entah kenapa Jimin mengatakannya seperti itu adalah hal yang begitu menakutkan. Taeri masih tak mengerti dan penasaran secara bersamaan.

"Aku harus pulang." ujar Taeri mengakhiri ini semua. "Dan Jim, berhenti memanfaatkan Isla seperti itu."

"Kenapa? Bukankah kita sama? Manpulatif adalah nama tengah kita, Kim Taeri."

Mereka sama. Tapi Taeri tahu ada beberapa hal yang berbeda dan dia tak ingin Jimin seperti dirinya.

Sementara Jimin tahu jelas bahwa dia lebih buruk dari itu. Lebih dari yang Taeri bayangkan. Dia tahu bahwa tak memiliki apapun yang membuat gadis itu bertahan di sampingnya. Terlebih atas apa yang pernah dia lakukan.

Taeri berusaha tak mempedulikannya. Berbalik segera menuju pintu dan Jimin hanya duduk menatap sosok itu pergi. Tatapan yang begitu sedih dan sendu.

"Taeri..." panggilan Jimin menghentikan langkah kaki Taeri tiba-tiba. Tapi tidak juga berbalik. "Kenapa kau mengatakan bahwa aku pembunuh Subin sementara kita sama-sama tahu siapa yang berkemungkinan besar membunuhnya."

Tak ada balasan. Hanya hening sampai Taeri kembali melangkah dan benar-benar keluar dari pintu.

Mengenai pertanyaan Jimin tentang dirinya melindungi Taehyung atau Jimin, jawaban sebenarnya adalah mungkin dia melindungi dirinya sendiri dari dia sendiri pula.

Dan tentang siapa yang paling jahat, Taeri tahu itu bukan Jimin atau siapapun. Itu dia sendiri. Tapi dia tak akan pernah bisa berhenti karena sudah menjadi bagian dari hidupnya.

Pintu kamar Jimin terbuka. Isla keluar dengan tubuh yang ditutup selimut. Memandang Jimin dengan bingung. "Jim, itu siapa?"

Jimin tersenyum simpul. "Seseorang yang pantas mati, tetapi juga harus tetap hidup."

[]

Continue Reading

You'll Also Like

70.1K 11.1K 16
Yang publik ketahui, kedua pemimpin perusahaan ini sudah menjadi musuh bebuyutan selama bertahun-tahun lamanya, bahkan sebelum orang tua mereka pensi...
42.4K 6K 21
Tentang Jennie Aruna, Si kakak kelas yang menyukai Alisa si adik kelas baru dengan brutal, ugal-ugalan, pokoknya trobos ajalah GXG
Mad Dog✔ By Ruu

Fanfiction

139K 16.2K 41
[Completed] Seingat Yoojung, ia baru saja memungut anjing manis di jalan dan tidur bersamanya tadi malam. Tapi ketika ia bangun, ia malah mendapati...
2.2M 241K 26
Sejak kecil, Yuhn Jimin jarang sekali menghadapi kesulitan untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Dia selalu punya cara dan ide untuk mendapatkan se...