With Your Body

By Aniwilla

241K 7.8K 393

Ruby Carefanessa. Wanita dengan senyuman miringnya itu selalu menggoda. Paras cantik, tubuh seksi, harta berl... More

00 || Prolog
01 || Dia Tidak Tertarik?
02 || Pelamar
03 || Alasan
04 || Pasta
05 || Namaku, Ruby
06 || Nyaman?
07 || Kejutan
08 || Hadirnya Intan
09 || Tidak Suka
10 || Siapa Axel?
11 || Keberadaannya
12 || Identitas
13 || Tidak Pernah Menyesal
14 || Nyanyian Bruna
15 || Pria Berbahaya?
16 || Lari
17 || Pikiran Kecil
18 || Sakit Hati?
20 || Biru
21 || Bodoh
22 || Petir
23 || Penculikan
24 || Bertemu Axel
25 || Pengakuan
26 || Cinta
27 || Api dan Air
28 || Bukan Cemburu
29 || Ayah
30 || Berbintang
31 || Hilang
32 || Gengsi
33 || Pergi
34 || Pudar
35 || Dia Ingin Pergi
36 || Aku Mencintaimu

19 || Abu-abu

3.4K 170 7
By Aniwilla

===

Ruby berjalan keluar dari toilet. Terlihat sapu tangan merahnya melilit leher jenjang Ruby agar terkesan seksi, atau mungkin hanya alasan untuk menutupi luka karena pecahan kaca. Wanita itu memasuki dapur dan menuju ke arah stop kontak yang berada di paling ujung ruangan.

Ruby mengerutkan dahi kesal dan melepaskan ponselnya dari charger. "Apa-apaan ini? Kenapa tidak terisi sama sekali?" Ia mengotak-atik ponselnya dan baru menyadari jika kepala charger tidak benar-benar masuk ke dalam stop kontak. Ruby mengusap dahinya kesal, hatinya bahkan masih membara karena kejadian di toilet barusan dan sekarang masalah batrai ponselnya.

Terdengar suara tawa kecil yang membuat Ruby menoleh dengan delikannya yang ia tajamkan. Ternyata Jason, bocah tengil itu lagi.

"Kau ini selalu ceroboh. Seperti gadis saja!" ledeknya gemas.

"Diamlah! Aku sedang tidak ingin bicara denganmu," jawab Ruby ketus.

"Ada apa?" tanya Jason yang terlihat penasaran. Ia berusaha menahan tawanya saat melihat wajah Ruby yang begitu menggemaskan saat marah.

Ruby terdiam setelah menghela napas panjang. Mata wanita itu menerawang dengan tangan mengepal. "Apa kau pernah bertanya kepada takdir, mengapa rasa sakit diciptakan, Jason?"

Jason mangut-mangut sendiri sembari mengusap dagunya seolah paham. "Kau sendiri?"

Ruby menghela napas lagi, ia mengangkat dua bahunya tidak tahu. "Entahlah. Kurasa karena Tuhan benci kita?"

"Jaga bicaramu!" seru Jason. "Di dunia ini Tuhan menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan. Ada siang dan malam, terang dan gelap, tawa dan tangis, begitu pula bahagia dan kesengsaraan."

"Lalu kenapa Tuhan harus menciptakan rasa sakit bila bahagia saja sudah cukup?"

"Tidak Ruby! Jika tidak ada rasa sakit, maka manusia selamanya tidak akan pernah bisa menghargai bahagia."

Kali ini Ruby terdiam lagi. Bibirnya terkatup rapat saat mendengar penjelasan Jason yang bisa lebih dewasa darinya. Entah Ruby harus senang atau sedih. Tiba-tiba ponsel Ruby berbunyi, nama Sera berkedap-kedip di layar. Secepat kilat Ruby menggeser layar dan menempelkan ponselnya di dekat telinga. "Ya, Sera?"

"Apa? Aku sama sekali tidak bisa mendengarmu?" Dahi Ruby mengerut bingung. Ia menatap layar ponselnya yang telah menghitam karena kehabisan daya. Untuk yang kesekian kalinya ia menghela napas. "Jason aku harus pulang!"

"Kau harus izin dulu pada, Tuan," kata Jason cepat.

Ruby mendecak kesal dan menggeleng pelan. Tanpa memedulikan perkataan Jason, wanita itu bergegas berlari pergi dari restoran dan melajukan lamborgini-nya cepat.

Kadang Jason sempat berpikir. Untuk apa wanita seperti Ruby bekerja di Restoran jika kendaraannya saja sebuah mobil mewah. Lelaki itu hanya bisa menghela napas berat sembari menatap kepergian Ruby. Tak lama Jason melangkahkan kakinya ke ruangan Safir untuk memberitahu Bos-nya itu untuk kepergian Ruby.

===

Ruby menghentikan laju mobilnya tepat di depan perkarangan rumah. Sepi, tidak ada suara berlebihan di lingkungan rumahnya karena Ruby benci tetangga. Apalagi dengan identitasnya yang tidak pernah sengaja ia jelaskan. Kaki jenjangnya itu berlari cepat hendak memasuki rumah meski sempat terhenti saat melihat pintu rumahnya yang terbuka, juga benda aneh berukuran kecil yang tersangkut di sana.

Ruby memasuki rumah dan melihat Sera duduk santai di sofa dengan ponsel di tangannya. Ia sedikit bingung. "Benda apa itu?" tanya Ruby dengan tangan menunjuk ke arah pintu.

Sera mendesah pelan dan meletakkan ponselnya ke meja. Ia melirik Ruby datar. "Seharusnya aku yang bertanya. Siapa gadis bermata biru itu?"

Ruby mengerutkan dahi semakin bingung. "Siap--- Bruna?"

"Entahlah aku tidak tahu siapa namanya."

"Ada apa dengan dia? Kau bertemu dengannya?" tanya Ruby dengan mata memicing. Kakinya melangkah pelan mendekati Sera meminta kepastian.

Sera mengangguk pelan. Kali ini wanita itu benar menatap Ruby lekat-lekat. "Siapa dia Ruby?"

Ruby mengurut pangkal hidungnya dengan mata terpejam. Kepalanya mendadak pusing. "Namanya Bruna. Aku tidak tahu dia siapa, tapi Chandra memintaku untuk membunuhnya."

"What the hell are you talkin' about, huh? Kau akan membunuhnya sementara kau tidak tahu latar belakang gadis itu?" tanya Sera tidak percaya.

Ruby duduk di samping Sera dan menggaruk pipinya yang tiba-tiba gatal. "Biasanya juga seperti itu, bukan? Aku tidak pernah mau tahu mereka siapa. Tapi Bruna berbeda, Chandra hanya memberikanku foto dan namanya saja, hanya Bruna."

"Itu karena dia gadis berbahaya," jawab Sera sinis. "Dia hampir saja membunuhku dengan cara menembakku."

Ruby menoleh cepat dengan mata yang melotot hampir keluar dari tempat seharusnya. "Kau serius? Lalu di mana dia menembakmu?" Ruby seketika khawatir dan membolak-balikkan badan sahabatnya.

"Tidak terjadi apa-apa!" Sera menghentikan Ruby. "Untung saja aku kehabisan tanktop karena belum ada yang kering. Jadi aku memutuskan menggunakan anti peluru darimu. Dia benar-benar melesatkan peluru itu tepat di jantungku."

Ruby terkekeh kecil. Ia menepuk dahinya tidak menyangka dengan kebetulan yang sangat baik ini. "Astaga! Ternyata takdir tidak selamanya buruk!"

"Dan itu," kata Sera menunjuk benda aneh yang tersemat di pintu. "Sepertinya milik gadis itu."

Ruby mengangkat dua alisnya tinggi-tinggi dan menatap benda yang sempat menarik perhatiannya. Wanita itu bangkit dari duduknya dan mendekati benda aneh yang menyerupai hiasan rambut. Menggeleng pelan, seringainya timbul perlahan. "Aku pikir dia tidak seberbahaya yang kita pikirkan."

===

Suara detak jarum menghiasi malam. Terdengar ke seluruh penjuru ruangan di bangunan mewah tersebut. Terlihat Safir dengan kacamata kerjanya duduk di depan laptop, suara ketikan kadang terdengar. Lelaki itu menyisir rambutnya ke belakang sesekali dan menyandarkan tubuhnya pada sofa ruang depan.

Tiba-tiba saja Safir teringat Ruby. Seketika punggungnya penegak dengan alis beradu. Tangannya menumpu dagu dengan jari-jari memainkan bibirnya.

Apakah tadi Ruby berbohong?

Apakah Ruby berkata sebenarnya?

Apakah Ruby pergi dari Restoran karena marah dengannya?

Apa yang Ruby lakukan besama Intan?

Apakah Ruby baik-baik saja?

Safir memijat keningnya frustrasi. Bagaimana jika Ruby tidak berbohong? Tapi apa mungkin Intan bisa melukai dirinya sendiri? Tidak mungkin! Safir menghela napasnya berat dan memejamkan mata rapat. Perasaan bersalah hinggap di dada Safir. Ia merasa sangat bersalah telah memarahi Ruby barusan. Tapi mengapa ia harus merasa bersalah?

"Aku tidak habis pikir. Kenapa kau pertahankan orang seperti Ruby?" tanya Intan di sela Safir yang tengah mengobati luka di pipinya.

Safir terdiam dan memutuskan untuk tidak menjawab perkataan Intan. "Aku tidak tahu."

"Kenapa tidak tahu! Harusnya kau pecat saja jalang sepertinya!"

"Ssstt! Jika nanti ia membuat ulah fatal. Aku akan memecatnya!" kata Safir tenang.

"Janji, yah?"

"Hm."

"Untuk apa kau mempertahankan Ruby, Safir?" tanya Safir pada dirinya sendiri. Matanya melotot tak percaya seolah ada Safir lain di hadapannya.

"Untuk apalagi, tentu saja karena pastanya yang lezat!"

"Ah, tidak-tidak! Kurasa masakannya biasa saja!"

Safir mengacungkan jarinya setelah terdiam lama. "Sepertinya ia menambahkan banyak garam dan micin sehingga rasanya lebih gurih?" Safir tersenyum puas setelah berargumen sendiri. Ia menyandarkan punggungnya pada sofa dan menatap langit-langit.

Sampai suara pintu tertutup keras menyentak indra pendengaran Safir. Pria itu menatap gadis yang dengan sekenaknya melewati dirinya begitu saja. "Hey! Habis darimana?" tanya Safir sembari menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Sudah hampir tengah malam.

Gadis itu berdecak malas. Ia melirik Safir sekilas. "Aku tidak harus menjawabnya, bukan?"

"Harus! Karena aku Kakakmu," jawab Safir tegas.

"Memangnya aku pernah bertanya mengapa kau terlalu sibuk dengan gubuk Restoranmu itu daripada aku?" tanya gadis berambut sedikit pirang itu sinis.

Safir memutar bola mata malas. "Tapi tidak menjadikan perusahaan kita bangkrut, berarti bukan masalah?"

Kali ini gadis itu menoleh tepat di hadapan Safir, menatap mata biru sang kakak kesal. Bibir tipisnya siap mencibir. "Ayah memberimu banyak aset dan kau malah mendirikan Restoran abal-abal itu! Belum saja aku ratakan restoranmu dengan bom!"

Safir tertawa kecil. "Kau selalu sinis dengan Restoranku, Bruna."

Mata biru Bruna memutar malas. "Justru karena restoran itu kau lupa dengan adikmu sendiri."

===






Udah panjang belum? Kayaknya udah:"v
Segini dulu lah lanjut besok:*

Continue Reading

You'll Also Like

120K 4.1K 15
Aku mencintaimu, tapi aku tidak bisa melepaskan kebiasaan ini. -Nicholas Handson, sang penderita HyperSex . . Aku mengingat semuanya. Setiap detik...
BRAIDED(21+)✔ By MIAFILY

Mystery / Thriller

1M 13.5K 7
[SEBAGIAN CHAPTER DI PRIVATE, FOLLOW SEBELUM MEMBACA. Biar nyaman bacanya😄] Ketidak tahuan menuntun Riri pada hal yang tak pernah ia sangka. Mereka...
579K 13K 51
Sebagian cerita di private Untuk membaca silahkan follow Jangan lupa vote dan komennya
16.8M 729K 42
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...