Celah Pengintip (END)

By ArVelodes

2.2K 174 117

Kau bisa saja lari dan sembunyi. Tapi kau tidak bisa lepas dari pantauanku. Ya, aku. Iblis jahat yang akan me... More

Celah Pengintip [AWAL]
Celah 1: Titipan Berharga
Celah 2: Sikap Aneh
Celah 3: Teman Baru dan Tragedi
Celah 4: Perpisahan Untuk Selamanya
Celah 5: Fakta Menjengkelkan
Celah 6: Air Mata Kepedihan
Celah 7: Air Mata Kepedihan bag. 2
Celah 8: Iblis Merasuk Jiwa
Celah 9: Pembalasan
INTERMEZZO
Celah 10: Darah, Keringat, dan Air Mata
Celah 12: Akhir (Phase 2)

Celah 11: Akhir (Phase 1)

119 8 13
By ArVelodes

Silahkan menonton terlebih dahulu video di atas sebelum membaca kisah ini. Video tersebut merupakan lagu yang akan mengiringi berakhirnya trilogi pertama Celah Pengintip. Selamat membaca.

****

September 2016. Kesembuhan Gloria pasca operasi cangkok ginjal membawa angin segar bagi semua anggota organisasi tempatku bernaung. Meski dia histeris dan melemparkan benda apa saja saat melihatku datang menengok kondisinya, aku tetap sabar menghadapi gadis ini. Aku tahu dia ketakutan dan shock berat ketika kuberitahukan perihal Giovan, ayahnya, yang telah mati kubunuh. Kesalahanku membawanya jatuh ke dalam trauma mendalam. Tapi, apa boleh buat, semua kulakukan untuk membalas kematian Mama dan Papa. Ada satu alasan yang membuatku mengurungkan niat membunuh Gloria.

Kupeluk erat tubuhnya saat ia masih menangis. Dia diam saja. Rambut panjang hitamnya bak puteri kerajaan kuusap perlahan dari pangkal kepala hingga punggung. Kulakukan berulang-ulang sampai dia berhenti menangis. Kudekatkan wajahku ke telinga kanannya dan berbisik, "Jangan tinggalin Kakak lagi, Dek. Sisca sayang Kakak, kan?"

Ya, cerminan Gloria menyerupai adikku yang sudah tiada. Walaupun aku tahu Gloria tidak mengerti dengan ucapanku, dan tidak tahu siapa Sisca sebenarnya, dia hanya diam. Setidaknya aku berhasil meredakan isak tangis yang terus meraung sepanjang hari.

Sejak saat itu, Gloria sudah memberanikan diri berbicara denganku, bahkan di satu kesempatan kami jalan-jalan ke satu taman hiburan di kota ini. Dengan cara seperti itu rasanya Sisca seolah-olah hidup kembali. Di markas pun aku selalu mendidik dia dengan macam-macam pelajaran seperti anak-anak sekolah pada umumnya. Dia sudah seperti adikku sendiri, dan aku tidak ingin dia berada dalam bahaya. Oleh sebab itu, aku tidak mengajarkannya jadi seorang pembunuh, walaupun ada saja anggota organisasi ini yang merajuk padaku agar Gloria bisa menjadi pembunuh, Tobi sebagai salah satu contohnya.

Markas ini bukanlah tempat teraman bagi gadis remaja seperti Gloria. Oleh karenanya, satu minggu kemudian, aku menitipkan dia ke salah satu panti asuhan di wilayah Jakarta Timur. Aku tidak mau dia terancam bahaya, dan Gloria setuju akan hal itu.

Gloria sudah aman di panti asuhan, lalu apa kegiatanku cukup sampai di sini? Tidak. Masih ada satu tujuan lagi yang belum tercapai. Sampai sekarang aku belum bertemu dengannya sejak terakhir kali bertemu di panti asuhan tempat dahulu kami tinggal. Seperti mencari jarum di dalam tumpukan jerami, keberadaannya sangat sulit dideteksi. Tidak ada petunjuk sama sekali yang berhasil kudapatkan walau satu sekalipun. Dia seperti tenggelam ke dasar palung paling dalam dan tak muncul lagi ke permukaan.

Mungkinkah dia sudah mati sebelum aku sempat membalaskan kematian teman-temanku? Rasanya tidak mungkin. Aku yakin Sinka masih hidup dan mungkin sedang bersembunyi di suatu tempat, merencanakan sesuatu yang ada hubungannya denganku. Ya, aku yakin itu.

"Hey, Kak Ar!" Panggilan seorang gadis remaja diikuti cipratan air mengejutkanku. "Kak Ar kok bengong melulu dari tadi, sih?"

"Mungkin dia lagi mikirin jodoh di masa depan kali, Gre." Seorang gadis lainnya ikut menimpali disertai gelak tawa yang terdengar renyah.

"Oh, maaf-maaf...." kataku. Kubersihkan percikan air yang menempel di wajahku hingga bersih menggunakan kedua tangan.

"Makanya, Kak, jangan kebanyakan bengong, nanti kesambet," ujar gadis remaja berambut panjang dengan gigi gingsul di mulutnya.

"Sampai kapan kami harus berendam di sini, Ar?" Gadis berambut panjang dengan satu titik tahi lalat di dagunya ikut menimpali.

"Tunggu sampai lima menit lagi."

Tidak banyak yang bisa kulakukan untuk mengisi kekosongan hingga petunjuk keberadaan Sinka berhasil kudapatkan. Kini aku memiliki dua orang murid yang sedang kudidik menjadi seorang pembunuh. Mereka perempuan dan tentunya cantik di usianya yang lebih muda dariku.

Awalnya, aku tidak berniat mendidik mereka berdua. Bukan tanpa alasan. Bagiku, apa gunanya berguru pada orang gagal sepertiku? Aku gagal melindungi mereka. Aku membiarkan mereka lenyap dari kehidupanku. Aku yang terus menangis sambil meratapi nisan mereka dan merutuki diri bahwa semua itu adalah salahku. Aku yang tidak sempat membuat mereka bahagia atas semua yang pernah aku lakukan.

Apa tujuanku sebenarnya? Sudah jadi seperti apa aku ini? Apakah aku layak dipanggil 'guru'? Apa untungnya? Dunia terlalu kejam bagi orang-orang lemah sepertiku, yang terus dibayangi rasa bersalah, dan penyesalan tiada ujung. Menyakitkan!

Tapi, perkataan Mel saat di bekas panti asuhan tempatku tinggal dulu, membuat pikiranku sedikit demi sedikit berubah. "Sampai kapan pun kau terus menyalahkan dirimu sendiri, orang-orang yang kausayangi tidak akan pernah bisa kembali," ujarnya, intonasi nada bicaranya seolah sedang menasihatiku. Aku mengerti itu. Akan tetapi, aku tak mendengarkannya dan larut kembali dalam rasa sesal. Namun, Mel melanjutkan nasihatnya, "Kau tahu, dunia memang kejam bagi orang seperti kita, aku pun mengerti karena kita sama, Ar. Tapi, kau bisa menepis pandangan itu diawali dengan satu cara, kau tahu?"

Aku menggeleng. Mel hanya menatapku lekat. Sepasang alisnya mengkerut membentuk kesatuan. Dipandangnya aku begitu seakan aku tidak memahami maksud perkataannya. Tapi, memang aku tidak mengerti.

"Dengan memaafkan diri Kakak sendiri, setelah itu lakukan apa yang seharusnya Kakak lakukan," Silvia yang saat itu ada di panti ikut dalam pembicaraan. Dia memberikan segelas jus jeruk padaku. Senyum terpancar di bibir manisnya. "Aku 'kan udah bilang waktu Kak Rio selesai ziarah kalau Kakak harus merelakan mereka pergi. Apa perlu aku ngulangin kata-kataku lagi?" Silvia duduk di sebelahku, menatapku dengan seksama tanpa menghilangkan senyumnya. Senyum manis yang mirip dengan adikku.

"Tuh, dia saja mengerti, Ar," ucap Mel sedikit tertawa. Telunjuknya mengarah ke Silvia. "Sudahlah, dengarkan kata-katanya, Ar. Gadis cantik nan imut ini bisa mengubah pola pikirmu, tak pantas jika harus disia-siakan."

Aku terbahak, mengerti maksud ucapan Mel, tapi bukan itu sebabnya Silvia bisa dekat denganku. Silvia sama denganku, sama-sama anak yatim piatu. Dia membantuku menjaga makam orang-orang yang kusayangi dengan baik. Ada rasa sayang ketika kami bertemu, namun itu hanya sebatas kakak-beradik. Aku tak menginginkan lebih dari itu. Karena aku sadar dengan tabiatku sebagai seorang pembunuh, aku tidak bisa berlama-lama tinggal bersamanya, karena itu bisa membahayakan kami berdua. Silvia sudah kuanggap sebagai satu-satunya keluarga yang masih hidup, dan keputusanku sudah mutlak.

Tepukan keras mendarat di bahuku. Pekikan nyaringnya membuyarkan lamunan. Urai rambut panjangnya yang basah kini sudah terikat kuncir kuda. Dia berdiri di sampingku, menatapku dengan penuh tanda tanya. "Kakak kenapa bengong mulu sih? Aku udah kedinginan, tahu, dari tadi berendem terus...."

Buru-buru aku membalasnya, "Maaf, Gre, tadi Kakak kepikiran sesuatu aja."

"Mikirin apa hayo?" Gre menatapku penuh selidik. "Hmm... pasti mikirin body-nya Kak Nju, ya? Ih, Kakak mesum!"

"Enak aja kamu ngomong!"

"Terus kenapa bengong aja tadi?"

"Kakak mikirin hal lain," jawabku agak ketus. Namun, tatapan Gre terus tertuju padaku dan aku agaknya merasa terintimidasi dengannya.

"Jujur aja deh sama aku...." Dia menggodaku. Aku tak menghiraukannya. Pandanganku beralih pada gadis dengan tahi lalat di dagunya yang masih berendam di dalam arusnya sungai. Seperti seorang bidadari, Nju terlihat cantik.

Sial. Rasa-rasanya aku termakan omongan senonoh Gre tadi.

Nju dan Gre. Atau bisa kusebut NJU 18 dan GRE 17, adalah anggota baru organisasi yang sedang kudidik. Mereka berdua direkomendasikan oleh Mel karena janda muda itu percaya kalau aku bisa mendidik mereka menjadi lebih kuat. Tidak ada hambatan besar ketika sedang mendidik mereka. Diluar dugaanku ternyata mereka sangat cepat menyerap semua yang aku ajarkan, bahkan detil terkecil pun tak luput mereka kuasai.

Mereka berdua merupakan salah satu orang-orang terpilih yang bisa masuk organisasi. Sama-sama memiliki kesamaan dengan anggota lainnya. Yang membedakannya hanyalah cara hidupnya sebelum mengenal penderitaan.

NJU 18, atau memiliki nama asli Elisabeth Shanta Junianatha, merupakan seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di salah satu universitas swasta Jakarta. Dia gadis yang hidupnya penuh dengan rasa sakit hati akibat dicampakkan dan dinodai oleh pria yang disukainya. Belum lagi perlakuan kasar sang ayah terhadapnya serta ibu dan adik perempuannya, membuat hidup Nju semakin menderita.

Sedangkan GRE 17, atau memiliki nama asli Gracia Alveria, adalah seorang murid kelas 12 di salah satu SMA swasta Jakarta. Dia hidup penuh dengan bully-an dari teman-temannya di sekolah karena kepintaran Gre yang jauh di atas rata-rata. Mereka menganggap kepintaran gadis bergingsul itu adalah sebuah ancaman bagi sekolah. Tak jarang tubuh Gre penuh dengan luka lebam akibat dikeroyok teman-temannya.

Penderitaan seorang manusia akan melahirkan kebencian. Dari kebencian itu pula melahirkan kekuatan. Itulah yang dialami mereka berdua. Kebencian membawa mereka untuk melakukan hal keji pada orang-orang yang sudah membuatnya menderita. Artinya, kebencian dibalas dengan nyawa. Itu pula yang menjadi dasar mengapa organisasi memilih Gre dan Nju untuk bergabung.

"Sudah, keringkan dulu tubuhmu, setelah ini kita latihan." Aku meminta Gre untuk segera mengeringkan tubuhnya yang basah, mengingat dia sudah selesai berendam sesuai arahan dariku.

"Oke. Terus gimana sama Kak Nju?" Gre balik bertanya.

"Biar Kakak yang urus, kelihatannya dia masih asyik berendam."

"Hmm, oke deh kalo gitu. Aku masuk ke dalam ya, Kak."

Aku mengangguk. Gre mulai masuk ke dalam rumah kayu—pemberian Silvia—yang berada di sisi sungai ini. Ya, rumah kayu tersebut memang pemberian Silvia selepas terakhir kali aku berkunjung kembali ke tanah kelahiranku tahun lalu. Silvia adalah gadis yang baik sampai rela memberikan rumah ini yang kuketahui merupakan peninggalan kakeknya dahulu. Dia pun berpesan agar aku merawat rumah ini dengan baik dan digunakan sebagaimana mestinya. Meskipun aku sempat tak enak karena rumah ini kupakai sebagai tempat latihan pembunuh, tapi aku suka tempat ini. Maksudku, lihatlah letaknya yang berada jauh dari kota, dikelilingi hutan-hutan yang asri dan juga sungai jernih. Sungguh, aku seperti berada di Kanada.

"Hei, Nju, sampai kapan kau terus berendam di sana?" Aku yang berada di tepian sungai mulai bertanya. Kedua tanganku terlipat di depan dada, menyaksikan tubuh gadis berdagu tompel itu basah kuyup tertutup kaos putih miliknya.

"Ternyata asyik juga berendam di sungai, Ar, badanku jadi segar lagi." Nju bersorak girang. Dia bangkit berdiri, membiarkan rembesan air yang membasahi tubuhnya turun beriringan.

"Sudah waktunya latihan. Ayo!"

"Iya-iya."

"Jangan terlalu lama berendam di sungai, bisa mengundang mata-mata buas."

"Halah, mata buasnya itu 'kan kamu!"

Aku hanya tertawa. Setelah mengatakan itu, aku masuk kembali ke dalam rumah. Kurasa latihan ini akan terasa lebih menyenangkan.

****

Terik matahari membumbung tinggi di atas langit. Tepat pukul satu siang, Gracia Alveria melesatkan anak panah, melaju dengan sangat cepat dan kemudian menancap tepat di bagian tengah titik lingkaran pada batang pohon. Gadis bergigi gingsul itu bersorak girang melihat anak panahnya tepat sasaran. Peluh keringat tak menyurutkan semangatnya. Dia mengambil satu anak panah lain dari dalam sebuah tabung yang kutaruh di samping batu besar. Dia memosisikan anak panahnya pada busur di tangannya, lantas membidik target.

Di sisi lain, lima meter dari tempat Gre berdiri saat ini, Elisabeth Shanta Junianatha memainkan tongkat panjang dengan belati tajam di bagian ujungnya. Dengan lincah layaknya atlet wushu dia mampu mengoyak orang-orangan sawah yang tertancap di sekelilingnya, bahkan satu dari alat alternatif pengusir burung itu hancur tak menyisakan celah sedikit pun. Dia sangat menikmati latihan ini. Aku tersenyum melihat kemajuan mereka yang pesat, yang mungkin saja mereka berdua akan melampauiku.

Akan tetapi, jika hanya dengan melihatnya saja, mereka tidak akan semakin berkembang. Bagaimana jika aku menjadi objek latihan mereka? Maksudku, anggap saja aku sebagai musuh yang mengincar nyawa mereka. Ya, tidak ada salahnya mencoba. Tapi, kumulai dari mana, ya...

"Gre, serang aku menggunakan busur panahmu!" Ya, aku akan memulainya dari gadis manis dengan gigi gingsul ini.

"Kak Ar seriusan?!" Dia terkejut. Aku mengangguk mantap. "Tapi, Kak, Kakak bisa mati lho. Anak panah milikku sangat cepat, gimana caranya Kakak ngelawan aku, Kak?"

"Sudah, lakukan saja. Aku akan melawanmu dengan tangan kosong."

"Tapi, Kak...."

"Cepetan! Kalau tidak, aku tidak mau lagi mengajarimu!" Aku mengancamnya.

"I-iya, Kak." Dan, pada akhirnya Gre pun mengiyakan perintahku. "Tapi, jangan salahin aku ya kalau Kakak sampai mati."

Gre memosisikan anak panah ke busurnya, mulai membidik. Satu matanya menutup rapat, sedangkan mata sebelahnya menatap tajam padaku bak elang yang mengintai mangsa. Aku terdiam saat kuketahui ujung anak panah itu membidik tepat ke arah jantungku. Sesuai kataku, gadis ini tidak main-main.

"Gre, cepa...!"

Belum sempat aku memberi aba-aba, Gre melesatkan anak panahnya. Jarakku hanya dua meter dengan gadis itu, ditambah laju anak panah yang melesat dengan sangat cepat, mustahil bagi seseorang untuk bisa lepas darinya. Namun, aku sudah memperhitungkan hal itu dengan baik. Aku menunduk, membiarkan anak panah itu melewatiku begitu saja. Hampir saja aku terkena.

Gre tampaknya terkejut melihatku yang lolos. Dia mengambil satu anak panah lainnya dan hendak memosisikannya ke busur. Sayangnya, dia kurang cepat karena aku sekarang merebut paksa busur di tangannya, ditambah rasa terkejutnya membuatnya sedikit lengah. Lantas kudorong tubuhnya hingga jatuh ke tanah. Dia mengatur napasnya dan bangkit berdiri.

"Kak Ar, itu tadi cepat sekali, aku tidak sempat melawan balik," ujarnya. Dia memujiku.

Aku melempar busur milik Gre dan sukses ditangkap olehnya. "Kau masih kurang cepat, Gre. Musuh tidak akan memberimu celah jika kau kalah cepat dengan musuhmu."

"Baik, Kak, namanya juga kan masih belajar. Aku akan berusaha."

"Ya, sudah seharusnya begitu," kataku sembari memasukkan kedua tanganku ke dalam saku jaketku. "Ayo, kita coba lagi." Gre mengangguk.

"Ar! Ada telepon dari markas untukmu!" Belum sempat aku memulai latihan lagi dengan Gre, Nju memanggilku. Dia lari-lari sambil mengacungkan ponselnya ke arahku. Lantas ia menyerahkan ponselnya begitu sampai. "Nih, tadi Kak Mel nelepon katanya ada berita bagus untukmu."

"Berita apa?" Aku balik bertanya. Nju menggidikkan bahu, pertanda bahwa dia pun tidak tahu.

Aku memosisikan ponsel ke telinga kananku. Terdengar suara Mel yang lembut di seberang sana. Nada bicaranya terdengar sangat bersemangat dan antusias. Aku diam mendengarkan. Gre dan Nju ikut diam. Mereka penasaran dengan perbincangan antara aku dengan janda psikopat ini. Mataku terbelalak, diikuti seutas senyum lebar. Berita bagus yang Mel sampaikan gairah semangatku kembali berkobar. Sudah lama aku tidak merasa sesemangat ini. Aku tertawa. Kuhiraukan pandangan dua anak didik di sampingku yang memandang heran padaku. Aku hanya terfokus pada berita yang disampaikan Mel.

"Kerja bagus. Baiklah, aku akan segera ke sana menggunakan bus dari sini. Kuharap kali ini dia tidak bisa lolos."

Aku mengakhiri percakapan. Lalu, memberikan ponsel kepada Nju.

"Kak Mel ngasih berita apa, Kak?" tanya Gre. Raut wajahnya nampak begitu penasaran. Begitu pula Nju.

"Kalian tidak perlu tahu. Ini tidak ada kaitannya dengan kalian," jawabku dengan sedikit dingin. Mereka saling berpandangan satu sama lain, aku memilih menghiraukannya. "Lanjutkan saja latihan kalian. Saat senja nanti kalian boleh pulang. Sepertinya urusanku ini akan berlangsung sampai malam."

"Baiklah, Kak." Gre menanggapinya dengan cemberut. Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Lantas, aku pun pergi ke tempat yang sudah diberitahukan Mel.

****

Singkat cerita, aku sudah berada di dalam bus. Pukul empat sore, bus yang kutumpangi sudah memasuki kawasan jalan Jenderal Sudirman kota Jakarta. Jalanan begitu padat dengan lalu-lalang kendaraan, namun itu tak menyurutkan semangatku untuk bertemu dia. Bus berhenti di salah satu halte jalan ini, menurunkan penumpang yang hendak turun. Aku pun ikut turun karena disinilah tujuan pemberhentianku.

Kulihat di seberang jalan ada satu gedung mall besar yang memiliki dua huruf saja sebagai namanya. FX Sudirman. Aku tahu mall ini, sebuah mall besar dengan tujuh tingkat yang juga katanya menyimpan tempat yang digunakan sebagai tempat pertunjukan. Menurut informasi dari Mel, orang yang kucari-cari sedang berada di sana hari ini. Aku yang sudah tidak sabar kini menyebrang jalan menuju gedung mall itu.

Benar dugaanku, mall ini lebih besar dari yang kukira dan memiliki tujuh tingkat. Ada yang unik di mall ini, mereka memiliki sebuah perosotan yang menjulang dari lantai tujuh ke lantai satu. Aku sedikit terpukau dibuatnya. Namun, aku tidak ingin berlama-lama di sini, dan memilih untuk masuk ke dalam lift. Lantai empat jadi tujuanku selanjutnya.

Sesampainya di sini, tidak terlalu banyak orang yang lalu-lalang. Mel bilang padaku sebelumnya kalau di lantai inilah tempat yang paling ramai didatangi orang-orang, lebih tepatnya mereka berkumpul di satu tempat. Aku pun penasaran dan mulai mencari tempat itu. Dan, saat kutemukan, tempat itu tidaklah ramai seperti yang dibilang Mel, malah nampak sepi sekali.

JKT48 Theater. Tempat inilah yang jadi tujuanku. Aku tidak terlalu tahu dengan tempat ini, yang kutahu hanyalah tempat ini sebagai tempat pertunjukan para idol group, begitulah dari informasi yang kudengar. Jika ini sebuah tempat pertunjukan, seharusnya suasananya ramai didatangi pengunjung. Lantas mengapa di sini sepi sekali?

Aku mencoba masuk ke dalam tempat itu. Di bagian depan ada satu tempat yang menyimpan banyak barang. Kurasa itu semacam merchandise para idol di sini. Hanya nampak satu orang wanita yang duduk menunduk di depan meja itu. Aku mencoba mendekat. Wanita itu diam saja saat kupanggil, bahkan berkali-kali kupanggil dia tak bergeming sama sekali. Aneh. Ah, mungkin saja dia sedang tidur.

Kuperhatikan lagi sekitar tempat ini. Ada satu ruangan kecil yang kurasa itu adalah tempat pembelian tiket. Ada dua orang, satu wanita dan satu pria di dalamnya. Namun, sama seperti wanita di meja merchandise tadi, mereka diam menuduk tak bergeming saat kupanggil berkali-kali. Aku mulai merasakan ada yang aneh dengan tempat ini, ditambah lagi sejak tadi aku tidak menemukan satpam yang berjaga di tempat ini.

Mataku kini teralihkan ke layar LCD yang terpasang di dinding. Layar itu menunjukkan gambar sebuah panggung dengan latar hitam di belakangnya. Kurasa itu tempat pertunjukkannya. Tapi, mengapa aktifitas di sana sepi sekali, tidak seperti sedang menunjukkan adanya pertunjukan.

Tunggu sebentar. Beberapa detik kemudian, aku melihat seorang gadis kecil mengenakan kostum yang aku tidak mengerti sedang merangkak perlahan. Dia terlihat seperti menjauh dari sesuatu. Aku perhatikan dengan seksama. Kali ini ada seseorang dengan pakaian serba hitam mendekati gadis itu. Sebilah pisau tajam mengarah ke gadis kecil itu. Ah, ternyata benar yang kuduga, pantas saja sejak tadi di sini suasananya sepi sekali. Tanpa pikir panjang, aku berlari masuk lebih dalam ke tempat ini. Ada deretan foto terpajang di sepanjang dinding saat aku melewati lorong. Kurasa foto-foto itu adalah para idol di sini. Ada pintu di depan, aku pun masuk ke dalamnya.

Bau amis menyerbak ketika aku sampai di dalam ruangan. Ruangannya tampak luas dengan jejeran kursi warna biru dan hijau yang menghadap panggung di depannya. Tapi bau amis yang tercium itu berasal dari orang-orang yang duduk di jajaran kursi tersebut. Sekujur tubuh mereka bersimbah darah disertai lubang-lubang menganga seperti luka dari peluru senjata api, ditambah luka tusukan benda tajam di sekujur tubuhnya. Kurasa mayat-mayat ini adalah para penggemar idol-idol tempat ini. Bukan hanya itu saja, di atas panggung itu juga beberapa tubuh gadis mengenakan kostum terbujur tak bernyawa. Kondisinya sama persis dengan para mayat penggemar tadi, kecuali gadis yang kulihat di layar LCD, dia masih hidup. Lantas, kemana perginya orang berpakaian serba hitam itu?

"Hei, kau baik-baik saja?" Aku bertanya pada gadis itu saat kuhampiri, memastikan kondisinya. Gadis itu mengangguk. "Siapa namamu? Apa yang sudah terjadi di sini?"

Kubantu gadis itu berdiri. Dia gemetar sangat hebat. Kucoba menenangkannya.

"N-namaku Zara." Gadis itu berucap mengucapkan nama. "D-dia... d-dia... dia yang...."

"Dia siapa? Apa yang terjadi?"

"Di-dia yang...."

DOR!

Belum sempat Zara menyelesaikan ucapannya, letupan senjata api berhasil membuat kepalanya hancur berkeping-keping. Darah disertai otaknya terciprat mengenai wajah dan jaket yang kukenakan. Tubuh Zara ambruk begitu saja. Kulihat seseorang berpakain serba hitam mengacungkan shotgun padaku dari ujung panggung. Dia mengenakan topeng sehingga aku tidak bisa mengenali wajahnya.

"Hei, kaukah itu?" Aku tidak tahu apa yang kukatakan. Itu terlontar begitu saja dari mulutku. Yang kupikirkan pasti orang di depanku inilah orang yang sedang kucari selama ini.

Orang itu diam, tangannya masih memegang shotgun. Dia menunjuk padaku. Dari balik topengnya bisa kudengar bahwa dia adalah perempuan, tapi aku belum bisa memastikan kalau dia adalah orang yang kucari. "Ikut aku." Dia memintaku untuk mengikutinya. Kuikuti permintaannya.

Dia membawaku masuk ke belakang panggung ini. Ruangannya tidak begitu luas. Terdapat banyak sekali kostum yang kurasa dipakai para idol di sini. Bau amis lagi-lagi tercium, namun lebih menyengat dibanding sebelumnya. Ceceran darah mengotori seluruh kostum, lantai, hingga ke dinding ruangan. Banyak mayat gadis menggelepar di lantai dengan kondisi mengenaskan. Tubuh mereka tidak utuh lagi, bahkan beberapa hancur.

"Hei, apa kau yang melakukan semua ini?" Aku mencoba menanyakan kepada orang misterius yang berjalan di depanku. Dia menghentikan langkahnya. Shotgun diangsurkan ke atas pundak kanannya. "Hei, jangan bersembunyi dari balik topeng itu, Sinka."

Dia berbalik badan. Tudung jaket hitam yang menutupi kepalanya ia buka, menampakkan rambut panjang yang terikat kuncir kuda. Dia menengadah padaku. Aku bisa tahu kalau dia sedang menatapku tajam meski dia memakai topeng.

"Aku bukan Sinka," ucapnya. "Kau tidak mengenali suaraku, Rio?"

Bagaimana dia bisa tahu namaku? Menurut info yang dikatakan Mel, Sinka si psikopat kecil itu sedang berada di tempat ini. Aku tidak mengerti. Apa mungkin Mel memberi informasi yang salah?

"Jika kau bukan orang yang kucari, lalu siapa kau?"

"Jika kuberitahu, apa kau akan terkejut?" Dia malah balik bertanya. Aku mengernyit.

Dia melangkah lagi mendekati sudut ruangan yang tertutup kostum. Seseorang berada di sana, duduk memeluk kedua kakinya sambil menahan gemetar di sekujur tubuhnya. Itu adalah salah satu gadis idol di sini. Dia tampak sangat ketakutan. Orang bertopeng misterius itu menghadap si gadis malang itu, membelakangiku supaya aku tidak dapat melihatnya. Dari belakang bisa kulihat dia membuka topengnya. Raut ketakutan semakin terpancar di wajah gadis yang malang tersebut. Orang misterius itu mengarahkan shotgun ke gadis itu.

"K-kak... j-jangan bunuh aku, Kak...." Gadis malang itu berucap. Suaranya terdengar sangat parau dan lemah, penuh dengan rasa ketakutan. "Please, Kak... jangan sa...."

DOR!

Letupan shotgun itu berhasil memecahkan kepala gadis malang itu. Ceceran darah beserta otaknya mengotori dinding. Orang misterius itu menjatuhkan senjata apinya. Dia masih membelakangiku.

"Nama gadis di depanku adalah Feni. Dia merupakan salah satu temanku selama aku menghilang beberapa tahun lalu," ujarnya. Kulihat dia membuka jaket hitamnya, menyisakan kaos putih dan celana panjang hitamnya saja. Aku masih diam, menunggu.

"Tapi, aku terpaksa membunuhnya karena desakan seseorang. Aku tidak bisa membantahnya, karena jika tidak, aku pun bisa mati olehnya." Dia melanjutkan penjelasannya. "Tapi sekarang aku sudah terbebas dari kukungan orang itu. Aku melawannya, dan menjadikan diriku sendiri sebagai buronannya. Rasanya seperti mendapat udara segar. Aku bisa melakukan apa saja sesuka hati."

Aku mencoba menanggapi perkataannya. "Memangnya kau ini siapa?"

Dia sedikit tertawa. Kaos putih yang dipakainya ia lepas begitu saja, sehingga tersisa bra hitam dengan celana panjang hitam. Namun, ada yang berbeda. Di tubuhnya banyak sekali bekas luka cambuk dan goresan benda tajam. Tak sampai di situ, dia membuka celana panjangnya. Kini dia hanya mengenakan bra dan celana dalam hitam.

"Rio, kau tidak ingat aku?" Dia kembali bertanya. "Dulu kita bertemu pertama kali di hutan, menyelamatkan adikmu yang akan diterkam macan tutul. Kau masih ingat kan?"

Aku masih diam. Sesungguhnya aku merasa terkejut, lantaran mengapa dia bisa tahu perihal Sisca, adikku yang hendak diterkam macan tutul. Aku mencoba berdalih. "Kejadian itu sudah sangat lama, tidak mungkin juga aku mengingatnya kembali. Lagipula, tujuanku ke sini adalah bertemu dengan Sinka, orang yang kucari-cari selama ini, bukan malah bertemu dengan orang misterius sepertimu."

Dia menghembuskan napas panjang. "Mendekatlah kemari, Rio. Aku akan memberitahu siapa diriku. Tenanglah, aku tidak akan menyakitimu."

Awalnya ragu, namun rasa penasaran mengalahkanku. Aku pun mendekat padanya. Dia masih membelakangiku. Ada sedikit rasa simpati ketika melihat tubuhnya penuh dengan bekas luka. Entah apa yang sudah terjadi dengannya. Aku sudah berada di belakang tubuhnya.

"Hei, cepat katakan siapa kau."

Tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya, kemudian mencium bibirku tanpa seizinku. Ciuman lembut dan terasa hangat, membuatku terlempar ke masa lalu. Aku kenal ciuman ini. Ciuman pertama dari gadis yang kukenal pertama kali. Buru-buru aku melepas ciuman itu, lalu sedikit melangkah mundur, merasa terkejut. Wajah gadis itu kini tampak jelas. Ya, dia....

"Viny?!"

****

TBC. Akhir yang sesungguhnya ada di phase 2.

Sudah lama tidak melanjutkan kisah ini. Maklum, kesibukanku di dunia nyata menyita hobiku ini. Tapi sekarang aku coba melanjutkannya lagi mumpung diberi waktu yang pas.

Part ini agak drama ga sih? Wkwkwk :v  Ya sudah, tunggu apdetan selanjutnya nanti ya, dalam waktu yang lama. Mungkin.

Sedikit caracterology:

Shania Gracia sebagai Gracia Alveria.

Shania Junnianatha sebagai Elisabeth Shanta Junnianatha.

Ratu Vienny Fitrilya sebagai Viny.

Continue Reading

You'll Also Like

23.8K 3.4K 28
Aku abadi, tapi di dekatmu aku jadi rentan
297K 17K 39
[WARNING⚠⚠ Ada banyak adegan kekerasan dan Kata² Kasar, mohon bijak dalam membaca] ••• Achasa seorang gadis cantik keturunan mafia rusia yang tidak s...
142K 4K 46
[Wajib Follow Sebelum Membaca] The Billionaire Prison [Love is Difficult] Sungai Thames, London. 📌 "Bersihkan semua, jangan sampai ada yang tertingg...
ElgaZa By Saha Ria

Mystery / Thriller

26.3K 1.8K 31
(DILARANG PLAGIAT!!!) (FOLLOW DULU DONG!!) Elgara Alexander Graham harus menikahi seorang gadis bernama Zahra Aurelia Rahman. Mereka menikah bukan ka...