"Jadi dua hari lagi balik ke Singapur?" Aira cemberut, mengapit handphonenya diantara telinga dan pundaknya. Tangannya sibuk mencari-cari earphone di dalam tasnya.
"Hm, kan emang datang ke sini untuk ulang tahun lo. Gue juga udah janji kan datang? Lagian kan gak mungkin sekolah gue ditinggal lama-lama."
Aira mengangguk mengerti, walau merasa tidak terima. Perempuan itu menghela napas, meletakkan tasnya di atas meja.
"Nanti gue jemput ya pulang sekolah?"
Sebuah botol minum terletak di sudut meja Aira, membuat perempuan itu mendongakkan kepalanya dan menemukan Rafi tengah menguap. "Pesanan lo Mbak, harganya 5.000, jangan lupa di bayar," katanya sambil menutup mulutnya yang terbuka lebar-lebar.
"Iya, takut banget gue ngutang." Kata Aira dengan galak, perempuan itu mengeluarkan selembar uang lima ribuan dari sakunya dan menyerahkannya pada Rafi.
"Kok goceng?" tanya Rafi tidak senang. "Upahnya mana?!"
"Gue bilang Ares, mau?! Biar dikasih cap biru di bibir lo?!" Aira melotot membuat Rafi mendengus.
"Pelit."
"Bodo."
Aira mendengus, mengambil botol minuman itu. "Raf? Lo nanya apa tadi?" ia berusaha membuka tutup botol itu sambil menggeram kesal. Gerakannya terhenti ketika melihat Agung dan Ares memasuki kelas. Seragam olahraga kedua laki-laki itu nampak basah dan wajahnya berkeringat. Aira memperhatikannya sampai Ares duduk di meja.
"Nanti pulang sekolah gue jemput ya?"
"Oh, boleh. Nanti gue kasih tau kalau udah pulang biar gak nunggu lama." Jawab Aira sambil menyerahkan botol minuman itu pada Ares.
Ares menerimanya dengan sebelah alis terangkat, kemudian tangan kanannya memutar tutup botol itu
"Oke, nanti kalau udah pulang, gue telepon. Oke?"
"Oke."
Setelah menutup panggilan, Aira meletakkan benda pipih itu ke dalam laci. Ia menoleh ke samping dan terpekik melihat Ares yang tengah mendongakkan kepalanya sambil meminum minuman itu.
"ARES!!! MINUMAN HARGA GOCENG GUE NGAPA LO MINUM?!"
Mendengar pekikan itu, Ares kaget hingga minuman itu tumpah ke lehernya. "Eh anjir, kalau gue mati keselek gimana?"
"Itu minuman gue!" kata gadis itu sambil melotot.
Ares menunjukk minuman itu. "Punya lo? Ngapain dikasih ke gue?"
Agung menguap sambil memicingkan matanya, laki-laki itu berjalan ke arah mejanya dan kepalanya bersandar pada bahu Rafi. "Elah, bocah berantem lagi."
"Bukan untuk lo, maksudnya tadi minta tolong buka tutup botolnya." Jelas Aira dengan sabar walau sedari tadi ia menahan kesal karena haus.
"Oh minta bukain tutup botolnya?" tanya Ares sambil menatap botol minum yang ada pada genggamannya.
"Iya,"
"Yaudah ini," Ares menyodorkan botol minum itu dengan wajah datarnya. "Udah dibukain."
"Yaelah! Kan udah lo minum."
"Ini tuh minuman bekas Ares, si Dewa Perang, kalau diminum bawa keberuntungan!" Kata Ares dengan datar namun terlihat sungguh-sungguh.
Perempuan itu mendengus, "Rafiiiiii," panggil Aira dengan manja sambil menoleh.
"Rafi mau bobo ah sambil bayangin malam pertama." Rafi menyahut sambil menenggelamkan kepalanya.
Ares menuruni meja dan duduk di samping Aira, matanya melirik handphone gadis itu yang ada di dalam laci. Ia mengambilnya dan Aira langsung menatapnya.
"Pinjem bentar." Kata Ares seolah mengetahui pertanyaan yang ingin dilontarkan oleh Aira. "Hp gue hilang. Jangan lupa tuh minumannya diminum."
"Males ah, bekas lo sih. Ogah gue."
"Nanti minumannya nangis lho kalau ga diminum."
Ares menatap ragu layar pipih itu, lalu melirik Aira, kemudian jarinya bergerak secara cepat. Gadis itu tengah asik belajar bermain squishi dan tidak mempedulikan apa yang Ares kerjakan.
Laki-laki itu memejamkan matanya, merasa murahan melakukan cara seperti ini.
"Res, lo dipanggil ke BP tuh!"
Ares mendongak, menemukan teman sekelasnya tengah berdiri di depan mejanya. Anesha, gadis itu menatapnya dengan datar. "Gace lo."
"Ngapain?" tanya Ares dengan kening berkerut.
"Gak tau."
"Yaudah nanti gue kesana." Ucap Ares, kemudian laki-laki itu menunduk menatap sejumlah kalimat yang sudah ia ketik beberapa detik yang lalu.
Sekali lagi, ia melirik Aira.
Aira : Raf, hari ini gue diantar pulang sama Ares. Maaf ya. Habisnya dia cakep jadi gue gak sampai hati nolaknya.
Dan kemudian.... delete.
***
Pintu kaca itu terbuka, menampilkan sosok laki-laki dengan wajah datarnya. Badannya yang tinggi dibalut seragam olahraga. Aga menghela napas dalam-dalam sambil membuang pandangannya ke arah lantai.
Aga menghela napas dengan kasar membuat Ares yang baru saja duduk disampingnya menoleh ke arahnya. Laki-laki yang pernah ia anggap kakak itu kini menatapnya dengan tenang walau Aga menatapnya dengan tatapan kesal.
"Saya gak tau kenapa adik kamu ini-"
"Pak!" Aga menyela dengan kasar. "Dia bukan wali saya. Gak perlu diaduin segala deh."
"Diem kamu!" Pak Burhan melotot. "Dia itu kakak kamu! Kamu harusnya masih bersyukur punya wali."
"Tapi dia bukan wali sah saya!"
"Apa pendidikan karakter itu belum bisa kamu terapkan terhadap kakak kamu?" Pak Burhan menatapnya tidak senang.
Aga menarik napas dalam-dalam dan mengumpat dalam hati.
"Ga," kata Ares dengan tenang. "diem dulu."
Adiknya itu pura-pura tidak mendengar dan membuang pandangannya ke arah lantai, Ares tahu seberapa kesal Aga saat ini.
"Kamu tahu, Ares, adik kamu ini terlibat tawuran dengan SMA Sakti. Dan sekarang dengan tidak tahu malunya, adik kamu ini berniat cabut dari sekolah."
Ares memejamkan matanya sejenak, menghela napas berat. "Saya minta maaf Pak atas perlakuan adik saya."
"Eh goblok, gue bukan adik lo." Aga menendang kursi Ares dengan pelan sambil berbisik. "Pengen banget punya adik kayak gue?!"
"Diem," ucap Ares penuh penekanan.
"Lihat kelakuan adik kamu terhadap kamu, Res." Pak Burhan melihat Aga dengan tatapan menilai. "Kamu harusnya mendidik dengan benar."
"Salah mulu gue," Aga mendengus.
"Kalau salah ya ngaku!" sentak pak Burhan. "Kamu gak malu sama kakak kamu yang ganteng plus pinter ini?! Dia ini adalah duplikat saya ketika masih muda."
"Et dah, gue gak nanya." Desis Aga dengan pelan.
"Orang kayak Ares itu adalah calon orang sukses. Kamu?! Mau jadi apa?!"
Dengan geram Aga menggaruk telinganya. "Iya, iya, saya salah pak. Saya kan cowok."
"Emang salah!"
Ares mengelus tengkuknya. "Maafin adik saya Pak, saya janji kejadian ini gak akan terulang lagi."
"Saya harap kamu mengerti Ares, kalian sudah mau naik kelas 3. Jaga adik kamu. Dan kamu!" sentak Pak Burhan dengan galak. "Kamu pel semua tangga yang ada di sekolah ini tanpa terkecuali!"
Aga melotot. "Yang bener aja saya ngepel sekarang, bentar lagi pulang, nanti di injek lagi dong."
"Emang saya pikirin?"
"Pak!"
"Gerak cepat!"
"Buset, gaul amat." Aga mendengus. "Lebih cocok jadi babu saya kalau terus-terusan disuruh ngepel sekolah!"
"Udah laksanain aja." Balas Ares dengan mata menyipit.
"Enak lo ngomong gue yang ngerjain! Edan lu."
"Kalau gitu saya pamit dulu Pak," Ares menepuk punggu Aga, mengisyaratkan kepada laki-laki itu agar mengikutinya keluar.
Aga berdiri dengan malas mengikuti Ares dari belakang. Sampai akhirnya Ares bersandar pada tembok dengan kedua tangan terlipat di depan dada, wajahnya mulai pias dan dengan tidak senang laki-laki itu menarik topi Aga dengan marah.
Dan sedetik kemudian, Ares tertegun menemukan luka di pelipis laki-laki itu.
"Bego," desis Ares dengan marah. "Dapat apa lo dari tawuran gak jelas itu."
Aga menatapnya tidak senang. "Apa yang gue dapat?! Lo gak perlu tau apa yang gue dapat."
"Gue marah karena gue peduli."
"Tapi gue gak peduli kalau lo marah." Balasnya menantang. "Apa peduli lo sama gue?! Kalau lo peduli sama gue, lo gak mungkin terima jantung itu."
Ares mendorongnya dengan marah. "Udah berapa kali gue bilang. Papa jelasin masalah jantung itu ketika operasi hampir dimulai! Ketika obat bius udah bekerja hingga merenggut kesadaran gue!"
"Bullshit." Laki-laki itu mengambil topinya yang ada di genggaman Ares. "Karena lo, gue kehilangan Papa."
Ares membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu namun Aga menyela.
"Udah ah, gue mau boker."
Ares menghela napas tertahan. "He's a piece of shit and i'm still care. Shit."
****
Aira duduk di depan halaman sekolah sambil mendengus dan menemplekan handphonenya ke telinga. Sudah hampir satu ia menunggu dan Rafa, sahabatnya itu tidak kunjung datang. Nomor handphonenya juga tidak aktif.
Dan sejak satu jam itu pula Aira merasakan keanehan pada laki-laki disampingnya yang tengah duduk dengan kaki kanan berada di lutut kirinya. Mulutnya terkunci rapat dan beberapa kali laki-laki itu mengusap lehernya dan menghela napas berat.
"Belum dijemput juga?" tanya Ares setelah sekian lama berdiam, ia mencabut salah satu earphonenya dan menoleh.
"Belum. Kayaknya Rafa lupa deh."
"Emangnya Rafa siapa lo?" tanya Ares dengan datar.
"Rafa itu sahabat gue dari kecil, orang-orang banyak bilang kita tuh mirip, kayak kembar gitu. Jadi Rafa itu adalah kembaran sekaligus sahabat gue."
"Oh."
Aira menghela napas. "Kayaknya Rafa lupa deh kalau dia harus jemput gue."
Tanpa menghiraukan perkataan Aira, Ares menoleh, "Kalau Rafa nembak lo gimana?"
"Nembak?"
Ares memegang tenggorokannya. "Ehm, sahabat jadi cinta, kayak kata Eza."
"Bakalan gue tolak." Aira memeringkan kepalanya. "Karena perasaan gue sama dia kan cuma sayang sebatas sahabat."
Refleks Ares tersenyum tanpa bisa ia tahan selama beberapa detik. Sampai akhirnya ia bisa mengendalikan ekspresi wajahnya.
"Masih belum di jemput?" tanya Ares berusaha kalem meski bibirnya berkedut untuk menampilkan senyum.
Dan Aira tidak menyadari itu.
"Iya, kayaknya dia lupa." Jawab Aira dengan kesal.
"Emang harus sama Rafa pulangnya?" tanya Ares sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku sambil menoleh. "Kalau sama gue aja gimana?"
***
Oh shit. Shit. Shit. Yang nulis cerita ngarep di gituinnn :')
Btw cocokan mana sih?
Ares ❤ Rose
Atau
Ares ❤ Aira
Jawaban kalian menentukan seberapa lama part selanjutnya akan diupdate.