Just a Friend to You

By galaxywrites

740K 93K 11.3K

[Sudah Terbit] Ada dua alasan kenapa aku menganggap jatuh cinta sama Arka adalah sebuah kebodohan yang aku ci... More

Author's Note
Prolog
Chapter 1 : Teman
Chapter 2 : Tempered Glass dan Ducati Biru
Chapter 3 : Rasa Cemas
Chapter 4 : Jatuh dan Tertimpa Tangga
Chapter 5 : Kenapa Harus Izin Dulu?
Chapter 6 : Serasi
Chapter 7 : Pacar Baru Arka
Chapter 8 : Kembalinya Rafa
Chapter 9 : Baper?
Chapter 10 : Sesuatu yang Aneh
Chapter 11 : Ngajak Jalan
Chapter 13 : Kemungkinan
Chapter 14 : Sakit
Chapter 15 : Merasa Tersisih
Chapter 16 : Lebih Dari Teman?
Chapter 17 : Kisah yang Tak Sama
Chapter 18 : Pesta Jess
Chapter 19 : Pengakuan
Chapter 20 : Lagu Untuk Kita?
Chapter 21 : Isyarat
Chapter 22 : Obrolan Ringan
Chapter 23 : Menatap Punggung
Chapter 24 : Dua Medusa
Chapter 25 : Rencana Pindah
Chapter 26 : Bukan Sosok yang Sempurna
Chapter 27 : Sebagai Teman
Chapter 28 : Diantara Kalian
Chapter 29 : Di Bawah Langit Malam
Chapter 30 : Keputusan
Chapter 31 : Teruntuk Kamu
Chapter 32 : Insiden
Chapter 33 : Gea Bagi Arka
Chapter 34 : Akhir Segalanya
Epilog
Pengumuman
Cover Just a Friend to You Versi Cetak
SPECIAL ORDER JUST A FRIEND TO YOU
Playlist
LOVE LETTER (PDF RESMI)

Chapter 12 : CoziCafe

16.6K 2.6K 414
By galaxywrites

Wah saya lagi baik, update dua kali sehari.
Selamat membaca!

***

Kafe yang dipilih Rafa letaknya sekitar dua kilo meter jauhnya dari sekolah. Nama kafenya CoziCafe. Ini adalah sebuah kafe bernuansa vintage yang ukurannya tidak begitu luas namun sangat cozy, sesuai dengan namanya. Ada mini stage di sebelah kanan dari pintu kafe. Mini stage itu diisi oleh sebuah band yang menyanyikan sebuah lagu jazz yang tidak kuketahui judulnya.

"Nggak terlalu ramai kalau sore begini," ucap Rafa setelah kami memilih tempat duduk di dekat dinding yang banyak tergantung lukisan maupun frame yang tertulis quotes-quotes keren. Spot yang begitu bagus kalau mau berfoto. Meskipun tidak duduk di tengah, dari sini, pemandangan orang bernyanyi, masih dapat kami nikmati.

"Lo sering kesini?" tanyaku.

Dari sekitar dua puluh meja, hanya 8 meja yang terisi pada sore hari ini.

"Pernah beberapa kali."

"Kalo malem ramai, ya?"

"Iya. Apalagi kalau malem minggu."

"Lo pasti pernah ngedate disini ya sama pacar lo makanya tau?" tebakku sambil terkekeh.

Rafa tertawa, "Nggak pernah. Gue kesini karena mau nonton temen gue manggung. Dan gue lumayan suka karena makanannya enak-enak."

"Temen lo siapa?"

"Vokalis di depan sana. Kakak kelas gue pas SMP yang jadi sohib gue sampe sekarang."

Aku menoleh ke arah yang dimaksud Rafa. Vokalis yang sedang menyanyikan lagu yang nggak kuketahui judulnya itu tampak tak menyadari kehadiran kami. Kalau dari penampilannya, dia memang terlihat agak lebih tua dari kami. Tubuhnya tinggi dengan rambut acak-acakkan. Wajahnya lumayan. Meski harus kuakui, Rafa lebih berkarisma.

"Pesen makan dulu yuk, baru lanjut ngobrol," kata Rafa.

Waitress datang menghampiri meja kami dan memberikan buku menu. Setelah aku dan Rafa menyebutkan pesanan kami, waitress itupun pergi.

Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling kafe untuk menikmati lebih jelas nuansa nyaman yang ditawarkan. Sepertinya aku harus mengajak Lana disini. Dia kan pecinta segala tempat yang aesthetic begini, biar bisa foto-foto.

Cekrek!

Aku menoleh dan terkejut melihat kamera hape Rafa yang mengarah padaku. "Lo ngefoto gue, ya?"

"Yah, ketauan," kekeh Rafa kemudian. "Sorry, candidnya lagi cantik."

Mataku menyipit. "Apus! Jelek itu pasti!"

"Bagus kok, gue kirim ke LINE lo ya. Wait." Rafa mulai mengutak-atik ponselnya.

Satu LINE masuk ke hapeku. Ada pesan dari Rafa. Dia betul-betul mengirim fotonya.

Foto yang dia ambil tadi menunjukkan diriku yang sedang menoleh ke arah kanan, betul-betul candid. Bagus sih, background kafenya keliatan kerennya. Hidungku juga keliatan mancung disitu.

"Cantik, kan?" tanya Rafa sambil tersenyum menggoda.

Aku mencibir. Biar gimana pun, nggak mungkin kan aku turut mengakui kalau aku tampak lumayan disitu? Kemana perginya harga diriku?

Lagu yang dimainkan oleh band di depan sana berhenti. Aku dan Rafa sama-sama menoleh ke mini stage. Rupanya cowok yang jadi vokalis itu turun. Dari lagatnya, dia mau menghampiri kami.

Ternyata betul dugaanku. Rafa dan cowok itu kini berdiri berhadapan setelah sebelumnya bersalaman singkat. "Udah sembuh total lo sampe-sampe bisa nongkrong disini lagi?"

"Sembuh lah, masa sakit terus," balas Rafa.

Pandanganku bertemu dengan cowok itu. Rafa yang menyadari itu, buru-buru bersuara.

"Dan, kenalin ini Gea. Gea, kenalin ini Daniel." Rafa memperkenalkan diri kami. Aku dan Daniel bersalaman sambil menebar senyum menyapa.

"Hai, Gea."

"Hai, Kak."

"Kak?" Daniel bertanya dengan dahi berkerut samar. Kemudian, tawa renyah lolos dari bibirnya.

"Rupanya Rafa udah ngenalin gue ke lo lebih dulu."

Aku mengangguk mengiyakan. Nggak ada salahnya kan memanggilnya kakak ketika aku sudah tahu bahwa dia adalah kakak kelasnya Rafa yang artinya umurnya kemungkinan setahun atau dua tahun lebih tua dariku?

"Lo nggak kuliah?" tanya Rafa pada Daniel.

"Libur, Raf. Malem nanti gue ada acara di rumah temen, makanya manggung sore."

"Oh, lanjut nyanyi lagi sana. Gue dan Gea sebagai pengunjung, butuh dihibur suara lo yang mahal itu."

"Gue abis nyanyi tiga lagu. Tenggorokkan gue kering. Mending lo deh yang gantiin gue sebentar. Mungkin Gea lebih mau denger suara lo dari pada suara gue. Bener nggak, Gea?"

Aku terkekeh. Kalau sekedar mendengar suara Rafa sih sering. Tapi kalau melihat Rafa betul-betul tampil, baru nggak pernah. "Rafa kan nggak suka manggung," kataku.

Daniel langsung menampilkan sorot takjub. "Lo pacar Rafa, ya?"

Aku tersentak, kesimpulan dari mana itu? Baru saja aku ingin mengklarifikasi. Rafa lebih dulu bersuara.

"Temen sekelas gue," katanya diikuti senyum simpul. Aku mengangguk membenarkan.

"Temen sekelas yang tahu banyak tentang lo. Kok gue agak nggak yakin ya hubungan kalian hanya sebatas itu?" Daniel tersenyum lebar, memperlihatkan gigi putihnya yang berbaris rapi

"Nggak usah banyak ngomong, katanya tenggorokan lo kering?" Rafa berucap tak habis pikir.

Cowok itu kembali tertawa. Dia menepuk bahu Rafa akrab. "Gue ambil minum dulu kalo gitu, lo nyanyi sana. Satu lagu aja, sekali-kali gantiin gue manggung."

Rafa tampak ogah-ogahan. Daniel memberi isyarat padaku agar bisa membujuk Rafa bernyanyi. Rafa memperingati Daniel untuk berhenti memintanya melakukan hal konyol. Akhirnya Daniel menyerah. Cowok itu mengambil langkah mendekati seorang waitress, meninggalkan kami berdua. Aku dan Rafa duduk kembali dalam keheningan.

"Lo kayaknya emang udah akrab banget sama temen lo itu," komentarku.

Rafa cuma tersenyum miring. "Dia kadang bawel, maklumin aja."

"Kayaknya dia pengin banget lo tampil di depan sana," kataku.

"Dia emang iseng. Suka bikin gue mati gaya."

"Hahaha, nggak papa kali sekali-kali manggung, keren juga."

"Keren?"

Aku mengangguk.

Rafa kemudian terdiam. Pandangannya terarah pada satu titik di meja, jari telunjuknya mengetuk-etuk meja kayu di depan kami.

"Lo suka lagu apa?" tanya Rafa tiba-tiba sambil menatapku intense.

"Hm?" ulangku tak yakin dengan apa yang kudengar sebelumnya.

"Judul lagu yang lo suka?" tanyanya lagi dengan nada suara agak menuntut.

Otakku langsung berpikir cepat. "Semua lagu the script."

Rafa tiba-tiba berdiri.

"Mau ngapain?"

Rafa menatapku sekilas dengan senyum simpul menghias bibirnya. Dengan langkah cepat dia menaiki mini stage. Dia mengatakan sesuatu pada personil band yang lain yang tentu saja tidak bisa kudengar.

Rafa lalu duduk di sebuah kursi dengan gitar akustik di tangannya. Di hadapannya sudah ada standing mic.

"Sebelumnya, maaf kalo lagu ini nggak bikin terkesan." ucap Rafa sambil menatapku sebelum akhirnya memetik gitarnya. Kemudian, sebuah nada tak asing langsung menyusup indera pendengaranku.

"I can't unfeel your pain
I can't undo what's done
I can't send back the rain
But if I could I would
My love, my arms are open..."

Suara merdu Rafa berhasil menyanyikan bait demi bait lagu Arms Open milik The Script dengan sempurna.

Seseorang yang katanya tidak pernah mau bernyanyi di atas panggung kalau tidak ada orang yang ingin dibuatnya terkesan kini malah mengingkari perkataannya sendiri.

Kenyataan bahwa Rafa bernyanyi di atas panggung kecil, di depan banyak orang, membawakan lagu dari band favoriteku sukses membuatku resah.

Bukannya ikut menyenandungkan salah satu lagu favoritku itu, mulutku malah komat-kamit melafalkan kata-kata lain.

"Gea, jangan GR, jangan baper," bisikku pelan pada diriku sendiri.

Meski bibir ini sudah memperingati berkali-kali, jantungku tetap tak mau menuruti. Bisa-bisanya organ lunak itu berdebar dua kali lebih cepat dari pada biasanya.

***

Haduh, aku jadi bingung antara milih Arka atau Rafa😭😭. Kalian pilih siapa?

Continue Reading

You'll Also Like

255K 6.3K 8
MISI PENYELAMATAN: Pacarin Saga. Buat dia tutup mulut. Jangan sampai terbongkar. Orion, sang Pemburu, memiliki tiga bintang berjajar yang paling mud...
1.1M 152K 25
Series Pertama #2A3Series Semenjak ada murid baru itu, Jevon memberi usul pada sang ketua kelas untuk membuat grup chat kelas. Pada nyatanya i...
5.2M 372K 48
"Lo tahu teori chaos?" "Efek kupu-kupu?" "Hmm... sensitive dependence on initial condition. Kayak lo yang di sini mampu ngerubah gue saat di Finlandi...
2.7K 556 200
Hanya mentranslate, bukan pengarang asli Bab 1-200 Penulis: Ju Hyeon Status: Terjemahan Sedang Berlangsung. Aristine, seorang putri yang tidak bisa...