The Dangerous Billionaire [#1...

By FriskaKristina9

1.4M 58K 2.5K

(18+) PLAGIAT DILARANG MENDEKAT! Ivanna Jhonson, wanita cantik bertubuh seksi dan juga pintar menjadi sekret... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
CAST
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Informasi Update Cerita! (Mohon Dibaca)
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Attention Please!
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Baca
Chapter 43
Maaf Ya
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49

Chapter 12

39K 1.7K 114
By FriskaKristina9


Author POV

Sean memeriksa paru hingga perut Ivanna menggunakan stetoskop miliknya. Memastikan detak jantung, usus dan lambung wanita itu tetap dalam keadaaan baik-baik saja. Tak lupa juga Sean memberikan termometer yang dijepitkan diketiak Ivanna agar ia tahu berapa suhu tubuh wanita itu saat ini.

Ia juga mengecek mata dan rongga mulut Ivanna dengan penlight. Sean mengambil kembali termometer yang ia jepitkan tadi. Ia menaikkan sebelah alisnya, melihat angka yang tertera di termometer itu--39 derajat Celcius, "Ia demam tinggi." gumamnya. Terlihat jelas dari wajah pucat dan bibir yang biasanya merona namun saat ini sedikit membiru dan kering.

"Apa yang kau lakukan padanya, dude?" tanya Sean curiga.

"Apa maksudmu?" balas Arnold tak mengerti.

"Jangan berpura-pura bodoh, Arl. Aku tau bagaimana kelakuanmu terhadap wanita. Sudah katakan saja padaku."

"Hanya kesalahan kecil."

"Jika hanya kesalahan kecil, tidak mungkin ia sampai seperti ini. Apa kau juga tak memberikan dia makan satu harian ini?"

"Apa-apaan kau ini! Dia baru saja pulang menemui ibunya. Ya mana aku tau dia sudah makan apa tidak." balas Arnold tak terima penuturan Sean.

"Aku harap kau tidak melakukan hal yang sama lagi, Arl. Kasihan wanita ini." Sean menatap Ivanna yang masih belum sadarkan diri itu.

"Aku juga berharap kau tidak memiliki maksud dan tujuan yang tidak ingin kudengar, Sean." balas Arnold menyeledik.

"Jika ya, bagaimana?"

"Akan kuhabisi kau!"

"Hahaha... Kau memang tidak ada berubahnya, dude! Tenanglah, aku tidak akan mengganggunya." Sean membereskan semua peralatannya tadi dan langsung memasukkannya kedalam tas.

"Ya sudah. Aku akan berikan resep obat untuknya. Dia hanya demam tinggi karena tidak ada asupan makanan selama seharian. Setelah dia sadar, kau bisa menyuruhnya makan." Sean mendongakkan kepalanya menatap Arnold yang hanya mengangguk menyetujui perkataannya.

"Mana?" Arnold menyodorkan tangannya.

"Apanya?"

"Kau pura-pura bodoh atau kau memang benar bodoh?"

"Apa-apaan kau ini, aku tidak mengerti!" pekik Sean setengah suara. Benar ia tak mengerti apa maksud Arnold.

"Resep obatnya!" pekik Arnold tak kalah kuat. Entah apa yang membuat Arnold bersikap seperti itu pada Sean. Yang jelas ia tak menyukai tatapan yang diberikan Sean saat melihat Ivanna.

"Dasar kau." Sean lalu mengambil secarik kertas dan menuliskan obat-obat yang harus di beli Arnold untuk Ivanna.

"Kuharap kau lebih memperhatikan kesehatannya, dude." Sean memberikan kertas yang sudah ia tuliskan tadi. Ia kembali beranjak dari kursi.

"Aku tau." balasnya cuek.

"Kau terlalu berlebihan, Arl."

"Terserah."

Sean berlalu pergi, disusul Arnold yang berjalan dibelakang Sean. "Besok Nathan mengundang kita untuk berpesta dirumahnya. Dia mengharapkan kau dan aku datang." ucap Sean sembari berjalan menuruni anak tangga, Sean tak suka menaiki lift milik Arnold.

Arnold menyamakan posisi mereka. "Apa perusahaannya mendapat keuntungan yang besar sehingga dia mengadakan pesta?"

"Aku juga tidak tau. Kalau memang begitu, bukankah lebih baik? Dia juga teman kita kan."

Arnold tak membalas perkataan Sean. Sasha membukakan pintu utama untuk Sean dan tuannya itu. Arnold berdiri diambang pintu, Sean melambaikan tangannya dan langsung masuk kedalam mobil Mercedes Benz SL500 miliknya.

Arnold menghampiri Marius dan memberikan resep obat yang diberikan Sean tadi padanya.

"Kau beli semua obat yang dituliskan dikertas ini. Aku tidak mau menunggu terlalu lama."

"Baik, tuan." Arnold berlalu dan kembali masuk kedalam mansion miliknya. Marius mengemudikan mobil dan melaksanakan perintah tuannya itu.

"Siapkan makanan dan antar ke kamarku, Sasha. Aku yakin dia sudah sangat lapar." Arnold masuk kedalam lift dan langsung menuju kamarnya, tempat dimana Ivanna berada.

Ia berjalan dengan pelan dan duduk ditepi ranjang miliknya. Ada rasa bersalah yang menyelimutinya. Arnold sangat bodoh dengan mengira bahwa Ivanna membohonginya. Ia mengelus pucuk kepala Ivanna dan mengecupnya pelan.

Sepertinya kecupan yang diberikan Arnold langsung berefek pada Ivanna. Tubuhnya menggeliat pelan dan ia mengerjapkan matanya pelan.

"Apa yang terjadi?"

"Aw!" Ivanna berusaha menegakkan kepalanya, namun seketika rasa denyut yang ia rasakan sebelumnya kembali lagi ia rasakan. Sakit. Tepat di ubun-ubun kepala wanita itu.

Dengan sigap Arnold memegang bahu Ivanna dan membantunya untuk menyenderkan kepala dan punggungnya disandaran tempat tidur milik Arnold itu.

"Hati-hati." ucap Arnold sembari mengelus kepala Ivanna. Entah apa yang membuat Arnold berlaku selembut ini terhadap wanita. Mungkin Arnold melakukannya hanya karena rasa bersalah. Rasa bersalah karena telah bertindak kasar pada Ivanna. Mungkin.

Ivanna tersenyum. "Terimakasih."

Sasha membuka pintu dengan nampan yang ada ditangannya. Ia membawa makanan yang di minta  Arnold, untuk Ivanna.

"Aku tidak mau makan. Aku masih kenyang." ucap Ivanna yang merasa tak ingin memasukkan apapun kedalam mulutnya itu.

"Tidak. Kau harus makan."

"Berikan padaku Sasha, dan kau bisa keluar." Sasha menyodorkan nampan yang berisikan makanan itu kepada Arnold. Kemudian Sasha langsung berlalu meninggalkan Arnold dan juga Ivanna.

Arnold mengambil sendok dan berniat untuk menyulangkan makanan itu ke dalam mulut Ivanna. Namun, Ivanna menutup mulutnya rapat-rapat.

"Sudah kubilang kan, aku tidak mau makan." ucapnya dan kembali lagi menutup mulutnya.

"Aku tidak suka ditolak."

"Aku tidak mau. Aku masih kenyang." Ivanna menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Cepat. Atau aku akan menciumimu disini sampai kau tidak bisa bernapas." balas Arnold dengan seringaian nakalnya.

Ivanna jelas tak mau berciuman dengan Arnold. Lebih baik ia menghabiskan seluruh makanan yang ada di mansion ini daripada ia harus berciuman dengan Arnold. Jelas Ivanna akan menolaknya.

"Baiklah. Tapi aku takkan sanggup menghabiskan makanan sebanyak itu dalam satu waktu. Aku hanya mampu menghabiskan setengah atau mungkin tidak sampai setengah." balasnya dengan wajah yang memelas. Ivanna sebenarnya sudah sangat lapar, namun entah mengapa ia sangat tak ingin memakan apapun saat ini. Ia hanya kelelahan dan ingin segera tidur, bukannya ingin makan.

"Aku tidak terima tawaran dan alasan apapun. Kau tidak bisa membohongiku. Kau juga pernah makan dengan porsi yang lebih banyak dari ini."

"Ha! Kapan? Aku tidak pernah makan dengan porsi yang lebih banyak dari ini." balas Ivanna tak terima. Apa saat ini Arnold mengatakan bahwa Ivanna adalah seorang wanita yang makan dengan porsi besar, begitu? Jangan cari masalah dengan Ivanna, Arnold. Bisa habis kau jika kau menanyakan porsi makan Ivanna lagi.

"Waktu aku mengajakmu makan direstauran. Pertama kau menolak. Namun, setelah itu kau makan dengan lahap seperti orang kelaparan. Dari saat itu aku tau jika porsi makanmu banyak." Arnold tertawa terbahak-bahak melihat raut wajah Ivanna.

Tampak Ivanna sangat kesal dan malu. Sebenarnya ia juga tak mempermasalahkan itu. Namun, Arnold seperti sedang mengejeknya dan semakin membuat Ivanna kesal jika mengingat hal memalukan itu lagi.

"Sialan kau." Ivanna memalingkan wajahnya dari Arnold. Ia sudah sangat malu sekarang. Bisa-bisanya Arnold meledeknya.

Perlahan Arnold meredakan tawanya. Ia mengatur napasnya dengan perlahan. Raut wajah Ivanna sudah menegaskan bahwa ia tak boleh tertawa lagi.

Arnold menyuapi Ivanna dengan sendok yang berisi makanan. Ivanna dengan tatapan tak suka terus memandangi Arnold. Sebenarnya ia masih sangat jengkel. Mengingat tawa Arnold tadi yang mampu membuat rasa kesal Ivanna memuncak.

"Aku bisa makan sendiri." Ivanna berusaha menarik sendok dari tangan Arnold. Namun ditahan Arnold dengan kuat.

"Aku yang akan menyuapimu. Aku juga tau kalau kau bisa makan." Arnold terus menyodorkan makanan kemulut Ivanna, walau gadis itu belum selesai mengunyah. Seakan memberi tanda bahwa tak boleh ada makanan yang tersisa.

"Kau ingin membunuhku ya? Aku tidak bisa menelan jika kau terus memaksakan makanan itu masuk kedalam mulutku, sedangkan yang tadi kau masukkan saja belum habis ku kunyah." Ivanna menarik napasnya pelan, menelan makanan yang di kunyahnya dan langsung meminum air putih dari gelas yang ada di nakas.

Ia tampak seperti kewalahan terus mengunyah dan susah menelan karena Arnold terus memasukkan makanan kedalam mulutnya.

Arnold tak membalas perkataan Ivanna sedikitpun. Ia terus saja menyendokkan makanan kedalam mulut Ivanna. Menyebalkan.

Tokk.. Tokk.. Tokk..

Terdengar suara seseorang yang mengetuk pintu kamar Arnold.

"Masuk!"

Dengan sopan Marius masuk kedalam kamar tuannya dan membawa obat yang sudah dibelinya.

Arnold mengambil semua obat itu dari tangan Marius. Ivanna tersenyum melihat kehadiran Marius. Marius pun membalas senyuman Ivann dengan tulus.

"Terimakasih, Marius." ucap Ivanna penuh senyum.

"Sama-sama, Nona."

Arnold menatap Ivanna dan Marius yang saling menebar senyum. Bisa-bisanya Ivanna tersenyum pada Marius. Sedangkan pada dirinya tidak.

"Ekhem!" Arnold berdehem.

"Kau bisa keluar sekarang." titah Arnold.

"Baik, tuan." Marius berjalan menunduk melewati Arnold.

"Aku tidak pernah melihatmu tersenyum padaku." ucap Arnold tak terima.

"Kau tidak pantas mendapatkan senyumku yang sangat berharga ini." balas Ivanna cuek dan menaikkan selimut, menutupi tubuh hingga ke dadanya.

"Ada saatnya kau akan tersenyum tanpa paksaan padaku."

"Aku harap juga begitu."

"Siapa yang menyuruhmu tidur ha? Minum dulu obat-obat ini sebelum kau tidur." Arnold menyodorkan segelas air putih dan obat-obatan yang ada ditangannya.

"Aku tidak suka obat. Baunya saja membuatku ingin muntah." Ivanna menarik selimut itu hingga ke kepalanya. Ia berusaha menghindari Arnold. Ivanna tak pernah meminum hal yang berbau obat-obatan sejak ia kecil. Papanya juga berusaha membujuk Ivanna agar mau meminum obat saat ia sakit.

Tapi, tetap saja usaha mendiang paruh baya itu tak membuahkan hasil. Putri sekaligus anak tunggalnya itu selalu mempunyai seribu alasan dan selalu menghindar disaat akan diberikan obat. Disaat dipaksa sekalipun, Ivanna akan langsung memuntahkan semua obat yang ia telan. Menyebalkan sekali.

Arnold menyingkap selimut yang menutupi seluruh tubuh Ivanna. Ia menarik lengan Ivanna dan memaksanya duduk.

Ivanna masih terus membungkam mulutnya. Menutup bibir cantik itu dengan kedua tangannya.

Tak ada cara lain, mungkin ini adalah kesempatan Arnold untuk mencium Ivanna. Karena gadis itu sangat susah menurut dan diatur. Tak ada cara lain selain mengancamnya setiap saat agar ia mau menuruti setiap perkataan Arnold.

Arnold memegang tengkuk leher Ivanna dan menyodorkan kepalanya supaya bisa lebih dekat dengan Ivanna.

Ivanna hanya diam dan masih terus menutup mulutnya. Ia tau jika ini hanya akal-akalan Arnold saja. Ivanna tak menolak, ia tak mau diancam dan dibohongi oleh Arnold lagi. Ivanna yakin jika Arnold takkan berani untuk menciumnya.

Arnold menaikkan sebelah alisnya mengetahui bahwa tak ada reaksi penolakan dari Ivanna, ia tau jika Ivanna menganggap ia hanya mengancam saja. Sepertinya memang harus dibuktikan dengan tindakan.

Dengan sigap Arnold menarik tangan yang sedari tadi menutup bibir cantiknya itu. Ia mengecup pelan namun pasti. Mata Ivanna melotot sempurna. Memang benar, ia tak boleh menganggap ancaman seorang Arnold, hanyalah ancaman yang biasa saja. Ivanna benar-benar harus menanamkan hal itu dalam hatinya. Ia tak suka jika Arnold terus menciuminya tanpa izin. Arnold dengan beribu cara dan sesuka hatinya mencium Ivanna. Ivanna tak suka. Walau sebenarnya ia mulai terbiasa.

"Arnold!" pekik Ivanna kuat.

"Sudah kubilang kan, aku tidak suka ditolak. Aku tidak pernah main-main dengan perkataan dan ancaman yang terlontar dari mulutku ini." balasnya penuh seringaian nakal.

"Mana obatnya?!" Ivanna mengambil obat yang dari tadi ada digenggaman Arnold dan langsung meminumnya dengan air putih hingga tandas.

"Awas kau!" sambungnya lagi penuh ancaman.

"Cool down, baby." Arnold terkekeh pelan.

"Kau bisa pergi sekarang. Aku ingin tidur. Ini sudah terlalu larut untuk berdebat lagi." Ivanna melambaikan tangannya isyarat menyuruh Arnold pergi.

"Apa kau mau mengusirku dikamarku sendiri?"

"Come on, Arnold. Aku sedang tak ingin berdebat lagi denganmu, aku sudah sangat lelah. Aku juga tau ini kamarmu. Kau bisa tidur dikamar yang lain kan?" balas Ivanna dengan wajah lelah dan memohonnya. Ia menyukai kamar Arnold. Begitu maskulin dan nyaman.

"Hanya malam ini saja." Arnold berdiri dan hendak keluar dari kamarnya itu. Bisa-bisanya ada orang yang mengusir pemilik kamar itu dari kamarnya sendiri.

"Ya ya, terserahmu. Yang penting aku ingin tidur saat ini."

Selangkah lagi Arnold berada didepan pintu kamar itu. Namun, suara Ivanna menghentikan langkahnya.

"Terimakasih kau sudah mau merepotkan dirimu sendiri disaat seperti ini." sambung Ivanna dengan sedikit senyum yang samar-samar dipenglihatan Arnold.

Arnold tak menjawab perkataan Ivanna. Ia menutup pintu kamar itu dan berlalu pergi. Hatinya sedikit menghangat mendengar perkataan Ivanna tadi. Ya setidaknya Ivanna tak membuat Arnold jengkel dan marah lagi.

Arnold tidur dikamar yang bersebelahan dengan Ivanna. Entah mengapa perasaan Arnold sangat nyaman saat berdua dengan Ivanna. Sekalipun wanita itu menunjukkan penolakan yang terlihat jelas, namun tak menyurutkan rasa nyaman yang dirasakan Arnold.

Ia sendiri juga tak mengerti apa maksud dari perasaan nyaman yang ia rasakan saat ini. Apa mungkin ini yang dinamakan cinta? Atau mungkin sayang? Arnold jelas tak mempercayai kedua hal itu. Terlebih mengingat masalalu yang mampu membuatnya mengubur rasa cinta dan sayangnya terhadap orang lain. Masalalu yang tak ingin ia kenang dan ungkit lagi, namun mampu seketika muncul dipikirannya.

Tbc.


Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 57.9K 49
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
1M 47.7K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
6.4M 326K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
4.8M 35.8K 30
REYNA LARASATI adalah seorang gadis yang memiliki kecantikan yang di idamkan oleh banyak pria ,, dia sangat santun , baik dan juga ramah kepada siap...