Satu Kelas [Sudah Terbit]

By cappuc_cino

864K 67.4K 15.3K

[Sudah terbit dan bisa didapatkan di Gramedia dan toko buku terdekat atau WA ke nomor : 0857 9702 3488] Aldeo... More

Perkenalan
Prolog
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
New Cover
Sembilan
Sepuluh
Info PO Light in A Maze
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas [A]
Delapan Belas [B]
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Aksara Sevanya
Aldeo
Sandria
Numpang Promo
Epilog
Epilog 2 #InfoPOSatuKelas
PO ke-2
Giveaway Novel Satu Kelas
Akun Storial

Delapan

30.1K 3.1K 424
By cappuc_cino

Like an apple hanging from a tree. I picked the ripest one. I still got the seed.
(Thinking of You – Katy Perry)
•••

ALDEO
“Nitip gerobak, ya? Bapak mau Dhuha dulu.” Pak Kumis menaruh lap tangan yang tadi dipakai untuk membersihkan noda sambel di atas meja pembeli. “Kalau udah makannya, uangnya taruh di meja aja, nggak usah nunggin Bapak.”

Gue mengangguk.

Sonson menyahut, “Sip, Pak!”

Dito, melamun sambil memegang bakwan.

Dan Ojan sibuk makan ketan goreng dengan wajah yang masih marah. “Kampret emang tuh si Ruslan Fucking Rahman.” Ojan menggerutu lagi setelah ketan goreng di tangannya habis.

“Apa perlu kita cari arah jalan pulangnya, terus kita tampolin bareng-bareng mulutnya?” Sonson memberi saran.

“Udah kenapa sih, lo pada?” Gue mencoba menghentikan ocehan dua teman gue itu. “Lagian, kalau pun kuisnya diundur minggu depan, nilai kita mungkin tetep segitu-segitu aja, kan?”

Gue tebak, di kelas kalian pasti ada satu orang yang suka mengingatkan guru dengan tujuan caper tapi memasang tampang polos dengan bilang, “Bu, bukannya kata ibu hari ini akan diadain kuis, ya?”

Nah, kami baru aja menemukan orang semacam itu di kelas, Ruslan Rahman. Saat Bu Nila, yang dua hari lalu menjanjikan kuis hari ini tetapi kayaknya lupa karena langsung menjelaskan sub bab berikutnya ketika masuk kelas tadi, dengan tampang sok polos dan pertanyan sok pahlawan tadi, Ruslan mengingatkan janji Bu Nila. Gue nggak pernah menyalahkan Ruslan. Memang pada dasarnya kita yang salah karena nggak belajar, padahal di grup chat sudah jelas-jelas saling mengingatkan untuk kuis Biologi hari ini, tapi tetap aja banyak yang berdoa Bu Nila lupa. Dan, di saat Bu Nila memang mau lupa, diingatkan oleh Ruslan. Betapa kami harus berterima kasih sama dia.

“Gue pikir, cuma di kelas X aja ada makhluk kayak gitu. Si Zaki. Eh, ternyata di kelas sebelas gue nemu juga makhluk biadab macam begitu.” Sonson melipat lengan di dada sambil menggeleng-geleng. “Makhluk sok polos, suci dan bersih padahal di belakang dia berniat nusuk semua teman-teman sekelasnya yang bego.”

“Dia emang suci dan bersih, kali. Lo lihat aja di absen ruang BP, apa ada namanya terdaftar sebagai siswa yang pernah punya masalah?” Setahu gue, Ruslan memang anak baik yang benar-benar selalu taat peraturan sekolah, yang sampai pulang pun kemejanya tetap dimasukkin ke dalam celana. Gue jadi ingat Reza.

“Iya, dia sangat suci aku penuh dosa. Dia yang nyuci dan gue yang kena busa,” kata Ojan sambil nge-rap gaya-gaya Young Lex gitu. Ocehannya makin lama makin nggak jelas pokoknya. Tapi dari gaya cerianya, ketahuan kalau dia sekarang udah nggak begitu kesal.

Sekarang masih jam pelajaran Biologi. Setelah kuis di jam pelajaran pertama, Bu Nila menyuruh untuk membaca sub bab selanjutnya sementara beliau mau ngadem di ruang guru. Tapi, karena kami benar-benar frustrasi dengan nilai kuis yang sangat di bawah rata-rata, akhirnya kami menyelinap lewat gerbang samping untuk silaturahmi sama Pak Kumis.

Gue melirik Dito, di saat kami bertiga sibuk ngobrol dan makan gorengan, dia malah main ponsel, lalu sesekali melamun. Sikapnya aneh hari ini, dari pertama masuk ke kelas tadi pagi, dia agak pendiam.

“Mulut lo ketinggalan di rumah, Dit?” tanya Ojan tiba-tiba. Mewakili pertanyaan yang pengin gue sampaikan.

Dito menatap Ojan, melongo sebentar. “Kenapa emang?”

“Aldeo yang kebagian bayar gorengan hari ini, bukan lo. Jadi nggak usah banyak pikiran.” Sonson menepuk pundak Dito yang duduk di sampingnya, seperti sedang memberi semangat.

Dito hanya mengangguk.

“Beneran banyak pikiran lo, ya?” tanya gue yang melihat dia kembali memainkan ponsel. “Dari tadi makan bakwan cuma satu, itu juga nggak abis-abis.”

Dito menatap gue, lalu bicara seolah untuk mengalihkan topik. “Lo udah print brosur futsal buat dibagiin ke anak-anak kelas X? Besok hari terakhir MPLS.”

Gue mengangguk. “Udah. Udah gue kasih ke Rudi malah.”

“Oh.” Dito mengangguk. “Oh, iya. Abyan nitip pesan buat lo, Yo.”

“Apaan?” tanya gue.

“Dia mau nyalon jadi Ketua OSIS, dan katanya kalau kepilih nanti dia mau lo jadi Ketua Sekbid VII, dia minta dukungan lo,” ujar Dito.

Tahun kemarin, gue juga terpilih jadi pengurus OSIS, tapi cuma punya jabatan sebagai anggota Sekbid VII, Kesegaran Jasmani dan Daya Kreasi. Nah, sekarang ditawarin jadi ketua sekbid. Naik satu tingkat doang berarti? “Gampang kalau masalah itu.” Gue mengibaskan tangan.

“Gue?” sela Ojan. “Apa gue tetap jadi anggota Sekbid VII? Nggak ada kenaikan?” tanyanya.

“Nggak ada yang ngebutuhin lo, Jan,” sahut Sonson.

“Bukan gitu, Son.” Dia kelihatan nggak terima. “Jadi pengurus inti itu satu-satunya cara biar bisa ngebimbing MPLS tahun depan, biar bisa tebar pesona di depan dedek-dedek gemes.”

“Pikiran lo, Jan,” gumam gue heran.

“Yo!” Ojan malah membentak gue. “Ini usaha untuk menaikan derajat dan martabat geng kita,” jelasnya yang makin bikin gue bingung. “Apa kalian nggak sadar kalau di antara kita nggak ada yang punya cewek? Orang-orang bakal bilang kalau geng kita ini buluk.”

“Ah, elah. Gue pikir apaan!” Sonson melempar Ojan dengan cabe rawit yang ada di dalam mangkuk. “Aldeo bentar lagi juga jadian, tinggal cap cip cup pilih balik sama Sandria atau nembak Elvina.” Lalu dia melirik Dito. “Dito juga lagi PDKT.” Sonson berdeham, lalu bicara dengan suara lebih pelan, “Sama Dita.”

Dito yang nggak lagi makan apa-apa, tiba-tiba tersedak, lalu batuk-batuk sampai mukanya merah.

Dan di saat kami lagi sibuk nyari gelas buat minum Dito, sebuah suara dari balik pagar sekolah membuat kami terkejut, “Kalian udah selesai baca Sub Bab Struktur Sel yang Bu Nila suruh tadi?” Menghasilkan beberapa ekspresi kaget yang kami lakukan bersamaan.

Ojan memekik, “Eh, buset!”

Sonson mengumpat, “Kampret!” Sambil memegang dada.

Dito masih batuk-batuk.

Dan gue, setelah lutut kejeduk meja karena mau ngambil gelas, melirik ke dalam pagar, melihat Sandria sedang melipat lengan di dada.

Sandria menerobos pagar terlarang itu dan bergabung bersama kami.

“Kita lagi penelitian, Ya.” Ojan berdalih. “Bakwan sama cireng apa punya sel juga?”

YA KALI, JAN! Gue juga bego, tapi nggak bego-bego banget sampai mikir bakwan punya sel. Jelas-jelas sel itu cuma dimiliki sama makhluk hidup. Dia pikir bakwan bisa lari-lari terus masuk ke mulutnya sendiri gitu kalau dia lapar?

Dito yang masih batuk-batuk menepuk pundak gue. “Bukannya gue nggak setia kawan, tapi gue butuh air.” Lalu dia melangkah masuk ke area sekolah.

Sonson menyusul dengan alasan, “Gue mau bantu cariin Dito minum. Kan nggak lucu kalau Dito mati gara-gara keselek gorengan.”

Ojan sempat bingung, dan karena dia nggak menemukan alasan yang bagus untuk pergi, dia hanya bilang, “Jangan lupa bayar ya, Yo. Gue makan lima, Sonson empat, terus Dito satu.”

Gue ditinggal berdua sama Sandria. Sementara Pak Kumis belum balik dari Shalat Dhuha-nya. Yakin setelah ini Sandria balik ke kelas buat nulis di buku kelas kalau gue dan teman-teman gue yang lain keluar kelas buat makan saat jam pelajaran masih berlangsung, lalu diadukan ke Bu Linda. Mampus aja gue udah. “Gue bayar dulu ya, Ya.” Gue merogoh saku celana dan mengeluarkan uang lima belas ribu.

Ketika gue mau keluar dari rongga di antara meja dan bangku, Sandria malah duduk, membuat gue berhenti bergerak. “Maaf ya, Yo,” ujarnya pelan.

Perlahan gue kembali duduk, mungkin aja Sandria mau bicara sesuatu tentang kejadian tadi malam. Kami duduk bersisian, tetapi dengan posisi badan yang menghadap saling bertolak belakang. Gue menghadap meja, sementara Sandria menghadap ke luar.

“Nyokap gue nelepon lo nyuruh nemuin gue?” tanyanya. Gue nggak bisa lihat ekspresi wajahnya sekarang, karena posisi kami nggak saling berhadapan dan tatapan gue lurus ke depan. “Gue kan udah bilang, kalau nyokap gue nelepon nggak usah lo angkat.”

“Gue dateng bukan karena disuruh nyokap lo, tapi karena gue memang mau,” jawab gue.

“Tapi setahu gue, kemarin lo lagi … jalan.” Sandria membuang napas dengan kencang. Lalu, dia segera menoleh untuk menatap gue. “Jangan berpikiran kalau gue nyari tahu tentang lo atau gimana, kemarin Kia teriak-teriak di kelas.”

Gue mengerutkan kening. “Siapa yang mikir kayak gitu?” tanya gue.

Sandria berdecih. “Iya, ya. Padahal lo sama sekali nggak mikirin gue mungkin. Ketakutan amat gue.” Dia akan bangkit dari bangku.

“Ya.” Gue menahan tangannya. “Katanya, sikap kita udah bisa dibilang dewasa kalau bisa berteman baik sama mantan. Mau buktiin nggak, Ya?” tanya gue. Setelah kami putus, hubungan kami jadi kayak musuh. Gue malah nggak pernah secara sengaja dan tulus dikasih senyum lagi sama Sandria. Seringnya gue dapat muka galak, mata melotot, atau ucapan ketus. “Mau temenan sama gue nggak?” tanya gue lagi.

Sandria kembali duduk, lalu menatap gue beberapa detik. “Untungnya buat gue apa?” tanyanya.

Apa semua cewek kayak Sandria? Nggak mau melakukan hal yang nggak bikin untung aja dan sia-sia buat dirinya? Setelah gue berpikir sesaat, akhirnya gue menjawab, “Lo bisa curhat sama gue kalau lagi ada masalah, kayak dulu.”

“Gue punya Mira sama Rita,” ujarnya.

“Lo punya orang yang bisa lo telepon kalau laper malem-malem dan di rumah nggak ada apa-apa.”

“Gue udah instal aplikasi Go-Jek, ada Go-Food.”

“Lo punya orang yang bisa lo telepon jam dua pagi kalau lo butuh bantuan.”

“Rumah gue deket sama kantor polisi.”

Gue lupa kalau gue lagi berhadapan sama cewek yang pintar banget balas omongan. “Lo bisa pakai bahu magnet yang nggak dimiliki semua orang,” ujar gue sambil menepuk bahu.

Sandria kelihatan menahan senyum, lalu tangannya bergerak memukul bahu gue. Tapi bukannya gue yang mengaduh dan kesakitan, malah dia. Sandria memegangi bahu bagian belakang dengan wajah meringis. Gerakan memukul bahu gue dengan kencang bikin dia kesakitan, apa ini juga karena kejadian semalam?

“Lho, lo kenapa?” tanya gue heran. Gue memperhatikan bagian bahu yang dia pegangi. “Ini sakit?” Gue mau ikut pegang, tapi bukan untuk cari kesempatan, memang tiba-tiba khawatir aja.

“Nggak apa-apa.” Sandria menghindar. “Nggak apa-apa, kok,” ujarnya dengan wajah yang berusaha terlihat baik-baik aja.

Gue membuang napas dengan kasar, lalu menatapnya dengan yakin. “Keuntungan lain kalau lo mau temenan sama gue, gue bisa hajar balik orang yang nyakitin lo.”

Sandria balik menatap gue, seperti sedang mencari keyakinan. “Gue pikir-pikir dulu kalau gitu,” jawabnya terlihat nggak serius.

Apa segitu mengerikannya buat dia untuk temenan lagi sama gue?

***

“Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan!” Suara serempak itu terdengar di lapangan voli saat jam pelajaran olahraga, saat sedang pemanasan sebelum melakukan olahraga voli. Kelas kami kebagian mata pelajaran olahraga di jam ke-tiga, jam sepuluh  pagi, saat matahari lagi enak-enaknya dipakai buat berjemur. Dan kayaknya siang ini nggak ada segaris awan pun yang menghalangi sinar matahari sampai kami pada nyengir saat berhitung, saat pemanasan.

“Dua, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan!” Gue ikut berhitung sambil bergerak memutar pergelangan kaki sesuai instruksi dari Pak Setno, tapi mata gue memperhatikan Sandria yang sejak yadi melakukan pemanasan dengan gerakan nggak maksimal.

Bahunya kan lagi sakit, tapi dia maksa ikut pelajaran olahraga. Mana hari ini latihan voli lagi.

Pak Setno meniupkan peluit, bentuk intruksi kepada kami untuk berkumpul setelah selesai pemanasan tadi. “Hari ini kita latihan voli. Lapangan sebelah utara  untuk laki-laki, sedangkan sebelah Selatan untuk perempuan,” Beliau mengambil buku absen. “Laki-laki dan perempuan akan dibagi menjadi dua kelompok yang akan saling melawan. Nah, yang namanya tidak disebut, harap menunggu di pinggir lapangan untuk nanti main bergilir dengan teman-teman lain,” jelasnya. “Mengerti?”

“Mengerti!” jawab kami serempak.

“Kelompok laki-laki pertama: Andan, Afnan, Dani, Dito, Erwin, dan Farhan. Akan melawan kelompok ke-dua: Fauzan, Gilang, Gumilar, Indra, Januar, dan Rafa. Wasitnya Rudi, dan nama yang belum disebut kebagian main bergilir.” Beliau menandai nama-nama siswa dengan bolpoin. “Untuk kelompok perempuan pertama: Bianca, Cindy, Elfara, Elvina, Hana, dan Kia. Akan melawan kelompok ke-dua: Mia, Nisya, Rita, Sandria, Sasti, dan Talita. Wasitnya Aldeo.”

Siswa segera bergabung dengan kelompok masing-masing, sementara gue dan Rudi lari ke sisi lapangan untuk mengambil bola voli dan peluit—sejuta umat. Kenapa disebut peluit sejuta umat? Karena yang pernah pakai peluit itu semua angkatan dan semua kelas, dan nggak tahu siapa aja orangnya.

Gue berdiri di tengah lapangan sambil membawa bola setelah mengalungkan tali peluit. “Kapten masing-masing kelompok silakan maju,” ujar gue.

Dan … apa-apaan, nih? Kenapa yang maju Sandria dan Elvina. Mereka ada di kelompok yang berbeda dan merupakan perwakilan dari masing-masing kelompok. Gue berdeham setelah beberapa saat merasa sesak napas, lalu merogoh koin dari saku celana olahraga. “Pilih angka atau gambar?” tanya gue menatap keduanya bergantian.

Sandria menjawab angka, sedangkan Elvina menjawab gambar. Gue melempar koin, dan menangkapnya di telapak tangan. Yang muncul adalah angka. “Pilih bola atau tempat, Ya?” tanya gue pada Sandria.

“Bola,” jawab Sandria seraya mengambil bola dari tangan gue, tapi gue menahannya.

“Lo beneran mau ikut voli? Bukannya punggung lo sakit, Ya?” pertanyaan gue menghasilkan dehaman kencang dari Elvina yang membuat gue segera mengerjap kaget.

Sandria segera merebut bola dari tangan gue tanpa menjawab … kekhawatiran gue barusan.

Gue bergerak ke sisi lapangan, berdiri di samping papan skor. “Siap, ya?” tanya gue. Setelah dijawab oleh anggukkan dari semuanya, gue meniupkan peluit.

Satu bola service datang dari Sasti, kelompok Sandria, melayang dan segera diterima oleh kelompok Elvina. Beberapa kali pukulan, bola kembali ke kelompok Sandria. Dan diterima dengan baik oleh kelompok Sandria, sehingga landing di kelompok Elvina berkat smash dari Talita.

Gue meniupkan peluit, memberi skor pertama untuk Kelompok Sandria. Dan peluit selanjutnya gue tiup untuk memberi tanda pada Sasti melakukan service ke-dua.

Ini yang menegangkan, bola bolak-balik diterima dengan baik oleh masing-masing kelompok. Teriakan-teriakan seperti, “Awas!” atau, “Smash, Ta!” dan aba-aba lain terdengar sebelum akhirnya bola jatuh lagi di Kelompok Elvina, tapi … out-ball. Sepenglihatan gue, bola itu keluar dari lapangan. Atau entah ya, perhatian gue tadi sedikit teralihkan sama Sandria yang meringis memegangi pundaknya setelah menerima bola. Jadi sempat nggak fokus.

Gue meniup peluit dan memberi skor untuk kelompok Elvina, dan mengintruksi untuk over-ball.

“Lho, kok over-ball?” Sasti teriak nggak terima.

Out, kan?” tanya gue nggak yakin.

Out gimana? Masuk tadi tuh!” Rita ikut melotot dan wajahnya memerah, selain karena kepanasan mungkin juga karena marah sama gue.

Out itu!” Kia yang sedang memegang bola dan akan melakukan service segera bergerak ke tengah lapangan.

Out gimana, sih? Jelas-jelas bolanya masuk.” Talita menyahut dengan suara ngotot kepada Kia yang udah ngotot duluan.

Out itu! Jangan curang, dong!” Elvina sebagai kapten di kelompoknya merasa harus ikut campur. Dia maju dan melewati batas net untuk masuk ke area kelompok lawan.

“Emang lo lihat? Bolanya aja jatuh di belakang lo. Gimana lo bisa tahu kalau itu out?” Sandria maju, menghampiri Elvina.

Dan gue baru sadar kalau keadaan ini udah genting saat melihat Elvina dan Sandria sudah saling berhadapan, berbalas pelototan dengan wajah nyolot.

“Udah, udah.” Gue berlari ke tengah lapangan, menghampiri Sandria dan Elvina, yang udah kayak ketua geng lagi mau berantem sementara di belakang mereka anak buahnya mengikuti. “Ini salah gue, gue yang nggak teliti. Sekarang balik lagi ke posisi masing-masing,” ujar gue berusaha melerai. “Kita anulir bola yang tadi.”

“Anulir? Nggak jadi over-ball? Enak aja! Nggak bisa!” Elvina tetap pada pendiriannya.

“Kalau merasa kemampuan voli kelompok lo bagus, kenapa harus takut buat diulangi?” tanya Sandria.

“Karena tadi itu out!” Elvina masih ngotot.

“Lo tahu nggak sih. Bolanya tadi tuh kencang dan nukik banget jatuhnya. Dengan kecepatan dan sudut jatuhnya, bola itu nggak mungkin mentalnya cuma sampai sana kalau out!” Sandria menunjuk-nunjuk bola yang sekarang menggelinding nggak jelas karena dilempar sama Kia.

“Udah, dengerin gue,” ujar gue pada keduanya, masih berusaha melerai.

“Gue emang nggak sepintar lo ya, Ya! Tapi gue nggak buta buat tahu tadi itu out atau masuk!” bentak Elvina.

“Kok lo makin nyolot, sih?” Sandria kelihatan nggak terima.

“Eh, stop! Apa-apaan sih ini?” tangan kanan gue menarik Elvina sementara tangan kiri menarik Sandria, berusaha menjauhkan keduanya. Gue mencari keberadaan Pak Setno, tapi beliau nggak ada, mungkin lagi ngadem di ruang guru.Sial banget gue.

“Jangan mentang-mentang Aldeo masih perhatian dan peduli sama lo deh lo jadi seenaknya gini!” ujar Elvina.

“Vin, udah!” Gue memperingatkan Elvina.

“Ngomong apa sih lo?” Sandria kelihatan nggak terima. Keduanya maju ingin saling berhadapan, tapi tangan gue masih berusaha menjauhkan.

“Ya, lo juga. Udah, deh!” Gue juga melotot sama Sandria.

“Kok jadi bawa-bawa masalah pribadi? Merasa berhak lo atas Aldeo karena dijadiin gebetan? Jadi bisa sesukanya?” Rita ikutan maju dan gue nggak punya tangan lagi untuk menahan dia.

“Heh, jaga tuh omongan! Yang deketin Elvina kan Aldeo, jangan ngomong seolah-olah Elvina yang kecentilan!” Kia, teman sebangku Elvina merasa berhak bicara dan maju membela.

“Eh! Berhenti, gue bilang!” bentak gue.Gue udah mulai frustrasi. Kenapa masalahnya jadi merembet ke mana-mana.

“Sandria aja yang masih diperhatiin Aldeo nggak segitu banyak gayanya.” Sasti memasang wajah mencibir.

“Eh, jaga tuh mulut!” Kia melotot pada Sasti.

Gue melepaskan tangan Sandria dan Elvina, merasa Sasti dan Kia kayaknya lebih mengerikan cara saling bentaknya. “Berhenti gue bilang!”

“Sini lo kalau berani!” Sasti maju dan gue tahan.

“Gue berani, emangnya lo siapa?” Kia maju dan gue tahan juga.

Gue berusaha menahan keduanya, tapi karena badan Sasti dan Kia nggak seramping Sandria dan Elvina, gue kewalahan. Mereka mulai main tangan dan gue nggak bisa menahan.

Pertama, mata gue kecolok telunjuknya Sasti. Ke-dua, pipi gue ketampol Kia. Ke-tiga, gue nggak ingat siapa yang jambak rambut gue, nyakar lengan gue, gebok punggung gue, tendang kaki gue, karena yang berantem sekarang bukan cuma Sasti dan Kia, melainkan kedua kelompok, membuat gue berada di antara kerumunan cewek-cewek beringas ini dalam hitungan detik dengan keadaan nyeri dan perih di mana-mana. Mirip lagi melerai tawuran emak-emak antar kampung.

Mereka ini nggak berbakat buat jadi pemain voli. Gulat aja gulat. Gue berusaha keluar dari kerumunan, tapi malah kecakar sana-sini. Tobat gue!

Mana Si Kampret Ojan?

INI? INI YIN DAN YANG, YANG DIA BILANG?

***

Ternyata, sekelas sama mantan dan gebetan itu … nggak baik. Kasian sekali Aldeo ini. 😂😂😂
Jangan jadi silent readers terus, yok! Keluar yok keluar ikut komen biar ramai. 😁

Terima kasih telah setia sama Aldeo, Sandria, dan Elvina~

31-01-18

Continue Reading

You'll Also Like

712K 52.2K 32
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

879K 47.9K 52
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
4.4M 476K 35
Menurut lo friendzone itu apa? Tempat main kayak timezone, tapi bedanya ini main perasaan. Semacam tidak memiliki namun takut kehilangan, semacam tak...
2.7K 288 23
Berbagi ilmu pengetahuan tentang kepenulisan dan dunianya.