Satu Kelas [Sudah Terbit]

By cappuc_cino

865K 67.4K 15.3K

[Sudah terbit dan bisa didapatkan di Gramedia dan toko buku terdekat atau WA ke nomor : 0857 9702 3488] Aldeo... More

Perkenalan
Prolog
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Tujuh
New Cover
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Info PO Light in A Maze
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas [A]
Delapan Belas [B]
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Aksara Sevanya
Aldeo
Sandria
Numpang Promo
Epilog
Epilog 2 #InfoPOSatuKelas
PO ke-2
Giveaway Novel Satu Kelas
Akun Storial

Enam

26.8K 2.7K 308
By cappuc_cino

It hurts to know you're happy, yeah, it hurts that you've moved on.
(Amnesia – 5 Seconds of Summer)
•••

SANDRIA
Aku adalah orang yang takut menghadapi hal di luar rencana. Makanya, biasanya aku akan melakukan tindakan preventif untuk segala kemungkinan, contohnya dengan bawa payung tiap hari ke sekolah. Tapi kayaknya hari ini adalah adalah pengecualian. Payung yang biasanya selalu ada di dalam tas malah ketinggalan di atas meja makan saat aku memasukkan kotak bekal tadi pagi.

Sudah pukul tujuh kurang lima menit, aku masih berdiri di halte depan sekolah karena hujan yang cukup deras. Beberapa kali menghubungi Rita, siapa tahu dia bawa payung, dan ingin memintanya untuk menjemput, tapi nomornya nggak aktif. Kebiasaan, pasti ponselnya mati.

Saat bel masuk berbunyi. Aku nggak punya pilihan lain. Aku berlari bersama beberapa siswa yang tadi sama-sama berteduh di halte untuk masuk melewati gerbang sekolah dan mendengar Pak Yono berteriak, “Satu, dua, tiga, ….” Untuk menghitung sampai sepuluh sebelum gerbang benar-benar ditutup.

Aku menjadikan tas sebagai penutup kepala. Melewati lahan parkir sekolah sebelum masuk melewati ruang piket guru. Namun, ada sesuatu yang tiba-tiba menarik perhatianku, Aldeo dan Elvina. Aldeo berjalan sambil membentangkan jas hujannya untuk menaungi dirinya dan Elvina dari hujan, mereka berjalan  berdampingan dari lahan parkir menuju ke arahku.

Dulu, aku yang berada di bawah jas hujan itu, berjalan bersama Aldeo sambil tertawa ketika langkah kita nggak beriringan dan membuat sebelah pundak basah terkena air hujan. Dulu, jas hujan itu juga pernah kupakai saat kehujanan dibonceng oleh Aldeo untuk diantar ke rumah.

“Lo aja yang pakai jasnya. Gue udah biasa ujan-ujanan. Kalau lo kan nggak biasa. Nanti masuk angin. Kalau lo masuk angin, lo nggak akan sekolah. Berabe kalau gue kangen," ujar Aldeo waktu itu.

Aku segera membuang kenangan itu dan melangkah masuk melewati ruang piket sebelum mereka menyusul. Beberapa kali aku mengusap pundak yang basah, rambut juga, rok juga. Ya ampun, Sandria. Hari ini kamu terlihat kacau.

Langkahku terayun memasuki kelas dan disusul suara, “Cieee!” dari seisi kelas, yang kuterka ditujukan untuk Aldeo dan Elvina yang masuk bersamaan, di belakangku.

Gemuruh suara ‘Cieee!’ nggak berlangsung lama karena tiba-tiba Sasti berteriak, meredakan kebisingan kelas, “Woi, mana uang kas?” Dia menghampiri Gilang dan berkata dengan suara kencang, “Gilang, lo nunggak udah dua minggu!” Terus teriak lagi. “Dani, beli kuota internet aja lo bisa, bayar seminggu goceng aja susah. Mana katanya mau bayar sekarang?” Dia bergerak lagi ke bangku yang lain. “Rafa, lo kurang dua rebu!” Terus teriak lebih kencang. “Yang belum bayar uang kas nggak akan gue kasih fotocopy-an tugas Kimia.”

Nggak salah memang kami memilih Sasti sebagai bendahara kelas. Siapa yang mau nunggak uang kas lama-lama kalau tiap hari diteror kayak gitu?

Setelah menyimpan tas di meja, aku bergerak ke meja guru, mengambil buku agenda yang disimpan di laci meja. Saat aku baru duduk dan mau menuliskan jadwal pelajaran di sana, Januar datang menghampiri. “Ya, kemarin gue nggak masuk karena izin. Suratnya nyusul ya, Ya. Belum dibikinin sama Bokap.”

Aku menatapnya. “Lo kemarin gue Line nggak jawab-jawab.”

“Gue lagi di jalan, ke rumah sodara yang mau hajatan.” Januar memohon. “Ya, Ya?”

“Bilang sama Bu Linda aja. Lo kan tahu kemarin Bu Linda masuk ke kelas, nanyain lo.” Aku kembali menuliskan jadwal di buku agenda kelas. Dan aku nggak mendengar lagi suara memohon Januar. Dia menyerah untuk nggak kutulis alfa.

“Ya, jangan aduin ke Bu Linda kalau gue kemarin nggak piket,ya? Kemarin beneran darurat, Ya.” Dan berganti dengan suara Erwin. Dia ada di depanku sekarang, dengan wajah memelas.

Aku menunjukkan buku kelas, sudah ada nama Erwin tertulis di sana dengan keterangan ‘Tidak Piket' pada hari kemarin. “Yang nulis bukan gue, sorry,” ujar gue sambil mengangkat bahu.

“Ya, tolong, dong.” Erwin masih memohon. Membayangkan wajah Bu Linda yang nanti bakal marah, aku tahu betapa tersiksanya dia.

“Sasti yang nulis. Lo bilang ke Sasti, gih.” Aku menggedikkan dagu, mengarahkan tatapan pada Sasti yang lagi marah-marah di depan Gumilar karena nggak bayar kas dan janji-janji terus.

Erwin memasang wajah lesu. Dia kayaknya nggak mau bertaruh nyawa harus bicara sama Sasti masalah ini di saat mood cewek lagi nggak baik. Jadi, dia memilih kembali ke bangkunya.

Aku mengusap dua lenganku yang dingin gara-gara kehujanan tadi ketika ada angin masuk dari pintu kelas yang masih terbuka. Lalu aku menutup buku agenda, mau menyimpannya di meja guru. Saat baru berdiri dari bangku, tiba-tiba saja aku meraskaan sebuah jaket tersampir dibahu. Jaket Nike biru tua, punya Aldeo setahuku. Aku segera menoleh ke belakang, dan mendapati Aldeo berdiri di belakangku.

“Jangan GR. Gue cuma nitip,” ujarnya.

Ya ampun. Demi apa dia nyebelin banget? Dan demi apa juga tadi aku sempat blushing dikasih jaket sama dia, yang ternyata bilangnya cuma nitip?

“Emang gue gantungan baju.” Aku bergerak membuka jaket. “Enak aja main nitip-nitip.”

“Ya terserah, sih. Mungkin lo mau lihatin sama setiap cowok kalau hari ini bra lo warna ungu,” ujar Aldeo santai.

Ah, demi apa? Aku kembali bergerak memakai jaket miliknya.

“Kalau ada guru yang nanya, bilang aja lo keujanan, baju lo basah. Buat nutupin warna bra juga.”

“Berisik!” bentakku. Dan Aldeo cuma cengengesan sambil melangkah mundur untuk kembali ke bangkunya.

“Yaya!” Rita baru nongol di depan kelas. Dia baru datang, aku juga nggak sadar kalau dari tadi dia nggak ada. “Gue disuruh fotocopy tugas Kimia sama Bu Lina, terus di jalan  keujanan, baju gue basah masa. Lihat, deh.” Wajahnya cemberut memperlihatkan seragamnya yang memang benar basah.

“Sama. Gue juga keujanan.” Lalu aku membuka katup jaket yang kukenakan.

“Jaket Aldeo kan ini?” tanya Rita heran.

Aku mengangguk. “Nitip, katanya. Dikata gue lemari kali main nitip-nitip aja di bahu gue.”

“Alesan.” Rita menyipitkan mata sambil menatap Aldeo. “Alesan doang itu. Dia sebenernya nggak tega lihat lo kebasahan terus kedinginan.”

“Apaan sih, Ta!” Eh, jangan blushing lagi dong! Apaan, sih!

Rita mengusap kantung plastik yang dibawanya. “Untung aja fotocopy-annya gue plastikin. Kalau nggak, bisa berabe. Basah semua keujanan.”

Saat melihat Rita, yang seragamnya basah hampir sama denganku, tiba-tiba aku mengingat sesuatu. “Ta, lihat sini, deh.” Aku membuka resleting jaket. Saat Rita sudah menatapku, aku kembali bertanya. “Bra gue warna apa?” Ini kedengaran tolol banget.

“Apaan sih, Ya? Jijik banget lo!” Rita menutup katup jaket yang kukenakan. “Mana gue tahu. Emangnya gue Ojan yang punya otak gesrek dan dipake cuma buat nebak-nebak warna bra cewek!”

Eh? Kok?Jadi nggak kelihatan? Jadi Aldeo bohong, kan? Dan memang, seingatku. Aku nggak pakai warna ungu. Jadi aku dibego-begoin ya tadi? Minta dikasih pelajaran banget sih itu orang. Aku menoleh cepat ke arah Aldeo yang sedang cengengesan bersama Ojan dan temannya yang lain di belakang kelas.

“Cieee! Aldeo nanti sore mau ngajak jalan Vina!”

Lalu perhatianku teralihkan saat mendengar Kia, teman sebangku Elvina, tadi berteriak. Dan sekarang dia lari dari bangkunya karena dikejar Elvina.

“Kia, balikin hp gue nggak!” Elvina lari ke depan kelas untuk mengejar Kia.

Kia menghindar, kemudian berucap lagi, seperti membacakan sebuah chat yang ada di ponsel Elvina. “Ya udah besok sore gue jemput ya, Vin. Emotion senyum.” Kia tertawa ketika ponsel di tangannya berhasil dirampas oleh Elvina. “Cieee! Jadi Aldeo beneran gercep, ya?”

Seisi kelas jadi riuh. Suara tawa dan ‘Cieee!’ kembali terdengar.
Harusnya aku sudah nggak peduli, tapi tunggu, kenapa rasanya ujung-ujung jariku membeku? Kedua lenganku juga kaku. Kemudian aku ingat bahwa sekarang jaket Aldeo sedang kukenakan. Aku memakai jaket Aldeo sementara seisi kelas tahu bahwa Aldeo sedang dekat dengan Elvina. Coba jawab, aku kelihatan menyedihkan nggak sih sekarang?

“Ya?” Rita mengusap punggungku, membuatku mengerjap. “Lo nggak apa-apa, kan?” tanyanya khawatir.

Aku menggeleng, sambil tersenyum. Padahal mataku sedang berusaha untuk nggak berair. Ini perasaan apa, sih? Nggak enak banget. Kayak bikin sesak napas, terus juga mendorong aku untuk … melepaskan jaket, bergerak ke belakang kelas untuk menghampiri Aldeo, dan menaruh jaketnya di atas meja. “Gue baru sadar kalau gue nggak buka jasa titip barang,” ujarku. Lalu aku kembali melangkah ke bangkuku tanpa menunggu responsnya.

Aku sama sekali nggak peduli dia mau dekat dengan Elvina atau siapa pun. Sudah kuputuskan sejak awal. Tapi, aku nggak suka kalau aku jadi kelihatan menghalang-halangi atau bahkan kelihatan menyedihkan saat tahu Aldeo terang-terangan mendekati cewek lain. Jangan bilang aku berlebihan, masih cemburu, atau semacamnya. Bayangkan saja kalian ada di posisi ini.

***

ALDEO
Ojan sempat bilang sama gue, untuk menghindari tempat kencan yang pernah menjadi tempat kencan paling sering dikunjungi dengan mantan pacar, apalagi kalau sedang jalan sama gebetan.

Awalnya, gue nggak menghiraukan pesan itu. Apa salahnya gue jalan ke Senayan City sama Elvina sekarang, walaupun itu adalah tempat yang paling sering gue datangi berdua sama Sandria? Ini memang tempat favorit untuk jalan bareng sama Sandria, walaupun nggak ada Gramedia-nya, tapi tempat itu punya kafe yang disukai sama Sandria, yaitu Almond Crush yang rasanya nggak ditemui di tempat lain. Kami berdua biasa ke sini untuk nonton, makan, atau sekadar jalan yang ujung-ujungnya nyasar ke toko buku juga, sih.

Tuh, kan. Gue beneran malah jadi nostalgia sejak pertama menginjak tempat ini. Walaupun  gue tahu otak Ojan agak nggak seimbang dan mulutnya kadang minta diinjak, tapi untuk hal ini, gue akui dia benar. Nggak seharusnya gue ajak Elvina ke Senci, bikin gue membanding-bandingkan kencan gue sama Sandria aja.

Pertama, gue sengaja minta jalan agak siang karena biasanya akan lama di toko buku, padahal gue jalan sama Elvina yang katanya jarang banget masuk toko buku. Ke-dua, ketika nunggu waktu masuk theater di Cozy Café, gue hampir aja mau pesan Almond Crush, kesukaan Sandria, padahal Elvina sukanya orange juice. Dan ke-tiga, saat nonton, gue malah banyak ngelamunnya daripada ikut ketawa atau sedih sama penonton lain untuk film drama komedi-romantis yang tadi gue pilih secara spontan karena jadwalnya tayangnya yang pas sama kedatangan kami.

Dan sekarang, saat keluar dari theater, sehabis nonton film, gue masuk ke dalam sebuah minimarket dan ngambil satu buah Teh Kotak padahal ….

“Gue nggak terlalu suka Teh Kotak, Yo.” Elvina menolak. “Ini buat lo aja. Gue beli minuman lain aja.”

Gue menatap Teh Kotak yang ada dalam genggaman lalu menggumam pelan, “Gue kenapa, sih?”

Jujur, sejak di sekolah, sejak Sandria balikin jaket gue dengan wajah yang sulit gue deskripsikan, gue belum berhenti mikirin dia. Lo bayangin ada di posisi gue, Tukar Jiwa kalau kata Tulus, atau Jadi Aku Sebentar Saja kalau kata Judika. Gimana perasaan lo tadi pagi ketika sekelas tahu gue deketin Elvina sementara di situ ada Sandria.

Gue, walaupun bejad gini, masih punya hati untuk nggak menyakiti cewek dengan cara kayak gitu.

“Yo.” Elvina menjentikkan jari di depan wajah gue, membuat gue segera mengerjap.

Kami berdua lagi duduk di food court. Elvina lagi minum orange juice-nya sementara gue lagi ngelamun sambil megangin Teh Kotak.

“Lo ada masalah?” tanya Elvina.

Gue menggeleng. “Nggak. Memang kelihatan banyak masalah ya muka gue? Jangan heran, emang begini kok,” canda gue yang membuatnya tertawa.

“Lo itu lucu,” gumam Elvina di sela tawanya.

Gue mulai membandingkan lagi. Kalau biasanya gue akan sahut-sahutan dan beradu argumen sama Sandria untuk memilih film, kali ini sama Elvina terasa adem ayem banget karena dia tadi bilang, “Terserah lo aja.” Kalau biasanya gue akan ngusilin Sandria sambil ketawa-ketawa saat jalan, kalau sama Elvina gue anteng aja. Beda, ya jelas beda, orangnya aja beda. Kok gue nggak mikir ke situ?

Gue sih berharap semua ini karena kami berdua belum dapat kemistri aja sampai saat ini, lagi pula pendekatan juga baru sebentar. Soalnya, ekspektasi gue, membayangkan gimana gue bisa dekat dengan Elvina Nadira, cewek yang gue taksir sejak kelas X, itu udah di batas tertinggi. Nyangka bakal romantis, melankolis, dan  dramatis, kayak novelnya Sahila gitu.

“Habis ini kita ke mana?” tanya gue.

Elvina mengangkat bahu. “Terserah lo.”

Iya, biasanya gue akan disetir Sandria kalau jalan bareng. Sekarang gue bebas menentukan pilihan, tapi gue malah bingung. Saat lagi berpikir, tiba-tiba ponsel gue bergetar, ada satu panggilan masuk. Gue menatap Elvina dan minta izin menjauh untuk mengangkat telepon, karena telepon itu dari Tante Vera, Mamanya Sandria.

Gue membuka sambungan telepon dengan cepat, “Halo, Tante?”

“Yo. Maaf Tante ganggu.” Suara itu kedengaran agak serak. “Kamu ada waktu nggak?” tanyanya.

“Ada apa, Tante?” Gue mulai merasa khawatir.

“Tante lagi kerja. Tolong, kalau ada waktu, samperin Sandria di rumah. Tante takut dia kenapa-kenapa. Maaf ya, Yo.”

Gue melangkah cepat menghampiri Elvina setelah menutup sambungan telepon. “Vin, bisa pulang sendiri nggak?”

Elvina mengerutkan kening. Gue tahu ini nggak etis banget dilakukan oleh seorang cowok yang mengajak cewek kencan tapi malah nyuruh pulang sendirian.

“Gue pesanin taksi online, ya?” ujar gue buru-buru meraih ponsel dan membuka aplikasi taksi online yang gue bilang tadi. Gue tahu ini akan jadi kesan buruk buat gue, tapi kalau begini keadaannya … maaf, Vin. Gue nggak bisa untuk jadi cowok baik buat lo hari ini.

***

Nah, Aldeo mulai labil. Sebenarnya dia itu kenapa? Di saat seharusnya seneng-seneng, malah mikirn Sandria.
Begini, nih cowok. Biasanya, perasaan senang setelah putus itu nggak bertahan lama. Ya, kan? Hahaha
Vote & komen, yaw. Terima kasih~

26-01-18

Continue Reading

You'll Also Like

505K 51.1K 88
[[Cerita Lengkap]] Jangan plagiat. Terimakasih. ~~~ "Karena gobloknya masuk ke jantung, jadilah di pompa ke seluruh tubuh." "Sesekali lah kita ngelak...
2.7M 170K 38
Sabrina, cewek cuek yang tiba-tiba sebangku dengan cowok yang gayanya sok. Semua cewek memuja cowok itu sebagai cogan dan anak OSN yang jenius. Dan s...
985K 94.9K 35
(SUDAH SELESAI DAN MASIH TERSEDIA SECARA LENGKAP) LARA DAN SEMESTANYA YANG KEHILANGAN RASA Kisah-kasih itu bukan soal indera yang sempurna, tetapi te...
23.6K 3.8K 35
"Mencintai seseorang itu sama seperti daya dalam fisika, sama-sama membutuhkan waktu dan usaha." ~~~ Persamaan itu sama seperti ketika sedang menaklu...