Ketika Hujan Menyatakan Cinta

By desimurniatii

144K 5.7K 357

Sejak kecil aku tidak menyukai hujan. Bagiku hujan itu menyebalkan. Bukankah banyak orang memilih meringkuk d... More

Prolog
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Puisi Nimas untuk Genta
Cast of Ketika Hujan Menyatakan Cinta
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua

Dua Puluh Tiga

3.2K 172 20
By desimurniatii

Sejak kepergian Genta, rasanya waktu berjalan sangat cepat. Tahun pertama aku lalui dengan menghabiskan waktu di sekolah. Aku aktif di ekskul seni musik dan aku sempat menjadi vokalis dan pianis utama ekskul selama 2 bulan, sebelum aku akhirnya pindah ke devisi wong writer. Jangan tanya kenapa aku tiba-tiba tertarik dengan menulis lagu karena aku juga tidak tahu jawabannya secara pasti. Mungkin aku hanya ingin mencoba hal-hal baru di hidupku.

Mas Reza dan Mas Virza juga sudah lulus. Setelah lulus Mas Reza melanjutkan akedemi kepolisian di Malang dan Mas Virza kuliah di Bandung mengambil jurusan Teknik Sipil. Mereka meninggalkan rumah dan hanya pulang setengah tahun sekali.

Aku lulus SMA dan melanjutkan kuliah di Jakarta. Aku tidak mungkin ikut merantau ke luar kota seperti kedua kakakku, jadi aku memilih melanjutkan kuliah di Jakarta dan tetap tinggal bersama orang tuaku. Karena kelulusan ini, aku berpisah dengan Rara dan Bila. Bila melanjutkan kuliah di Surbaya, satu kampus dengan Kak Yogas. Sedangkan Rara tidak melanjutkan kuliah dan bekerja di restoran keluarganya yang ada di Bandung. Aku beberapa kali mengunjunginya saat mengantar Mas Virza ke kosannya.

Ada banyak hal yang berubah di hidupku. Salah satunya adalah saat ini aku mengenakan hijab. Aku memakai hijab setelah memasuki masa kuliah. Awalnya karena coba-coba namun sekarang aku sangat nyaman dengan hijab yang kukenakan.

Aku mengambil jurusan Seni Musik saat kuliah dan semua berjalan dengan lancar. Aku memiliki teman-teman baru dan sempat bergabung di grup musik kampus yang mengantarkanku ikut lomba di beberapa kota di Indonesia.

Aku lama tidak berpacaran setelah itu. Aku memilih menyibukan diri dengan kegiatan yang ada di kampus. Ikut beberapa UKM dan juga mengikuti acara-acara yang ada di kampus. Salah satu acaranya adalah pertunjukan musik di kafe-kafe yang ada di Jakarta. Aku beberapa kali menyanyi di sana sembarari memainkan piano. Itu aku lakukan selama satu tahun sampai akhirnya aku memilih fokus untuk menyusun skripsi.

Aku lulus lebih cepat dibandingkan teman-teman di angkatanku. Bahkan aku lebih cepat dibandingkan Mas Virza yang dua tahun di atasku. Kelulusanku bersamaan dengan pengumuman pindah tugas Mas Reza dari Malang ke Kalimantan. Aku akan semakin berjauhan dengan Mas Reza. Dua bulan setelah aku lulus Mas Virza lulus tapi dia memutuskan untuk tetap tinggal di Bandung dan mencari kerja di sana. Jadi, setelah bertahun-tahun aku tetap sendirian di rumah tanpa kedua kakakku.

Dan setelah satu tahun lulus, di sinilah aku saat ini. Di sebuah ruangan dengan beberapa buku catatan di atas meja dan sebuah laptop yang masih menyala. Dari layar laptop tampak barisan note lagu. Saat ini umurku baru saja menginjak 23 tahun. Kupikir aku akan mudah mencari pekerjaan berbekal pengalaman-pengalamanku selama kuliah, namun dugaanku salah. Selama satu tahun aku pontang-panting mencari pekerjaan. Aku beberapa kali mendaftar di studio musik namun tidak pernah ada yang memanggilku. Sampai akhirnya aku bermuara di sini. Menjadi guru musik.

Ternyata menjadi guru tidak seperti yang kubayangkan. Aku harus menghadapi puluhan siswa dengan berbagai karakter dan tak jarang mereka membuatku emosi, tapi bagaimanapun, aku menikmatinya.

"Tara, pegang gitarnya bukan seperti itu!" ucapku dengan membenarkan posisi gitar yang dipegang oleh Tara.

Tara mendesah. Ini sudah kelima kalinya aku menyalahkan cara dia memegang gitar. "Ternyata main gitar itu susah ya, Bu."

"Iya, makanya harus belajar dengan tekun kalo ingin bisa."

Di saat aku sedang mengajari Tara, Danang dan Putra yang ada di bangku paling belakang membuat keributan dengan saling melemparkan kertas. Mereka tertawa dan membuat siswa lainnya menoleh ke arah mereka.

"Kalian jangan membuat keributan, nanti giliran kalian yang maju kalian nggak bisa," ucapku yang berhasil membuat kedua anak itu langsung diam.

Nah satu lagi, di sekolah ini aku terkenal dengan kedisiplinanku. Banyak anak didikku yang dekat denganku dan tidak sedikit juga yang takut tapi sering membicarakan aku di belakang. Tapi bukankah risiko menjadi guru memang seperti itu? Aku sendiri tidak pernah mengambil pusing dengan yang mereka lakukan. Bagiku mereka tetap anak-anak, sama sepertiku saat SMA dulu.

Aku merapikan jilbab yang kukenakan di cermin yang ada di dekat pintu masuk ruang guru. Setelah rapi, kukeluarkan kunci mobil dan berjalan ke tempat parkir. Aku baru membuka pintu mobil namun tiba-tiba ponselku berdering, dengan cepat aku mengeluarkannya.

"Halo Assalamualaikum," salamku setelah menempelkan ponsel itu ke telinga.

"Waalaikumsallam, Nimas!" aku mendengar seseorang berseru di sana. Suara seorang perempuan dan sangat tidak asing. Aku melihat layar ponselku dan tidak menemukan nama di sana, hanya ada nomor 12 digit. "Ini gue Rara!!!" katanya dengan berteriak.

Mataku seketika berbinar. "Rara, lo apa kabar?" tanyaku dengan senyuman mengembang. Sejak lulus SMA, aku dan Rara jarang bertemu. Aku yang melanjutkan kuliah ke Bandung dan Rara yang sibuk dengan bisnis makanannya membuat kami sama-sama sibuk dan setelah aku kembali ke Jakarta, Rara sudah pindah ke Semarang. Jadi terakhir kami bertemu adalah satu tahun setelah kelulusan SMA.

"Gue ada di Jakarta," ucapnya bersemangat.

"Oh ya? Sejak kapan?"

"Kemarin, gue mendapat nomor lo dari Bila. Oh ya, sekarang Bila juga ada di Jakarta. Kumpul yuk!" ujar dengan riang.

"Kapan?"

"Kalo sore ini lo ada acara nggak?" tanyanya.

Aku mendesah kecewa. "Yah, sore ini gue harus ngajar les piano. Gimana kalo besok sabtu?"

"Sabtu?" Rara berpikir sejenak. "Gue tanya ke Bila dulu ya! Nanti gue kabari lo. Gue kangen banget sama kalian berdua."

"Gue juga," sahutku. "Gue mau nyetir karena harus ke rumah murid les gue, udah dulu ya, nanti malam gue telepon lo."

"Oke."

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsallam."

Aku menghidupkan mesin mobil dan mengendarainya keluar dari gerbang sekolah. Aku memacu mobil menuju rumah tempat murid les pianoku. Aku memeriksa jam yang melingkari pergelangan tanganku, masih ada waktu setengah jam sebelum kelas les piano dimulai.

Murid les pianoku bernama Rinai. Dia berumur 7 tahun dan pipinya yang tembam membuatku selalu tergoda untuk mencubitnya. Sesampainya di rumahnya, gadis kecil itu sudah ada di teras rumahnya yang cukup besar. Di tangannya ia membawa buku cerita yang kubelikan satu minggu yang lalu.

"Mbak Nimas!" dia berlari ke arahku begitu melihatku keluar dari mobil. Rambutnya yang panjang bergelombang menari-nari dibawa berlari. "Rinai udah baca buku cerita dari Mbak Nimas, Rinai sangat menyukainya," ucapnya dengan tersenyum sangat lucu. Aku gemas dan mencium pipinya yang tembam. Rinai berbeda dari murid-murid les pianoku lainnya, dia menolak saat ibunya meminta ia memanggilku dengan sebutan 'Bu', dia memilih memanggilku dengan sebutan 'Mbak'. Aku sendiri fine-fine aja, asal dia senang dan semangat untuk belajar.

Rinai menggandeng tanganku masuk ke rumah. Aku menyalami Mbak Ratna, ibu Rinai. Dia mempersilahkanku masuk ke ruang tengah dimana piano diletakan di sana.

"Mbak Nimas, kemarin Rinai mendapatkan hadiah dari kakak Rinai yang baru pulang dari Australia," seru gadis kecil itu dengan memamerkan boneka kanguru yang ada di atas kursi piano.

Aku tersenyum memegang boneka yang cukup besar itu. "Kakaknya Rinai yang dokter itu?" tanyaku.

"Iya," sahut Rinai dengan mengangguk lucu. "Kapan-kapan Rinai kenalin ke Mbak Nimas deh, kakakku itu ganteng lho."

Aku terkekeh mendengarnya. Bagaimana Rinai yang masih kecil tahu orang ganteng?

"Rinai masih inget lagu yang kemarin Mbak Nimas ajarin?" tanyaku. Dia mengangguk bersemangat. "Mbak Nimas belum salat, Rinai memainkannya dulu ya! Nanti kalo Mbak Nimas udah kembali, Rinai harus memainkannya untuk Mbak Nimas," ucapku.

Dia mengangguk nurut. Aku pamit ke Mbak Ratna mengatakan akan menumpang salat. Mbak Ratna mempersilahkanku ke ruang salat yang ada ruangan sebelum taman. Jika memang aku datang ke sini sebelum sholat, aku sering sholat di rumah Rinai.

Begitu aku selesai salat, aku mendengar lantunan indah dari ruang tengah dimana Rinai memainkan pianonya. Ia memainkan lagu yang kuajari minggu kemarin. Meski ia sering mengulang nadanya, namun sudah terdengar dengan indah.

Dia memandangku ketika melihatku sudah kembali.

"Mbak, Rinai nggak inget banget," keluhnya.

"Makanya sering latihan," sahutku. "Kata ibu nanti di acara pentas seni sekolah Rinai diminta tampil ya?"

"Iya. Rinai ingin menampilkan permainan piano seperti Mbak Nimas."

"Makanya sering latihan." Aku duduk di samping Rinai dan mengajarinya menekan tuts piano hingga menimbulkan nada yang indah. Aku menekannya dengan penuh penghayatan dan bibirku mulai mengucapkan lirik lagu.

Kubuka album biru

Penuh debu dan usang

Kupandangi semua gambar diri

Kecil bersih belum ternoda

Aku menyanyikan lagu Bunda dari Melly Goeslow dan di sampingku Rinai memandangku dengan antusias. Begitu aku selesai menyanyikannya, Rinai berseru, "Rinai ingin menyanyikan lagu itu untuk acara pentas seni!"

"Rinai ingin Mbak Nimas mengajari lagu ini?"

Dia mengangguk. "Itu lagu buat ibu kan, Mbak?"

Aku mengangguk membenarkan.

"Rinai ingin mempersembahkannya untuk ibu."

Aku tersenyum dan membelai rambut Rinai. Gadis kecil satu ini memang pintar. Aku memberikan buku catatan yang kebanyakan berisi not angka dan kunci gitar dari lagu-lagu yang kusuka. Salah satunya ada not lagu Bunda yang dinyanyikan oleh Melly Goeslow tersebut. "Rinai bawa ini ya, pokoknya selama satu minggu ini Rinai harus mempelajarinya. Jika tidak bisa, Rinai bisa menelpon Mbak Nimas, nanti Mbak ke sini," ucapku dengan memberikan buku catatan milikku.

"Iya, Mbak," ia menerima buku itu dan langsung mempraktikannya.

Ponselku memekikan dering sms. Aku merogoh saku rok hitam yang kukenakan dan mengeluarkan ponsel. Satu sms masuk dari Niko.

Kak, cepet pulang ya! Mama masakin tumis jamur kesukaan Kak Nimas.

Aku tersenyum. Aku segera mengetik membalas sms Niko.

Insya Allah. Kak Nimas lagi ngajar piano di rumah Rinai.

Aku memasukan kembali ponsel ke saku rok dankembali mengajari Rinai memainkan tuts piano hingga membentuk nada lagu Bunda.

Continue Reading

You'll Also Like

698K 5.3K 26
di jadikan pembantu di rumah pengusaha kaya raya dan anak dari pengusaha kaya itu jatuh cinta kepada pembantu itu bahkan saat baru awal bertemu ia su...
379K 27.1K 26
[JANGAN SALAH LAPAK INI LAPAK BL, HOMOPHOBIA JAUH JAUH SANA] Faren seorang pemuda yang mengalami kecelakaan dan berakhir masuk kedalam buku novel yan...
Say My Name By floè

Teen Fiction

1.2M 68.4K 34
Agatha Kayshafa. Dijadikan bahan taruhan oleh sepupunya sendiri dengan seorang laki-laki yang memenangkan balapan mobil malam itu. Pradeepa Theodore...
739K 55.5K 60
Namanya Camelia Anjani. Seorang mahasiswi fakultas psikologi yang sedang giat-giatnya menyelesaikan tugas akhir dalam masa perkuliahan. Siapa sangka...