Ketika Hujan Menyatakan Cinta

By desimurniatii

144K 5.7K 357

Sejak kecil aku tidak menyukai hujan. Bagiku hujan itu menyebalkan. Bukankah banyak orang memilih meringkuk d... More

Prolog
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Puisi Nimas untuk Genta
Cast of Ketika Hujan Menyatakan Cinta
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua

Dua Belas

3.7K 187 8
By desimurniatii

Setelah persetujuan dari Genta untuk acara perkemahan itu, semuanya menjadi baik-baik saja. Aku tidak perlu mendengarkan ocehan Mas Reza yang menjelek-jelekan Genta karena sebal dan tidak ada acara bad mood itu. Sore itu aku duduk di ruang keluarga dengan mata mengarah ke layar kaca yang ada di depanku. Mas Reza baru pulang dari main basket.

"Nim, ikut acara camping kelas gue besok yuk!" ajaknya.

Aku langsung mengarahkan mataku padanya. "Emangnya boleh?"

"Boleh, kalo nggak boleh mana mungkin gue ajak lo," sahutnya. "Gue kasihan liat elo sendirian di rumah. Mama dan papa lagi ada seminar di Singapure dan Virza lagi sibuk latihan buat turnamen. Gue juga nginep di sana, jadi mendingan lo ikut daripada gue khawatir lo sendirian di rumah," tambahnya.

Seketika wajahku langsung berbinar. "Oke, Mas. Gue mau."

"Tapi bayar!"

"Nggak apa-apa," sahutku dengan tetap bersemangat.

"Besok kita berangkat jam enam pagi, jadi malam ini lo harus packing. Bayarnya bisa waktu berangkat di bus."

Aku menganggukan kepala. Selain daripada aku mendekam sendirian setelah ujian semester seperti ini, lebih baik ikut acara camping itu. Lagian acara itu bisa dijadikan sebagai penghilang penat setelah otak bekerja keras saat ujian semester.

"Oh ya Mas, Genta itu jadi ikut?" tanyaku dengan hati-hati.

"Jadi. Mungkin dia dapat ilham kali sampai mau ikutan."

Aku tidak mempedulikan kalimat ke dua Mas Reza. Aku bangkit dari sofa dan menuju kamarku dengan senyuman terus mengembang karena kalimat pertama Mas Reza. Malam itu aku packing barang-barang yang harus dibawa untuk camping dan malamnya tidak bisa tidur dengan nyenyak.

Terbayang wajahnya. Aku akan camping bersamanya.

***

Aku masuk ke berjalan di belakang Mas Reza. Mas Reza kemudian membawaku ke bangku nomor dua dari belakang dan meletakan tas kami di atasnya.

"Lo duduk di sini, gue mau mengatur anak-anak lainnya," ucapnya.

Aku menurut. Aku duduk di bangku yang dekat dengan kaca bus dan memperhatikan suasana di bawah bus. Segerombolan siswi menuju bus dengan bergandengan. Aku mencari sosok itu di sana, siapa tahu dia ada di sana. Aku memutar mataku ke tempat-tempat yang bisa terjangkau, namun tak menemukannya. Jangan-jangan dia tidak datang?

Aku mengeluarkan mp3 player yang kubawa dan memasangkan earphone ke telingaku. Aku ingin mendengarkan lagu kesukaanku. Suara merdu Melly Goeslow melantun merdu di sana. Jika aku diminta untuk menyebutkan penyanyi favoritku, aku pasti akan menyebutkan Tante Melly Goeslow. Bukan hanya sebagai penyanyi tapi juga composer. Lagu-lagunya itu, dengan kata-katanya selalu berhasil menyentuhku dan dari nadanya, bisa membuatku membayangkan berbagai adegan seperti dalam film.

Aku sedang mendengarkan lagu Kupu-kupu.

Anak kecil tersenyum manis

Pandang tarianmu indah

Bahagia dalam nyanyian

Kupu-kupu jangan pergi

Lagu Kupu-kupu kemudian digantikan oleh lagu Bimbang yang menjadi soundtrack film Ada Apa Dengan Cinta?. Film yang sangat terkenal pada tahun 2002 dan juga menjadi film yang membangkitkan lagi perfilman Indonesia. Selain musik, aku juga menyukai film dan aku selalu mengagumi actor Nicholas Saputra yang juga bermain dalam film Ada Apa Dengan Cinta? Dan jika ditanya tentang film yang paling kusukai aku akan menjawab film Heart.

"Dengerin apa sih?" tanya Mas Reza yang tahu-tahu sudah duduk di sampingku.

Aku melepas earphone. "Kapan lo ke sini, Mas?"

"Dari dua menit yang lalu, tapi kayaknya lo lagi asyik banget dengerin lagu."

Aku tersenyum.

"Gimana sama eskul musik lo?"

"Baik-baik aja, kemarin gue diminta menjadi anggota band untuk anak kelas sepuluh tapi gue nggak mau."

"Kenapa?"

"Ya kan cita-cita gue bukan pengen jadi musisi, Mas. Gue pengennya jadi guru musik."

"Oh, jadi karena alasan itu," sahutnya. "Kalo Yogas sama lo baik nggak?"

"Baik."

"Kayaknya dia ada rasa sama lo deh," ujar Mas Reza.

Aku langsung menoleh. "Nggaklah, sok tau lo Mas!"

Mas Reza berdecak. "Ngeyel lo, dia itu bilang ke gue kalo dia pengen jaga lo tapi kayaknya lo agak jutek sama dia," timpalnya. "Kalo sama dia gue ikhlas kok, Nim. Yogas itu orangnya baik dan menurut gue dia tipe cowok yang bertanggung jawab," tambahnya.

"Kok lo malah terkesan menjodohkan gitu, sih?"

"Ya dari pada elo sama cowok-cowok yang nggak bener, mendingan sama temen gue sendiri yang gue tahu tabiat dia."

Aku melipat tangan di depan dada, membuang pandangan ke kaca bus dengan malas. "Udahlah, jangan bahas itu lagi!" sahutku. Aku memandang jalan yang dilewati bus dan tampak pepohonan yang cukup rindang. Tiba-tiba aku teringat nama itu kembali, hingga membuatku kembali memandang Mas Reza. "Ada yang nggak ikut acara ini nggak, Mas?"

"Ikut semua, termasuk Genta," jawabnya dengan memperjelas nama Genta.

Aku melihat ke bangku yang berseberangan dengan bangkuku, siapa tahu Genta ada di bangku itu. Namun siswa yang duduk di sana ternyata bukan Genta. Kira-kira dimana dia duduk?

"Genta ada di bangku paling belakang. Sendirian," ucap Mas Reza yang membuatku membulatkan mata. Jangan bilang dia bisa membaca pikiranku. "Maka dari itu gue ajak lo, karena kalo nggak sama elo pasti gue bakal duduk sama dia."

Ha? Jadi ini alasan utama Mas Reza mengajakku?

"Kenapa sih kalian kayak musuhan gitu?" tanyaku. Kali ini tanpa perlu dengan hati-hati karena Mas Reza tidak akan marah dengan pertanyaan itu.

"Tanya aja sama Genta!" jawab Mas Reza yang sama sekali tidak memuaskan. Andai saja dia tahu apa jawaban Genta atas pertanyaan itu.

Yang pasti aku tidak akan pernah menanyakannya lagi.

***

"Nim, bangun! Kita udah sampai!"

Aku mengerjapkan mataku begitu mendengar suara Mas Reza yang juga dengan menyentuh pundakku. Aku merapikan jilbab yang kukenakan karena menceng gara-gara tidur. Setelah rapi, aku mengikuti Mas Reza turun dari bus dengan membawa tas ranselku.

Aku mengucek mata berulang kali sambil terus jalan, jangan minta aku untuk fokus jika baru saja bangun tidur. Tidak akan bisa. Akibatnya aku hampir menabrak seseorang kalau saja dia tidak menghindar. Dengan santainya aku tetap jalan setelah hampir menabrak orang itu, tapi kemudian dia memanggilku.

"Nimas!"

Aku membuka mataku karena suaranya sangat familiar. Mataku terbuka lebar setelah menyadari bahwa itu suara Genta dan aku langsung memutar badanku memandang ke belakang.

"Kok lo ikut?" tanyanya.

Aku menaikan alis. Butuh beberapa detik bahkan satu menit untuk menjawab pertanyaan itu. Pertama karena aku belum fokus dan kedua karena yang melontarkan pertanyaan itu Genta. "Mas Reza yang ngajak aku."

"Oooh..." kemudian dia pergi begitu saja. Aku buru-buru mempercepat langkah kakiku, bukan untuk mengejar Genta, tapi untuk mengejar Mas Reza.

"Lo jalannya kayak siput gitu sih?" kata Mas Reza.

Aku tidak menghiraukannya. Aku hanya fokus memandang jalan yang sedang kami lalui. Kami mulai memasuki kompleks hutan setelah sekitar lima belas menit berjalan kaki. Di sekelilingku banyak kutemui jenis tanaman yang sebelumnya belum pernah kutemui. Seperti pohon kopi. Bunga-bunga kopi yang menjadi bakal buah mulai bermekaran, aromanya menyeruak indra penciumanku. Wangi.

Oh ya, Genta ada tepat di belakangku.

"Kita masih jauh ya, Mas?" tanyaku ke Mas Reza yang ada di sebelahku. Aku, untuk bisa tetap berada sejajar dengan langkah kaki Mas Reza harus berusaha dengan ekstra. Dia itu lho jalannya cepet banget.

"Sekitar satu jam lagi."

"Ha?"

"Kalo capek lo tidur aja di sini, lagian siapa suruh mau diajak gue," sahut Mas Reza yang langsung membuatku manyun.

Aku melalui banyak tempat yang benar-benar mengagumkan. Sebagai anak yang sejak lahir hidup di perkotaan yang lebih akrab dengan asap knalpot, tentu saja melihat kenampakan alam seperti ini membuatku kagum. Bunga anggrek yang hidup liar, pohon kelapa yang jika tertiup angin akan menari dengan sangat indah dan juga kupu-kupu yang berterbangan di antara bunga-bunga liar lainnya. Semuanya begitu indah.

"Mas, gue capek!" ucapku dengan jongkok di belakang Mas Reza.

Mas Reza menoleh dan menarik tanganku. "Bentar lagi sampai kok."

Mas Reza menggandeng tanganku menyusuri jalan-jalan yang sudah mudah diakses meski berada di hutan. Ya, mungkin karena hutan ini sering dijadikan tempat camping dan wisata alam, jadi pengelola membuat agar bisa diakses dengan mudah. Aku menempuh sisa perjalanan sekitar dua puluh menit itu dengan napas terengah-engah, namun tangan Mas Reza tidak pernah terlepas dari tanganku. Seperti itulah Mas Reza. Dia akan selalu mengatakan aku lemah dan mengejeknya, namun ketika aku benar-benar lemah dia selalu memberikan tangannya untuk menguatkanku.

Semua rasa lelah yang kurasakan di perjalanan seketika hilang ketika kami sampai di tempat camping. Sebuah tempat di dekat tebing dengan tebing tersebut ditumbuhi tanaman merambat yang sangat cantik, di sekitar tempat perkemahan dibuat pagar pembatas yang terbuat dari kayu untuk memisahkannya dengan jurang dan dari tempat ini kami bisa mendengar gemercik air terjun yang ada di bawah tempat ini.

Aku kembali menemukan alunan musik yang tak kalah indahnya dengan hujan.

Aku duduk bersandar di pohon besar yang ada di sana dengan meneguk air mineral yang tinggal sedikit di botol minumku, seraya menunggu para cowok – termasuk Mas Reza – selesai mendirikan tenda.

"Hai!" seorang cewek berjilbab merah marun menyapaku. "Masih ingat sama gue nggak?" tanyanya.

Aku mengangguk. Namanya Kak Tia dan dia pernah diajak main ke rumah beberapa kali oleh Mas Reza. Wajahnya yang kalem dan selalu dihiasi senyuman itu, bagaimana bisa aku melupakannya. Bahkan menurut pengakuan Mas Reza, Kak Tia adalah sahabat cewek terbaiknya meski mereka baru saling mengenal saat kelas 11.

"Baru pertama ikut camping ya, Nim?"

Aku mengangguk. "Iya, tempatnya benar-benar keren ya, Kak?"

"Iya. Lo mau?" dia menyodorkan kue yang ada di kotak nasi kepadaku, namun aku menolak.

Aku memandang panorama alam yang disuguhkan di sini. Banyak hal di sini yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata yang kumiliki. Yang pasti saat ini yang paling ingin kulakukan adalah berlari ke air terjun itu.

Aku memandang satu per satu tenda yang sedang didirikan oleh cowok-cowok kelas 12 itu dan di tenda yang paling ujung, aku melihat Genta. Dia tampak sedang bekerja sama dengan cowok berkaos cokelat. Aku tersenyum melihatnya, apakah dia mulai bisa menerima kehadiran seorang teman?

"Selama satu bulan terakhir ini Genta banyak berubah," ucap Kak Tia yang masih ada di sampingku.

Aku menoleh ke arahnya dan baru menyadari bahwa dia juga sedang memperhatikan Genta.

"Gue satu kelas sama Genta dari kelas sepuluh dan belum pernah melihat Genta seperti ini. Dia mau bicara dan lebih hebatnya lagi, dia mau tersenyum. Selama dua tahun lebih satu kelas dengannya gue belum pernah melihat dia tersenyum, baru beberapa bulan terakhir ini," lanjutnya.

Aku tercengang mendengarnya. Bagaimana bisa selama dua tahun Genta tidak pernah tersenyum?

"Dulu ada temen gue yang naksir sama Genta tapi ditolak mentah-mentah," ceritanya. Aku memandang Kak Tia dengan ragu. Kenapa dia membicarakan Genta denganku? Dia tidak tahu kan?

Tapi aku juga penasaran. Sangat penasaran malah. "Emang ditolak kayak gimana, Kak?"

Kak Tia tersenyum. "Sebenernya sederhana banget tapi abis itu temen gue itu langsung nggak mau berhadapan dengan Genta lagi, Genta bilang kalo lo nggak mau patah hati lebih baik lo buang semua perasaan lo itu," jawabnya. "Emang sadis banget si Genta itu."

Aku setuju. Tapi sebenarnya dia baik kok.

"Dan kayaknya si sadis itu lagi jatuh cinta," gumam Kak Tia.

Seketika jantungku terasa melincat. Jatuh cinta? Jatuh cinta dengan siapa?

"Jatuh cinta dengan siapa, Kak?" tanyaku hati-hati. Aku bahkan siap-siap menutup telingaku jika Kak Tia menyebutkan nama seseorang, tapi ternyata dia menggeleng.

"Gue nggak tau dengan pasti."

Aku memandang Kak Tia. "Terus kenapa Kakak cerita ini ke aku?" Iya, bukankah aneh menceritakan hal tersebut ke orang yang baru dikenalnya.

Dia tersenyum. "Gue nggak sengaja menemukan buku Genta dan di sana dia menulis nama lo. Nimas Aulia dengan sangat rapi dan dia juga menembahkan keterangan di bawahnya. Nama yang sangat indah bukan?" jawabnya.

Aku tersentak kaget. Namun segera kualihkan dengan tersenyum, meski kaku. "Nggak mungkin, Kak."

"Kayaknya emang nggak mungkin. Apalagi dengan status lo sebagai adik dari musuh bebuyutan Genta, tapi nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini."

Aku menelan ludah dengan berat.

"Lo lebih tahu apa yang terjadi antara lo dan Genta, tapi lo juga yang memegang pilihan itu. Reza sayang banget sama elo dan dia nggak akan merelakan adiknya bersama orang yang sangat membencinya."

Kak Tia kemudian pergi karena Kak Dimas yang juga sahabat dekat Mas Reza memanggilnya. Kak Tia meninggalkanku yang masih duduk termenung di bawah pohon besar. Ucapan Kak Tia masih mendengung di telingaku. Semuanya sudah terasa rumit dengan perasaan Genta, bagaimana jika ditambahkan dengan perasaan yang kumiliki?

***

Continue Reading

You'll Also Like

2M 125K 85
[PRIVATE ACAK, FOLLOW SEBELUM MEMBACA] __ BELUM DIREVISI Highest Rank 🥇 #1 teenfiction (09/04/22) #1 garis takdir (17/04/22) #1 romance (17/06/22) #...
4.2M 95.4K 47
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
691K 5.2K 26
di jadikan pembantu di rumah pengusaha kaya raya dan anak dari pengusaha kaya itu jatuh cinta kepada pembantu itu bahkan saat baru awal bertemu ia su...
978K 30.2K 42
-please be wise in reading- ∆ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ∆ Tentang Vanila yang memiliki luka di masalalu dan tentang Vanila yang menjadi korban pelecehan...