Ketika Hujan Menyatakan Cinta

By desimurniatii

144K 5.7K 357

Sejak kecil aku tidak menyukai hujan. Bagiku hujan itu menyebalkan. Bukankah banyak orang memilih meringkuk d... More

Prolog
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Puisi Nimas untuk Genta
Cast of Ketika Hujan Menyatakan Cinta
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua

Tujuh

4K 188 3
By desimurniatii

Aku membutuhkan waktu satu jam untuk sampai di panti asuhan dengan menggunakan ojek. Mami menyambutku dengan ramah, beliau mengatakan Genta terkena tifus sejak tiga hari yang lalu dan mami membawaku ke kamar Genta. Di atas kasur single dengan seprei motif batman, kulihat Genta sedang terbaring lemah. Matanya tertutup saat aku dan mami masuk, namun karena mendengar suara langkah kaki kami, dia terbangun.

Tebak apa yang dia katakan saat melihatku!

"Ngapain lo di sini?" tanyanya ketus.

Aku mendengus. Sudah ketebak responnya akan seperti itu.

"Genta, nggak boleh begitu. Ada teman yang jenguk kok malah sinis gitu," tegus mami.

Aku memandang mami. "Udah biasa kok, Mami."

Genta terdengar mendesah. Ia memandangku dengan malas. "Dari mana lo tahu kalo gue sakit?" tanyanya.

"Tadi aku ke kelas kamu karena kamu nggak nonton penampilan bandku dan kata anak kelas kamu, kamu sudah dua hari nggak masuk," jawabku.

Mami memeriksa suhu badan Genta dengan memegang keningnya. "Panasnya belum turun. Genta itu susah banget disuruh makan, Nim. Suruh minum obat juga kalo nggak dipaksa nggak akan diminum," kata mami.

"Mungkin dia minta diinfus kali, Mi," sahutku. Kulihat Genta membulatkan matanya.

"Ah, dia juga takut banget sama jarum suntik. Apalagi diinfus bisa pingsan selama diinfus, Nim. Coba kamu bujuk dia supaya mau makan dan minum obat. Kalo nggak makan dan minum obat, bisa-bisa dia sakit selama berbulan-bulan," pinta mami.

Kupandang Genta dengan menggeleng-gelengkan kepala. "Ternyata orang dingin kayak kamu takut sama obat dan jarum ya? Aku kira takutnya cuma sama orang."

Genta mendengus kesal dan memalingkan wajah. "Diem lo!"

Mami mendesah dan menaikan selimut yang menutupi kaki Genta. "Nim, Mami tinggal ke dapur ya! Jangan lupa bujuk Genta buat makan ya!"

"Iya, Mi."

Aku duduk di tepi tempat tidur yang bersebelahan dengan tempat tidur Genta dan kulihat dia tampak terusik dengan kehadiranku. Aku terkekeh melihat ekspresi ketusnya dengan wajah lemas itu. Melihatku tertawa, dia mengangkat wajah.

"Kenapa lo ketawa?" tanyanya.

"Kamu lucu aja kalo lagi sakit gini. Wajah ketus dipadukan dengan wajah pucat dan lemas."

"Terus bagi lo itu lucu?" tanyanya sinis.

"Banget."

Dia kembali mendesah dan menenggelamkan wajahnya di balik bantal. "Mendingan lo pulang aja. Gue butuh istirahat."

"Tadi aku diminta buat bujuk kamu agar mau makan, jadi sebelum kamu mau makan aku akan tetap di sini."

Genta memandangku dengan kesal. "Ya udah terserah lo. Gue mau tidur."

Aku melihat Genta memejamkan matanya. Kuperhatikan ruangan dimana saat ini aku berada. Ada sekitar enam tempat tidur di ruangan ini dan tiga diantaranya tempat tidur susun. Berarti ada sekitar 9 orang yang tidur di sini. Tempat tidur Genta dan tempat tidur yang saat ini kududuki adalah dua dari tiga tempat tidur yang tidak bertingkat.

Aku memandang ke bagian pojok ruangan dan mataku berbinar ketika melihat gitar di sana. Dengan pelan, aku melangkahkan kaki ke sana dan mengambil Gitar, kemudian kembali lagi.

Aku memperhatikan gitar yang kini ada di tanganku dan ada nama 'Andri' di bagian depannya. Aku mencoba memetik senarnya dengan menggunakan kunci G. Mendengar suara gitar tersebut masih bagus, membuatku melanjutkan memetik gitar hingga membentuk sebuah nada. Nada sebuah lagu yang sangat kusukai.

Kutak tahu apa yang terjadi pada hatiku kini

Tak kumengerti

Getar ini belum pernah ada

Tak pernah kurasakan selama ini.

Aku mengeluarkan suaraku dan menyanyikan lagu Gita Gutawa berjudul Apa Kata Bintang.

Berjuta cahaya datang padaku

Menari denganku nyanyikan lagu tentangnya

Duhai bintang mungkinkah yang kurasa

Apakah sudah saatnya untukku menyukainya.

Aku sengaja tidak bernyanyi dengan suara yang keras, bahkan aku harap Genta tidak terbangun karenanya. Namun harapanku tidak terwujud, begitu aku selesai menyanyikan lagu tersebut, matanya sudah terbuka dan dia tengah menatapku. Aku salah tingkah, takut apa yang kulakukan benar-benar mengganggunya.

Aku meletakan gitar di sampingku dan bingung harus melakukan apa. Aku menggigit bibirku, aku tidak berani memandangnya.

"Itu gitar peninggalan Bang Andri dan sejak dia meninggalkan panti ini lo adalah orang pertama yang memainkannya," ucapnya. Suaranya terdengar bergetar, mungkin karena dia sedang sakit.

Aku memandangnya dengan perlahan. "Maaf kalo aku lancang memakai gitar orang lain."

Tiba-tiba dia tersenyum. "Gue suka kok."

Aku melongo. Apa aku tidak salah dengar?

"Sejak dua tahun yang lalu gue udah belajar main gitar tapi nggak pernah bisa dan gue salut sama orang yang bisa main gitar," ucapnya.

Aku tersenyum. "Termasuk sama aku?" tanyanya yang langsung membuatnya mengerutkan kening. "Coba tadi kamu nonton penampilanku di panggung, pasti setelah itu kamu bakal berteriak, Nimas, mulai detik ini gue jadi fans lo," tambahku.

Kali ini dia yang melongo.

Aku tertawa lirih dan memetik gitar itu kembali. Kali ini aku menyanyikan lagu milik Acha Septriasa yang berjudul Berdua Lebih Baik. Genta memperhatikanku dengan seksama dan tidak kusangka anak-anak panti berdiri di pintu ikut memperhatikanku yang sedang menyanyi. Genta meminta mereka untuk mendekat.

Aku menyanyi dengan lebih semangat.

Berdua denganmu pasti lebih baik

Aku yakin itu

Anak-anak panti bertepuk tangan setelah aku selesai menyanyikan lagu tersebut dan beberapa diantara mereka memintaku untuk mengajari mereka cara bermain gitar. Salah satunya Niko. Kuminta Niko memegang gitar dan meletakan tangannya sesuai dengan kunci. Aku mengajarinya kunci G.

"Kak Nimas hebat ya bisa main gitar, Kak Genta ternyata kalah," seru Dela.

Niko menekan jari-jarinya ke senar sesuai kunci G seperti yang sudah kuajari tadi dan memetik bagian yang ada lubang. Niko tersenyum geli mendengar suara genjrengannya yang aneh.

"Sakit, Kak," keluh Niko dengan mengibas-ngibaskan tangan kirinya.

"Jangan nyerah dong, dulu Kak Nimas aja tangannya sampai kapalan baru bisa main gitar," ucapku.

Niko membulatkan matanya mendengarnya. "Berarti aku baru bisa kalo tanganku udah kapalan dong?"

Aku tertawa. "Nggak juga, kalo emang kamu berbakat bisa lebih cepat," kataku. "Kapan-kapan kalian main ke rumah Kak Nimas, di sana ada piano, nanti Kak Nimas ajarin," tambahku.

Wajah anak-anak itu tampak antusias.

"Beneran, Kak?"

"Iya." Aku tersenyum melihat mereka bersemangat. Mereka saling memandang dan ada di antara mereka yang mengatakan pernah melihat piano yang kata dia sangat besar itu, sedangkan yang lainnya mendengarkan dengan antusias. Mungkin mereka tengah membayangkan bentuk piano di alam imajinasi mereka. Aku memutar kepalaku dan memandang Genta yang juga masih memandang mereka.

Genta tersenyum melihat anak-anak panti berlarian keluar kamar karena dipanggil mami dan tiba-tiba Genta memutar kepalanya menghadapku hingga mata kami bertemu. Seketika kami langsung mengalihkan pandangan dengan salah tingkah. Suasana senyap saat itu juga.

"Nim, ini makanan untuk Genta. Kamu bujuk dia sampai berhasil ya! Ini obatnya dan ini kue buat kamu," kedatangan mami yang membuat suasana senyap itu berakhir. Mami membawa nampan berisi bubur, air putih, obat dan kue lapis.

"Iya, Mi," sahutku dengan menerimanya.

Mami membalikan badan meninggalkan kamar. "Pokoknya harus sampai Genta berhasil makan," pesannya sebelum pergi.

Aku memandang bubur berwarna putih tersebut, kemudian memandang Genta yang sudah menolak dari tatapan matanya. "Mau aku paksa atau makan sendiri dengan senang hati?" tanyaku dengan menyendok bubur tersebut.

"Nggak dua-duanya."

"Mmm," aku bergumam. "Berarti dipaksa." Aku mengarahkan sendok yang sudah berisi bubur di atasnya dan mendekatkannya ke mulut Genta. Genta mengatupkan mulutnya rapat-rapat dengan kepala menggeleng-geleng. "Makan nggak!" gertakku.

"Lo..." saat itu juga kumasukan makanan ke mulutnya. Dia menyeringai ke arahku, kubalas dengan menjulutkan lidah. "Lo curang, Nim. Nggak enak buburnya. Pahit."

"Biar kamu cepet sembuh dan kembali ke sekolah."

"Terus kalo gue kembali sekolah, kenapa?"

"Ya biar perpustakaannya ada pengunjungnya. Kasihan perpus sepi banget tanpa kamu. Meski nggak ada yang kangen sama kamu di sekolah, tapi kan yang butuh sekolah itu kamu, bukan sekolah yang butuh kamu."

Aku kembali menyendokan bubur dan menyuapi Genta lagi. Kali ini dia nggak menolak. "Lo punya temen di sekolah?"

"Tentu saja. Aku punya dua temen di kelas yang emang udah bareng-bareng sejak SMP. Namanya Rara dan Bila, karakter mereka beda, Rara itu anaknya rame dan suka heboh sendiri, sedangkan Bila lebih tenang. Nanti aku kenalin ke kamu deh," jawabku.

"Nggak usah," tolaknya.

"Kenapa?"

"Gue nggak suka sama segala sesuatu yang berhubungan dengan teman."

Aku mengangguk-anggukan kepala. Ya, Genta memang orang yang seperti itu, tapi aku yakin lama-lama dia akan menerima kehadiran teman di hidupnya. Buktinya dia sudah mulai bisa menerimaku. "Kamu makan sendiri," aku menyerahkan mangkuk berisi bubur itu dan meminta Genta makan sendiri. "Aku yakin tanganmu masih kuat untuk mengangkat sendok dan memasukan bubur ke mulut," tambahku dengan mengambil kue lapis dan memasukannya ke mulutku.

Dia memandangku dengan tidak percaya, namun dia menyuapkan bubur itu ke mulutnya.

"Cepat makan! Abis ini minum obat." Aku memeriksa jam tangan, sudah hampir jam satu. "Aku belum salat dzuhur," ucapku. Kukeluarkan obat berdasarkan dosis yang tertulis di botol tersebut. "Ini obatnya," aku memberikan obat-obat itu setelah melihat Genta seperti tidak bisa menelan bubur lagi.

"Jangan liatin gue," katanya sebelum meminum obat.

"Emang kenapa?"

"Gue nggak bisa minum obat kalo ada yang ngeliatin."

"Oh," aku segera memalingkan wajah. Setelah Genta meminum obatnya, aku meletakan mangkuk berisi sisa bubur di atas nampan. Aku memeriksa jam yang melingkari pergelangan tanganku. "Aku mau salat dzuhur dulu, terima kasih sudah bekerja sama dengan baik," ucapku.

"Maksud lo bekerja sama dengan baik?" tanyanya.

Aku menunjuk mangkuk bubur dan obat dengan ekspresi wajah. "Bagiku kamu mau makan, minum obat dan cepat sembuh adalah sebuah kerja sama yang baik." Aku bangkit dari kursi dan berjalan meninggalkan Genta yang masih ada di kamar. Namun belum sampai aku melewati pintu, Genta memanggilku. Aku menoleh.

"Nim, bilang ke mami kalo gue mau salat ya!" ucapnya.

"Iya."

Aku kembali berjalan meninggalkan kamar itu, namun Genta kembali memanggilku. Aku kembali menoleh. Namun dia hanya memandangiku. Saat aku memalingkan wajah darinya, dia memanggil lagi.

"Iya, ada apa?"

"Thanks."

Aku tersenyum mendengarnya. Apa sesulit itu mengatakan terima kasih?

Continue Reading

You'll Also Like

2.7M 272K 63
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
1.7M 77.8K 41
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
1.6M 116K 47
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
290K 17.3K 36
JANGAN LUPA FOLLOW... *** *Gue gak seikhlas itu, Gue cuma belajar menerima sesuatu yang gak bisa gue ubah* Ini gue, Antariksa Putra Clovis. Pemimpin...