Bel tanda istirahat baru dibunyikan, aku memasukan buku-buku ke dalam tas dan memandangi dua temanku itu dengan bergantian, namun mereka malah memandangku dengan penuh kecurigaan.
Rara maju ke dekat mejaku dan memandangku. "Jadi kemarin lo kemana?"
Aku mengerutkan dahi. Bila ikut mendekat dan bersama Rara mereka memandangiku dengan tatapan penuh introgasi.
Aku memandangi mereka bergantian. Bisa histeris jika mereka tahu apa yang kulakukan.
"Lo kemana, Nim?" Rara mengulangi pertanyaannya. "Lo kan udah bilang mau cerita."
Aku tersenyum. Aku mendekati telinga Rara diikuti gerakan Bila yang ikut mendekat, kemudian aku berbisik. Tentu saja bisikan bahwa kemarin aku bersama Genta.
"Lo sama Genta?" teriak Rara histeris, aku langsung membungkam mulutnya. "Jangan keras-keras, Ra."
Bila memandangiku tidak percaya. "Genta yang berantem sama Bang Reza?"
"Iya."
"Kok bisa?"
Rara menatapku lebih tidak percaya. "Bukankah rumornya itu cowok anti sosial?"
"Sepertinya emang gitu."
"Terus lo berhasil?"
Aku mengangkat bahu. Tidak mau cerita lebih banyak lagi, lalu cepat-cepat kuapit lengan mereka dan mengajak mereka ke kantin. "Gue laper, pengen makan mie ayam."
Aku pesan satu mangkuk mie ayam dan tiga jus jeruk. "Gue traktir kalian es jeruk, buat yang kemarin," ucapku.
"Tapi Bang Reza nggak tanya ke gue tuh," sahut Rara.
"Iya, dia juga nggak hubungi gue," Bila membenarkan.
"Mungkin bukan kemarin tapi bisa aja besok atau kapan-kapan."
"Tapi lo nggak niat buat bohong lagi kan?" tanya Bila curiga.
Aku tersenyum. "Kalau kepepet."
Mereka memasang wajah tidak percaya. "Lo nggak diapa-apain sama Genta kan? Gue takut aja dia dendam sama Bang Reza terus membalasnya ke elo," tanya Rara.
"Nggak kok." Aku membalas pandangan mereka yang penuh curiga itu. "Percaya deh sama gue, gue cuma ngajak dia berteman kok. Ya gue heran aja melihat ada orang yang nggak punya temen. Udahlah, jangan bahas itu lagi."
"Terus bahas apa?" tanya Rara.
Aku menerima mangkuk berisi mie ayam yang baru diantar dan memandang kedua temanku itu dengan ceria. "Gue lolos tahap pertama band sekolah, nanti pulang sekolah gue mau latihan," ungkapku.
Rara dan Bila melongo. "Emang kapan lo daftarnya?"
"Waktu awal masuk?"
"Terus seleksinya?"
"Satu minggu yang lalu."
"Kok gue nggak tau?" tanya Bila.
"Iya, gue juga," kali ini Rara yang bicara.
"Terus gue harus peduli gitu?" sahutku ketus. Kemudian aku melahap mie ayam yang sudah ada di depan mataku. Bila dan Rara masih sibuk berceloteh meski pesanan mereka sudah ada di meja. Bisa dipastikan, obrolan mereka nggak jauh-jauh tentang senior yang ganteng. Setelah kemarin-kemarin mereka sibuk membahas Mas Reza dan Mas Virza, kali ini mereka membahas cowok yang namanya Rendra. Yang kabarnya terpilih sebagai ketua OSIS menggantikan Mas Reza.
Rendra atau siapapun itu, aku tidak peduli. Aku hanya peduli dengan pelantikan ketua OSIS yang akan diadakan satu minggu lagi, karena di sana akan ada pertunjukan dari setiap angkatan. Oh, jadi tidak sabar.
***
"Mas Reza!" aku melambaikan tangan ke Mas Reza yang baru saja keluar dari kelas. Dia menyipitkan mata dan langsung memasang wajah ogah-ogahannya begitu melihatku.
"Ngapain lo ke sini?" tanyanya ketus.
"Ih, nggak nyenengin banget sih muka lo itu," sahutku. "Gue mau izin lagi, hari ini ada latihan di eskul musik."
"Terus?" tanyanya. Sudah tahu aku izin masih tanya terus lagi.
"Ya aku nggak bisa pulang bareng dan tolong izinin ke mama."
"Ya."
"Udah sholat belum, Mas?"
"Udahlah, emang lo?"
Aku memanyunkan bibir. Dasar nyebelin! Kemudian aku cepat-cepat meninggalkan halaman dengan kelas 12 IPA itu, namun baru saja aku membalikan badan, aku melihat Genta baru keluar dari kelas.
Aku memandangnya sesaat dan mata kami bertemu. Aku mencoba tersenyum, namun dia langsung buang muka. Ya udah, aku langsung pergi dari tempat itu. "Thanks ya, Mas!" teriakku ke Mas Reza yang udah bergegas pulang.
Aku langsung menuju mushola sekolah untuk shalat dzuhur. Sekitar pukul 14.25 aku baru masuk ke ruang eskul musik yang ada di lantai dua. Ruangan itu sudah dipenuhi oleh beberapa siswa yang duduk rapi di kursi. Di bagian depan ruangan itu, terpampang alat-alat musik mulai dari drum, bass, gitar, gitar akustik, keyboard, biola, gendang, angklung dan di bagian belakang terdapat seperangkat gamelan.
"Masuk!" salah satu senior memintaku untuk masuk.
Aku memilih duduk di kursi paling depan. Senior mengatakan untuk menunggu yang lainnya, baru sekitar sepuluh menit kemudian acara dimulai. Kak Yogas, ketua eskul musik membuka acara siang itu dan mengatakan saat ini tersisa dua puluh orang yang lulus seleksi anggota eskul musik.
"Saya harap kalian yang ada di sini nggak ada yang main-main," ucapnya.
Dia menambahkan siang ini akan mengadakan seleksi untuk pertunjukan saat pelantikan ketua OSIS satu minggu lagi. Kami saling pandang, dia menambahkan lagi hanya ada lima orang yang akan terpilih untuk menampilkan band.
"Jadi berikan penampilan terbaik kalian siang ini!" ucapnya menutup sambutannya.
Siswi kelas 10.1 yang kemarin memperkenalkan dirinya bernama Idwi mendekatiku. "Lo mau menampilkan apa, Nim?" tanyanya.
"Gitar mungkin."
"Aduh mana suaraku lagi nggak sehat gini," ucapnya. Suaranya memang terdengar serak. Dia menatapku dengan bingung. "Gimana ya, Nim?"
"Nggak terpilih juga nggak apa-apa kan, Wi?"
Dia terlihat kecewa. Kemudian dia memperhatikan sekeliling, yang langsung kuikuti. Di sekeliling kami, anak-anak yang baru lolos seleksi tampak sibuk mempersiapkan penampilan mereka, aku bisa menangkap kegugupan pada wajah mereka. Aku juga merasa gugup.
Kak Risda yang beberapa hari yang lalu mengajari kami cara bermain biola itu berdiri di depan kami. "Kalian sudah siap?" tanyanya. Semua bersorak belum. "Gue nggak peduli kalian mau siap apa nggak, gue akan memanggil nama kalian untuk maju satu per satu," lanjutnya.
Kak Risda mengambil absen dimana sudah berisi nama-nama kami.
"Mana yang namanya Nimas?" tanyanya. Aku membulatkan mata, namun segera mengangkat tangan. "Adik dari ketua OSIS dan bintang badminton, kenapa ikut eskul musik? Nggak pengen mengikuti jejak kakak lo?" tanyanya.
Aku tersenyum. "Jadi diri sendiri aja, Kak. Saya sukanya musik."
"Ooo," sahutnya. "Bagaimana jika Nimas tampil pertama?"
Semua berteriak setuju. Aku hanya diam.
"Oke. Kita sambut Nimas Aulia."
Aku menarik napas dan maju ke depan. Entah itu awal atau akhir semuanya tetap akan tampil. "Mau menampilkan apa, Nim?" tanya Kak Risda.
"Gitar dan menyanyi."
"Oke. Silahkan!"
Aku menarik sebuah kursi kecil dan duduk di sana. Aku membenarkan letak gitar yang saat ini kupegang dan memetik senarnya dengan perlahan.
Spend all your time waiting
For that second chance
For a break that would make it okay
There's always some reason
To feel not good enough
And it's hard at the end of the day
I need some distraction
Oh beautiful release
Memory seeps from my veins
Let me be empty
And weightless and maybe
I'll find some peace tonight
Aku mulai menyanyikan lagu Westlife yang berjudul Angel. Aku memetik senar dengan lebih semangat dan dengan maksimal menyanyikan bagian refrain.
In the arms of an angel
Fly away from here
From this dark cold hotel room
And the endlessness that you fear
You are pulled from the wreckage
Of your silent reverie
You're in the arms of the angel
May you find some comfort here
Aku mengakhiri lagu tersebut dengan senyuman mengembang. Setelah tak ada suara gitar yang kupetik ataupun suaraku menyanyi, terdengar tepukan tangan dari teman-teman yang ada di hadapanku. Aku tidak tahu apakah mereka menyukai penampilanku ini atau tidak. Yang pasti aku sudah berusaha secara maksimal.
Aku kembali ke kursi dan siswa dari kelas 10.7 tampil setelahku. Dia bermain drum. Acara selesai sekitar pukul lima sore dan aku menjadi salah satu yang terpilih untuk tampil di pelantikan ketua OSIS. Anggota yang tidak terpilih diperbolehkan untuk pulang, sedangkan aku bersama empat anggota lainnya diminta untuk tinggal. Dan dari lima orang yang terpilih, hanya aku ceweknya.
"Nimas dan Adi yang akan menjadi vokalis sekaligus gitar, sedangkan Galang bermain drum, Gigih memegang bass dan Dion keyboard," ucap Kak Yogas membagi tugas untuk kami. "Jadi setiap hari sepulang sekolah kalian harus datang ke sini untuk latihan dan saya harap kalian bisa bekerja sama dengan baik," lanjutnya.
Kami semua mengangguk.
"Kalian boleh pulang. Sampai ketemu besok dan seterusnya."
Aku meraih tas yang ada di atas kursi dan bergegas keluar dari ruang eskul musik. Aku memeriksa jam yang melingkari pergelangan tanganku, jam enam kurang seperempat. Aku mengeluarkan ponsel dan mencari nomor Mas Reza.
"Apa?" tanya Mas Reza begitu aku menelponnya.
"Jemput gue!"
"Hah?" sahutnya. Setelah itu dia diam beberapa saat. "Vir, lo jemput Nimas ya!" teriak Mas Reza memanggil Mas Virza.
Aku mendesah.
"Gue lagi ngerjain tugas!" aku mendengar sahutan Mas Virza.
"Nggak bisa, Nim. Lo naik ojek aja. Gue lagi nonton TV dan acaranya nggak bisa ditingal, lo denger sendiri kan kalo Virza lagi ngerjain tugas?"
Aku mendesah sebal. Kututup telepon dan kumasukan ke dalam tas, mudah-mudahan masih ada ojek. Aku berjalan sampai depan gerbang sekolah, namun tak satu pun terlihat keberadaan tukang ojek. Namun tiba-tiba Kak Yogas menghentikan motornya di sampingku.
"Nggak ada yang jemput, Nim? Sama gue aja yuk!"
Aku menaikan alis. Kak Yogas meminta aku segera naik ke motor sportnya dan aku melakukannya. Andai aja ada tukang ojek dan belum sore, aku pasti akan memilih opsi tersebut dibandingkan diantarkan oleh Kak Yogas.
--maaf banget ya telat update-nya, soalnya lama off dari wattpad. Happy reading ya.