Tentang dia (END)

Door meyriska667

23.1K 979 17

Dia seseorang yang aku kaitkan dengan hujan, dia seseorang yang mengajariku makna hujan yang bisa jatuh berka... Meer

prolog
Kecelakaan maut
kamu siapa?
"Dengan nona Meira?"
aku, kamu, juga hujan
Kenapa tuan hujan?
Kenapa nona pelangi?
Tentang dia
Gak rindu?
emang bahaya kalau merindu?
Kamu ke JannaNya sama siapa?
Aku rindu hujan
Kamu dimana?
kamu dimana? (2)
I Love You
I Love You To
Takkan Terpisah
Bayangan samar
Teka-teki simbok dan tante Elvi
Kecelakaan sebelumnya?
Janji hujan
Apa benar itu dia?
Epilog
Sayang kalian
Heiii
INFOOO Sequeelll!!!

Meira, maaf

594 23 0
Door meyriska667

Bau obat-obatan menyeruak masuk dihidungku, aku berusaha membuka mataku yang begitu berat. Perlahan aku melihat sekelilingku serba putih, aku berusaha mengangkat tanganku untuk menyentuh kepalaku yang sepertinya diperban? Dan tanganku begitu berat diangkat hingga aku sadar tanganku di infush, astaga. "Akhhh!" Aku melepas paksa infus itu, lagi kejadian itu mengingatkanku pada waktu kecelakaan maut.

Kulihat seorang suster, Lala, Aditi serta simbok buru-buru memasuki ruangan yang kutempati ini yang kutebak ruangan rumah sakit. Ditambah seorang dokter cantik yang berpostur tubuh agak gemuk, dan dia? Mataku tidak menghiraukan semuanya, mataku hanya berpokus padanya yang juga menatapku. Napasku naik turun sambil memangku tanganku yang bercucuran darah. "kenapa dilepas?" Tanya dokter itu hendak memasangkan kembali infus itu saat aku berteriak dengan refleks, "tidak! Aku gak mau pake ini!" Simbok dan 'dia' berbarengan menujuku, aku langsung menepis tangannya yang hendak memelukku dan beralih kesimbok yang langsung memelukku.

"Mbok," tangisku. "Aku gak mau pake ini." Aku menarik selang infus itu, dengan darah yang masih mengalir ditanganku. Kulihat dua sahabatku yang sepertinya menangis sambil berpelukan disampingku. "Mei." Dia mencoba meraih tanganku. "Tidak! Aku mau mereka keluar mbok!" Teriakku, entah kenapa aku muak dengan mereka termasuk 'dia' "aku mau ayah sama bunda," tangisku. "Mei, ini aku. Tuan hujanmu," ucapnya masih mencoba meraihku.

"Tidak!" Aku menepis tangannya dengan lemah. "Dek, bu, semuanya keluar dulu yah? Meira butuh ketenangan." Dokter itu menyuruh mereka keluar termasuk simbok lalu mengeluarkan jarum suntik dan menancapkan dilenganku, mungkin itu jarum suntik penenang karna setelahnya kesadaranku menghilang.

***

Aku kembali tersadar, saat kembali kucium bau obat-obatan itu. Tidak ada orang disampingku seperti tadi, aww aku merasakan nyeri dikepalaku. Pening. Aku menelan ludahku pahit, lalu melirik tanganku. Air mataku menetes tiada henti, bayang-bayangan masa itu berputar diotakku dengan lancarnya. Mulai dari aku keluar rumah saat melihat berita itu lalu kecelakaan dan berada di rumah sakit seperti sekarang juga dipasangkan infus. "Akhhh." Aku kembali berteriak, saar emosiku tak bisa kukendalikan. Tapi tidak, aku tidak melepas infusnya lagi melainkan aku hanya memukulkan kedua tanganku disisi ranjang namun bisa membuat darah keluar lagi diinfus itu.

Kulihat 'dia' langsung berlari memasuki kamar, dan memelukku dengan erat meski aku meronta. "Lepas! Aku gak mau kamu!" Teriakku. "Keluar!" Ingin rasanya aku meneriakkan aku benci kamu tapi tidak, aku tidak bisa. Aku sayang dia, aku gak membencinya.

Aku melihatnya memencet tombol yang ada didekat ranjangku, tombol untuk memanggil suster atau dokter. "Kenapa? Kenapa mau aku keluar?" Tanyanya bersamaan dokter dan suster membuka pintu, aku masih meronta dipelukannya.

"Permisi dek, adek tunggu dulu diluar yah?" Pinta dokter itu.

Setelah dia keluar aku tidak meronta lagi, aku tidak ingin disuntik lagi. Sudah cukup aku tidak sadarkan diri, sudah berapa lama waktu aku habiskan dalam keadaan tidak sadar?

"Dokter!" Pekikku saat melihatnya  memegan jarum suntik. Kulihat dokter itu tersentak, astaga aku mengagetkannya. "Kenapa?" Tanyanya panik, sementara suster yang memperbaiki infus ditanganku juga ikut berhenti dengan aktifitasnya sejenak. "Aku gak mau disuntik," jawabku memelas. "Aku gak memberontak lagi, janji dok," ucapku melemah.

Dokter itu melempar senyum ramah kepadaku. "Baiklah, tapi janji kamu gak akan memberontak lagi?" Pintanya. Aku mengangguk dengan isakan. "Oke, kamu istirahat yang tenang, jangan maini infus kamu. Terus jangan sesekali kamu mencoba menghayal apalagi dengan masa lalu kamu."

Aku menelan ludah susah, lalu mengangguk. "Coba, kamu pikir yang lain aja. Atau nggak ajak teman kamu diluar bicara," kata dokter itu. "Nggak dok, aku gak mau," tolakku. "Aku mau istirahat," sambungku lalu memejamkan mata.

Kudengar suara kaki suster dan dokter itu melangkah keluar. Selang beberapa detik kudengar pintu kembali terbuka dan suara kaki berjalan kearahku, akhhh aku tidak tertarik untuk membuka mata dan menoleh melihatnya.

Kurasakan dia duduk dikursih samping ranjangku, kepalaku kumiringkan membelakanginya. "Aku tahu kamu gak tidur," ujarnya. Suara itu, aku mengenalinya. Suaranya. Akhh kenapa dia yang datang? Aku muak dengannya, karna dia yang aku cari sehingga aku sampai disini dan memakai infus ini lagi.

"Aku tahu kamu gak tidur," ulangnya lagi, aku tidak menghiraukannya. "Kamu marah sama aku?" Tanyanya. Aku masih bergemin, tak ingin membuka mata. "Sampai kapan kamu mau mendiamiku? Gak rindu?" Dia terus saja bertanya, akhh maunya apa sih? "Meira?" Panggilnya lembut. "Nona pelangi." Aku geram, aku membuka mataku dan langsung menoleh menatapnya datar. "Jangan memanggilku seperti itu," kataku lantang.

"Kenapa?" Dia sedikit terkekeh. Aku tidak mengihiraukannya dan kembali membelakanginya. "Ternyata kamu benar marah," ucapnya. "Maaf," lirihnya, lalu tidak ada lagi suaranya kudengar. Tapi tidak juga suara kakinya keluar, lalu? Apa dia masih ada? pelan-pelan aku menoleh. "Kenapa?" Kulihat dia tersenyum kearahku. Aku buru-buru mengalihkan muka. Kudengar dia berdecak lalu berujar, "Simbok udah pulang, aku menyuruhnya. Dan kedua temanmu juga, tinggal aku yang akan menemanimu."

Aku tidak menghiraukannya, melainkan sibuk dengan perkerjaanku. Astaga, perih. Aku merasa kembali darah menguncur keluar ditanganku. Aku hanya meringis kecil, namun aku yakin dia mendengarnya karna ia langsung berjalan kedepanku. "Astaga, tanganmu berdara lagi." Aku tidak menanggapinya, kulihat dia kembali memencet tombol yang tadi. Dan selan beberapa menit seorang suster dan dokter yang sama kembali masuk ke ruangan, astaga aku takut, aku bakal dimarahi.

"Berdarah lagi?" Kudengar dokter itu menghela napas. "Ada apa lagi?" Tanya suster itu lembut sambil membuka infusnya pelan. "Atau mau dokter suntik?" Tanya dokter itu menggoda. "Tidak! Jangan!" Cegatku cepat.

"Kan udah dibilangin, jangan maini infusnya. Jangan ngelamun," kata dokter itu keibuan. "Maaf dok," lirihku. "Ini juga, jagain yah? Ajak ngobrol biar dianya gak menghayal dan buat berdarah lagi tangannya," kata dokter itu padanya, aku menghela napas muak melihatnya, dia mengangguk dan mengucapkan iya.

Aku menahan perih saat dokter kembali menusukkan jarumnya ditangan kananku, karna tangan kiriku sudah banyak kali disuntik. "Udah, dokter gak mau denger lagi ada panggilan dari ruangan ini kalau hanya panggilan ganti infus," ancam dokter itu bercanda, membuat susternya terkekeh. "Jaga temannya yan?" Kata suster itu padanya.

Setelah dokter dan suster kembali keluar, aku memegan kepalaku dengan hati-hati menggunakan tangan kiriku. Rasanya pening. Aku menutup mataku perlahan, untuk membenamkan kepalaku yang sepertinya mulai pusing melihatnya diruangan ini.

"Makanya jangan pikirin aku terus," katanya kembali duduk ditempatnya, aku tidak menghiraukannya. Kurasa itu hanya leluconnya. "Kamu benar-benar marah Meira." Kurasakan dia beranjak dari duduknya dan kudengar dia berjalan keluar dan semakin diperjelas saat suara pintu terbuka lalu kembali tertutup dengan pelan.

Aku membuka mataku perlahan lalu menatap pintu yang tadi dilaluinya tidak ada tanda-tandanya masuk lagi, air mataku mengalir dengan sendirinya aku kira dia gak bakal buat aku nangis, tapi kenapa? Aku terisak, tidak ada tanda-tandanya muncul. Akhh.

Aku mungkin memang munafik, tadi dia ada disini dan aku yang tidak menghiraukannya setelah dia keluar aku mencarinya. Memang perempuan susah ditebak.

Aku masih setia menatap kekiri kekanan, entah ini sudah jam berapa. Rasanya waktu aku sadar tadi sudah lama, dan waktu menunggunya balik lagi sudah lama, mungkin udah tiga jam kali yah? Disini gak ada jam dinding apa? Aku menengok kekiri-kekanan saat pintu terbuka dan menampakkan sosoknya yang telah berganti pakaian, tadi dia memakai baju kaos abu dan sekarang ganti dengan baju kaos hitam.

Mata kami beraduh, seolah terkunci. Aku menatapnya dengan nanar, dia pun juga menatapku sama. Dia masih bergemin diujung pintu, tidak menghampiriku.

Setelah cukup lama mata kami saling tatap, aku terlebih dahulu mengalihkan pandangan, kembali membelakanginya. Kurasakan dia sudah berjalan kearahku, dan kudengar dia meletakkan sesuatu dinakas. Sepertinya memindahkan sesuatu? "Aku abis dari beli makanan, sekalian ganti baju," jelasnya tanpa kuminta. "Meira, maaf," lirihnya.

"Kamu sungguh marah sama aku?" Tanyanya yang lagi-lagi kuabaikan, "kamu marah besar?" Tambahnya masih tidak mendapat jawaban dariku. "diluar hujan," ucapnya memberitahuku sambil berjalan kearah dinding kaca menatap hujan, akupun juga tahu. Meski kedap suara ruangannya tapi hujan deras terdengar jelas diluar entah bagaimana caranya dan aku juga melihatnya dari dinding kaca, akhh aku baru sadar diluar gelap. Hanya diterangi cahaya lampu-lampu, sekarang jam berapa yah?

__________________

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

776K 56.3K 33
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
2.3M 126K 61
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
54.8K 2.7K 30
[Selesai] "Tiada yang mengizinkan kita bersama, Bahkan Tuhan sekalipun." -kita berbeda-
55.4K 5.5K 46
Jika berkenan, jika waktu kembali mengenang, akan aku. Kunjungi tempat ini, baca semua yang pernah aku tulis, dengar apa yang tak sempat aku ucap. Bi...