Unsteady

By theblackrosee

2.1M 258K 31.9K

Aku percaya, bahwa suatu hari nanti kita akan di pertemukan dalam keadaan yang jauh lebih baik lagi. ... More

Prolog
Unsteady 1
Unsteady 2
Unsteady 3
Unsteady 4
Unsteady 5
Unsteady 7
Unsteady 8
Unsteady 9
Unsteady 10
Unsteady 11
Unsteady 12
Unsteady 13
Unsteady 14
Unsteady 15
Unsteady 16
Unsteady 17
Unsteady 18
Unsteady 19
Unsteady 20
Unsteady 21
Unsteady 22
Unsteady 23
Unsteady 24
Unsteady 25
Unsteady 26
Unsteady 27 [Bagian 1]
promosi
Unsteady 27 [Bagian 2]
Unsteady 28
Unsteady 29
Unsteady 30
Unsteady 31
Unsteady 32
Unsteady 33
Unsteady 34
Unsteady 35
Unsteady 36
Unsteady 37
Unsteady 38
Unsteady 39
Unsteady 40
Unsteady 41
Unsteady 42
Unsteady 43
Unsteady 44 - Akhir [Ending]
Spin off
PO KEDUA NOVEL PROTECT

Unsteady 6

51.2K 6.2K 452
By theblackrosee

Sebenarnya, sejak satu jam setengah tadi, Ares ingin sekali melihat apa isi kepala gadis yang sedang melihat ulang soal yang Ares beri. Wajahnya terlihat takut-takut untuk menatap Ares yang sedang memperhatikannya dengan tajam.

Mereka berdua sedang berada di rumah Aira, menepati janjinya untuk mengajari cewek itu agar bisa mengikuti olimpiade ekonomi yang tinggal satu minggu lagi. Ares sedikit ragu apakah Aira bisa atau tidak, apalagi melihat gadis itu yang tidak tahu apa-apa.

Ares bisa saja mengajarkan semua yang ia tahu pada gadis itu, semua, tanpa terkecuali. Hanya satu masalahnya, apakah Aira bisa menangkapnya atau tidak. Itu saja.

Ruang TV itu lenggang dan hanya terdengar helaan napas kasar Ares. Perempuan yang sedang duduk di lantai keramin dengan kedua tangan terlipat di meja kaca itu terlihat gelagapan.

"Kurva Lorenz menjauhi garis horizontal," katanya buru-buru.

Ares memejamkan matanya sejenak, mengambil bantal sofa dan menutupi wajahnya dengan bantal.

"Ih, Ares. Gue bener kan?" tanya Aira dengan bingung karena melihat respon Ares.

Ares meletakkan bantal sofa itu ke sampingnya dan menarik kertas itu. Laki-laki itu menggambar sesuatu menggunakan pensilnya.

"Ini garis diagonal," ucap Ares dengan sabar, "Ibarat sebuah garis yang menjadi patokan distribusi pemerataan penduduk yang semakin merata. Dan kalau gue gambarkan kurva yang mendekat ke garis ini, maka garis akan menunjukkan apa?"

Aira terus menatap pensil yang Ares gunakan untuk mempertebal garis kurva yang ia gambar, perempuan itu mengerutkan keningnya dan beralih melihat Ares.

"Ya menunjukkan apa?" tanyanya begitu polos.

Rasanya, ingin sekali Ares berkata kasar.

"Garis diagonal itu garis yang ibaratnya kayak garis yang menunjukkan distribusi pendapatan pada masyarakat suatu negara yang merata. Dan kurva ini," Ares mengambil pensil itu lagi dan mempertebal garis kurva itu. "Semakin garis kurva mendekat ke garis diagonal maka semakin merata lah distribusi pendapatan masyarakat pada negara itu. Dan kalau garis kurva ini digambarkan menjauh maka menandakan ketidakmerataan pendapatan masyarakat."

Mata Aira berkedip beberapa kali. Kalau dilihat-lihat, Ares ini begitu pintar, cocok jadi guru, tapi sayangnya ia sama sekali tidak sabar. Cepat sekali ingin marah kalau Aira tidak mengerti.

"Gatel ya garis kurvanya suka dekat-dekat sama garis diagonal." cengir Aira.

Ares menggebrak meja, "Ngerti gak, lo?!" tanyanya dengan kesabaran yang sudah menipis.

"Iya. Ngerti. Kalau garis kurvanya dekat sama diagonal berarti distribusi pendapatan semakin meratakan kan?" tanya Aira ragu-ragu. Takut kalau laki-laki itu kembali mengamuk.

Ares mengangguk kecil. "Iya."

"Udah dong Res, gue gak ngerti, puyeng nih gue. Liat nih Res," kata Aira sambil menunjuk kepalanya "Otak gue kebakar dengar omongan lo."

Ares melirik jam tangannya, mengangkat sebelah alisnya. "Lima belas menit lagi sebelum sampai jam 5."

Perempuan dengan rambut sebahu itu langsung meletakkan kepalanya di atas meja. Menghela napas panjang sambil memperhatikan cowok yang menulis sesuatu di kertas soal-soal tersebut.

"Lo tau gak cara menghitung GDP?" tanya Ares tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas yang ia pegang.

"Gak. Gue cuma bisa menghitung uang kas bulanan gue." Jawab Aira dengan cuek. Ia sedikit heran mengapa Ares nampak sedikit memaksanya untuk mengerti apa yang cowok itu ajarkan.

Ares meletakkan menghentikkan gerakannya. "Lo semangat untuk ikut seleksi itu gak sih?" tanya Ares dengan wajah tenangnya.

"Semangat Res, semangat banget." Jawab Aira dengan pasrah "tapi, gue kalau belajar emang gak bisa dipaksakan gini. Harus emang lagi niat."

Sejenak, Ares memperhatikan perempuan yang sedang memainkan handphonenya dengan kedua tangannya. Laki-laki itu menghela napas.

"Lo harusnya belajar untuk memaksa diri lo melakukan hal yang ingin lo raih. Bukan mengikuti kemauan diri lo yang malas itu sedangkan sisi lain dari diri lo berharap bisa mendapatkan apa yang lo mau. Jangan bego, berharap tanpa usaha itu ibarat sebuah kejujuran yang memalukan."

Aira terdiam, "Gue udah berusaha Res. Tapikan guenya emang capek."

"Lo baru belajar satu setengah jam aja ngeluh. Lo niat gak?" tanya Ares, mulai kesal.

"Niat. Iya, deh. Lanjut." Kata Aira setengah mengalah.

Ares menghela napas. Meletakkan pensilnya dan mengambil tasnya. Mungkin benar, Aira lelah. "Yaudah, istirahat deh lo."

Sambil memperhatikan gerakan Ares yang menutup resleting tasnya, Aira bertanya. "Kenapa sih, lo selalu bersikap ketus dan dingin. Maksud gue, lo gak bisa bersikap kayak gue bersikap sama lo."

Ares menyampirkan tali tasnya di kedua pundaknya dan menoleh sekilas. "Gue bersikap sebagaimana diri gue, bukan sebagaimana orang lain bersikap sama gue. Jadi ketika mereka nggak suka akan sikap gue, mereka bisa pergi. Tanpa gue minta."

***

Setelah keluar dari restauran itu, laki-laki dengan kemeja hitam itu memasuki mobilnya dan meletakkan belanjaannya pada bocah menggemaskan yang sedang menatap kaca. Ares mangacak rambutnya yang basah lalu mengambil makanan di plastik itu.

"Burger, kesukaan kamu." Kata Ares sambil menggigit burger miliknya.

Eza membuka makanan yang diberikan Ares, memakannya dengan gerakan santai. Hujan sudah mengguyur kota mereka selama setengah jam, membuat suasana begitu dingin.

"Tumben Abang makan burger?"

"Lagi pengen."

"Bang, cewek aneh itu pacar abang ya?" tanya Eza sambil mengunyah.

Sebelah alis Ares terangkat, ia masih menguyah dan menelannya. "Kenapa nanya gitu?" tanya Ares.

Eza mengambil tisu di dashboard dan membersihkan celananya yang terkena saus. "Kalau jumpa nempel mulu sama Abang."

"Enggak kok," burger itu telah habis dan Ares menarik tisu, "kakinya patah gara-gara Abang."

"Hm," Eza manggut-manggut mengerti, "cepat buang sial bang, itu artinya cewek itu bawa sial buat Abang."

"Kamu tau darimana?" tanya Ares dengan heran.

Bocah menggemaskan dengan jaket hitam itu menatap Ares dengan polos. "Abang Agung yang bilang."

Ares memutar kunci mobilnya dan keluar dari Area parkir, "Lain kali, kalau Bang Agung sama Rafi ke rumah kamu gak usah datang ya,"

"Lho? Kenapa? Abang ngusir aku? Sebegitu dangkalnya kah hubungan persaudaraan tidak sedarah kita?"

Ares buru-buru menoleh kesamping melihat Eza dengan wajah hampir menangis. "Bukan, mereka bawa pengaruh buruk buat kamu."

"Oh, gitu. Eza pikir di usir hehe."

Rafi dan Agung sudah pulang dari rumahnya, jadi, hanya bocah dengan pemikiran dewasa itulah Ares berada. Dia menginap lagi, bosan katanya, tidak tahu harus berbuat apa karena kedua orang tuanya sedang pergi.

"Kenapa benci banget sama Eca sih?"

Eza meletakkan sisi kiri kepalanya di kaca, "Dia nakal soalnya. Suka pipis sembarangan waktu umur tiga tahun, dia suka nyuri makanan aku, suka coretin buku aku terus dan rusakin robotan yang dikasih Papa waktu aku juara 1 di kelas 2."

Ares tersenyum maklum, itu sudah menjadi hal yang biasa dalam dua orang yang bersaudara. Tentu saja dulu ia dan saudaranya mengalami itu dan rasanya benar-benar membuat pitam naik.

Banyak kejadian yang terjadi diantara dua orang saudara yang diciptakan untuk dirindukan suatu hari nanti lalu menyadarkanmu betapa indah kenangan menyebalkan itu.

"Tetap sayang Eca kan?" tanya Ares dengan geli.

Ekspresi bocah itu berubah, ia mendelik, seperti tidak suka dengan pertanyaan itu. Kedua tangan mungilnya terlipat di depan dada. "Enggak. Aku nggak sayang Eca."

"Bener?" tanya Ares dengan nada jail.

Eza meliriknya sekilas, lalu menatap ke arah kaca, melihat jalanan yang tidak seramai sore hari. "Dikit. Ingat ya," Eza menoleh dengan mata tajam yang membuatnya nampak menggemaskan. "Aku sayang Eca cuma dikit. Dikit!"

Ares menoleh, menatap dengan tatapan mengejek. "Yakin cuma dikit?"

Kedua tangan Eza mengepal dan ia memukul paha satu kali. "Eca itu nyebelin, suka buat aku marah. Gimana aku bisa sayang kayak seorang kakak seharusnya jaga adiknya? Dia tuh..." ucapnya begitu gemas.

"Kenapa Eca?"

"Dia itu pokoknya ya cengeng, manja sama aku dan suka gigi tangan aku." Ucapnya dengan nada berapi-api "Dia itu kayak anak-anak yang gak bisa dewasa!"

What?!

Ares tertawa kecil, anak-anak yang gak bisa bersikap dewasa bagaimana ya? Mendengar pernyataan aneh itu ia tidak melawani Eza lagi. Apalagi melihat wajah galaknya jika membicarakan Eca.

Ah, padahal Ares amat sangat menyukai anak kecil yang manis itu. Sangat disayangkan jika Eza selalu marah-marah pada adik kecilnya itu.

"Itu udah biasa. Malah kalau punya saudara yang baik-baik itu gak seru." Ares mengangkat bahunya "Kayak flat aja gitu. Percaya atau enggak nih, dua saudara yang selalu berantem dan marahan akan selalu kesepian ketika salah satunya gak ada di dekatnya."

"Enggak ah," Eza mengambil minuman botol di dalam plastik putih di bangku belakang. "Malah aku merasa merdeka kalau dia gak ada. Kayak kebebasan yang dinanti telah datang. Mantep."

Mendengar ucapan Eza yang seperti orang dewasa membuat Ares hanya tertawa kecil. Mereka akan berbelok memasuki perumahan mereka ketika sebuah mobil tiba-tiba memotong jalan mobilnya. Ares mengerem mendadak.

Itu di lakukan dengan sengaja, sangat jelas, membuat Ares menggeram dan membuka pintu mobilnya. Menyuruh Eza agar tetap berada di dalam mobil.

"Are you fucking kidding me?" desis Ares sambil mengetuk kaca mobil itu, menampilkan remaja dengan kepala berbalut topi. "Tindakan lo tadi hampir menyebabkan kecelakaan!" Ucapnya berusaha sabar dan mengetuk kaca mobil itu.

"Sorry gue gak sengaja. Gue mabuk." Ucap orang itu dengan keras.

Mendengar itu, Ares tetap bersikeras mengetuk dengan keras dan akhirnya kaca itu terbuka dan Ares mundur beberapa langka ketika laki-laki itu membuka pintu mobilnya dan turun. Laki-laki itu berdiri tegap di hadapannya, membuka topinya.

Wajahnya terlihat tidak menyukai tatapan Ares yang melunak karena melihat dirinya. Sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya ketika melihat Ares tidak berkutik.

"Lo juga harusnya udah mati dari dulu." Ucapnya begitu dingin.

Ares melihat mata coklat itu. Jangan tanya seberapa sakit luka yang belum perih itu disentuh kembali. Rasa sakit yang membuat dirinya tidak bisa berkutik.

"Lo harusnya udah mati, Res. Ingat." Desis laki-laki berambut coklat itu. Sejenak, ia menyipitkan matanya dan menghela napas kasar lalu memasuki mobilnya.

Dan Ares, masih disana, memperhatikan mobil yang membawa laki-laki itu pergi dari hadapannya. Seolah datang hanya untuk mengorek lukanya dan pergi setelah tugasnya selesai.

***

Kenapa aku gemes sama Eza sih, kan aku jadi pengen peluk Ares!

1,5k vote dan 200 komentar untuk lanjut? Kalau dapat besok update hehe.

-Rose 🌹

Continue Reading

You'll Also Like

7.5M 521K 64
Dari sekian banyak gadis yang ingin menjadi kekasih CEO super sempurna, Savana bukan salah satunya. Dia hanya ingin menyelesaikan kuliah dengan baik...
1.7M 246K 50
[UPDATE SUKA-SUKA AJA] Cover by Nia Design Jika aku hanya diminta memilih salah satu antara bersamamu atau mencapai tujuanku Aku akan lebih memilih m...
516K 19.4K 33
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
724 186 32
-Mereka lupa, kalau syarat suatu hubungan itu saling menerima kekurangan- ---------------------------------------------------- Kisah klise tentang ci...