Elementbender

By sciamachy

295K 13.5K 529

Seorang pangeran amnesia, percobaan pembunuhan yang gagal, dunia yang sekarat, dan enam pengendali elemen sin... More

Pre-Prologue
Prologue
1.1: Lost Discovery
1.2: Tea Party of Gloom
1.3: Ame Matsuzaki
1.4: Snowfalls and Fire
2.1: Five Mundane Years Later
2.2: Portal of Mundanity
3: The Arrival
4.1: Job Openings
4.2: Livestream Dream
4.3: Job-applyings
5.1: The Illusionbender: Founded
5.2: The Illusionbender: Childhood Friend Founded
6: Absurd Evening
7.1: Midnight Noises
7.2: A (Not-So) Light Conversation
8.1: And Evaliot Crambles
8.2: Early Morning
9: Prince-hunting
10: The Lifebender: Founded
11: The Windbender: Founded
12.1: Evidence Gathered
12.2: Evidence Stolen
13: The Wedding Organizers
14: Preparations
15: Forgive Me, Princey
16.1: The Elementbenders: Founded
16.2: Gotcha!
17: Welcome to Elemental Realm
18: First Strike of Corruption
19. The Rule Has Changed
20: Angels with Sharp Weapons
21.1: Painting the Roses Red
21.3: Wonder Lea
22.1: Okuto
22.2: A Broken Statue of a Broken Bloke
23.1: Tea Party of Doom
23.2: Exhausted
25.1: The Lair of Arashi
25.2: Soldiers Mobilized
25.3: Wait What?
26: Gaelea Outskirt
27.1: A Little Snack
27.2: Broken Sanctuary
28: An Unpleasant Visit
29: We Thought You Were...
30: Pool of Paint, Fire, and Corpses
31: Retaliate!
32. Eradicate!
33: The Helpers
34: Medicament
35: The Origin of Elementbenders
36.1: Mindwasher
36.2: The Morning After
37: Puppetshow
38.1: Run! Watch Out!
38.2: Poisoned Arrows
39.1: ... No, They're Not.
39.2: Dangerous Sanctuary
40.1: Rotten Roots
40.2: His Little Servant
41: Her Loyal Servant
42.1: Think, Takumi, Think!
42.2: Paschalis Returns
43: The Puppet Master
44: Final Payback
45: The Rebirth of Sanctuary
46: First Spark of Hatred
47: Vidar
48: Disturbances
49: Leaving Vidar
50: Pyrrestia and Thievery
51: Hide
52.1: Searching Genma
52.2: The Town Square Tragedy
53: Tea and Accident
54: Bounderish Soldiers
55: Gang Battle
56.1: End of a Dead End
56.2: Hide's Mansion
57.1: North Shore
57.2: The Six Separationists
58: Cloudy Morning
59: Elegant is Weird
60: Golden-Clad Masquerade
61: Sugar-coated Lies
62: Someone Whom You Loved...
63.1: Mad Masquerade
63.2: A Fair Bargain, A Fair Play
64: Strugglers
65.1: Revelation
65.2: Neutralization
66.1: Final Shot
66.2: Wounded, Sane and Alive
67: On The Way To The Shore...
68: Swim, Little Prince, Swim!
69.1: Shoreals and Their Troubles
69.2: Seas and Bloods Shan't Mix
70: The Illusive Prince
71: Witches All Around Me!
72: Of Knives and Roses
73. Kill His Majesty, Kill His Illusion
74. The King Strikes Back
75: Undamarie
76: Heart and Lungs
77: Mad Symphony
78: Innocence Lost
79: Crimson Floors and Stone Basements
80: Wanted Alive
81: Cookie Clairvoyance
82: Mirror, Mirror on the Wall
83: Prelude to a Downfall
84: The Dark Ascent
85: Mourning on a New Day
87: Ruined Rendezvous
88: Obligatory Hallucinatory
89: A Gift of Guilt
90: Incognito
92: All You Can Eat...
93: Blood-Soaked Revelations
94: Face of a Goddess

91: Decadent Deluge

253 20 4
By sciamachy

[Maaf telat sehari! Saya bener-bener lupa posting kemarin...

With that said, nothing much happened here. The real 'boom' starts in next chapter.]

.

"Merunduk!" teriak Genma, di tengah desingan udara dan hujanan peluru. "Semuanya-merunduk!"

Tembakan demi tembakan pistol terdengar, dan keenam buronan tersebut tidak berani menoleh ke belakang. Sepasukan tentara elf tengah mengejar mereka. Teriakan marah, dengungan sayap serangga, jeritan kesakitan, aroma darah yang perlahan tercium....

Genma sendiri mempercepat laju terbangnya. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Pantai selanjutnya masih satu kilometer lagi, dan bertarung di atas permukaan laut-sambil membawa seorang pangeran tanpa sayap, terutama-hanya akan memperlambat gerak mereka. Di belakang, dirasakannya deru sayap teman-temannya mulai melambat. Genma menoleh ke belakang, gemas.

"Ayolah! Cepat!"

"K-kita bisa kurangi jumlah mereka!" balas Ayumi. Gadis itu sibuk mengatur busur biolanya sambil terus mengepakkan sayap; tangannya gemetaran begitu senar busurnya berubah menjadi bilah pisau.

Genma menoleh ke arah lain, dan melihat Rira tengah menyiagakan pistolnya dengan satu tangan. Sakura mulai mengekang tali cambuk barunya, sementara Higina menahan posisi kapaknya di depan dada, seperti tameng. Diliriknya ke bawah. Takumi masih tergantung-gantung di tangan Sakura dan Rira, kebingungan, tanpa apapun yang dapat melindungi dirinya sendiri. Digelengkannya kepala kuat-kuat.

"Kita cari tempat perhentian terdekat, baru serang," jawabnya tidak sabaran. Sayapnya nyaris terbakar karena terlalu bersemangat. Tinggal sebentar lagi. Ia tersenyum tipis. Sebentar lagi, setelah itu uji coba senjata baru kita.

Suara letusan terdengar, diikuti letusan berikutnya-tepat dari sebelah kirinya. Rira baru saja meledakkan tembakan pertama.

Peluru duri tersebut meleset. Sang pemuda listrik mendesis, kemudian mengokang pistolnya lagi. Tembakan kedua terdengar, diikuti ketiga-kali ini mengenai sayap seorang tentara. Pria tersebut kehilangan keseimbangan dengan sayapnya yang koyak. Sakura berbalik, meniupkan udara dingin ke arah tentara malang tersebut. Si pria elf langsung terhempas ke tengah laut.

Higina memekik begitu menyadari apa yang terjadi. "Awas di belakangmu...!"

"Kenapa-aah!"

Satu tembakan berikutnya, dan tubuh Sakura mendadak goyah. Sesuatu menghantam sayapnya. Gadis itu buru-buru menoleh, dan mendapati sebuah peluru telah melubangi sayap serangganya. Laju terbangnya melambat. Genggamannya pada sang pangeran melemah.

Para pengendali yang lain segera bertindak. Genma dengan sigap menangkap bahu sang gadis, sementara Ayumi menggantikan posisinya membawa Takumi bersama Rira. Higina bergabung bersama kedua temannya yang lain. Matanya menatap nyalang ke arah sepasukan tentara di belakang mereka.

"Kalian langsung ke Charonte, biar kita bertiga yang urus pasukan ini," serunya pada Ayumi dan Rira. Di bawah, nyaris menyentuh permukaan air, Takumi hanya menatap ketiganya dengan bingung. "Jaga sayap kalian, dan cepat terbang!"

"T-tapi kalau kita terpisah lagi, bagaimana?" tanya Ayumi gemetar.

Higina hanya menatapnya galak, meneriakkan "pergi!" tanpa kata-kata. Sang gadis ilusi menyerah.

Diawasinya kedua pengendali lain membawa sang pangeran pergi ke arah utara. Genma telah jauh meninggalkannya bersama Sakura, lebih mementingkan keselamatan gadis itu dibandingkan tentara-tentara di belakang mereka untuk sekarang. Higina tetap berada di tempatnya. Tangan menggenggam kapak perang tersebut kuat-kuat; seulas senyum tersungging di bibirnya.

"Hoooi! Kalian! Di sini!"

Sepasukan tentara tersebut mendekat. Sebutir peluru ditembakkan ke arahnya, yang dengan cepat ditangkisnya dengan bilah kapak. Mereka tidak ingin membunuhnya, ia tahu. Isi sayembara tersebut masih terekam jelas dalam ingatannya. Para pengendali seperti mereka harus ditangkap hidup-hidup, sementara Takumi-setidaknya dia aman sekarang.

Dengan sisa tenaga yang masih dimilikinya, Higina kembali terbang. Para tentara mengikuti. Jauh di depan mereka, terlihat Genma yang dengan susah payah memapah tubuh kurus Sakura-sayap gadis itu telah sepenuhnya berhenti mengepak. Sang pengendali kehidupan mempercepat lajunya. Ia terbang merendah, menghindari lebih banyak peluru.

"Hei, kau! Berhenti!"

Sebutir lagi peluru ditembakkan. Kaget, Higina refleks melirik ke arah kakinya. Tepat sasaran. Gadis itu mencengkeram senjatanya semakin erat, mati-matian menghalau rasa sakit yang dengan cepat menjalar ke seluruh tubuh. Duri penghisap darah, pikirnya, sementara ia mempercepat lajunya, menghampiri Genma dan Sakura. Aku harus turun. Tapi di mana?

.

Sang Madam baru pulang ke manor setelah lautan terang. Semalam suntuk, wanita itu sibuk mengurusi jalur patroli tentara, sekaligus melihat-lihat reruntuhan yang diakibatkan gempa laut kemarin. Sekaligus mencari energi air yang sempat dirasakannya di suatu tempat.

Dayang-dayangnya langsung menghampiri begitu ia masuk ke dalam kamar. Perawatan kuku, rambut, sirip punggung-apapun itu, ia terlalu lelah untuk memerhatikan. Segera dihempaskannya tubuh ke tempat tidur. Salah seorang dayang dengan telaten mulai melepaskan perhiasan yang dililitkan ke sekeliling ekor sang Madam.

"Jangan, jangan dilepas-tugasku masih banyak," usirnya pelan. Gadis tersebut menengadah. Segera dijauhinya ekor majikannya, dan beralih ke arah meja rias. Mengambil sarapan yang telah disiapkan.

"Anda... tidak mau tidur dulu, Nyonya?"

"Persetan soal tidur. Aku tidak mengantuk." Wanita itu tidak sepenuhnya jujur. Menjadi makhluk ilusi sebenarnya tidak jauh berbeda dengan makhluk biasa-masih ada keinginan sepele seperti makan, tidur, kasih sayang-hanya saja hal-hal tersebut berupa sugesti yang mengganggu, dan bukan kebutuhan yang mendesak. Ia yakin ia akan baik-baik saja tanpa tidur seharian sekali pun. "Siapkan anak-anakku di aula. Aku mau hiburan. Pelanggan kita juga masih menunggu."

Si dayang mengangguk. Ditaruhnya nampan makanan di samping tempat tidur, kemudian pamit pergi. Tidak lama kemudian, pelayan-pelayannya yang lain pun ikut pamit pula. Kini ia seorang diri.

Sang Madam masih terdiam di atas kasur. Tatapan menerawang; bibir merah merekahnya terbuka secelah. Dihelanya napas berat. Akan ada sesuatu yang terjadi hari ini, ia tahu itu.

Aku tidak mau mati sekarang.

Namun ia harus, cepat atau lambat-atau begitulah kata "ayah"-nya. Dirinya tidak lebih dari sebuah nyawa yang terperangkap di dalam mayat. Dapat ditarik "ke dalam cangkangnya" kapanpun sang Raja inginkan.

Setidaknya ia melakukan pelayanan terbaik bagi rakyat Muiridel. Para duyung menyukainya, dan beberapa orang yang masih mengingat pengendali air yang lama, berbalik membencinya. Ia meremajakan kota kuno ini dan mempercantik kawasan Fabula. Ia melindungi lingkar wilayah Muiridel dengan tentara, tebing, dan monster ilusi. Ia membangun Bellaroza karena itulah hal terbaik yang bisa ia pikirkan; memberikan kesempatan gadis-gadis itu untuk menghargai kecantikan mereka. Bahkan Mortimer pun tidak akan dapat berpikir sejauh ini.

Apapun untuk rakyatku, bukan?

Lamunannya terhenti oleh suara ketukan pintu. Sang Madam segera menegakkan punggung. Diteriakkannya "masuk!" dengan malas, kemudian kembali menghempaskan dirinya ke atas kasur.

Ternyata hanya seorang pelayan-yang membawa minuman dalam gelas tertutup dan sedotan. Salah satu dari sekian banyak kesulitan dalam menyiapkan minuman di bawah laut. Dianggukkannya kepala tidak sabaran begitu si pelayan menaruh gelas tersebut tepat di sebelah sarapannya, menyadari betapa konyolnya situasi ini-pelayan tersebut tidak akan pernah mengerti bahwa majikan barunya ini tidak butuh makanan. Untungnya, duyung tersebut segera pergi secepat kedatangannya.

Lois sadar siapa dirinya yang sejati. Hanya satu dari sekian banyak pion sang Raja-tidak jauh berbeda dari tentara patroli, pelayan, dan monster-monster sialannya yang lain. Ia bukan bagian dari semua ini; benci mengurusi masalah fana yang sama sekali tidak ada urusan dengannya. Senjata, lukisan, alat musik, cinta, orangtua.... Bukan apa-apa selain sampah.

Namun ia harus, mau tidak mau-atau begitulah kata "ayah"-nya. Direnggutnya gelas minuman tersebut dari atas nampan, meneguknya sampai habis. Setelah gadis itu mati, aku baru bisa istirahat, gerutunya dalam hati. Dia akan datang. Pasti datang. Kalau gempa laut tidak dapat menghentikannya, maka senjataku bisa.

.

Tabitha perlu menarik napas berulang kali begitu melihat keadaan aula manor.

Banyak sekali yang berubah. Terlalu banyak untuk dihitung, malah. Sang gadis air menelan ludah; matanya terpana menatap sekeliling ruangan. Lebih cantik, lebih berkilau, lebih... asing. Ia bisa merasakan kepanikan membuncah di dadanya.

Ini bukan rumahku.

Ruangan ini gelap, meskipun matahari pagi telah bersinar tinggi di atas lautan. Dengan hanya diterangi lampu conchella, tempat ini jadi mirip penjara bawah tanah-hanya saja lebih berwarna-warni. Para duyung mengerumuni tempat ini; mengobrol di dekat meja bar, berkumpul di sofa-sofa, atau sibuk mengamati panggung lingkaran besar di tengah ruangan. Para pelayan pria dan wanita berenang ke sana-ke mari, menyediakan minuman atau sekadar melayani candaan nakal dari salah satu pengunjung.

Tabitha menggigit bibir. Rasanya seperti pesta topeng di Pyrretraff dan rumah kasino Undamarie digabung jadi satu-gemerlap, mewah, sekaligus berbau alkohol.

Nozomu telah pergi entah ke mana, dan kini hanya ada Sonya di sebelahnya. Dirasakannya tangan gadis itu menepuk bahu telanjangnya pelan. "Ayo, Nona."

Mereka pun berenang maju. Rasanya canggung berenang dengan ekor palsu, tetapi sang pelayan dengan sabar menuntunnya hingga ke tengah aula. Mereka berhenti di dekat sebuah sofa kosong. Sonya menepuk bahunya lagi, berbisik.

"Sekarang nama Anda Aria, Nona." Kemudian, ia menambahkan, setelah berpikir-pikir. "Untuk jaga-jaga."

"Aria. Aneh."

"Lebih aman daripada memakai nama asli Anda."

Tabitha mengangkat bahu. "Apa duyung-duyung lain lupa denganku?"

Sonya terdiam sesaat. "Entahlah, Nona." Ditatapnya beberapa duyung yang berkumpul di dekat panggung lingkaran. "Saya... tidak berani bertanya soal itu."

Obrolan kecil mereka terpaksa berhenti oleh suara terompet dari arah orkes musik. Seisi ruangan mendadak terdiam, sementara Sonya refleks berenang mundur; bagian belakang ekornya menabrak sofa di sebelahnya. Tabitha menegang.

Suhu air di sekeliling mereka bertambah dingin bersamaan dengan datangnya sang Madam ke aula manor. Wanita itu diiringi sejumlah pelayan; semuanya berpakaian mirip dengan Sonya. Confetti pecahan kerang ditaburkan di atas karpet tempat sang Madam berenang masuk. Kehadirannya membuat setiap makhluk di sana termangu, terpana-semua, kecuali Tabitha.

Sang Madam sendiri datang dengan penampilan yang mampu memesona siapapun yang melihatnya. Gaun putihnya menerawang, berkibar-kibar di sekeliling tubuhnya seperti sepasang sayap transparan. Ekornya dihiasi untaian mutiara dari pangkal sampai ujung. Wajahnya mulus, cemerlang, tanpa kerutan maupun ruam gelap. Lipstik berkilaunya senada dengan rambutnya, yang bergelombang dan sewarna madu keemasan. Tabitha menatap bayangannya sendiri di meja bar di kejauhan. Seolah ada sesuatu yang menghantam dadanya keras-keras. Ia terlihat... aneh.

"Para pengunjung yang tercinta," sang Madam memulai bicara. Bahkan suaranya pun terdengar merdu-meskipun mungkin tidak semerdu Ayumi. Ia penasaran apa sang pengendali air perusak juga biasa bernyanyi di atas panggung itu. "Hari ini kita berjumpa lagi-di Bellaroza yang menawan, seperti biasa. Kenapa diam?" Wanita itu tersenyum menggoda. "Silahkan, silahkan! Nikmati malam-maksudku pagi-ini hingga fajar menjemput. Gadis-gadis kami selalu siap melayani segala kebutuhan Anda. Tapi... ingat. Bagi siapapun yang... menyalahgunakan para pelayan Bellaroza, akan diberi hukuman yang setimpal. Kalian masih ingat siapa aku, bukan?"

Pemimpin Muiridel yang baru. Tentu saja.

Para duyung-yang sebagian besar laki-laki-bertepuk tangan riuh, dan Tabitha terhenyak. Rasanya senang melihat sang Madam masih memerhatikan kehidupan orang-orang kecil seperti pelayan bahkan di rumah pelacuran, tetapi tetap ada yang salah. Seolah ada arti lain di balik perkataannya, entah apa itu. Tabitha menoleh ke sebelahnya, hendak membisikkan sesuatu pada sang pelayan. Namun, belum sempat ia membuka mulut, gadis itu telah menghilang.

"S-Sonya?"

Sang gadis air terpaksa mendudukkan dirinya di atas sofa. Apa pelayan tersebut menjebaknya? Bagaimana ia bisa yakin dia Sonya yang asli, lagipula?

.

Sempurna.

Lois menghela napas dalam-dalam. Ruangan ini dipenuhi aroma parfum, alkohol, dan bau tubuh duyung yang telah amat dikenalnya. Ada sesuatu yang berputar-putar di otaknya; segulungan awan gelap. Sekarang saatnya pesta.

Jangan salah-bukannya ia menikmati semua ini. Nafsu makhluk-makhluk rendahan seperti duyung sama sekali bukan urusannya. Namun memang inilah tugasnya; memberikan yang terbaik bagi rakyat. Kepuasan bagi orang kaya dan uang bagi yang miskin.

Sejauh ini, menurutnya, semua pihak menang.

Ruangan ini seolah berayun-ayun di sekelilingnya. Sang Madam tidak peduli. Tentu ini bukan efek alkohol-ia belum pernah menenggak minuman memabukkan itu seumur hidupnya. Alkohol bisa mengacaukan indranya, kata sang raja. Dan ia bukan anak pembangkang. Lakukan saja apa yang disuruh Denki dan setelah itu sudah. Ia tersenyum puas.

Menuruni panggung tersebut, ia dihadang oleh salah seorang gadisnya yang paling tua. Lois berdecak. "Anya-Soleil. Ada apa lagi?"

Gadis yang ia panggil Anya-Soleil tersebut menunduk dalam-dalam. "Ny-Nyonya, saya sudah bawakan... pengganti saya."

Oh. Sang Madam tersenyum simpul. Ia tidak terlalu peduli, sebenarnya-ucapannya kemarin hanya basa-basi belaka. Namun kekurangan personil memang merupakan salah satu masalah Bellaroza. "Bagus kalau begitu. Di mana dia? Berapa umurnya?"

"Eh... s-sama dengan saya."

"Sayang. Seharusnya kau bawa yang lebih muda. Kau punya adik, 'kan, Anya? Siapa itu namanya?"

Gadis di hadapannya mengernyit sesaat. "Tapi, Nyonya.... Dia baru tujuh tahun."

Lois menghela napas. Para pelayannya memang bebal kadang-kadang. "Justru lebih bagus begitu. Di mana dia?"

Anya-Soleil membawanya menuju area pengunjung. Satu-dua pria menunduk hormat begitu melihatnya, yang hanya dibalas senyum tipis dari sang Madam. Jauh di sebelah sana, para pria di meja bar menghentikan obrolan mereka demi melihat sosok sang Madam lebih jelas. Ia telah terbiasa dengan semua ini. Pria yang telah bertekuk lutut dapat dengan mudah dijadikan tentara patroli... atau bahan untuk monster ilusinya.

Akhirnya, mereka berhenti di hadapan seorang wanita asing. Anya-Soleil berenang mendekati wanita itu dan membisikkan sesuatu kepadanya. Lois menyipitkan mata, menatap si orang asing dengan teliti. Ada sesuatu yang menggelitiknya akan wanita ini.

"Siapa namamu, Nak?"

"Aria."

"Hanya 'Aria'?"

"... Apakah nama Anda hanya 'Lois', Nyonya?"

Lois tersenyum lebar. Gadis itu ada benarnya juga. "Cerdas. Dari mana kau tahu nama asliku?"

"Sonya yang bilang."

Di sudut matanya, dilihatnya Anya-Soleil mengerut sesaat, tetapi sang Madam tidak peduli. Anak itu memang terlalu paranoid. "Ikut aku sebentar. Biar kuajak kau jalan-jalan; setelah itu kau bisa langsung tugas." Dengan agak paksa, ditariknya tangan Aria mendekat. "Sekalian cari pakaian bagus buatmu. Kain rombeng itu tidak pantas dilihat pelanggan paling miskin sekali pun."

Menghindari kerumunan pengunjung dan pelayan, mereka melintasi aula menuju ruang belakang; ekor sang Madam membelah lautan dengan leluasa. Aria agak lambat dalam urusan berenang. Apa dia cacat? Tidak banyak yang menginginkan gadis cacat akhir-akhir ini, tetapi mungkin dia akan ada gunanya juga nanti. Mereka berbelok ke arah sayap barat manor, menuju koridor panjang yang menghubungkan antara aula dengan kamar para pelayan. Tidak ada yang berbicara selama perjalanan.

Setidaknya, sampai Aria memecah keheningan dengan terbatuk-batuk.

"Maaf, aku... ketinggalan sesuatu di aula tadi."

Sang Lois berbalik, menatap gadis tersebut dengan waspada. Diliriknya saku gaun sang gadis yang menggembung. "Kau ketinggalan apa?"

Karena, kalau ada yang lebih dibenci Lois daripada urusan makhluk rendahan-berpura-pura menghormati padahal benci setengah mati-itu adalah basa-basi yang palsu.

"Eh..., dompetku. Tunggu sebentar."

Diperhatikannya Aria yang berbalik meninggalkan koridor, kembali menuju hingar-bingar aula manor. Sang Madam menyipitkan matanya. Ia baru menyadarinya sekarang, tetapi cara berenang gadis itu memang aneh. Seperti duyung balita yang baru belajar berenang. Dan apa pula itu-jubah di bawah laut? Dia lebih mirip pesulap murahan dibanding gadis penghibur. Sambil mendecak keras, dipercepatnya laju renangnya menuju kamar pelayan. Hilang sudah keinginannya untuk berbaik-baik dengan sang gadis baru. Sekarang, yang diinginkannya hanya pesta sungguhan.

"Anak-anak! Keluar sekarang!" teriaknya begitu sampai di ambang kamar. Segala macam suara terdengar dari dalam-campuran gerutuan, tangis, dan erangan enggan-ia tidak peduli. "Saatnya pentas. Jangan buat aku malu!"

.

"Sekarang... apa lagi?"

Higina melirik bingung ke arah Sakura, yang gantian melotot kesal pada Genma, yang hanya menatap sepasukan tentara di hadapan mereka dengan waspada. Mereka kini telah mendarat di salah satu pantai terdekat. Tentara-tentara tersebut ikut mendarat-tentu saja-tetapi pistol-pistol dan senapan angin yang mereka bawa sama sekali tidak mendukung niat mereka untuk "membawa para buronan kerajaan hidup-hidup". Sejauh yang ia tahu, sang raja mungkin tidak akan menolak kalau diberi jasad para pengendali elemen yang masih segar.

Yang, Genma bersumpah, tidak akan pernah terjadi.

"Kami hanya ingin membawa kalian hidup-hidup," kata sang komandan pasukan. Sakura memutar matanya. Tuh, 'kan. "Menyerah, dan tidak ada satu pun di antara kalian yang akan kami lukai."

"Masalahnya, Tuan-tuan, kita lebih baik dilukai daripada dibawa ke hadapan Denki," sela Genma sambil menyiagakan senjatanya. Ditatapnya sang komandan pasukan dengan heran. "Lagipula buat apa kalian patuh dengan Raja? Bukannya para elf lebih setia dengan pemimpin Etheres? Sakura-"

"Synthetic Elf sudah mati," potong salah seorang tentara. Sang pemuda api menyipit. Ia bisa melihat pisau tersembunyi di tangan kirinya. "Kami mengikuti aturan Raja Denki karena beliaulah satu-satunya yang memiliki kekuasaan di atasnya. Itu namanya logika, Nak."

Mendengar nama sang pengendali angin perusak disebut-sebut, Sakura meradang. Diacungkannya cambuk barunya ke depan hidung sang komandan. Si pria elf menjauh. Bukan karena cambuk tersebut, melainkan karena angin dingin yang tiba-tiba merasuk.

"Siapa yang suruh kalian patroli di sini?" tanyanya tajam.

Sang komandan tidak menjawab. Masuk akal, mengingat angin yang berhembus keluar dari pori-pori tubuh gadis di hadapannya ini mulai terasa seperti angin ribut. Sakura masih menahan cambuk tersebut di hadapan hidungnya. Ia bisa mengayunkannya kapanpun ia mau.

Namun, seorang tentara lain yang kemudian menjawab.

"Pangeran Hajime Norio."

Sakura menurunkan cambuknya. Genma dan Higina bertukar pandang, keheranan. Mendengar sebuah nama asing disandingkan dengan titel pangeran bukanlah hal yang mereka duga sebelumnya.

"Kalian bohong," sang gadis angin menukas. Diuraikannya cambuk tersebut, bersiap menyabetkannya ke wajah sang komandan. "Aku tahu Denki-sama-dia tidak punya anak. Apalagi anak yang telah cukup dewasa untuk memerintahkan patroli dan sebuah sayembara sialan!"

Sang komandan bergerak mundur. Dikeluarkannya senjatanya sendiri-sebilah belati bergerigi. Sambil menatap Sakura dengan liar, ia membalas. "Waktu ngobrolnya sudah habis. Teman-teman, ringkus mereka!"

.

Kalau ada makhluk yang paling "mengerti" kondisi hati Takumi saat ini, maka makhluk tersebut adalah Metsuki. Kucing tersebut terus mengeong sedari tadi. Teriakan rewelnya benar-benar menyayat hati.

... Alias benar-benar mengganggu.

"Meeeeeooooong," gerutu Metsuki. Kucing itu bahkan mencakar pundak sang gadis ilusi demi menyatakan kekesalannya. Ayumi mengernyit, antara gemas sekaligus ngeri.

"Benar kata Metsuki!" teriak Takumi asal-asalan. "Kita bisa turun sebentar, 'kan? Tanganku pegal, nih!" Dan bukan hanya itu saja. Berada di udara terus-menerus membuatnya mual. Diliriknya pemandangan lautan biru di bawah sana..., dan cepat-cepat melirik ke atas lagi. Demi dewa apapun yang ada di dunia elemen, jangan jatuhkan aku, pintanya dalam hati. Mampus aku kalau sampai jatuh.

"Sebentar lagi," balas Rira datar. Sambil menarik tangan Takumi lebih keras, pemuda tersebut berbelok ke sebelah timur laut. Ayumi mengikuti. Sang pangeran hanya dapat bergelantungan pasrah di tengah-tengahnya, tidak tahu harus berbuat apa.

Mereka melanjutkan perjalanan dalam sunyi. Hanya sesekali gerungan kesal Metsuki yang mengisi keheningan, dan kicauan burung pagi yang sesekali melintas. Takumi kini memutuskan untuk menutup mata. Seberapa jauh lagi Charonte-atau apapun namanya itu-dari sini? Ia berpikir. Benaknya berputar, mencoba mencari apapun tentang Charonte di antara segudang memori berantakannya. Tidak ada apapun. Mungkin Pangeran Takumi yang dulu tidak suka mengunjungi para pengendali listrik.

Akhirnya, ia bisa merasakan laju terbang Rira dan Ayumi melambat-meskipun pemuda itu masih terlalu waspada untuk membuka mata. Aroma pinus, tanah, dan dinginnya pegunungan mulai tercium di udara. Tebing Charonte telah ada di hadapan mereka.

"T-Takumi?" Itu suara Ayumi. Bersamaan dengan gadis itu, Takumi merasakan sensasi tanah di kakinya-mereka telah mendarat di sebuah dataran lunak. "Sudah... sampai."

Sang pangeran membuka matanya dengan enggan. Apa yang dilihatnya kemudian... membuatnya kecewa.

Mereka berada di bagian kaki bukit Charonte. Tebing tinggi yang seolah muncul dari bawah laut tersebut kini menjulang di hadapannya-bagian bawahnya ditutupi bebatuan terjal, sementara puncaknya ditumbuhi pepohonan pinus yang jangkung. Jauh di atas mereka, sebuah kastil batu berdiri kukuh. Mirip rumah drakula yang sering ia lihat di film-film horor musim panas, hanya saja lebih... aneh.

Entah Takumi yang salah lihat, atau ia benar-benar melihat tongkat penangkal listrik raksasa di puncak kastil tersebut.

"Kenapa kita tidak langsung ke puncaknya?" tanyanya pada Rira, kembali teringat soal masalah nomor satunya-tidak bisa terbang. Sang pemuda listrik hanya menatapnya sekilas. Ditangkapnya si kecil Metsuki yang dengan lihai langsung melompat kembali ke pelukan sang majikan, dan menjawab.

"Kau sendiri yang mau kita turun."

"Bukan-argh, bukan itu maksudku!"

Dialihkannya perhatian pada Ayumi, meminta dukungan-tetapi gadis itu justru mengangkat bahu. "Kita belum tahu di sana ada pasukan juga atau tidak. Lebih baik... jaga-jaga," katanya pelan.

Takumi menghela napas pasrah. Ditatapnya tebing tinggi Charonte sekali lagi. Kapan-kapan, pikirnya gusar, aku tidak akan minta apapun dari mereka lagi.

Continue Reading

You'll Also Like

162K 15.8K 27
Karel terjebak dalam sebuah novel remaja dan harus memerankan sosok penjahat berusia 18 tahun. Namun, ia merasa bersyukur karena karakter penjahat ya...
152K 769 8
nina and papa (21+)
974K 105K 62
(๐’๐ž๐ซ๐ข๐ž๐ฌ ๐“๐ซ๐š๐ง๐ฌ๐ฆ๐ข๐ ๐ซ๐š๐ฌ๐ข ๐Ÿ’) โš  (PART KE ACAK!) ๐˜Š๐˜ฐ๐˜ท๐˜ฆ๐˜ณ ๐˜ฃ๐˜บ ๐˜ธ๐˜ช๐˜ฅ๐˜บ๐˜ข๐˜ธ๐˜ข๐˜ต๐˜ช0506 า“แดสŸสŸแดแดก แด…แด€สœแดœสŸแดœ แด€แด‹แดœษด แด˜แดแด›แด€ ษชษดษช แดœษดแด›แดœแด‹ แดแด‡ษดแด…แดœแด‹แดœษดษข แดŠแด€...
2.8M 225K 44
Kalisa sungguh tidak mengerti, seingatnya dia sedang merebahkan tubuhnya usai asam lambung menyerang. Namun ketika di pagi hari dia membuka mata, buk...