Only Hope

Oleh Camilaaz_

48.3K 5.1K 2.7K

"Bisakah aku menjadi - KAMU- untukmu? Sebagai orang pertama yang menjadi maksud pikiranmu." Kalimat itu, ada... Lebih Banyak

Prolog
The beginning-part 1
Story of class- part 2
Why- part 3
Picture??- part 4
Last MPLS!- part 5
Begin!- part 6
Choice- part 7
Miss him!-part 8
Good news- part 9
Line!-part 10
Him-part 11
Meet- part 12
The place- part 13
Really?- part 14
About you- Part 15
Run- part 16
A beautiful day -part 17
Fake- part 18
Telling the truth- part 19
Free- part 20
Miscommunications- part 21
Lockers - part 22
Modus- part 23
First greet- part 24
Again - part 25
Prepare - part 26
Miracle - part 27
Thank you - part 28
Lucky day - part 29
Change (1) - part 30
Change (2) - part 31
Peka? - Part 32
Almost - Part 33
A Problem - Part 34
Letter - Part 35
Mean - Part 36
Focus- Part 37
This's Over? - Part 38
Wrong Opinion - Part 39
For Reset - Part 40

Part 41

1.3K 69 27
Oleh Camilaaz_

Alunan musik senam kebugaran jasmani terdengar menggema di lapangan utama, titik pusat dari SMA Mahadibya.

Seluruh siswa, tidak terkecuali para guru berbaris rapi membentuk tatanan layaknya sikap siap untuk bersenam.

"Rentangkan tangan dan mari kobarkan semangat masa muda yang kalian punya!" teriak sang instruktur, yang tidak lain adalah guru olahraga kami, Pak Bambang.

Para siswa bergemuruh ria, menjawab dengan semangat apa yang dicetuskan olehnya.

Setelah menikmati seruan para anak didiknya, Pak Bambang segera mengeraskan volume speaker sampai membuat semangat siswa semakin berkobar untuk bergoyang.

"1, 2," Pak Bambang menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, untuk memulai gerakan kegiatan baru di jumat pagi ini.

Senam yang dilakukan semua penghuni SMA Mahadibya sekarang ini, adalah awal dari rangkaian ide kepala sekolah yang baru saja menerima jabatannya kira-kira sekitar 30 hari yang lalu.

Sebagai kepala sekolah baru, ia sangat bersemangat meng-uprage kegiatan yang akan menjadi rutinitas kami selanjutnya.

Ia memadatkan waktu belajar kami dari pukul 7 pagi hingga 5 sore, pada hari senin sampai kamis. Yang berarti membuat kami terperangkap lebih lama di balik jeruji besi pagar sekolah, hm.

Tapi disamping itu, ia menyingkirkan PR yang mana menjadi beban besar sejak kami mulai menyandang gelar sebagai seorang pelajar.

"Tidak ada tugas untuk kalian kerjakan di rumah karena Bapak juga tidak suka tugas rumah." kira-kira begitulah untaian kalimat yang diucapkan Pak Rusly si pejuang kebebasan kami yang baru. Yots!

Tidak sampai disitu, hari jumat pun ia jadikan hari kebebasan dan pengembangan minat untuk para siswa.

15 menit sudah berlalu, senam ini hanyalah pemanasan untuk kami. Kegiatan inti dari hari jumat ini adalah lari pagi mengelilingi wilayah disekitar sekolah yang jaraknya kurasa cukup untuk menguras keringatku.

Tetapi tidak masalah karena ini menyenangkan.

"Dilarang memotong jalan, apalagi memakai kendaraan! Kalau ada yang seperti itu, Bapak tidak segan untuk menghukum kalian." kata Pak Bambang dengan tegas.

Kami semua menjawab mengerti.

"Dan kalian juga tidak boleh berjalan! Kalian harus berlari." lanjutnya yang membuat para siswa merasa terkejut, termasuk aku.

"Loh, kenapa Pak? Kan cape kalo lari terus." teriak salah satu dari kami.

"Karena ini adalah penilaian awal dari nilai olahraga kalian." ucapnya dengan tersenyum, "semua guru olahraga akan setia menunggu kalian dengan stopwatch yang mereka pegang, jadi jangan sampai jadi yang terakhir, ya!"

Bisa kulihat, semua guru olahraga sekarang tersenyum jahat ke arah kami.

Shit.

Detik selanjutnya, gerbang sekolah dibuka, seluruh siswa segera berbondong-bondong lari dengan sekuat tenaga.

Pemandangannya sudah tercerai-berai, tidak ada barisan sesuai kelas yang terlihat seperti biasa.

Mereka sangat perduli dengan nilainya.

"Eh tungguin gue," ujarku pada teman sekelas yang baru saja menyalipku.

"Cepetan, Kei, gue nggak mau jadi yang terakhir." jawabnya lalu lari meninggalkanku.

Aku memandangnya dengan pasrah, lalu memperlambat lariku. Rasanya tulang-tulangku ingin patah karena aku berlari sekuat tenaga sejak awal tadi.

Daripada jatuh pingsan jika aku terus berlari, akupun memilih duduk tergeletak di aspal tanpa memikirkan stopwatch yang terus berputar disana.

*

"Vel, Vel, mau itu...,"

"Ih, ini punya gue."

"Tapi gue mau yang itu. Vel, cepet rasanya gue kayak mau mati, nih!"

"Nggak mau!"

"Velll."

"Ish! Yaudah nih."

Aku menenggak segelas jus jeruk yang baru saja kurampas dari Vela. Dengan sekali tegukan aku menghabiskan jus itu tanpa memperdulikan wajah Vela yang mulai memerah.

"Eh anjir! Kok diabisin, sih! Gue minum apa jadinya?" keluhnya saat melihat gelas yang kupegang sudah kosong.

Aku meringis ke arahnya, "Sorry, abisnya jus jeruk lebih seger, hehe."

"Yaudah, sekarang lo cepet pesenin jus jeruk lagi buat gue!"

"Yaelah Vel, lo tega banget sama gue. Tulang gue ini rasanya udah remuk semua tau, gue udah nggak kuat jalan." jawabku dengan menatapnya sedih.

"Lebay. Semua orang juga lari tau!" cetusnya lalu mengabaikanku.

"Itu minum aja jus alpukat gue sebagai gantinya."

"Gue nggak like!"

"Ih, yaudah gue minum juga yang ini."

Aku pun bergegas ingin mengambil gelas yang sedari awal tepat di depanku, tetapi dengan cepat Vela menahan tanganku.

Disitu kami saling melotot dengan tangan yang berebut untuk mencapai gagang gelas.

Tapi akhirnya Vela berhasil mengalahkanku dan meneguk habis jus alpukatku.

"Gue juga haus kali!" katanya sembari membersihkan sisa cairan di sekitar bibirnya.

Aku hanya mendecak geleng-geleng melihatnya.

Waktu pun terus berlalu, olahraga pagi ini memang cukup menguras tenaga sehingga aku dan Vela tetap berada di kantin sampai hampir satu jam.

Bergurau dan terus melahap makanan ringan sambil sesekali bergaya seperti Kakak kelas penguasa kantin lah yang kami lakukan, hehe.

"Vel, itu ade kelas imut banget anjir," ujarku sembari menyenggol lengan Vela.

"Mana, mana?" saut Vela yang langsung sigap melihat.

"Itu di bakso Bang Acung."

Vela menyipitkan matanya, "Aish merinding gue,"

"Lah kenapa?"

"Cantik banget anjir, kulitnya mulus, hidungnya mancung, matanya berkilau. Ngerasa gagal gue jadi cewek,"

Tawaku membeludak melihat Vela yang tengah meraba seluruh wajahnya, kini dia terlihat sangat frustasi.

"Cowok aja cantik gitu, apalagi yang ceweknya?" ujarnya, "status jomblo gue kayaknya jadi semakin abadi elah!" lanjutnya lagi.

Aku tidak bisa menahan tawaku lagi, sekarang seluruh kantin pun melihat ke arah kami.

Vela membekap mulutku, lalu perlahan tawaku pun mulai mereda.

"Tenang, gue juga jomblo, jangan frustasi sendiri dong." ucapku sembari menaik turunkan alisku.

"Lo emang jomblo. Tapi lo kan punya Kak Albyan sama Dio, tinggal lo pilih deh siapa yang mau lo takenin." katanya lagi.

"Danta lo, Vel! Emang segampang itu?" jawabku kemudian.

"Gampang! Mau gue bantuin? Sekarang juga lo bisa taken sama salah satu dari mereka."

Aku memandang Vela risih.

"Nih, lo tinggal jawab iya, ya!"

Belom sempat aku menyetujuinya, Vela tiba-tiba teriak dan melambaikan tangannya, "DIO!" teriaknya dengan keras.

Aku terkejut dan langsung melihat ke arah depan, ternyata Dio sedang bergegas jalan ke arah kami.

"Lo mau ngapain anjir?!" tanyaku panik.

"Ssttt. Diem aja, deh." jawabnya santai.

"Hey, whats up girls?" sapa Dio yang langsung duduk dihadapanku.

"Di, lo kan kemaren kalah taruhan sama gue, jadi lo harus turutin perintah gue!" kata Vela dengan yakin.

"Taruhan apaan lagi?" tanyanya yang tengah asik menggeratak makanan kami.

"Moto Gp. Yang jadi juara dunia jagoan gue bro." ujarnya dengan senyum sombong.

"Emang iya? Gue nggak ngerasa jagoan gue kalah tuh." jawab Dio dengan santai.

"Bodo ya! Gue nggak terima alasan, lo harus turutin perintah gue." kata Vela tegas.

"Iya Bu Velaaa, apa perintahnya?" jawab Dio sembari cengengesan.

"Coba lo tembak dia sekarang!" titah Vela sembari menunjuk dan tersenyum puas ke arahku.

Tettttttttt.

Waktu berhenti seketika. Aku dan Dio saling menatap dengan mata yang bulat membesar.

"Ayo, cepet!" ucap Vela lagi.

"T-tembak? Siapa yang nembak siapa?" tanya Dio dengan wajah blank nya.

"Ya, lo yang nembak dan Keira yang ditembak. Masa iya gitu aja nggak ngerti?" jawab Vela seperti menganggap enteng pernyataannya.

"Apaan sih lo Vel?" cetusku yang dihiraukannya.

Suasananya menjadi awkward, Dio menghela napas sambil memperbaiki posisi duduknya lalu tawanya pun mulai keluar.

"Haha bercanda aja lo, Vel. Udah cepet kasih gue perintah yang masuk akal," kata Dio dengan tertawa garing.

"Loh, lo pikir perintah gue ini nggak masuk akal?" Vela menggeleng-gelengkan kepalanya, "Ckckck, parah Kei lo dianggap nggak masuk akal berarti." lanjutnya sembari melirik aku dan Dio secara bergantian.

"Eh, b-bukan gitu maksud gue. Maksudnya tuh---"

"Yaudah kalo gitu tembak Keira sekarang!" sela Vela dengan cepat.

"Stop." aku membekap mulut Vela lalu memaksanya berdiri.

"Sorry Di, ini anak emang lagi nggak waras, otaknya panas gara-gara liat cowok cantik, jadi omongannya ngelantur, sorry ya sorry...." ucapku sembari menarik paksa Vela untuk menjauh dari Dio.

"Ih mau kemana? Gue belom selesai," tolaknya dengan menahan tanganku yang berusaha menyeretnya.

Aku melotot padanya, "Lo gila!" tuntasku lalu secepat mungkin menarik Vela dengan sekuat tenaga.

*

"Aaaa, udah Kei, udah jauh." keluh Vela karena dirinya yang terus ditarik olehku.

"Nggak mau! Masih kurang jauh." ujarku menghiraukan rengekannya.

"Aw!" aku tersentak saat merasakan tanganku yang berdenyut nyeri.

Aku menatap tajam Vela yang baru saja menggigit tanganku dengan cepat.

"Ih jorok! Sakit tau!" ujarku kesal.

Sedangkan Vela hanya terkekeh seenaknya.

Aku berdecak lalu berjalan mendahuluinya.

"Keira kenapa? Keira ngambek ya, sama Vela?" ujarnya sok imut.

Aku memandangnya sinis, "Lo gila tau gak! Bisa-bisanya ya lo nyuruh orang nembak gue seenaknya."

"Loh kenapa? Itu kan bisa membantu memperpendek usia kejombloan lo, Kei." jawabnya dengan terkekeh.

"Ihs! Nggak gitu juga kali, Vel. Lo bikin gue sport jantung tau gak?!"

"Haha sama Dio aja lo udah sport jantung, apalagi sama Ka Albyan?"

"Eiyyy. Kecilin suara lo, anjir!" ucapku panik karena ada beberapa siswi yang mulai melirik ke arah kami.

Sudah dipastikan itu karena 'merk cogan' yang Vela sebutkan tadi.

"Hm, gue penasaran," ujarnya sembari menyipitkan mata.

"Penasaran apa?"

Vela mendekatkan wajahnya padaku, "Kalo itu terjadi, lo bakal nyeret gue lagi atau malah diam dan nunggu respon Ka Albyan sepenuhnya." bisiknya di telingaku.

"Emang lo berani kalo sama Ka Albyan? Hah?"

"Weitss, lo ngeraguin keberanian gue, nih?"

Aku mengendikkan bahu seraya memberi ekspresi meledeknya.

Karena aku percaya Vela tidak akan berani dengan Ka Albyan.

"Hm, oke!" Vela mengalihkan pandangannya ke segala arah, "Ketemu!" ucapnya kemudian.

Aku mengikuti arah pandangnya.

Oh no! Itu Ka Albyan.

Vela menaik turunkan alisnya, "Ready?"

Aku menggeleng-gelengkan kepala sembari menyatukan tangan untuk menghentikan niatnya.

"Go!" ucapnya lalu berlari secepat kilat. "Ka Albyan!"

Gila. Vela beneran gila.

Vela mempercepat larinya dan di ujung sana aku melihat Ka Albyan yang mulai memasuki ruang kelas.

"VEL GUE MINTA AMPUN!" teriakku kencang, bisa kulihat dia hanya terkekeh tanpa memperlambat larinya sedikitpun.

Akhirnya setelah beberapa meter aku mengejarnya, Vela pun berhasil ku tangkap. Tepat saat dia berbelok ke dalam kelas yang dimasuki Ka Albyan.

"Ah! Ketangkep juga kan lo!" ucapku sembari mengatur napas yang tidak beraturan.

"Eum, Kei, gimana kalo sekarang lo lepasin gue, nanti kita ketemu diluar aja ya." ujarnya pelan.

"Gak! Kalo gue pergi, nanti lo pas--" aku sejenak menghentikan kalimatku, "Vel, l-lo ngapain kesini?" bisikku karena sudah kurasakan seluruh tubuhku bergetar hebat.

"Gue kira masih sepi," ujar Vela sembari tersenyum pada setiap pasang mata yang tertuju pada kami. "pergi cepet sana, mumpung belum malu-malu amat." lanjutnya disertai dorongan kecil kepadaku.

Aku mengangguk seraya menelan salivaku. Pasalnya ini terlalu memalukan, berdiri di tengah sekumpulan anak OSIS dan MPK dengan berbagai tingkat kelas yang sekarang sedang memandang bingung keberadaan kami di sini. Oh tidak, mungkin hanya aku yang mereka bingungkan di sini.

"Hm, kalo udah kumpul semua, bisa kita mulai rapatnya?" ujar Ka Rama selaku ketua OSIS.

Mendengar itu, aku semakin sadar bahwa ini bukanlah tempat dimana aku harus berada.

"Tolong semuanya duduk, yang tidak berkeperluan silahkan keluar."

Anjir nyindir!

Vela pun bergegas menuju tempat duduknya dan aku segera berbalik keluar dengan tergesa-gesa.

*

Di sepanjang perjalanan aku terus menutup wajahku berkali-kali. Rasanya sensasi dari aura di dalam kelas tadi masih menyelimuti seluruh tubuhku.

Oh tuhan, itu terlalu memalukan.

Aku menggeleng-gelengkan kepala berharap rasa itu menghilang tapi hasilnya tetap saja nihil.

Wait. By the way, tadi aku melihat Ka Albyan yang duduk di samping Ka Rama, tapi dia sama sekali tidak melihat ke arahku, dia hanya fokus pada kamera yang di pegangnya.

Entah dia terlalu fokus atau memang tidak perduli.

"Keira!" panggilan itu membuat khayalanku buyar seketika.

"Ya?" jawabku asal, selanjutnya aku mencari siapa pemanggilnya.

Oh Aurel.

Aku menghampiri Aurel yang sedang berada di pinggir lapangan.

"Lo sini dong, di dalem kelas mulu mentang-mentang anak unggulan nih." ujarnya sembari tertawa kecil.

"Yeee, gue sering keluar kali, lo nya aja yang nggak liat gue." jawabku kemudian.

"Hm, iya kali ya," katanya seraya memperlihatkan deretan gigi putihnya.

Detik selanjutnya pandanganku teralihkan pada pertandingan basket yang sedang berlangsung di lapangan.

"NIKENNN ... VITAAA ... SEMANGAT!" teriak Aurel yang kencangnya melebihi toa masjid.

Aku menyipitkan mataku seraya mencari Niken dan Vita.

"Loh, ini pertandingan antar kelas?" tanyaku saat menyadari mereka memakai rompi pemain yang berbeda.

Aurel mengangguk, "Iya, seru deh, daritadi gue aja bingung mau dukung yang mana, tapi akhirnya gue teriakin dua-dua nya haha.... "

Aku mangut-mangut mengerti, lalu memutuskan ikut berteriak menyemangati mereka berdua.

Bunyi peluit dari wasit sudah terdengar, menandakan waktunya istirahat. Tanpa dipanggil, Vita dan Niken terlihat menghampiri kami setelah mengambil minuman dari kumpulan masing-masing anak kelasnya.

"Huft, cape banget gue." ujar Niken sembari mengibas-ngibaskan tangannya, "Lo jago juga ya, Vit, kesel gue disuruh jagain lo."

Vita yang membungkuk karena lelah segera mensitegap tubuhnya, "Lo pikir gue nggak kesel? Lo jagain gue terlalu ketat tau gak, sih?" katanya kemudian.

Aku dan Aurel saling memandang, takut mereka terbawa emosi.

"Eits udah-udah jangan berantem," ujarku kemudian.

"Kalian keren, kalian the best, mending saling muji daripada berantem." sambung Aurel seraya menaik turunkan alisnya dan tersenyum.

Sekarang gantian, Vita dan Niken saling menatap, kemudian mereka tertawa seketika.

"Haha ya kali kita berantem cuma gara-gara ginian." kata Niken seraya merangkul Vita.

Vita pun membalas rangkulannya, "Kita itu cuma ngeluh sedikit, biar tau apa yang kita rasain ya, kan, Ken?"

"Yots!" sahut Niken mengiyakan.

Prok prok prok.

Aurel bertepuk tangan.

"Good, sportif banget! Gue suka!" ujar Aurel heboh sendiri.

Kami hanya tertawa meladeni kehebohan Aurel yang mulai over. Ya, memang beginilah seorang Aurel!

"By the way, Vela mana Kei? Gue nggak liat batang hidungnya dari pagi, tuh." tanya Niken setelah menyesap minumannya.

"Vela?" perasaanku menjadi sedikit kesal dan rasa malu itu teringat lagi.

"Ah! Kalian tau nggak, sih, tadi itu gue...," belum sempat aku bercerita, tiba-tiba aku melihat seseorang di kejauhan sana sedang melambaikan tangannya ke arahku.

Aku menunjuk diriku sendiri, mencoba memastikan bahwa aku yang dimaksud.

Seseorang yang aku pastikan sebagai ketua di eskul PMR itu mengangguk-angguk dan memanggilku untuk datang padanya.

"Kei? Tadi kenapa? Jangan setengah-tengah dong kalo cerita," ucap Aurel kemudian.

"Hah? Eh nanti aja deh gue ceritanya, itu gue dipanggil Kak Citra."

Sorot mata mereka serentak mencari sosok Kak Citra.

"Gue ke sana dulu yaps! Bye-bye." pamitku kemudian.

"Eh Kei! Gue teriak-teriak sama siapa nanti?!" kata Aurel yang terbilang cukup kencang.

Aku berjalan mundur dan membentuk tanganku seperti corong di sisi mulutku, "Gue balik kalo udah selesai."

Setelah itu aku berlari kembali ke arah Kak Citra.

"Ada berita bagus buat kamu, Kei!" ujar Kak Citra saat aku baru sampai.

"Wah, apa Kak?"

"Ikut aja, yuk!" jawabnya sembari tersenyum lalu segera menarikku untuk ikut dengannya.

*

"Saya yang kepilih, Kak?" tanyaku tak percaya setelah mendengar pernyataan Kak Citra.

Kak Citra dan beberapa senior di PMR mengangguk pasti.

"Kamu keren deh, Kei! Ini baru kenaikan kelas loh, tapi kamu udah kepilih jadi anggota tetap UKS." kata Dokter Sinta, selaku Dokter Volunteer di UKS kami.

Aku menganga karena saking senangnya. Oh my god! Menjadi anggota tetap artinya aku sudah seperti senior yang mengerti segalanya. I'm so speechless!

"Kei," panggil salah satu seniorku.

"Iya Kak?"

"Anak IPA aja yang mau jadi Dokter nggak kepilih kayak kamu, berarti kan kemampuan kamu lebih hebat dari anak IPA! Haha." katanya pelan tapi sukses membentuk berbagai ekspresi di ruangan ini.

"Wah rasis lo Tik!"

"Nanti juga ada anak IPA yang kepilih. Liat aja!" cerca mereka yang merasa terpanggil, hehe.

"Bodo! Yang penting anak IPS duluan! Tos dulu dong, Kei," sahut Kak Tika lalu mengisyaratkan untuk menyambut tangannya yang ingin melakukan high five.

Aku terkekeh melihat Kak Tika yang begitu bangga dengan aliran IPS nya.

"Udah, sstt! Kayak anak kecil aja, sih." lerai Kak Citra kemudian. "Kei, mulai besok kamu harus siap-siap ya buat bantu bimbing adek kelas yang nanti masuk ke eskul kita" lanjutnya.

"Oke, pasti saya siap Kak." jawabku semangat 45.

Dan akhirnya rapat ini pun selesai dengan aku yang di tetapkan sebagai bagian dari para senior di PMR.

It's really good! Senyumku benar-benar terpancar sempurna untuk berita ini!

Thanks god.

*

Aku berjalan sembari lompat-lompat kecil di koridor, jika tadi aku menutup wajah karena malu, sekarang aku memilih memperlihatkan senyumku yang paling lebar.

Aku tidak sabar menyampaikan berita ini pada teman-temanku.

Langkahku otomatis melambat saat melihat lapangan yang sudah berisi orang-orang asing di sana.

Apa pertandingannya sudah selesai?

Tidak ada Vita, Niken ataupun Aurel di sana.

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh arah dan kemudian terdiam mengerti sendiri. "Oh, bersama teman baru, ya?" gumamku saat menemukan mereka yang sedang tertawa lepas dengan kelompok teman berbeda.

Aku tidak berpikir untuk menghampiri mereka, karena aku mungkin akan mengganggu.

Kupikir, biarlah seperti itu ... Semuanya sudah membaik, tidak ada pertengkaran apapun lagi diantara kami.

Itu memanglah yang terbaik.

"Dorrr!"

"Astagfirullah!" kagetku sembari mengusap dada.

"Haha muka lo lucu kalo kaget, Kei,"

Sejak awal hanya Vela yang terus bersamaku.

"Gimana sensasi yang tadi masih kerasa, gak?" tanyanya yang masih terkekeh geli.

"Eh iya! Ah ... Lo gila, bener-bener gila! Ngeselinnn!"

"K-kei be-berentiii...." pintanya karena sekarang aku sedang mengguncang tubuhnya hingga dia tidak sanggup berkata. Hah! Rasain!

"Hm, permisi."

Aku menghentikan kegiatanku saat suara terdengar dari belakangku.

Aku berbalik,

Dan ternyata itu adalah Kak Albyan.

"Sorry ganggu," katanya dengan senyum simpul.

Aku selangkah mundur ke belakang, "Eh? Nggak Kak." jawabku serentak dengan Vela.

"Ini," Kak Albyan memberikan sebuah kertas pada Vela, "tadi semuanya udah ngambil, cuma lo doang yang belum."

Vela menerima kertas itu, "Oh, iya Kak, gue lupa tadi. Makasih ya, Kak!"

Kak Albyan mengangguk tersenyum, "Oke." singkatnya lalu pergi begitu saja.

Aku terus menatap punggungnya yang mulai menghilang, tenggelam dalam keramaian.

"Apa sih nih? Oh jadwal rapat ... Kei,"

"Hm?"

"Kok tadi lo nggak nyapa Kak Albyan, sih?"

Aku juga tidak tahu mengapa.

"Eum, dia lagi sibuk sama lo, sih! Jadi gue lupa deh mau nyapa dia."

Apa benar karena itu?

"Hm, jangan cemburu loh, dia cuma mau nganterin ini," katanya sembari memperlihatkan kertas tadi.

"Iya, iya, masa gue cemburu sama lo." jawabku kemudian.

Bukan cemburu yang kupikirkan.

"Terus kenapa lo jadi diem?" tanya Vela dengan tatapan lurus.

Senyumnya terlihat dingin dihadapanku.

Dan, apa tidak ada satupun kalimat yang ingin dia sampaikan padaku?

Aku membalas tatapan Vela, lalu mencoba menarik kedua sudut bibirku hingga tersenyum, "Biasa aja kali, I'm okey."

Vela terdiam sebentar, melihatku dengan tatapan meneliti.

"Ouh, gue tau! Jangan-jangan lo...,"

"Apa?" sahutku bingung.

"Jangan-jangan lo kecewa, ya, karena gue nggak nyuruh Kak Albyan nembak lo! Ah, iya gue lupa tadi." katanya sembari menepuk jidatnya kencang.

"Ssstt, apaan sih! Gue nggak kecewa! Awas aja kalo beneran, gue bakal...," aku menatapnya tajam, mengepal tanganku untuk menakutinya.

"Bakal apa? Hah? Hah? Gue nggak takut wleee." ledeknya sembari menjulurkan lidah.

Belum sempat aku menunjukkan taringku, Vela sudah lari melesat dengan kecepatan turbonya. "Kabur mulu, dasar!" desisku kesal.

Aku tidak mengejarnya. Aku memilih diam, merasa bersyukur untuk rasa kesal yang aku rasakan saat ini.

Dari kejauhan Vela berbalik dan melambaikan tangan ke arahku.

Dia tertawa dengan riangnya, mencoba menggiringku untuk menghampirinya.

"KEI, GUE BENERAN MAU NGEJAR DIA, LOH!" pekiknya memakai volume paling full.

Aku menggeleng-gelengkan kepala serta tertawa kecil melihatnya, "Tunggu gue di situ!" ucapku tak kalah kencang.

Ada kalanya dia bertingkah seperti anak kecil, mengesalkan dan menjengkelkan tentunya.

Dan ada kalanya dia bersikap seperti orang yang benar-benar dewasa.

"Hap! Gue nggak mau biarin anak ayam lari lagi." ujarku saat berhasil merangkulnya erat.

"Aish! Masa iya ada anak ayam secantik gue? Hahaha."

Aku memutar bola mataku malas, "Ne-in aja biar palli." tuntasku kemudian yang mengundang tawa kencang darinya.

Aku senang melihat tawanya.

Aku harap, aku terus bersama Vela, sahabatku yang paling kucinta.

Amin:)

***

Haluuu, acu update yeayyy 😂 ini part awalnya Keira menyandang gelar seorang kakel loh hehe

Jadi di sini aku mau ceritain dulu tuh, gimana hubungan Keira sama semua pihak yang ikut meramaikan peindustrian Only Hope wkwk.

For next, waiting terus ya! 😊 and jangan lupa pencet bintang yang tidak berwarna itu tuh, oke? 😉






*Btw, kalimat "Ne-in aja biar palli" artinya itu adalah "iyain aja biar cepet"

Harap dimengerti karena itu bahasa sehari-hari author wkwk

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

2.6M 269K 63
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
560K 27.1K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
860K 64.8K 31
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
487K 37.2K 27
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...