Unsteady

By theblackrosee

2.1M 258K 31.9K

Aku percaya, bahwa suatu hari nanti kita akan di pertemukan dalam keadaan yang jauh lebih baik lagi. ... More

Prolog
Unsteady 1
Unsteady 3
Unsteady 4
Unsteady 5
Unsteady 6
Unsteady 7
Unsteady 8
Unsteady 9
Unsteady 10
Unsteady 11
Unsteady 12
Unsteady 13
Unsteady 14
Unsteady 15
Unsteady 16
Unsteady 17
Unsteady 18
Unsteady 19
Unsteady 20
Unsteady 21
Unsteady 22
Unsteady 23
Unsteady 24
Unsteady 25
Unsteady 26
Unsteady 27 [Bagian 1]
promosi
Unsteady 27 [Bagian 2]
Unsteady 28
Unsteady 29
Unsteady 30
Unsteady 31
Unsteady 32
Unsteady 33
Unsteady 34
Unsteady 35
Unsteady 36
Unsteady 37
Unsteady 38
Unsteady 39
Unsteady 40
Unsteady 41
Unsteady 42
Unsteady 43
Unsteady 44 - Akhir [Ending]
Spin off
PO KEDUA NOVEL PROTECT

Unsteady 2

82.1K 7.3K 519
By theblackrosee

Pagi ini, Ares kedatangan tamu kecil yang biasanya datang ketika ia kesal. Bukannya merasa marah akibat suara laki-laki yang sedang marah itu, Ares justru diam-diam mendengarkan sambil mengulum senyum yang jarang diperlihatkannya.

Anak itu, begitu menggemaskan dengan pipi gembulnya. Masih kelas 3 SD dan gaya bicara sudah seperti orang dewasa. Apalagi jika menyangkut adiknya, Eca yang baru berusia 5 tahun.

Rumah dengan nuansa putih ini terasa tidak mencekam lagi dan Ares bersyukur atas kedatangan Eza kali ini.

"Bang! Dengerin aku gak? Aku lagi ngomong!" sentaknya marah, pipinya yang gembul memerah.

Ares yang sedang mengaduk susu melempar pandangannya pada Eza yang sudah terbalut seragam putih-merahnya. "Abang dengar kok,"

"Aku ngerjain pr matematika-ku sampai dua hari," Eza mengangkat jari telunjuk dan tengahnya, matanya melotot, "dua hari bang! Dan Eca dengan gampangnya nyiram buku matematikaku!"

Ares menyodorkan susu pada anak laki-laki itu, ia kemudian mengolesi roti. "Eca gak sengaja mungkin,"

Setelah menenggak susunya dan menyisakan kumis di sekitar bibirnya, Eza mengerutkan keningnya. Tidak suka mendengar ucapan orang yang ia harap membelanya. Ia tidak suka abangnya membela Eca. Walaupun Ares bukan abang kandungnya, Eza tidak rela abang Ares membela Eca.

"Tapi dia sengaja!" Ares menyerahkan roti berselai coklat itu padanya, "Pokoknya, kalau nanti abang jumpa Mama, abang harus bilang kalau aku kabur dari rumah! Biar Mama marahin Eca!"

Ares sudah menenggak susunya sampai habis, telinganya masih berfungsi mendengarkan ocehan Eza yang begitu menggebu-gebu. Ia memang kesal pada Eca dan jika ia kesal, maka ia akan menumpahkan ke kesalannya pada Ares.

"Nanti abang suruh Eca minta maaf," Ares meletakkan gelas miliknya di wastafel, lalu memasukkan tempat bekal yang berisi roti itu ke tasnya, "kamu berangkat sama abang atau mau dianterin ke rumah?"

"Kan, aku lagi ngambek, gengsi dong aku minta anterin Papa,"

"Kamu marahan sama Papa?"

"Iya dung, enak aja Papa ikutan marahin aku di depan Eca," Ares menatapnya geli, "harga diriku turun di depan Eca!"

Ares mengambil tasnya lalu menyampirkannya di bahu. Tas Eza ia bawa sambil membawa sepatunya ke ruang TV lalu memakainya.

"Bang, anterin nanti sampe sekolah," Eza menyenggol bahunya membuat Ares menoleh.

"iya, Za. Nanti abang anterin. Sekolah kitakan deketan."

Bagi Ares, Eza adalah adik yang menggemaskan. Ia mengenalnya sejak bayi bahkan ketika detik pertama anak laki-laki itu lahir kedunia.

"Ayo," Ares menggenggam tangan mungilnya, mengunci pintu rumah berwarna putih itu dan menutup gerbang.

Seperti biasa, Ares berjalan ke arah halte. Tangan kirinya menggenggem tangan Eza dan sebelahnya lagi memegang tasnya. Lima menit menunggu di halte, bus akhirnya datang, mereka berdua menaiki bus.

Cuaca kelihatan mendung hari ini, kemungkinan besar nanti siang hujan, menurut Ares. Suasana bus tidak terlalu padat, semua bangku terisi namun tidak ada yang berdiri. 15 menit berjalan, bus itu sampai. Mereka turun dan Ares terus menggenggam tangan mungil itu. Takut jika Eza menghilang seperti dua bulan lalu.

Baru saja mereka turun dan berjalan beberapa langkah, Ares refleks memegang pelipisnya ketika manusia yang tidak di harapkan tiba-tiba muncul.

"ARES!!!"

Suaranya saja bahkan tidak enak di dengar. Cempreng dan memekakkan telinga.

"Siapa tuh Bang? Petakilan amat kayak monyet," celetuk Eza dengan santainya ketika melihat Aira melompat tepat di depan Ares.

"Emang petakilan," sahut Ares dengan cueknya.

Aira tersenyum lebar tepat di depan Ares, "Pagi Ares!" sapanya begitu bersemangat. "Pagi juga dedek bayi!" katanya sambil menoleh ke arah Eza.

"Abaikan aja Za, kalau dilawanin bisa gila," Ares menarik tangan Eza dan kemudian berlalu dari hadapan Aira.

"Eh tunggu!" Aira berjalan buru-buru "Kalian mau kemana? Cabut ya?"

Ares meliriknya sekilas, "Cabut lo dari pandangan gue,"

"Halah, lo berdua mau cabut kan dari sekolah? Ngaku lo," tebaknya dengan mata menyipit.

"Bang Ares, peliharannya suruh diem dong," celetuk Eza "sakit nih telinga aku."

"Eh dedek bayi," Aira mengibas rambutnya tepat di depan Ares, membuat kepala laki-laki itu mundur untuk menghindari kibasan rambut badai itu, "Mau cabut ya kamu?"

"Lo," Ares menutup matanya, "pergi!"

"Kasih tahu dulu lo mau kemana," Aira menaik-turunkan kedua alisnya, "Kalau mau cabut, gue ikutan!"

"Dasar sinting."

"Kasih tau! Kasih tau!"

Bukannya menjawab, Ares malah terus berjalan tanpa mempedulikan Aira yang terus mengikutinya dari samping. Dan gadis itu, dengan jahilnya terus mencubit pipi Eza. Ingatkan Ares untuk tidak mematahkan kedua tangan Aira yang jahil itu.

***

"Bagi dong Res," Rafi mencomot roti milik Ares lalu membaginya dengan Agung yang menerimanya tanpa menoleh sedikitpun dari handphonenya. Mereka berdua sedang duduk tepat disamping Ares ketika jam istirahat.

Ares membuka bukunya, "Lo berdua gimana pertandingan game kemarin?"

"Kalah! Si Agung nih bolot," Rafi menendang kaki kursi yang di duduki oleh Agung membuat laki-laki itu melotot.

"Lo aja tai yang gatal, gue fokus lo sibuk bales DM! Berak!"

Ares terkekeh, "Jadi kalah?"

"Hooh," Rafi menangkap tangan Ares, memotong rotinya menjadi dua dan memakannya, "Res, rasa coklat mulu, srikaya dong, biar kita jadi kaya."

"Masih mending lo gue kasih," kata Ares sambil memasukkan secuil roti terakhir.

"Btw, Res," Agung duduk tegak, "semalem gue sama Rafi menjelajahi dunia malam Jakarta, you know lah, kita lagi cari cewek, terus kita lihat si Aga! Gila!"

Mendengar nama Aga, fokus mata Ares sudah tidak pada bukunya lagi melainkan pada mata hitam Agung. Laki-laki itu sudah lama tidak mendengar nama itu hingga mampu membuatnya terdiam selama beberapa detik.

"Lo udah baikan Res?"

Harusnya, Rafi tahu pertanyaan itu tidak membutuhkan jawaban.

"Eh, Res, gak bermakud gue ya," kata Rafi sambil mengusap lehernya.

"Gue ke toilet dulu," Ares meletakkan bukunya di atas meja, berjalan meninggalkan kedua temannya yang saling menendang kaki meja yang mereka duduki.

Ketika berada di depan pintu, Ares kaget ketika Aira tiba-tiba muncul dan hampir menariknya. "Ares! Ada yang mau gue tunjukkin!" katanya terburu-buru lalu menarik tangan Ares melewati koridor lantai dua dengan lincahnya.

Dan Ares masih mengikutinya dengan tangan kirinya yang tenggelam di dalam saku. Walau diam-diam dia penasaran kemana manusia menyebalkan ini akan membawanya. Dan tidak lama kemudian, Aira berhenti tepat di depan mading perpustakaan.

"Res, gue mau ikut itu!" jari telunjuk Aira mengetuk kaca mading yang terdapat sebuah pengumuman.

Ares membacanya sekilas lalu mengangkat sebelah alisnya menatap Aira yang menautkan kedua tangannya di depannya. "Apa?" tanya Ares melihat ekspresi itu.

"Bantuin gue ikut itu,"

"Yaudah ikut," Ares berbalik namun Aira menahannya. "Tapi gue bolot! Gimana sih lo!"

"Terus?"

"Ares, ajarin," tangan Aira mengamit lengan Ares, "ajarin gue jadi murid pintar, gue mau ikut olimpiade ekonomi Res, bantuin, seleksinya 10 hari lagi!"

"Bukan urusan gue," Ares menyingkirkan tangan Aira, menatapnya dengan pandangan malas ketika gadis itu memasang ekspresi nelangsanya.

"Res, gue sedih nih, sedih nih gue," Aira menangkup kedua pipi Ares, "Ares, gue sedih, nih, lihat, gue nangis nih Res,"

Ares menatapnya dengan tatapan jijik, "Yaudah nangis."

"ARES!"

"Yah Ares, yah, yah, ajarin gue yang bolot ini yah?" tanya Aira begitu berharap, perempuan berambut hitam sebahu itu mengedip-ngedipkan matanya di depan Ares yang lebih tinggi darinya.

"Nggak! Gue mau ke toilet,"

"Ikut dong Ares!"

Ares berjalan cepat ke arah toilet, gadis itu berjalan cepat mengikutinya, "Res, yah? Ajarin ya Res? Kita teman kan Res?"

Bahkan ketika gadis itu duduk disampingnya, Ares tidak pernah menganggapnya ada.

Sebelum Ares memasuki toilet, laki-laki itu berhenti memandang Aira sejenak.

"Lo sekali lagi ribut gue hajar lo," katanya begitu dingin.

"Tapi habis lo hajar, ajarin gue ekonomi ya? Yah? Yah?"

"Lo-" Ares menahan kemarahannya sejenak, "iya, nanti gue ajarin, cabut lo sana, tapi gue gak janji," ia mengibaskan tangannya di depan wajah Aira, seolah mengusir.

"Beneran ya? Sampe gue jadi jenius," katanya begitu senang.

"Sampe lo jadi jenius, terserah,"

"Bener ya!"

"Iya, cabut, gue kebelet sialan!"

"Janji dulu,"

"Males, udah sana,"

"Be-"

Ares melotot ketika Aira masih belum pergi juga, laki-laki itu bersiap mengomel namun Aira langsung ngacir. "Janji ya Ares!"

Sudah ia bilangkan tadi bahwa ia tidak janji? Laki-laki itu mendengus menatap punggung Aira yang semakin menjauh kemudian memasuki toilet.

***

Halo, maaf yau nextnya lama karena akunya sibuk hehe. Ini update rutin kalau udah pembagian rapor nantinya hehehe.

Btw, banyak yang gak suka sama visual Ares yang kemarin. Jadi aku mau tanya, kalian ada usul untuk visual Ares?

🐍🐍🐍🐍

Continue Reading

You'll Also Like

519K 54.2K 58
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA! BIASAKAN HARGAI KARYA ORANG DENGAN MEMBERIKAN DUKUNGAN KEPADA PENULISNYA] [PLAGIAT AKAN MENDAPATKAN SANKSI, JADI HATI-HATI^^...
99.3K 8.2K 66
Kaira Alsava. Gadis yang sangat menyukai ketenangan. Di balik musik yang ia dengarkan setiap waktu, Di balik film yang ia tonton setiap malam, Di bal...
7.5M 521K 64
Dari sekian banyak gadis yang ingin menjadi kekasih CEO super sempurna, Savana bukan salah satunya. Dia hanya ingin menyelesaikan kuliah dengan baik...
Trust By dhita

Teen Fiction

4.2M 273K 54
Hidupnya indah, pada masanya. Satu masalah datang membuatnya bertransformasi menjadi dia yang lain, yang tak dikenal dan tak mau dikenal. Hidupnya be...