"KEPADA--BENDERA MERAH PUTIH--HORMAAAAAT--GRAK!!!"
Ratusan atau bahkan ribuan orang yang berbaris rapi di lapangan utama SMA Bintang Harapan, sontak mengikuti intruksi dari sang pemimpin upacara. Suaranya yang keras dan lantang, membuat bulu kuduk mereka berdiri. Terlebih barisan kaum hawa. Karena para kaum hawa, mati-matian menahan jeritannya hanya karena baru pertama kali merasakan karisma dari seorang Bara Airlangga.
Termasuk Lea. Dia sedari tadi sengaja memilih untuk berbaris di barisan pertama hanya karena ingin lebih dekat dengan Bara.
Ya ampun ya ampun, kenapa pacarnya bisa segagah ini?
"Itu bener Bara 'kan?"
Lea memutar kepalanya sedikit, lantas mengedipkan matanya ke arah Nura yang berdiri di sampingnya.
"Aku juga masih nggak percaya kok."
Kedua gadis itu terkikik, dan baru berhenti ketika sang kepala sekolah memberikan pelototan untuk mereka berdua.
"Bara ... Atau Ciko?"
Lea melirik Nura dari ekor matanya, lalu berbisik pelan. "Kenapa harus pilih yang brengsek ketika yang bisa bikin bahagia berdiri di depan mata?"
Kedua gadis itu lagi-lagi terkikik. Tapi sayangnya, suara mereka terdengar ketika lantunan lagu Indonesia Raya selesai. Sehingga satu sekolah bisa mendengar kikikan mereka.
"ALEA NATASHA DAN NURAYA BELIA DI HARAP BERDIRI DI SAMPING TIANG BENDERA SAMPAI UPACARA SELESAI."
Dua cewek itu mendadak tegang kala suara sang pembina upacara menegur mereka. Pun dengan terpaksa, keduanya berjalan ke depan. Di saksikan oleh ribuan pasang mata.
Juga oleh Bara yang sekarang tengah tersenyum meledek.
***
"Lea!"
Sang empunya nama yang sedang berjalan di koridor, refleks menoleh ke belakang. Kala mendengar namanya di sebut.
Tapi Lea nggak menjawab, dia hanya memutar tubuhnya, lalu menatap lelaki yang berlari ke arahnya.
"Buat lo."
Lea mengernyit. Matanya memandang sekaleng Pocari Sweat yang ada di tangan kanan Ciko.
"Buat aku?"
"Iya. Lo tadi habis di hukum 'kan? Nih gue beliin minum. Biar lo seger lagi."
Lea memutar bola matanya. Menimbang-nimbang apakah dia harus menerima minum dari Ciko atau tidak.
"Bara nggak bakal tau," ucap Ciko seakan mengetahui apa yang Lea pikirkan.
"Maaf. Aku nggak mau ngebohongin Bara lagi."
Ciko mengusap wajahnya gusar. "Yaudah terserah lo. Intinya gue cuma niat buat ngasih ini ke--"
"Ke siapa?"
Ciko memutar kepalanya sedikit ke belakang. Sedikit terkejut dengan Bara yang sudah berdiri di belakangnya.
"Ke Lea!"
Lea menelan ludahnya gugup, feelingnya mengatakan bahwa Bara pasti akan terkena kasus lagi.
Bara pun berjalan melewati Ciko, lantas berdiri di samping Lea. Seraya merangkul bahunya.
"Lo tahu, siapa perempuan yang gue rangkul ini?"
Ciko nggak menjawab, dia malah memandang Bara dengan remeh.
"Asal lo tau ya, anjing neraka--perempuan yang gue rangkul sekarang ini, adalah perempuan yang lo sia-siain beberapa bulan yang lalu! Liat, nyesel 'kan lo?"
Bara menyeringai, saat melihat Ciko yang sedikit tersentak mendengar ucapannya.
"Sekarang lo mau apa? Ngerebut Lea dari gue?"
Tangan Bara yang berada di bahu Lea, bergerak. Mengusap bahu sang gadis dengan lembut.
"Sorry, Man. She is mine and only mine. Dan gue juga mau bilang terima kasih, karena udah nyakitin hati Lea dan gue di kasih kesempatan untuk mengobatinya."
Bara menunduk, menatap Lea yang ternyata juga tengah memandangnya. "Lo haus? Gue udah beliin dua gelas es teh manis buat lo. Plus semangkok bakso."
"Ayo!"
Bara tersenyum senang, seraya menyisipkan anak rambut Lea yang lengket terkena keringat. Kemudian, tangannya menurun, melepaskan rangkulannya dan mulai berjalan meninggalkan Ciko yang tengah menahan amarahnya.
"Mati aja lo!"
Bara berhenti berjalan, begitu pun juga dengan Lea.
"Bangsat." Bara memakinya dengan suara pelan dan datar, lalu berbalik arah. Bersiap menghabisi Ciko yang sudah berani meneriakinya dari belakang.
Raga Ciko hampir saja berada di rumah sakit, jika Lea tidak menahan Bara yang hendak melayangkan bogem mentah pada cowok berkulit putih tersebut.
"Bilang apa tadi?"
Ciko memberontak. Berusaha melepaskan tangan Bara yang mencengkram kerah bajunya.
"Bara, udah. Nggak usah ladenin dia."
Bara melirik Lea sekilas yang tengah menahan lengannya, lalu, tanpa di sangka-sangka, Bara melepas cengkramannya dan segera menghajar Ciko dalam satu pukulan.
"Lo aja yang mati, anjing!"
Lea menelan salivanya susah payah. Tubuhnya mulai gemetar. Karena rasa takut mulai menguasai dirinya. Lagipula, siapa yang nggak takut coba kalau kalian berada di posisi Lea?
"Bara,"
Bara nggak menyahut ataupun menoleh, membuat Lea harus mengumpulkan keberaniannya agar tidak takut menghadapi Bara yang sedang berapi.
"Kamu--"
"BARA AIRLANGGA! KE RUANG BK SEKARANG JUGA!"
Suara Bu Hazami yang menggelegar menyebabkan ketiga remaja tanggung itu berjengit kaget.
Terlebih Lea.
Kala mengetahui bahwa lagi-lagi Bara-nya terkena kasus.
***
Bara menatapi rintikan air hujan yang satu persatu terjatuh di atas kubangan air yang berada tepat di depan matanya. Lantas, dia berdecak pelan. Kemudian kembali menyeruput segelas kopi hitamnya yang masih hangat.
Sebelum dia berada di Warung Bang James seperti sekarang, dia di panggil oleh guru BK. Untuk menjelaskan kenapa dia lagi-lagi bertengkar di sekolah. Namun, sayangnya, Bara-lah yang di salahkan sepenuhnya atas kejadian ini. Karena menurut sang guru BK, Ciko sama sekali nggak bersalah.
Mengetahui perihal tersebut, Bara hanya membalasnya dengan senyuman miring. Dia sudah biasa di perlakukan seperti ini. Lagipula ... Bagi Bintang Harapan, Anciko Einstein adalah inventarisnya.
Tapi itu nggak masalah buat Bara, toh dia bisa pindah ke sekolah lain.
Lagi dan lagi Bara berdecak kecil, lalu mengeluarkan buku gambar dari dalam ranselnya. Dia lebih memilih menggambar sketsa wajah Lea di timbang harus termenung meratapi takdirnya yang begitu lucu.
Kelak, besar nanti Bara ingin menjadi seorang Arsitek. Sedangkan dulu Lea pernah bilang kalau dia ingin menjadi seorang penyanyi.
Oh, tapi jangan harap Bara akan mengizinkannya! Karena jika mereka menikah nanti, Bara akan meminta agar istrinya itu tetap menjadi Ibu Rumah Tangga.
"DOR!!!"
Bara berjengit kaget. Menyebabkan gambar yang ia buat, sedikit tercoret. Pun dia menoleh, dan mendapati wajah Lea yang tengah menyengir polos di hadapannya.
"Anjing emang. Ngapain lo ke sini?"
Lea bersedekap. "Katanya kalo udah pulang suruh ke sini!"
Bara bergeming sebentar. Lalu mengangguk singkat ketika sudah mengingat apa yang dia ucapkan setelah keluar dari ruang BK tadi kepada gadisnya.
"Kok lo hujan-hujanan?!"
"Gak punya payung."
Bara berdecak, matanya menelusuri tubuh Lea dari ujung kepala sampai ujung kaki. Lalu, dia melepaskan hoodie yang sedang di kenakannya.
"Pake."
"Gak mau."
"Pake gue bilang."
"Gak!"
"Ck. Pilih pake atau gue cekik leher lo?"
Lea mendengus. Tangannya merebut hoodie yang ada di tangan Bara dengan kasar. Dan, melihat perilaku gadisnya itu--membuat Bara menghembuskan nafasnya lelah.
"Daleman lo keliatan bego. Makanya gue suruh pake."
Tubuh Lea sontak menegang. Matanya yang mampu membuat Bara Airlangga jatuh--kini membulat.
"Tanktop lo ... Warna hitam ya?"
Wajah Lea memanas, merasa sangat malu ketika Bara mengetahui warna singletnya.
Ya ampun, bolehkah dia mati sekarang juga?
"BARAAA!!"
Bara terbahak sampai terpingkal-pingkal. Membuat Lea sedikit dongkol karenanya. "Bara! Berhenti ketawa nggak!"
Tapi Bara nggak mendengarkan protesan gadisnya. Dia justru makin terbahak kala mengingat dan melihat sedikit tali surga yang ikut tercetak di seragam Lea yang basah.
"Bara! Ih udah ah aku pulang aja!"
"Pulang aja sana!"
Lea beranjak pergi dari warung tersebut. Namun baru beberapa langkah dia menjauh, Bara memanggilnya.
"Heh, sini-sini!"
Merengut, pun Lea lantas berbalik. Berjalan kembali menghampiri Bara yang mati-matian menahan tawanya.
"Udah puas ketawanya?!"
"Abisan lucu."
"Lucu apanya sih?!"
Bara menempelkan jari telunjuknya di bibir Lea, kemudian berucap, "Gak boleh marah terus."
"Kamu duluan yang nyari gara-gara!"
Bara mendesah. Sedikit pusing dengan perempuan yang selalu menyalahkan laki-laki.
"Yaudah gue minta maaf. Sekarang pake jaket gue. Biar nggak di liatin orang."
"Tapi panas--"
"Ya iyalah panas. 'Kan yang adem itu, ngeliatin wajah lo yang lagi tersenyum."
***
OKE NEXT CHAP BELOM ADA IDE