Only Hope

By Camilaaz_

48.3K 5.1K 2.7K

"Bisakah aku menjadi - KAMU- untukmu? Sebagai orang pertama yang menjadi maksud pikiranmu." Kalimat itu, ada... More

Prolog
The beginning-part 1
Story of class- part 2
Why- part 3
Picture??- part 4
Last MPLS!- part 5
Begin!- part 6
Choice- part 7
Miss him!-part 8
Good news- part 9
Line!-part 10
Him-part 11
Meet- part 12
The place- part 13
Really?- part 14
About you- Part 15
Run- part 16
A beautiful day -part 17
Fake- part 18
Telling the truth- part 19
Free- part 20
Miscommunications- part 21
Lockers - part 22
Modus- part 23
First greet- part 24
Again - part 25
Prepare - part 26
Miracle - part 27
Thank you - part 28
Lucky day - part 29
Change (1) - part 30
Change (2) - part 31
Peka? - Part 32
Almost - Part 33
A Problem - Part 34
Letter - Part 35
Mean - Part 36
Focus- Part 37
This's Over? - Part 38
Wrong Opinion - Part 39
Part 41

For Reset - Part 40

767 49 15
By Camilaaz_

-Air mata adalah sesuatu yang ambigu. Antara sedih dan senang, mereka selalu samar menyatu.-

***

"Jadi gini rencananya,"

Setelah menceritakan semuanya pada Vela, kamipun merencanakan sebuah upaya untuk memperbaiki keadaan.

Dan berharap semuanya kembali seperti semula.

"Jadi kita harus bohong gitu, sama mereka?" tanya Vela tidak yakin.

Aku mengangguk, "Harus. Karena mereka nggak akan mau dateng kalo salah satunya ada di sana."

"Hm, iya juga, sih. Oke deh gue ngerti."

"Good."

"By the way, tadi lo sama Dio ngapain, hayo?" tanyanya sembari menaik turunkan alisnya.

Argh, anak ini pasti teringat dengan kalimat Dio tadi.

"Vel, please deh jangan terhasut sama omongan ngaco Dio. Itu anak udah gak waras tau! Mana ketawa mulu lagi, heran gue."

"Hahaha parah lo, Kei."

"Ih, ini tuh fakta, Vel."

"Iya-iya percaya deh gue." katanya yang membuatku mengacungkan jempol ke arahnya.

"Tapi Kei, mendingan Dio yang gila kayak sekarang daripada Dio yang jutek kayak dulu ya, kan?"

"Hah?"

"Ya, lo pasti inget kan, betapa keselnya lo sama Dio waktu awal kita kelas sepuluh?"

"Oh waktu itu, eum, pasti ingetlah gue. Kalo inget itu rasanya gue mau jambak rambutnya Dio tau gak?!"

"Nah, kenapa tadi lo nggak jambak rambutnya? Biar lo puas haha,"

"Oiyaya ... Bego banget sih gue. Eh tapi jangan deh, Vel."

"Kenapa emang?"

"Nanti kalo gue jambak, rambutnya bisa rontok terus botak lagi. Hm, kan gawat kalo aura cogannya jadi berkurang haha,"

"Anjir, pemikiran lo, Kei," Vela geleng-geleng kepala, "Gue setuju." lanjutnya yang membuat seisi koridor penuh dengan ledakan tawa kami.

Untung saja koridor sepi, karena para siswa pasti sedang memanjakan perutnya masing-masing di kantin sana.

Kalau tidak, kami pasti sudah dikatakan seperti orang gila, hehe.

"Ah, gue lupa." ujar Vela sembari melihat ke arah jam tangan.

"PR gue belum selesai, Kei, dan itu dikumpulin abis jam istirahat pertama." katanya dengan panik.

Aku geleng-geleng kepala, "PR tuh selesain di rumah bukan di sekolah, dasar." kataku sok bijak.

"Yee, kayak nggak pernah aja,"

Aku hanya tertawa menanggapinya.

"Yaudah gue tinggal ya, babay." pamitnya kemudian berlari begitu saja.

"Eh Vel, jangan ninggalin gue," ujarku yang tidak dihiraukannya.

Baiklah. Aku sekarang sendiri di sini dan statusku sebagai seorang jomblo, semakin terpampang nyata.

Keira kuat kok.

Sambil menunggu bel masuk berbunyi, sepertinya bukan hal yang buruk untuk menunggu di sini.

Daripada aku harus melihat kecanggungan di antara sahabatku, yang membuat kelas menjadi ruang paling asing yang pernah kutempati.

Aku benci itu.

Tidak seperti pagi tadi, siang ini langitnya cerah dan tidak begitu panas.

Lapangan masih di singgahi genangan-genangan kecil dan rerumputan masih sedikit terlihat basah akibat terguyur hujan tadi pagi.

Dan aku kembali memikirkan hubungan persahabatanku.

"Sendirian aja, lagi nunggu seseorang atau nikmatin suasana?"

Suara itu, aku merindukannya.

Aku menenggak melihatnya, dia tersenyum padaku lalu duduk tanpa permisi.

"Nikmatin suasana, Ka." jawabku sembari sedikit menjauhkan diri darinya.

Sudah seminggu lebih aku menghindarinya, untuk sekedar tersenyum saat bertemu pun tidak kulakukan.

Dan sekarang dia berada di dekatku, sedang tersenyum sembari memainkan bola basket di jari-jarinya.

Aku senang Ka Albyan di sini.

"Lo jarang keliatan, kemana aja?"

"Banyak tugas, Ka, jadi di kelas mulu deh." dustaku padanya.

Faktanya aku selalu mencoba melihatnya dari jarak yang jauh.

"Oiya, sebentar lagi kita ujian kenaikan kelas, lo pasti belajar mulu ya, kan?"

"Iya Ka."

"Bagus deh, nanti gue doain lo masuk kelas unggulan, hehe." katanya dengan senyum manis yang aku rindukan.

"Amin, makasih Ka." singkatku.

Canggung. Aku membuat suasananya menjadi canggung.

"By the way, gimana lemparan basket lo? Udah jago belum?" kali ini dia memberhentikan aktifitasnya dan menengok ke arahku.

Aku tersenyum padanya, "Lumayan Ka, dibanding yang waktu itu,"

"Kalo gitu temenin gue latihan, yu, nanti pas pulang sekolah. Sekalian gue kasih tips yang lebih banyak, mau gak?"

Deg.

Jantungku berdebar, berpacu lebih cepat.

Aku ingin, aku ingin sekali menerima ajakannya, ini pasti akan menjadi kenangan berharga untukku.

Tapi,

"Maaf Ka, bukannya nggak mau, tapi gue udah ada janji pulang sekolah nanti," ujarku ragu.

Aku beranjak dari tempat duduk, "Kayaknya udah mau bel, gue duluan ya Ka. Maaf sekali lagi." tuntasku sembari menunduk lalu tanpa melihat ekspresinya lagi, aku bergegas pergi secepatnya.

*

Setelah melarikan diri, aku tidak benar-benar ke kelas.

Aku malah di sini, di toilet. Memandang diriku sendiri dihadapan cermin yang berembun.

"Sok jual mahal!" makiku pada diri sendiri.

Aku terlalu bodoh untuk menolak ajakannya.

Dan aku kesal karena menyayangkan itu.

"Kenapa menghindar?" suara seseorang terdengar, ketika bilik pintu ke tiga berderit normal.

"Vita?"

Dengan wajah datar, dia mencuci tangannya tepat di sampingku.

"Gue nggak minta lo menghindar atau menjauh dari Ka Albyan, jadi nggak usah nyiksa diri lo sendiri." ucapnya sembari melirikku dari cermin.

"Tapi gue,"

"Tapi apa? Lo ngerasa bersalah? Jangan Kei, ini bukan salah lo."

Vita melangkah ingin pergi, tetapi aku menahan tangannya. "Terus kalo bukan salah gue, kenapa lo hindarin gue kayak gini?"

Vita tidak menjawab pertanyaanku, bahkan dia tidak ingin menatapku.

"Kasih tau gue cara biar kita kayak dulu lagi," ucapku pelan.

"Nggak bisa, Kei."

"Kenapa?"

"Saat gue di deket lo, gue selalu ngerasa bersalah karena udah benci orang sebaik lo," Vita mulai menatapku, "gue emang benci lo, Kei, tapi di lain sisi gue mau lo tetep jadi sahabat gue."

"Kalo gitu, hilangin rasa benci lo dan ayo kita balik kayak dulu lagi, Vit."

Vita menggelengkan kepalanya, "Untuk sekarang nggak bisa, Kei," katanya dan aku bisa melihat air mata yang sedikit lagi menetes dari kelopak matanya.

"Gue harus berubah, Kei, biar lebih pantes buat lo anggap sebagai sahabat."

"Vit...,"

Aku dan Vita terdiam sejenak, membiarkan kami mencoba menahan air mata yang terlalu kuat untuk dapat terjatuh.

Aku berpikir, mungkin ini memang menyiksanya jika aku terus-menerus memaksanya seperti ini.

Aku menghela napas, "Kalo itu emang pilihan lo, gue bakal terima, Vit." kataku yakin.

"Tapi jangan pernah sungkan, kalo lo mau kembali, calon sahabat lo ini bakal selalu nyambut kedatangan lo, Vit." aku tersenyum dan meneteskan air mata di hadapannya.

Vita mengangguk lalu memelukku, "Tapi lo harus janji, jangan pernah nyiksa diri lo demi gue lagi, Kei," dia melepaskan pelukannya, "Nggak semua orang bisa dapet kesempatan buat deket sama Ka Albyan." katanya dengan tertawa kecil.

Aku menghapus air mataku dan tersenyum sendu ke arahnya.

"Ayo salaman, kita harus akhirin ini tanpa tangisan, Kei."

Vita mengulurkan tangannya dan aku menyambutnya dengan suka cita.

Kami tersenyum bersama dan memulai awal pertemanan, setidaknya masih ada kesempatan untuk membangun sebuah persahabatan yang sebenarnya.

*

15:30.

Aku berdiri di depan ruang guru untuk menunggu Niken yang ada di dalam sana.

Sesuai rencana, aku akan membawa Niken dan Vela akan membawa Aurel ke taman belakang, karena tempat itu sangat cocok untuk menjernihkan pikiran.

Aku juga tadi mengajak Vita, tapi dia menolaknya. Vita bilang 'masalah mereka lebih besar daripada kita.' karena itu Vita tidak yakin kalau ini akan berjalan mulus.

Tapi aku akan mencoba dulu, setidaknya Niken dan Aurel sudah bersahabat sejak dulu.

"Eh, Kei, ngapain?" tanya Niken karena melihatku di sini.

"Nunggu lo Ken,"

"Nunggu gue? Kenapa?"

"Ikut gue yuk, ada yang mau gue omongin,"

"Hm, yaudah." jawabnya tanpa bertanya lagi, padahal aku sudah menyiapkan alasan jika dia melayangkan pertanyaan padaku.

Aku berjalan beriringan dengannya, tidak ada satu pun kalimat yang kudengar darinya.

Tik tok tik tok ... Aku berpikir keras.

"Ken, gimana belajar lo lancar?" tanyaku basa-basi.

"Lumayan, Kei. Walaupun ada banyak hal yang mengganggu gue." jawabnya datar.

Aku hanya mengangguk-anggukan kepalaku, tidak ada obrolan lain yang terlintas di pikiranku.

Tiba-tiba Niken berhenti setelah menyadari aku membawanya ke tempat yang bisa dikatakan 'asing' untuknya.

"Tempat ini ... Mantan taman belakang?" tanyanya kemudian.

Aku mengangguk, "Iya, eum, tempatnya adem Ken, lo pasti suka." jawabku agar dia mau mengikuti.

Niken terlihat berpikir. Aku jadi takut kalau dia memikirkan rumor yang orang lain katakan tentang tempat ini, hm.

"Tempatnya aman dan nggak ada setan atau apapun di sana, kok. Tenang aja gue sering ke si--"

"Kalo gitu, tempat ini pasti nyaman buat diskusi kita." Niken melirik ke arahku, lalu jalan mendahuluiku dengan ketenangannya.

Aku tertegun, Niken bilang diskusi? Apa dia tahu maksudku membawanya ke sini?

Kemudian aku menyusulnya dengan cepat. Niken terlihat sudah duduk di bangku taman dan mengalihkan pandangan ke seluruh arah.

"Oh, jadi tempat ini yang sering bikin lo hilang mendadak." ujarnya sembari tersenyum simpul.

"Iya hehe," jawabku saat menghampirinya.

"Hm, not bad." katanya lagi seperti seorang pengamat.

Aku duduk di sampingnya sembari tertawa kecil karena melihat tingkahnya.

Niken melihat jam berwarna tosca yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, "Huft, padahal gue udah nyoba ngaret, tapi ternyata mereka emang lebih pinter buat orang nunggu, ya," katanya lalu menghela napas.

"Ah? Mereka?" Aku tergagap mendengarnya.

"Iya mereka. Lo undang mereka ke sini juga, kan?"

Aku mensitegapkan tubuhku, "Lo udah tau?" tanyaku langsung.

Niken mengangguk, "Makanya kalo mau buat rencana tuh jangan di koridor sekolah." katanya lalu geleng-geleng kepala.

Mataku membulat sempurna, ternyata koridor bukanlah tempat yang tepat untuk menyusun sebuah rencana. Bahkan saat tempat itu sepi.

Apalagi Vita juga tadi tahu kalau aku baru saja menghindar dari Ka Albyan.

Koridor, I don't like you.

Niken tertawa, setelah itu dia berdiri, "Yaps, akhirnya dateng juga," ujarnya sembari melihat ke arah lain.

Aku menoleh, ternyata Aurel dan Vela baru saja datang.

"Welcome." ucap Niken dengan ceria.

Aurel tidak menjawab, dia hanya memandang Niken dengan sendu.

Sedangkan Vela tersenyum lalu menoleh padaku seperti mempertanyakan sikap Niken yang terlalu ceria.

"Segini aja atau mau nunggu satu orang lagi?" tanya Niken kemudian.

Aku dan Vela saling memandang.

"Oh gue ngerti, pasti Vita masih marah sama gue karena gue terlalu banyak ngomong waktu itu, ya? Hm, kayaknya abis ini gue harus minta maaf." lanjut Niken kemudian.

Dahiku mengernyit seketika, sikap Niken terlihat sangat santai menurutku.

"Yaudah Kei, katanya lo mau ngomong sesuatu," ucapnya lalu melipat kedua tangan di depan dada, "kita mulai sekarang aja, soalnya gue ada urusan abis ini."

"Hah? Oh iya," aku menghela napas sejenak, mencoba merangkai kata untuk kelancaran rencanaku.

"Jadi gini, ini tentang kesalahpahaman yang lagi terjadi dipersahabatan kita, gue tau kalian itu--"

"Langsung to the point aja." celetuk Niken dengan tersenyum.

Aku mengatup mulutku, kalimat yang kurangkai seketika buyar tak menentu.

Mereka masih melihatku, terutama Vela yang memberi dukungan kecil dengan anggukan kepalanya.

Huft, aku menarik napas kembali. Dengan kemantapan aku mengatakan, "Gue mau lo dengerin penjelasan Aurel dan Aurel ... Lo harus jelasin semuanya ke Niken tanpa ada yang harus lo tutupin!" Ya. Aku mengatakan semua dengan satu tarikan napas.

"Hm, sekarang gue mau tanya sama lo, Kei," Niken melirik Aurel sebentar lalu kembali duduk di kursi dengan santai, "apa lo pikir gue sama Aurel nggak berani bicara empat mata sampai kalian berdua harus repot nyari tempat khusus cuma buat diskusi masalah ini?"

"Jadi kalian udah bicara empat mata?" tanyaku sembari melihat mereka bergantian.

"Beneran kalian udah saling terbuka? Kalian udah baikan?" sambung Vela dengan sumringah.

"Rel, kenapa lo nggak bilang sih sama kita? Berarti sekarang masalahnya udah clear, kan?" lanjutku sembari tersenyum mengusap dada.

"Iya masalahnya udah clear." jawab Aurel kemudian.

"Ah, kalian pasti mau ngerjain kita, ya? Pake akting marahan segala lagi, huuu ... Nyebelin." kata Vela dengan tersenyum lebar.

"Kalian tuh ya! Suasana kelas jadi asing gara-gara akting kalian ini tau! Gue nggak like." ujarku sembari mempoutkan bibir imutku. Oke abaikan saja.

Niken tersenyum simpul mendengar keluhanku dan Vela, "Kita udah terlalu banyak hadapin masalah, jadi kalo cuma buat diskusi itu adalah kebiasaan kita."

Aku dan Vela saling memandang, tersenyum dan merasa lega.

"Kita udah terlalu banyak diskusi untuk cari solusi dari masalah kita," kata Niken lalu menghampiri dan berdiri di samping Aurel.

"Walaupun solusi itu bikin kita harus terima apa yang kita nggak harapkan,"

Kali ini mereka saling memandang, Niken tersenyum dan Aurel tetap membekukan bibirnya.

"Walaupun kita harus terdiam demi persahabatan,"

"Terdiam, maksudnya?" tanyaku bingung.

"Kita harus pendam dan terima rasa sakit demi persahabatan." jelasnya.

"Ouh." sahutku kemudian.

"Ya, kita harus terima semuanya, berusaha buang jauh-jauh rasa sakit yang kita punya dan terus harus ingat persahabatan the only one, right?"

"Setuju!" ujarku dengan semangat.

Tiba-tiba aku merasa Vela menepuk pundakku perlahan. Aku menoleh ke arahnya, "What?"

Vela menatapku lalu mengatakan 'Aurel' tanpa suara dan memintaku melihat ke sana dengan kode matanya.

Senyum di wajahku perlahan memudar saat aku melihat air mata di sana.

Aku melihatnya lagi, Aurel menangis lagi.

"Karena itu, karena itu gue nggak mau abaikan rasa sakit gue untuk kesekian kalinya." kata Niken lalu menoleh ke arahku dan Vela.

"Nggak ada yang niat sandiwara di sini. Kita emang udah bicarain semua dan rasa kecewa gue belum hilang sedikitpun." lanjutnya dengan mata yang mulai memerah.

Vela menghampiri mereka, "Ken, maksud lo ... Nggak. Lo jangan putusin semua gitu aja, Ken." ucapnya dengan menggenggam lengan Niken.

"Persahabatan terlalu indah menurut gue, Vel. Gue nggak mau benci persahabatan karena rasa sakit gue," jawab Niken sembari menyingkirkan tangan Vela perlahan, "Karena itu, gue berhenti dari semua ini, Vel."

Aku terdiam, yang aku lihat bukanlah yang aku perkirakan.

"Kalo persahabatan cuma buat bikin lo tertekan, buat apa? Bukannya persahabatan adalah hal yang indah buat lo jadi bebas dan tersenyum setiap saat?" Niken menggertakan giginya, rahangnya mengeras, dia menahan tangisannya lagi.

"Gue benci persahabatan yang gue jalanin sekarang, gue benci diri gue yang selalu berusaha tersenyum di hadapan kalian, gue benci sama masalah yang semakin mendorong gue untuk berhenti dari semua persahabatan ini." Niken terduduk, menutup wajahnya dan menangis sekencang-kencangnya.

"Ken ...," Vela ikut terduduk dan memeluk Niken dengan erat.

Sesak ... Aku bisa merasakan sakitnya membenci sesuatu yang disuka.

Daun-daun berjatuhan dari tangkainya, hembusan angin kencang mempunyai perannya sendiri untuk membuat api dalam dirinya semakin membara.

Setelah beberapa menit melepaskan tangisannya, Niken beranjak berdiri, menghadap Aurel yang sejak tadi tidak beralih pandang darinya.

"Gue minta maaf, gue emang egois." ujarnya sembari mengenyahkan air mata dari wajahnya, "persahabatan kita ... Gue bener-bener suka itu. Tertawa, curhat, bertindak gila, gue have fun dengan semua itu, tapi...,"

Mereka bertatap saling melekat, serpihan memori sepertinya sedang beradu dibenak mereka.

"Sekali lagi gue minta maaf." tuntasnya lalu bergegas merampas tas yang sebelumnya diletakkan di tanah.

Niken berbalik dan menjauhkan langkahnya dari Aurel yang masih terdiam dengan air mata yang mulai mengering.

Vela menahan tanganku saat aku hendak ingin menghentikan Niken.

"Tunggu!" detik selanjutnya Aurel bersuara.

Niken terpaku dengar suara itu.

"Kenapa lo selalu pergi setelah lepasin semua amarah lo sama gue?" Aurel melangkah menghampiri Niken, "Kenapa lo nggak pernah nunggu gue buat respon rasa sakit lo?"

Aurel berjalan perlahan ke arahnya.

"Kenapa lo selalu bilang kalo gue orang yang nggak jelas? Kenapa lo selalu memilih tidur daripada denger lelucon terbaru gue? Padahal gue udah siapin itu jauh-jauh hari...,"

Niken berbalik, dahinya berkerut seketika.

"Kenapa lo selalu kasih sayuran di makanan gue? Padahal lo tau gue nggak suka itu." Aurel berkacak pinggang sambil menaikkan satu alisnya.

"Kenapa lo selalu kasih bubuk cabe yang berlebihan di cimol gue? Dan kenapa lo selalu kasih saus tomat di mie rebus gue? Apa lo tau, mie rebus dicampur saus tomat itu rasanya nggak banget!" tuntasnya dengan wajah yang menggebu.

Sama dengan Niken, dahiku mengerut seketika mendengar perkataan Aurel, sebenernya dia lagi apa, sih?

"Betul, Niken selalu lakuin semua yang dibilang Aurel." Di sampingku, Vela tertawa kecil sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

Pandanganku terarah pada mereka lagi.

"Gue nggak suka, tapi lo terus aja lakuin itu ke gue. Lo itu ngeselin! Egois! Dan keras kepala lo itu bikin gue nyerah untuk nolak semua keputusan yang lo buat." Aurel tersenyum sejenak lalu meraih tangan Niken untuk digenggamnya.

Ekspresi wajahnya seketika kembali normal, "Gue bisa ngerti perasaan lo, Ken. Lo sahabat gue, gue tau nggak semua waktu yang kita jalanin bersama buat lo tertekan, kan? Setidaknya ada satu atau dua momen yang harus lo ingat untuk jadi kenangan indah persahabatan kita." Niken hanya menatap lekat sahabat di depannya, usahanya untuk berhenti menangis telah gagal.

"Jangan nangis," Aurel bertindak menghapus air mata Niken dengan lembut, "liat tuh, Keira sama Vela jadi ikutan baper nontonin kita daritadi," kata Aurel yang mengundang senyuman menggelitik dari kami.

"Gue juga mau minta maaf, Ken, karena entah kenapa gue selalu terlibat dengan apa yang lo suka. Jadi untuk mencegah semua itu terjadi lagi, gue terima putusan lo." ucapnya yakin, "Sekarang kita bisa jalanin hidup tanpa beban persahabatan." Aurel tersenyum, melihat langit cerah yang sejak tadi memayungi kami.

"Kita bukan sahabat, kita cuma sekedar teman lama, right? Hm, bayangin itu gue jadi gugup sendiri hehe." kata Aurel dengan cermin air mata yang bisa kulihat.

"Tapi Ken, kalo gue mau nyapa lo, lo harus nyapa gue balik, ya! Biar gue bisa anggap semua itu bukan mimpi, lo mau, kan?" lanjutnya kembali.

Niken mengangguk perlahan,"Of course!" jawab Niken lalu menghela napas, "Gue harap kita bisa jalanin semua, Rel." lanjutnya dengan air mata yang terus mengalir.

Aurel mengangguk-angguk, tangisannya tak terbendung lagi.

"Gue bersyukur bisa akhirin ini baik-baik, Ken. Thanks buat kenangan indah yang udah lo kasih ... Selamanya, lo adalah sahabat terbaik yang pernah gue punya." tutup Aurel dengan tangis pilu.

Kemudian Niken memeluk Aurel dengan sangat erat. Lalu keduanya berusaha mentautkan senyum untuk akhir yang baik ini.

Mereka saling tersenyum setelah melepaskan apa yang mereka pertahankan selama ini.

Hari esok mereka harus melangkah maju dengan awal yang baru.

Tidak ada yang menjamin malam ini tidak akan ada air mata yang terjatuh.

Menahan air mata, itu hanya menambah rasa sakit yang terpendam.

Terkadang sesuatu yang sangat menyenangkan bisa membuat rasa yang paling menyakitkan.

Bertumpu pada satu kebahagiaan, tidak membuat kebahagiaan itu selamanya menjadi sumber keindahan.

Peluang kebebasan dari yang tidak ingin dilepaskan, itulah yang dibutuhkan.

Mencoba bergerak dari zona aman, mengharapkan sebuah masa depan yang lebih menggembirakan.

Entah akan bersama atau hanya sekedar menyapa saat berjumpa, untuk saat ini seluruh hati harus menerima dengan lapang dada.

Demi tercapainya arti dibalik persahabatan yang pernah ditetapkan.

Untuk masa depan yang akan kami datangi ... Apa kau bahagia dengan akhir senyuman ini?

Reset.

***

Sip. Aku update panjangggg hahaha 😄

Akhirnya salah satu masalah terselesaikan~ huft.

Hm, by the way, ini bukan masalah utama loh, you know lah apa yang bakal jadi masalah yang paling WOW *ketawajahat. 😂

So, stay read
And
Don't forget for vomment, yaps!

😘

Continue Reading

You'll Also Like

517K 56.3K 23
Berkisah tentang seorang Gus yang dikejar secara ugal-ugalan oleh santrinya sendiri. Semua jalur ditempuh dan bahkan jika doa itu terlihat, sudah dip...
GEOGRA By Ice

Teen Fiction

2.4M 100K 57
Pertemuan yang tidak disengaja karena berniat menolong seorang pemuda yang terjatuh dari motor malah membuat hidup Zeyra menjadi semakin rumit. Berha...
1.7M 77.8K 41
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
3.2M 159K 25
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...