Afrodisiak

ShoukiWisanggeni द्वारा

30.7K 2.8K 443

Drabble kisah RaShouRa. अधिक

Pengantar
Monyet, Pisang, dan Singkong
Rima, Gurih, dan Sapi
Gelombang, Laut, dan Antariksa
Kaki, Indah, dan Tarik
Bekas, Gigitan, dan Laba-laba
Kenapa?
Malam Minggu
Mitologi

Mangsa, Terbelit, Burit

2.2K 244 142
ShoukiWisanggeni द्वारा


Selamat siang ^^

Akhirnya saya bisa menulis lagi, meski tulisan saya masih banyak yang harus diperbaiki. Mohon dimaklumi, dan silakan memberi kritik atau saran. Saya akan menerimanya dengan senang hati.

Seperti biasa, saya menulis untuk tokoh RaShouRa. Namun, yang akan kamu temui di sini agak berbeda dari sifat mereka yang biasanya. Jangan kaget kalau ada yang berbeda, manusia mempunyai banyak topeng, bukan?

Saya dedikasikan kisah ini kepada RaAratte. Terima kasih atas dukunganmu selalu. Happy Rashoura Day :*

Dan, selamat menikmati :D

.

.


Mangsa, Terbelit, Burit

.

.

Menangkapnya bukanlah hal mudah.

Mengejar larinya saja sulit, apalagi menangkap? Akankah pihak berwajib sanggup menahannya di balik jeruji?

.

Pria berseragam terkekeh rendah dan menutup koran paginya. Jemarinya mengetuk meja dengan irama, sedikit memantulkan gema di dalam ruangan. Sesekali matanya melirik ke koran, meja, kursi, kembali lagi ke koran, meja—oh, teko di atas kompor berbunyi. Sudah waktunya ia membuat teh hangat pembuka hari.

Ra.

Pencuri yang selalu lolos dari kejaran polisi. Wajahnya muncul di televisi setiap hari. Mangsanya adalah para konglomerat kotor, politisi korup pun tak luput dari incarannya. Kepalanya pun sudah menjadi incaran sejak lama dan sudah menjadi tugas polisi untuk meringkusnya. Meski sebagian besar tuntutan penangkapan adalah sebuah paksaan dari para warga 'di atas sana'. Polisi bisa apa?

Perlahan ia tuang air panas ke dalam cangkir hitam favoritnya. Tak lupa gula dan teh tubruk, diaduk sampai ketiganya berpadu menjadi teh siap minum. Meniup cangkirnya yang mengepul, ia sesap lamat-lamat. Matahari pagi, koran, dan teh hangat. Ah, betapa nikmatnya pagi ini.

Jam dinding menunjuk angka tujuh, berdering menandakan ia harus bergegas. Segera ia menyambar ransel hitam di sofa dan memakai jaket berkupluk (untuk menutupi seragamnya selama perjalanan, tentu saja). Pekerjaannya bukan hal yang memalukan memang, namun berseragam di antara kerumunan bukanlah hal baik. Seragamnya menjunjung kemuliaan, tubuhnya tinggi tegap, otot mengintip dari balik lengan seragamnya. Jika banyak yang tertarik, ia pasti kerepotan.

Haha.

Maaf saja, sebagai pihak berwajib yang taat peraturan, tak heran ia menjadi panutan. Sejak bergabung dengan kepolisian lima tahun lalu, berbagai prestasi telah diraihnya. Jangankan membantu nenek toko bunga menyeberangi jalan, menyeberangi sandera teroris ke daerah yang aman pun ia lebih dari sanggup. Termasuk sebagai pendatang baru, tapi prestasinya sudah seperti kepala kepolisian. Tak ayal, pangkatnya pun melejit begitu cepat. Kemarin menjadi anggota tim, hari ini menjadi kepala tim. Pujian seperti tak berhenti mengalir untuknya, begitu mudah mendapatkan predikat 'anak emas' Komisaris Besar Polisi. Abaikan para senior yang menatap iri—mereka hanya tak sanggup menjadi seperti dirinya.

Shouki Al Zaidan, 27 tahun.

Umurnya bahkan belum menyentuh kepala tiga, tapi kehidupan karir sudah di genggaman. Tidak ada pelaku kejahatan yang tak dapat dia ringkus. Tidak ada jalan kabur bagi pelaku kejahatan yang sudah ia incar. Memangnya kau bisa ke mana jika sudah ditargetkan oleh Shouki? Ditangkap atau mati. Kau pilih mana?

Shouki ingat apa yang dikatakan ayahnya. Saat itu, tetungkainya masih suka mengejar bola. Ia tendang, ayahnya membalas, lalu ia berlari lagi untuk menangkap bola. Ketika taman sudah begitu sepi di kala senja datang, ayah Shouki pun memanggilnya untuk berhenti bermain. Diberikan es krim vanilla, Shouki tersenyum riang dan duduk di ayunan. Tubuhnya membungkuk dan merenggang dengan kaki yang menjadi tumpuannya, Shouki menggerakkan ayunannya sendiri.

Tungkai bersepatu kets saling berketuk, ia berayun sembari membersihkan tanah yang menempel di sepatunya. Kerak di sepatunya jatuh satu persatu ke tanah, membuat kets bersih perlahan. Shouki mengulum senyum melihat sepatunya kembali bersih. Namun, kerak di bagian celah sepatunya tak mau hilang. Ia berjuang keras mengoreknya dengan sepatunya yang lain—tetapi keraknya tak kunjung hilang juga. Shouki menggeram saking kesalnya, ia gesek terus sepatunya, melupakan es krim vanilla di tangannya yang mencair ke atas paha. Bocah itu menggeram sekali lagi, namun sepatunya justru terbang jatuh cukup jauh. Di saat Shouki hendak turun dari ayunan, ayahnya melarang dan mengambilkan sepatu untuknya.

Shouki merengut kecil ketika dipasangkan sepatu. Kerak tanah di sepatunya masih ada. Ia gagal membuat sepatunya kembali bersih. Sampai di rumah, ia harus menggunakan apa untuk mengeruk tanah tersebut? Dengan mainan sekopnya? Atau dengan obeng kecil ayah?—otak kecilnya berpikir. Seperti tahu apa yang dipikirkan anaknya, ayahnya terkekeh pelan.

"Nak, sepatumu awalnya tidak kotor, kan?" tanya ayahnya tiba-tiba. Shouki mengangguk kecil sebagai jawabannya. "Lalu kenapa sekarang kotor?"

Tanpa jeda, Shouki menjawab, "Karena aku main bola, Ayah."

"Lalu kenapa kau ingin membersihkannya kembali?" sambung ayahnya, sembari membersihkan sepatu Shouki dengan ranting pohon.

"Karena.. aku tak suka sepatuku kotor. Padahal sepatuku bagus, aku tak suka kalau kotor, Ayah," jawab Shouki dengan menundukkan kepalanya. Matanya masih tertuju kepada sepatu, sembari sesekali menjilati sisa es krim yang mencair di jemarinya. Senyum kembali menghiasi wajah Shouki ketika ayahnya berhasil membersihkan kerak tanah di burit sepatunya.

"Dunia ini seperti sepatumu, Nak. Bersih awalnya, namun jika masuk ke dalam ceruk, kerak kotor pun terbentuk."

Shouki kecil menelengkan kepalanya. Tidak mengerti.

Ayahnya tersenyum simpul lalu melanjutkan perkataannya, "Suatu saat kau akan mengerti. Dunia tak sebersih yang kita kira. Pelaku kejahatan harus dihukum sebesar apa yang sudah ia lakukan. Tangkap mereka, Nak. Buat dunia ini lebih baik."

Pelaku kejahatan harus dihukum sebesar apa yang sudah ia lakukan. Tangkap mereka, Nak. Buat dunia ini lebih baik.

Seperti inilah Shouki sekarang, memilih karirnya sebagai polisi. Pertama, ia menyelesaikan studi sarjana pertama, baru kemudian masuk ke instansi kepolisian. Kehidupan perkuliahannya bisa dibilang sangat lancar. Ia lulus dengan predikat cum laude, atau biasa pula disebut predikat mahasiswa terbaik. Tak ada dosen yang tidak mengenalnya. Namun, ketika Shouki memberitahukan niatnya untuk mendaftar kepolisian, dosen pembibingnya seperti menyayangkannya.

"Kenapa mendaftar kepolisian? Lebih baik kau menjadi pengajar di kampus ini. Kami butuh orang sepertimu untuk mendidik mahasiswa."

Shouki menjawabnya dengan senyuman, "Saya hanya ingin meneruskan impian yang diturunkan kepada saya, Pak."

Saat itu ia merasa bangga sekali menjawab dosennya demikian. Dulu dan sekarang sama, toh ia benar-benar menjadi polisi andalan. Ia tak menyia-nyiakan ilmunya dengan masuk kepolisian. Shouki yakin, ke mana pun ia melangkah, asal ditekuni, kesuksesan akan diraihnya.

Shouki tiba-tiba terdiam. Pendengaran ia tajamkan. Suara ketukan membuyarkan lamunannya.

Ia berbalik kembali ke bagian dalam rumah. Pinggang ia raba perlahan. Pistol, cek. Borgol, cek. Pisau, cek. Jika ada perlawanan, Shouki sudah siap meringkusnya. Dengan perlahan, ia pun memeriksa rumahnya.

Ruang tamu. Cek.

Dapur. Cek.

Toilet. Cek.

Hanya satu yang belum diperiksa. Kamarnya. Kamarnya berada di pojok rumah, terletak di sudut siku. Ia sengaja menyewa rumah yang kamarnya berada di paling sudut. Niatnya memang supaya tidurnya tak terganggu, tetapi cukup bahaya jika kamarnya dijadikan persembunyian.

Shouki menarik napas sebentar, lalu merapatkan tubuhnya dengan dinding. Detik berikutnya, ia membuka kenop pintu dengan sangat lambat. Ia mengintip ke dalam..

Di dalam kamarnya, terdapat seorang pria. Mungkin seusia dirinya—ah tidak, lebih muda darinya. Pria itu terhenti gerakannya karena waspada. Rambutnya hitam berantakan, menutupi sebagian wajahnya. Ketika sadar Shouki memergokinya, matanya nyalang menatap balik Shouki. Pundaknya seketika bergetar. Geliginya bergemeretak. Entah ia takut.. atau karena marah?

"Kau.. sedang apa?" tanya Shouki tanpa mengurangi waspadanya.

Pria di hadapannya mendelik, "Sedang apa katamu? Kapan kau akan melepaskanku?"

Kau takkan bisa lari dariku.

"Maksudku, sedang apa kau sampai menatapku nyalang begitu?"

Lepaskan. Kau tak tahu sedang berhadapan dengan siapa.

"Lepaskan borgol ini. Kenapa kau tidak menyerahkanku untuk diadili? Kenapa kau bawa aku ke rumahmu?"

Ya, aku tahu. Kau yang tak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Kau tak pernah baca koran, hm?

"Hmm.. entahlah. Aku merasa kau menarik. Menawan. Apalagi ketika kau sedang terbelit borgol atau tali. Jadi, kenapa tak kubawa saja ke rumah?"

Kau gila? Buat apa menyekap pencuri di kamar pribadimu? Lepaskan borgol tangan dan kakiku. Kembalikan pakaianku. Sekarang.

"Kau sinting."

Shouki menyeringai.

.

.

Oh, Ayah, sekali saja. Bolehkah aku menyimpan pelaku kejahatan ini untuk diriku sendiri?

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

89.7K 3.2K 15
"siapa namamu?" "o-oline kakk"
291K 16K 19
[VOTE AND COMMENT] [Jangan salah lapak‼️] "Novel sampah,gua gak respect bakal sesampah itu ni novel." "Kalau gua jadi si antagonis udah gua tinggalin...
102K 787 13
one-shot gay ⚠️⚠️⚠️ peringatan mungkin ada banyak adegan 🔞 anak anak d bawah umur harap jangan lihat penasaran sama cerita nya langsung saja d baca
50K 295 6
Area dewasa..