Wishy-Washy ✔️ [ SUDAH TERBIT...

Da Aku-UMI

3.1M 255K 25.2K

Karena laki-laki tampan bukan lagi menjadi incaran. Seiring berkembangnya zaman, selera perempuan tak akan pe... Altro

| Sebelumnya |
| P r o l o g |
| I - Wishy-Washy |
| II - Wishy-Washy |
| III - Wishy-Washy |
| IV - Wishy-Washy |
| V - Wishy-Washy |
| VI - Wishy-Washy |
| Intermezzo - Wishy-Washy |
| VII - Wishy-Washy |
| VIII -Wishy-Washy |
| IX - Wishy-Washy |
| X - Wishy-Washy |
| XI - Wishy-Washy |
| XIII - Wishy-Washy |
| XIV - Wishy-Washy |
| Wishy-Washy |
| XV - Wishy-Washy |
| XVI - Wishy-Washy |
| XVII - Wishy-Washy |
| XVIII - Wishy-Washy |
| XIX - Wishy-Washy |
| XX - Wishy-Washy |
| XXIII (b) - Wishy-Washy |
| XXVI (b) - Wishy-Washy |
| THE REAL WISHY-WASHY |
Baju Balu
NIH, Dimam ya.
| Sesudahnya |
VOTE COVER DONG, JAN SIBUK NGEBUCIN!
BELUM PO! (BACA WAE DOLO)
PRE ODER SEKARANG!
PO LEWAT PENULIS
GIVE AWAY CUY
PENGUMUMAN GA

| XII - Wishy-Washy |

66.4K 9.1K 833
Da Aku-UMI

Ambil uangnya, tanpa perlu orangnya!
..
..
..





Orang tua akan merasa selalu benar, tak peduli kamu sudah merentangkan bendera kebenaran.

Teman kuliahku dulu pernah menarik tanganku kuat saat dosen baru saja mengakhiri kelas. Dengan kebingungan, aku tetap membiarkan ia membawa ke sebuah taman kampus. Saat kupikir, akan ada sesuatu yang besar terjadi atau sudah terlanjur, tetapi nyatanya, Tsania---temanku itu---malah merepet dan aku tak berhasil mencerna kalimatnya. Ketika aku berusaha menjeda, meminta dia menormalkan repetan dalam bentuk umpatan saja (setidaknya, untuk yang ini aku bisa paham), dia malah mengangkat tangan dengan gelengan kepala, "Elo cukup diam, Pra. Gue cuma mau ada yang dengerin. Ini semua tentang masa depan gue dan nggak ada yang paham."

Maka, kira-kira selama lima belas menit, aku menghabiskan waktu paling buruk sepanjang hidup hanya untuk mendengar repetan orang. Usai mengoceh dan merasa puas, akhirnya Tsania mengaku kalau dirinya sedang sangat kesal pada orangtuanya. "Elo tau nggak, Pra? Emak gue nih nyebelin abes! Masa ya, gue mulai bangun olshop, dia bilang itu malu-maluin dan nggak akan sukses. Dia tuh nggak paham, gimana berkembangnya zaman dan selalu merasa benar sendiri."

"Elo jelasin dong, San."

"Udah! Tapi dia kukuh, dia bilang dia tau apa yang terbaik untuk anaknya. Intinya, gue nggak diizinkan buat nyambi, harus fokus ke kuliah. Bosen kali!"

Dulu, aku pikir Tsania berlebihan. Disuruh kuliah saja, tanpa kerja, tetapi uang mengalir, bukankah sesuatu yang menggiurkan?

Namun, kini aku paham. Kalau apa yang dimaksudkan Tsania bukan tentang seberapa uang yang didapat, seberapa kemudahan ia karena hanya fokus pada pendidikan. Lebih dari itu. Tsania menginginkan sesuatu yang berdasarkan perspektifnya. Berlandaskan apa yang ia suka. Dan, segala sesuatu jelas tak sama dengan yang lain. Tetapi, orangtuanya, merasa tau segala. Memaksa Tsania melakukan apa yang mereka pinta.

Sama persis dengan keluargaku. Malam itu, setelah Raka dan Pak Alfi pulang, aku memaksa semua orang rumah berkumpul di ruang tamu karena merasa ada yang perlu aku ketahui. Tidak. Mama salah besar jika menganggap aku adalah bodoh. Bercanda, Bung? Aku adalah Praveena Radha. Dan, sejak kapan cewek cantik dan seksi terlahir tanpa otak?

Meeting keluarga itu tentu saja dibuka olehku yang merasa ingin menusuk Mas Satya karena terlihat ogah-ogahan. "Jelasin ke Pra, Mama kenal sama Gandhaa kan? Kenapa Mama ngomong sama Eyang tapi bahas Raka. Demi Allah dunia itu luas!"

Tak ada yang menjawab, membuat emsosiku semakin meningkat.

"Oke, nggak ada yang mau jawab, Pra? Kalau gitu, jangan cari Pra lagi. Pra mau pergi dari rumah ini! Bye!"

"Pra!"

Itu suara Mas Satya. Aku mengurungkan niat dan kembali duduk di sofa. Siapa juga yang mau pergi. Aku nggak punya uang. "Kenapa? Nggak ada yang mau ngomong kan? Pra tuh salah mulu. Mas Satya tuh bener mulu. Kapan sih Mas Satya tuh terlihat buruk di depan Mama dan Papa? Pra terooos!"

"Kamu juga terbaik. Putri Papa paling cantik." Papa mengelus lenganku, dan hanya kubalas putaran bola mata. "Lho, nggak percaya? Kamu sama Mama aja cantikan kamu kok."

"Jelas!"

Papa malah tertawa. Disusul dengusan Mama dan gelengan kepala Mas Satya.

"Gandhaa itu orangnya baik tho, Nduk?" Oh God, kalau Mama sudah menggunakan panggilan manis itu, berarti aku harus siap dengan informasi besar. "Raka juga baik, manis dan penurut. Kamu ndak tertarik?"

"Apanya?"

Mama tersenyum. Berdiri dan mengambil alih tempat di sebelahku. Jadi, aku berada di antara Mama dan Papa sekarang, sementara Mas Stya tetap di seberang. "Duda itu ndak selamanya buruk lho, Pra. Dia punya banyak pengalaman. Pengalaman menghadapi perempuan, menghadapai anak kecil, menata rasa, menahan emosi selama pernikahan. Jadi, kita ndak perlu takut kalau sikap aslinya bakal keluar dan kita dijadikan mesin percobaan untuk dibentak, dimarahi dan lain-lain." Semua omongan panjang Mama nggak ada yang kumengerti. Kami kan lagi bahas Gandhaa, kenapa malah ke emosi dan kawan-kawannya?

"Iya, Sayang. Dulu, waktu Papa baru nikah sama Mama. Itu kacau. Papa yang nggak tau apa-apa dan Mama-mu sama nggak tahunya. Kita sering salah paham karena belum berpengalaman dalam berkeluarga. Jadi, duda itu nggak selamanya buruk."

Ha? Aku menolehkan kepala ke arah Papa, mengernyitkan dahi. "Maksud Papa dan Mama...." Kualihkan pandangan ke Mama. "Duda di sini itu ... Gandhaa?"

Kepala mereka mengangguk.

"NGGAK MAU! Amit-amit ya Allah, Mamaaaa. Ih aku! Nggak mau sama duda. Nggak mau bekasan. Nggak mau bekas orang! Ew!"

"Hei, dengerin dulu. Gandhaa itu kan baik. Bekas orang juga, bukan bekas iblis, Pra." Mama menyentuh lenganku, sementara aku sudah menutup muka, terisak. Membayangkan aku akan di-ena-enain Gandhaa membuat jantungku kewalahan. Ew! Jangan, Tuhan...! "Yang single, belum tentu sesempurna dia. Dewasa pemikirannya, banyak uangnya. Kamu, katanya butuh suami yang banyak uang."

"Ta-tapi nggak bangkotan juga kali." Aku melotot pada Mas Satya karena melihat laki-laki itu tergelak, meremehkan. Sambil sebelah tangan mengusap ingus, aku mengacungkan jari lainnya. "Apa? Mas Satya seneng diperlakukan sedemikian baik sama Mama dan Papa? Dibiarkan memilih jodoh sendiri, sedangkan aku diumpanin ke pria tua? Hah?"

"Enggak gitu, Sayang." Papa mengecup kepalaku, tetapi kali ini aku tak merasakan kasih sayangnya. Mereka semua egois. Memaksa kebenaran hanya dari versi mereka. Tanpa tahu kalau yang kudambakan adalah perjaka dengan segala rasa penasaran dan kesempurnaannya. "Papa sama Mama cuma pengin yang terbaik buat kamu. Begitupun Eyangmu. Mamanya Gandhaa kan udah temenan sama Eyang sejak sekolah dulu. Jadi, sudah sama-sama mengenal bibit, bebet, bobotnya."

"Duda melengkapi bibit, bebet, bobot?"

Mereka bungkam.

Sampai kalimat Mas Satya kembali menyapa suasana. "Dengerin Mas. Mas tahu, sebagai perawan, kamu mendambakan laki-laki sama baiknya dalam arti masih fresh. Tapi, kamu harus paham, di jaman sekarang, di mana kamu nemu perjaka, dewasa, ganteng dan mapan?"

"Ada."

"Enggak ada, Pra."

"Berarti Mas Satya...."

"Dengerin kata-kata orang tua." Tanpa menungguku menjawab, Mas Satya malah nyelonong ke kamar.

"Mas Satya nggak perjaka?!" teriakku, saat ia sampai di anak tangga. Namun, laki-laki itu tak mendengarkan, atau pura-pura saja. "Ma, Pa, Mas Satya nggak perjaka! Dia bandel!"

"Bener itu, Sat?!" Dan, teriakan Papa akhirnya berhasil memberhentikan langkah Mas Satya.

Dia menolehkan kepala. "Enggak, Pa! Jangan percaya mulutnya Pra. Dia pembohong."

Aku masih nggak percaya kalau Mas Satya perjaka. Dialah pembohong sebenarnya.

Dan, sudah berlalu dua hari setelah malam itu, aku mengurung diri di kamar, mematikan ponsel, dan makan kalau aku merasa sudah sangat tidak kuat menahan lapar. Semua itu karena aku berharap keluarga akan prihatin dan membela. Membebaskanku dari semua drama yang mereka cipta. Ew. Dijodohkan. Aku nggak akan masalah kalau laki-laki pilihan Eyang, Mama atau Papa itu adalah pangeran Dubai, yang ganteng dan kaya raya, bukan malah duda modelan Gandhaa.

Memang, memang, aku tahu, Gandhaa akhir-akhir ini baik dan tak terlalu menjijikkan di mataku. Tapi, mengingat kalau dia mengetahui perjodohan ini, dan melakukan itu mungkin saja hanya demi menarik perhatianku, aku makin malas dengannya! Tapi, aku sayang anaknya. Bisa enggak sih hanya Raka yang kuambil tanpa Bapaknya itu?

Pintu kamarku diketuk dari luar. Tetapi, karena aku masih malas, aku mengabaikannya.

"Pra, ini gue."

Ngapain si Kolot itu di sini? "Males, Ras! Pulang aja sana!"

"Dih, gitu lo ya sekarang. Padahal, gue di sini ada di pihak elo tau. Izinin gue masuk dulu dong, Adik Ipar. Nanti, gue kasih strategi ampuh deh. Sumpah."

Aku memilin bibir bawah, menimang tawaran Laras. Dia itu cerdas, kuakui. Dan, biasanya banyak ide. Jadi ... aha! Loncat dari ranjang, aku dengan segera membuka kunci pintu dan menemukan cengiran Laras yang kubalas dengan hal serupa. Sambil melangkah masuk, masih sempat-sempatnya ia menoyor kepalaku.

"Apa sih, Ras!"

"Sewot deh lo." Dengan berlagak sombong, Laras berjalan ke sana-kemari, berdiri di depan jendela, lalu kembali menghampiriku di atas ranjang, ikut bersila. "Elo kenapa?"

"Nggak usah pura-pura nggak tahu. Elo kerja sama kan sama keluarga gue soal Gandhaa?"

"Awalnya sih iya, gue ngaku. Tapi lepas itu, semuanya berjalan natural kok, Pra. Tanpa canpur tangan siapa pun."

"Ngapusi! Gue tahu!"

"Dih Jawanya keluar. Serius, Pra. Nggak percayaan banget sih lo sama gue."

Aku mendengus. "Yaudah, katanya elo bakal ada di pihak gue. Apa strateginya? Lo mau biayain gue hidup di Barcelona? Gue kayaknya mau minggat ke sana deh, Ras."

"Gila!" Laras melotot. Habis gimana ya ini. Aku merasa hidupku tuh berakhir di sini, semenjak malam sialan itu. Ah, kenapa dari banyaknya orang kaya raya, harus duda mesum itu yang dimaksud? "Menurut lo, Mas Gandhaa tuh ganteng nggak, Pra?"

"Mau ganteng kalau duda sama aja boong!"

"Ck. Pertanyaan gue, dia ganteng enggak?"

"Iya."

Senyumnya merekah. "Tante El juga yang seleranya setinggi Om Riyon, tetap mengakui kok kalau Gandhaa ganteng."

"Terus?" Aku mencibir Laras. "Makan tuh ganteng. Di jaman sekarang ya, Ras, orang ganteng aja nggak cukup. Selera cewek tuh nggak akan bisa diprediksi. Berubah-ubah."

Ya kalau cukup dengan ketampanan saja, tidak akan ada namanya patah hati ditinggal pacar memilih laki-laki lebih mapan. Tidak akan ada yang namamya istri bekerja karena gaji suami nggak cukup. Karena semua harusnya tertutup dengan kata ganteng. Tapi, nyatanya, itu semua bulsshit!

Aku butuh uang!

Uang!

Uang, Tuhan, bukan duda!

"Pra, Pra. Coba dengerin gue deh."

"Males kalau omongan lo sama kayak Mama, Papa dan Mas Satya!"

"Bukan ih!" Laras menyentil hidungku. "Dengerin. Elo pengin cowok tajir kan?"

"Hu'um."

"Ganteng?"

"Bonus."

"Dewasa dan bisa memanjakan elo?"

"Iyalah! Ogah banget gue yang suruh manjain dia. Ew! Kayak banci aja dia!"

"Ya nggak usah nyolot, Say. Alusin aja, Say." Setelah Laras ngomong itu, aku dan dia sama-sama terbahak. Sialan banget si Kolot ini! "Semua itu kan ada di Gandhaa."

"Ya salam, Laras! Masih aja diaaaaaaa teros! Kalaupun di dunia ini cuma ada dia dan Mang Eko," Aku memilih berhenti, tersenyum miring.

Lalu, Laras melanjutkan, "Elo bakal milih Mang Eko kah? Bujang lapuk seberang kompleks itu? Yang udah umur empat puluh belum nikah dan katanya masih perjaka. Mau?"

"ENGGAKLAH! Mending Gandhaa. Tapi nggak mau juga ya Allah, pilihannya sulit." Aku mengusap wajahh. Nyaris frustasi. Mengapa hidupku jadi begini dramanya sih. "Ganti deh pilihannya. Ada Gandhaa dan Brandon Salim, gue pilih Brandon aja."

"Dia keles yang nggak mau milih elo. Elo tuh bego banget ya, Pra. Kalau gue disodorin modelan Gandhaa, udah minta halalin detik ini juga."

"Pretlah! Tukang ngapusi dasar! Ambil aja sana! Gue nggak mau."

"Yakin?"

"Hm."

"Dress baru tiap minggu?"

Aku diam. Membayangkan setiap weekend akan mengelilingi mal tanpa takut uang habis.

"Christian Louboutin?"

Mau!

"Tas mengkilap, Pra?"

Oh God, mau.

"Perawatan rambut dan badan, Pra?"

Holy shit! Aku pasti akan menjadi sangat cantik setiap harinya.

"Dan, elo cuma perlu cengar-cengir sama Raka doang, udah bisa dapetin semua itu. Di mana lagi, Pra?"

"Mau!" Aku menggelengkan kepala. Tidak, Pra. Harga diri tetap harga mati! "Nggak jadi, Ras. Tapi mau, Ras. Fuck!"

Laras terbahak. Membuatku makin kesal setengah mati. "Yang elo nggak mau dari Gandhaa apa sih, Pra?"

"Udah tua. Bekas orang."

"Elo kira Mas Satya sama gue gimana? Dia juga tua kali. Soal bekas orang, gue nggak yakin sih dia masih bersih, orang mainnya aja jago banget."

"Main apa?!" Ya salam. Kikikan Laras malah semakin menambah pening di kepala. "Ras, jangan macem-macem lo ya...."

"Kagak, elah! Becanda. Ih, serius amat sih lo. Tapi beneran, Pra. Kalau gue pribadi, umur tuh nggak ada masalah. Semakin berbeda umur kita sama dia, semakin besar kemungkinan perdebaran bisa dihindari. Dia pasti malulah sama umur kalau mau bertingkah kekanakan. Mas Satya tuh mencoba memahami gue banget. Pola pikir cewek jaman now kayak kita gini gimana.

"Dan, soal bekas orang. Gue mau tanya, elo yakin bisa membedakan mana perjaka dan enggak nantinya? Gimana kalau laki yang lo nikahi, cuma single di status, tapi nyatanya, burungnya suka apel di sembarang sangkar? Hm? Siapa yang bisa jamin? Apa enggak lebih terhormat duda, Pra. Yang berani serius, nempuh jalan legal dan suci, walaupun pada akhirnya harus pisah karena kematian. Pikirin deh."

Tuh kan. Malasnya ngomong sama Laras ya begini. Ada saja hal yang bisa dia ungkap dan dijadikan senjata melawanku. Di benar. Aku memang nggak bisa membedakannya, karena aku sendiri belum pengalaman. Tetapi, oh Tuhan, Gandhaa? Pria tua yang dari awal saja sudah membuatku darah tinggi dengan sikap sok-nya itu?

"Atau gini deh. Elo jijik sama dia, karena memang selama ini yang ada di otak lo tuh jeleknya dia terus. Coba, dengerin omongan gue, bersikap sewajarnya sama dia. Terima aja tawarannya. Nanti, elo bakal lebih mengenal dia tanpa perlu bahas kalau kalian dijodohin. Toh, selama ini dia nggak bahas, kan?"

Aku mengangguk.

"Elo takut di-ena-enain ya? Masih jijik sama duda?"

Aku mengangguk lagi. Meski benci Laras, tapi dia juga yang paling paham.

"Mau tau nggak rahasinya gimana waktu jaman kuliah, gue bisa jalan sama Om tanpa perlu di-anu-anu?"

Aku terkikik geli. Mengingat kelakuan Laras zaman kuliah. Gadis nakal memang. Oh mampus, panggilan itu! Aku segera menggelengkan kepala.

"Caranya adalah, bikin dia jatuh cinta. Elo bisa nikmati uangnya tanpa dia sentuh. Dia bakal rela lakuin apapun, kalau udah jatuh cinta, dan lau kalau dia udah mau beraksi, pintar-pintar elo aja deh mainin sikap dan ngulur waktu."

Aku menelan ludah. "Jadi, maksudnya, gue bikin Gandhaa jatuh cinta?"

"Hm."

"Terus, gue bisa dibelanjain?"

"Yoyoi."

"Caranya?"

"Ahelah. Masa bikin cowok jatuh cinta aja nggak bisa sih, Pra!"

"Ya gue kan bukan elo!"

"Alusin aja, Say." Kami kembali terbahak. "Masuk ke dunianya. Ikuti apa yang dia suka. Jadilah cewek yang baik di mata dia, sesuai sama kriterianya. Good luck, Honey!"

Selepas kepergian Laras, aku bergerak cepat, menyalakan ponsel dan menemukan banyak chat, tapi aku memilih membuka yang dari dia.

Gandhaa-Asshole-Prasetya: Pra, bagaimana dengan tawaran saya?

Aku tersenyum lebar. Oke, kalau mungkin aku sempat merasa nggak sudi dijodohkan dengan Gandhaa. Maka, sekarang aku punya cara; Ambil uangnya, tanpa perlu orangnya! Aku hanya perlu menjadi si Gadis Pintar. Apa saja ya ... mmm, tak boleh mengumpat, tak boleh mendengus dan harus menggunakan tiga kata nggak penting itu. Maka, aku nggak perlu kerja kantoran dan dipusingkan deadline, tetapi uang tetap jalan. Laras memang terbaik!

Ah, indahnya menjadi Praveena!

Me: Mau, Om.😳



.
.
.
.
.
[Jakarta, November 2017]

Ya Allah, udah November aja
😩🔫

Pasti pada sebel karena Pak Duda belum muncul
😝

Bye!





Salam👙,

Yang Cemburu Sama Pra
(Mau dong, dapet Om😩)

Continua a leggere

Ti piacerà anche

974K 47.5K 37
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...
1.6M 99.1K 28
Sebagian sudah di-unpublish. Versi lengkap bisa dibaca dalam bentuk cetak dan ebook (Google Playstore) via Penerbit Prospec. Dibeli ya! *** Tujuan Da...
Crazier Da Greya

Storie d'amore

1.9M 70.9K 16
Cerita sudah diunpublish sebagian. Link ebook di playstore : https://play.google.com/store/books/details?id=KwdQDwAAQBAJ Dua orang gila yang bertemu...
1.2K 64 3
[complete di Karya Karsa - Versi Cetak bisa dibeli di e-commers Shopee (NefeLibata) atau Tokopedia (Bebekz_hijau) Ini Cerita Tentang Perempuan. Di ha...