Beauty Love Adeline

By KeavyCollins

15.5K 856 100

Ben dan Alec, mereka sepasang anak kembar. Tinggal di sebuah panti asuhan, tanpa kekuarangan rasa cinta dan k... More

Beauty
Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian15
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 20
Bagian 21

Bagian 19

214 15 4
By KeavyCollins


Silakan melanjutkan membacanya jika masih ada yang mengikutinya :)

Enjoy, and hope you like it :)

Bagian 19

Alex berjalan sendirian di tengah malam yang gelap, di antara pohon-pohon besar yang menyeramkan. Jantungnya berdebar kencang. Rasa takut menyiksanya. Tidak hanya karena ia takut seorang diri di tengah gelapnya malam, tapi juga hawa dingin malam yang menyelimuti tubuh kecilnya yang hanya berbalut gaun tidur malam Adeline, mulai menyesakkan dadanya. Ia takut terulang lagi malam itu, malam saat ia kabur dari St. Peter untuk mengejar kapal yang diharapkan akan membawa dirinya ke tempat Ben berada. Ia takut mengalami serangan lagi. Tapi rasa ingin pulang ke panti begitu besar. Ia ingin pulang. Ia tidak bisa lagi berada di rumah besar itu. Rumah itu bukan miliknya, dan dia bukan bagian dari keluarga itu.

Keluarga itu menginginkan Adeline, bukan Alex, dan ia tidak mungkin menjadi Adeline. Juga Sir Tristan. Sir Tristan sangat membencinya. Alex tidak mau tinggal bersama Sir Tristan yang membencinya, meski ada Sir Byron dan Lord Waldegrave, juga Lady Mary yang menyayanginya.

Alex masih ingat suara teriakan Sir Tristan saat ia membakar baju-bajunya–baju Adeline-juga saat ia berselisih dengan Lord Waldegrave di kamar, siang tadi. Alex mendengar semuanya, Sir Tristan tidak menginginkan dirinya ada di rumah itu.

Siapa juga yang mau tinggal di sana? Alex mau pulang saja, dan menunggu Ben di panti. Karena itu saat tadi ia tiba-tiba terbangun dan menyadari rumah sudah terasa hening tidak ada lagi orang yang terbangun, Alex memutuskan untuk pergi, keluar dari rumah ini dan pulang ke panti. Kalau ia bisa kabur dari panti, pastinya dia juga bisa kabur dari rumah besar ini. Tapi ia tidak tahu betapa luasnya kediaman Lord Waldegrave, ia bahkan yakin belum keluar dari gerbang utama. Alex ingin menangis. Ia ingin segera sampai di panti, dan yang pasti ia tidak mau sakit lagi. Ia tidak mau merasakan dadanya seperti diperas-peras tidak bisa bernapas. Alex mau pulang!

**

Tanpa berpikir panjang, Byron langsung mengambil mantelnya dan berlari keluar rumah begitu mendengar Alex kabur. Ia harus mencari Alex. Anak itu sudah menjadi tanggung jawabnya. Byron merutuk, kenapa Alex harus kabur? Tapi yang dirutukinya adalah kenapa ia sampai meninggalkan Alex sendirian?

Satu hal yang mulai dikenal Byron tentang Alex adalah sifat Alex yang nekat dengan apa yang diyakininya. Alex pernah kabur sebelumnya dari panti karena ingin bertemu dengan Ben, sekarang dengan kejadian siang tadi, tidak menutup kemungkinan Alex akan berniat kabur juga karena rasa tidak nyamannya. Kini ia harus mencarinya.

Segera ia ke istal dan mengambil kudanya. Akan lebih cepat ia mencari dengan kuda daripada dengan kereta kuda. Ditemani Caleb, Byron mencari Alex di tengah malam buta ini.

Perasaannya tidak karuan. Perasaan takut jikalau terjadi apa-apa pada anak itu. Dan jika terjadi apa-apa pada Alex, ia tidak akan memaafkan dirinya, terlebih Alex belum mengenal benar rumah ini yang dikelilingi hutan. Alex mungkin saja tersesat di dalam hutan yang gelap ini, dan sudah pasti Alex sangat ketakutan, juga udara malam yang dingin. Alex bisa jatuh sakit lagi. Byron berdoa penuh harap bisa segera menemukan Alex, dan tidak terjadi apa-apa pada Alex.

**

George menemani Mary yang kini tertidur lelap setelah ia memberi obat penenang. Ia harus melakukannya. Mary terus memanggil-manggil Adeline dengan histerisnya. George sudah berusaha menenangkannya. Tapi Mary sulit ditenangkan, hingga harus diberikan obat penenang sebelum terjadi syok kepanikan. Kini George hanya dapat berharap Byron dan Caleb dapat segera menemukan Alex. Mereka harus menemukan Alex karena saat ini saat ini Mary membutuhkan Adeline. Mary butuh melihat Adeline, atau akan berakibat fatal pada Mary, dan ia tidak ingin itu sampai terjadi.

George merutuki kenapa Alex sampai kabur dari rumah. Oh, tentu saja pasti karena kejadian siang tadi.

"Tristan..." George menarik napas dalam-dalam, jangan sampai ia menyalahkan Tristan bila terjadi sesuatu pada Mary, karena ulahnya tadi siang. Ya, Tuhan, jangan sampai.

**

Tristan terbangun dengan suara gaduh dari luar kamarnya. Matanya terasa berat karena sembab dan pipinya lengket karena air mata. Ia ingat, ia tadi menangis hingga jatuh tertidur karena kelelahan. Diliriknya jam, masih menunjukkan pukul 2:00 pagi, tapi ia meyakini ada aktifitas di luar sana yang tidak biasa, terlebih di tengah malam ini.

Sesuatu terjadi batinnya. "Mama!!" ia langsung bangkit dengan perasaan takut. Ia sangat takut terjadi apa-apa pada ibunya.

Tapi ia terkaget saat ia mencoba membuka pintu, namun masih terkunci. Ia langsung teringat ia masih dalam masa hukuman ayahnya. Ayahnya menguncinya di kamar hingga esok pagi. Tapi Tristan tidak bisa menunggu sampai besok pagi. Ia harus keluar sekarang, ia harus tahu apa yang terjadi di luar sana. Apakah ibunya baik-baik saja?

"WOY, BUKAAAA!!!!" Tristan berteriak dengan paniknya. "Ada apa di luar sana!!?? TOLONG BUKAAA!!!!!" Tristan menggedor-gedor pintu dengan paniknya. Begitu paniknya, air matanya mulai mengalir di tengah ketakutannya.

Tapi tidak ada yang membuka pintunya.

Tristan terduduk lemas. Ia tidak percaya, tidak ada yang mendengar teriakannya minta dibukakan pintu. Tidak percaya ia begitu diabaikan. Air matanya mengalir deras.

"Papa, aku mohon, izinkan aku keluar...," ia tidak peduli terlihat seperti anak perempuan yang cengeng. Ia hanya ingin keluar untuk melihat ibunya. Ia harus memastikan ibunya baik-baik saja.

Cklek!

Kriek...

"Tristan, Sayang...?"

Tristan langsung mendongak dengan pintu yang tiba-tiba terbuka. Akhirnya ada yang membukakan pintu.

"Emma?"

"Tuan Muda Tristan?" Suara Emma begitu halus, semakin membuat Tristan ketakutan.

"Em..ma... apa yang terjadi...?" Tristan tergagap, ketakutan akan jawaban yang akan ia terima. Tapi Emma tersenyum.

"Tidak terjadi apa-apa, Tuan."

"Ta..pi..." Tristan tidak percaya.

Emma menghela napas, tahu Tristan tidak mungkin bisa dibohongi. "Alex kabur dari rumah, dan Milady terus memanggilnya."

Tristan terhenyak kaget, tapi ia seharusnya bisa memperkirakannya. Anak itu selalu membuat masalah!

"Tuan Byron dan Caleb sedang mencarinya."

Tiba-tiba terdengar suara tangisan dan erangan histeris dari kamar ibunya.

"Mama!" Secepat kilat ia bangun dan berlari ke kamar ibunya.

Tapi ia terhenti di mulut pintu kamar ibunya dengan pemandangan yang cukup menyayat hati. Ibunya menangis histeris memanggil-manggil Adeline. Wajahnya terlihat merah karena menangis, juga napasnya yang memburu. Ayahnya berusaha untuk menenangkannya, yang sepertinya tidak berhasil. Dan jalan terakhir, ayahnya menyuntikkan sesuatu pada ibunya, hingga perlahan-lahan tubuh ibunya melemas, dan kembali tertidur.

Tristan hanya bisa melihat dari jauh, tanpa berani mendekatinya, meski ia sangat ingin berlari pada ibunya dan memeluknya. Mungkin saja ayahnya masih sangat marah padanya.

Terlihat ayahnya sangat gusar dan tertekan dengan keadaan ibunya. Tristan melihat ibunya yang terlihat tertidur tenang, tapi ia tahu, dan ia sudah sangat hafal, Ibu tidur dalam kesakitan. Tristan melihat kembali wajah ibunya sebelum Alex datang, saat ia kehilangan Adeline. Tiba-tiba Tristan ingin mengenyahkan beban mental ibunya atas kehilangan Adeline. Tristan ingin melihat ibunya ceria seperti dulu lagi.

Sekarang di saat ibunya telah merasakan kebahagiaan itu, ia telah membuat Alex pergi karena aksinya siang tadi. Tristan melirik ayahnya, dan darah berdesir dingin dengan ketakutan akan apa yang akan dilakukan ayahnya bila terjadi sesuatu yang buruk pada ibunya. Tidak, tidak boleh sampai terjadi. Alex tidak boleh pergi dari sini. Dan ia akan melakukan apapun untuk membuat Alex tetap tinggal di sini.

**

Alex berjalan dengan keletihan, dadanya semakin terasa sakit. Perasaan putus asa semakin menyergapnya. Ia yakin ia sudah berjalan jauh, tapi ia tidak juga menemukan jalan keluar dari hutan yang gelap ini. Rasa takut akan munculnya makhluk-makhluk yang tidak diinginkan menambah sulitnya ia bernapas.

Akhirnya ia duduk di bawah pohon dan bersandar di sana. Diseka air matanya yang tak juga berhenti. Ia ingin segera keluar dari hutan ini, ia ingin segera sampai di panti, ia ingin segera bertemu dengan Bapa Simon. Mungkin ia harus menunggu hingga pagi, dan terang agar dapat menemukan jalan pulang. Tapi iapun tidak mau di sini sendirian, kedinginan. Dadanya semakin terasa sakit membuatnya semakin ketakutan. Ia tidak mau sakit lagi, ia tidak mau sakit seorang diri lagi. Air matanya kembali mengalir. Ia tidak mau di sini!

**

Byron memacu kudanya dengan kencang membelah hutan menuju gerbang utama. Ia sendiri tidak yakin, sanggupkah Alex melewati hutan ini seorang diri di tengah malam.

Dan saat Byron dan Caleb sudah melewati gerbang utama 'Waldegrave's Mansion', Byron memiliki keyakinan kuat, Alex belum melewati gerbang ini. Alex masih ada di dalam, dan mungkin tersesat di dalam hutan. Byron semakin ketakutan membayangkan anak sekecil Alex sendirian di tengah hutan di malam hari.

"Kita kembali, Caleb, Alex belum keluar dari gerbang ini." Byron memutar lagi balik Storm kembali ke arah rumah.

"Bagaimana kau tahu?"

"Aku bisa merasakannya. Kita cari ke dalam hutan. Kita berpencar, aku ke timur, kau ke barat!" dan memacu kudanya masuk ke dalam hutan.

Mendengar perintah tuan mudanya, Caleb segera menurutinya dan memacu kudanya ke arah yang diperintahkan. Semoga tuan mudanya benar.

Byron mengendarai kudanya perlahan, mencoba mendengar dan merasakan insting keberadaan Alex. Ia sangat yakin, Alex berada di sekitar sini.

"Alex!?" ia mencoba memanggilnya. "Jangan takut, Nak, kami tidak akan marah!"

Tidak ada sahutan.

Byron mencoba mendengar segala kemungkinan suara di heningnya malam gelap ini.

Tidak ada suara apapun selain suara binatang malam dan suara angin malam. Tapi lirih di antara suara itu, ia mendengar hembusan tersengal-sengal yang sangat berat. Byron memastikan pendengarannya lebih jelas, dan ia bisa memastikan itu suara napas...

"ALEX!" Byron segara mencari sumber suara.

Dan Byron terpaku dengan sosok kecil terduduk bersandar di pohon yang besar, terbalut gaun yang tipis.

"Ya, Tuhan, Alex!" Byron langsung turun, dan memeriksa Alex. Tubuh kecil itu terasa dingin karena udara malam.

Alex terbangun kaget dengan seseorang yang menyentuhnya. Makhluk besar dan hitam.

"Ja..ngan se...ntuh ak..u! ti..ngga..lka..n aku se..ndir..i!!" Alex menangis dengan ketakutan dengan napasnya yang sangat berat.

"Ssst..., ini aku, Alex, Byron...." Suara familiar itu hampir membuat jantungnya berhenti.

"K..ak B..By..ron?" Alex hampir tidak percaya.

"Iya, ini aku, Alex...."

Alex langsung mengkeret ketakutan, karena ingat ia telah kabur dari rumah.

"Pe..nge..n pulang... pe...ngen pu..lang ke pan..ti..." Alex dengan setengah terengah.

"Iya, tapi kenapa harus kabur dari rumah. Kan, kau bisa memintanya, pasti kami antar."

Alex terdiam.

"Ak..u ngg..ak ma..u kem..ba..li ke ru..mah sa..na."

Byron terdiam. "Kenapa?"

"It..u buk..an ru..mah..ku, itu ru..m..ah Adeli..ne, ak..u bu..kan Ad..eli..ne."

Byron terdiam dan menghela napas, "Itu tetap rumahmu, meski kau bukan Adeline, Alex. Kau sudah menjadi bagian dari keluarga kami, Alex."

Alex terkatup. "Pe..ngen pula..ng ke pa..nti."

Byron menghela napas mengalah. "Baiklah, besok kita pulang ke panti."

"Pen..gen seka..rang...!" Alex mulai merengek dengan napas beratnya.

Byron kembali menghela napas, "Alex kau tidak mungkin pulang ke panti di tengah malam begini, kecuali kau ingin mengejutkan Bapa Simon. Dan juga kau harus berganti pakaian, tidak mungkin kau pulang dengan baju tidur kan?"

Alex melihat dirinya dan mengangguk.

"Dan yang pasti, kau sudah kedinginan di sini, kau harus pulang dulu, kita hangatkan dulu badanmu, ya."

Alex terdiam, dan merasakan dadanya terasa semakin sesak.

"Dada..ku sa..kit, ngg..ak bis..a na..pas...!" Alex sedikit merintih.

"Karena itu kau harus pulang. Yuk...," seraya melepaskan jasnya dan memakaikan pada Alex, lalu menggendongnya.

"Kau sudah membuat semua orang cemas, Alex," ucap Byron halus, saat pipi dingin Alex beradu dengan pipinya. "Membuat kita ketakutan."

Alex terkatup, "Ap..a ak..u ak..an di..huk..um?" dengan ketakutan.

Byron harus tersenyum dan menggeleng, "Tenang, tidak ada yang akan menghukummu."

Serta-merta Alex melingkarkan tangannya di leher Byron dan memeluknya erat.

"Ma..afin aku.., Ka..k..." ucapnya lirih

Byron tersenyum dan mengangguk.

"Byron...?" Caleb muncul di tengah kegelapan.

"Tenang, sudah kutemukan dia, kita pulang sekarang," seraya naik ke atas kudanya, masih dengan menggendong Alex.

Caleb hanya mengangguk dan mengikuti Tuan Mudanya pulang.

**

"EMMA!"

Tristan tersadar dengan suara panggilan itu. Ia menyadari dirinya terduduk di lantai di depan kamar ibunya, tanpa ada yang berani memintanya untuk ke kembali ke kamar. Ia melihat kakaknya pulang dengan menggendong sosok kecil yang kelihatan tertidur di sana. Alex!

Tristan segera bangun dan menyusul kakaknya yang sudah masuk ke kamar Adeline diikuti Emma di belakangnya.

"Byron?"

"Tidak sekarang, Tristan," ucap Byron pelan tapi cukup tegas.

Tristan terkatup dengan sahutan tegas kakaknya. Dia langsung mundur dengan terluka.

Byron membaringkan tubuh kecil itu di tempat tidur dan meminta Emma untuk menggantikan pakaian Alex dan menghangatkan tubuhnya sebelum terkena hypotermia.

Tristan dapat melihat napas Alex yang tersengal-sengal berat. Bisa dipastikan, akan sama dengan malam saat mereka menemukan Alex pertama kali di jalan.

Byron segera melakukan yang ia tahu untuk mengatasi kondisi Alex, sebelum ayahnya datang.

Tristan semakin merapat ke tembok, menjauh dari tempat tidur begitu melihat ayahnya masuk dengan tergesa-gesa, dan segera memberikan tindakan pada Alex sebelum menjadi lebih parah.

Tristan tetap berdiri di sana, melihat semuanya, berusaha untuk membuat Alex baik kembali, hingga Alex akhirnya dapat tertidur dengan tenang. Tristan dapat melihat kondisi Alex tidak seburuk yang sebelumnya, hingga membuat ayahnya menghela napas lega.

"Dia ingin pulang ke panti," ucap Byron. "Dia tidak mau menjadi Adeline lagi."

George terkatup. "Papa tahu, akan kita bahas besok, biarkan Alex istirahat dulu."

Byron mengangguk. "Bagaimana Mama?"

"Sudah tenang, tapi Mamamu membutuhkan Adeline."

Byron terdiam. Dia tidak perlu diingatkan kembali.

George mengecupkan kening Alex. "Temani Alex, kalau ada apa-apa, Papa di kamar, mamamu lebih membutuhkan Papa."

Byron hanya mengangguk dan melihat ayahnya beranjak keluar.

Tristan menegang saat ayahnya bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu, melewati dirinya.

Dan Tristan semakin terluka saat ayahnya sama sekali tidak menengok padanya, dan melenggang keluar, bahkan seperti tidak melihat dirinya ada di sana.

Tristan beralih pada Byron yang terkonsentrasi pada Alex. Dia tidak mau Byron bersikap sama dengan ayahnya. Ia tidak mau Byron sampai mengabaikan dirinya.

"Maafkan aku," ucapnya lirih, tapi cukup terdengar oleh Byron hingga kepalanya setengah menoleh padanya. Pandangan matanya datar. Tristan tidak suka itu.

"Maafkan aku," ucapnya lagi.

Dan Byron mengangguk.

Tristan menghela napas lega melihat anggukan kakaknya. Dengan memberanikan diri Tristan mendekati tempat tidur itu.

"Aku tarik semua ucapanku tadi siang. Aku mau dia di sini. Aku mau dia jadi Adeline, untuk Mama... apapun yang bisa membuat Mama bahagia."

Byron terkatup dan menoleh pada adiknya, membaca raut wajah Tristan, memastikan ucapan itu bukan ucapan semata, tapi benar-benar yang ingin ia ucapkan. Dan semua terbaca di sana. Tristan benar-benar serius dengan ucapannya.

"Mama tidak bisa kehilangan Edele...," lanjut Tristan lagi. "Aku mau Mama tersenyum dan ceria seperti dulu lagi."

Byron masih memandang adiknya tanpa berucap.

"Alex telah menjadi adik kita," ucap Byron.

Tristan mengangguk dengan pasti, "Iya, Alex adik kita, aku terima itu."

Byron menghela napas, "Terima kasih. Semoga esok Alex masih mau menjadi bagian dari keluarga kita."

Tristan tercekat, "Maksudnya?"

"Alex ingin pulang ke panti karena rasa tidak nyamannya sebagai Adeline. Dia tahu dia bukan Adeline, dan tidak mungkin menjadi Adeline. Kau yang menyadarkannya, Triste."

Tristan tertunduk lemas.

"Kau memang benar dengan semua ucapanmu, dan tidak ada satupun yang menyangkalnya," lanjut Byron. "Alex tidak mungkin menjadi Edele, tapi ia bisa menjadi Edele untuk Mama. Kita yang seharusnya bisa mengalah, kau yang seharusnya mengerti itu. Mama tidak lagi sama dengan Mama yang kita kenal dulu. Mama membutuhkan Edele sebagai cahaya hidupnya. Kita tidak bisa menghentikannya, Triste, tidak akan bisa."

Tristan mengangguk pasti, semakin menyesali tindakannya. Air matanya semakin deras di pipi.

"Akan kulakukan apapun untuk membuat Alex tetap di sini," sahut Tristan.

"Dia takut pada dirimu."

Tristan mengangguk, "Aku yang sudah jahat padanya."

"Tapi kau bisa merubahnya, kan?"

Kembali Tristan mengangguk lirih. "Dia sudah menjadi adikku."

Byron harus menarik napas lega dengan tersenyum. "Terima kasih, Triste."

Tristan hanya tersenyum.

Dia memandang sosok yang masih tertidur itu. "Boleh aku ikut menemaninya?" tanyanya malu-malu.

Byron mengangguk dengan tersenyum.

Tristan menghela napas lega dan langsung naik ke tempat tidur dan berbaring di samping Alex.

Byron sempat terkaget karena tidak menyangka Tristan akan mau tidur di samping Alex. Tapi dengan Tristan yang melingkarkan tangannya melindungi Alex, Byron dapat bernapas lega, adiknya ini sudah menerima Alex. Kini tinggal Alex, apakah ia masih menginginkan untuk tetap menjadi bagian keluarga ini dan menjadi Adeline?

Byron berjaga tanpa memejamkan mata sedikitpun, hanya memandangi dua adiknya yang sangat ia sayangi. Alex telah mendapatkan rasa sayang yang sama besar yang ia berikan pada Tristan. Dan Tristan telah mulai memberikan rasa sayangnya pada Alex, mungkin belum seluruhnya, tapi akan, secara perlahan-lahan.

Saat ayahnya datang untuk menengok keadaan Alex, ia tidak dapat menutupi rasa kagetnya, dengan Tristan yang tertidur di tempat tidur Adeline bersama Alex di sana. Juga tangan Tristan yang bersikap melindungi Alex.

"Byron...?" George terheran.

"Sudah teratasi. Giliran Papa yang kini harus memafkan Tristan. Tristan masih terluka, dan hanya Papa yang bisa mengobati luka itu."

George terkatup, dan mengangguk, mengerti benar maksud dari ucapan putra sulungnya. Entah apa yang telah dilakukan Byron, hingga semua menjadi terselesaikan di tangannya. Anak sulungnya memang hebat.

"Terima kasih, Byron. Papa tahu Papa bisa mengandalkanmu."

Byron hanya tersenyum, "Sekarang tinggal meyakinkan Alex, untuk tetap mau tinggal."

George mengangguk. "Yeah, besok kita bahas."

**

Alex terperangkap dalam penuh kesakitan dan demam. Dadanya terasa sakit dan nyeri, juga seluruh tubuhnya. Dia berjuang untuk mencari celah kehidupan dan keluar dari rasa sakit ini. Dia tidak mau merasakan ini lagi. Dia tidak mau merasakan ini seorang diri. Dia ingat, dulu ada tangan halus yang memeluk dan mendekapnya dalam kehangatan dan kasih sayang. Malaikat yang cantik mengusap keningnya. Dia sangat cantik dengan rambut coklat emasnya seperti miliknya, sepasang mata coklat dan suara yang menenangkan hati. Mama. Alex ingin merasakan lagi. Alex ingin memiliki mama lagi. Di manakah Mama sekarang?

Alex berusaha mencari sosok cantik dan lembut itu, tapi tidak ada. Ia berusaha untuk membuka mata

Dan saat ia membukanya, ia terkaget dengan hangat dan rasa nyaman yang menyelimutinya. Ia tersadar penuh ia kembali ke kamar Adeline.

"Selamat pagi, Alex."

Alex terkaget dengan suara hangat menyambutnya.

"Ka..k By..ron...?" Tapi yang terkaget lagi dengan sosok yang ada di sampingnya, juga tangan yang melindunginya. Apakah ini Mama?

"Alex?" Suara serak membuatnya pucat, dan membuatnya kaget. Tristan kah yang tidur di sampingnya? Tapi Tristan yang sudah terbangun tersenyum padanya.

"Si..r Tris..ta..n...?"

Tristan tersenyum padanya, semakin membuatnya heran.

"Ak..u ma..u pu..lang ke pa..nti, ..kok," ucapnya ketakutan pada Tristan.

"JANGAN!" sergah Tristan langsung, mengagetkan Alex. "Jangan pulang ke panti! Kamu tidak boleh pergi, Mama membutuhkanmu. "

Alex terkatup heran.

"Aku minta maaf soal kemarin. Aku tarik kembali semua ucapanku. Tapi kamu tidak boleh pergi. Kamu tidak boleh pergi meninggalkan Mama. Mama butuh kamu."

"Mama...," matanya menerawang, merasakan belaian kasih sayang dari seorang mama.

Byron menunggu reaksi Alex, menunggu akan sebuah penolakan.

"Ak..u bu...kan Ad..eli..ne."

"Kamu memang bukan Adeline, tapi kamu bisa menjadi Adeline," sahut Tristan lagi.

Alex menengok ke arah Tristan.

"Kamu boleh menjadi Adeline. Aku mau kamu tetap di sini..., jadi tolong jangan pergi..."

Alex terkatup.

"Mama tidak bisa kehilangan Adeline, Alex, atau Mama akan jatuh sakit lagi."

Alex terkatup, tentu ia tidak ingin membuat Milady jatuh sakit.

Byron mengeggam tangan Alex, "Kau Alex bagi kami, tapi kau adalah Adeline untuk Mama. Kami tidak ingin kau pergi, Alex."

Alex terdiam, mencerna semuanya.

"Bol..eh ak..u ke Ma..ma sek..ara..ng?"

Byron menarik napas lega, "Tentu," dan segera menggendong tubuh kecil Alex.

Tepat saat Byron membawa Alex ke kamar orang tuanya, terdengar rintihan ibunya yang memanggil-manggil Adeline.

Alex dapat mendengar rintihannya saat mereka masuk ke kamar Milady, dan melihat Milady menangis memanggil-manggil putrinya.

"George, di mana dia? Di mana putriku? Aku butuh dia... aku butuh Edele..."

"Edele di sini, Ma." Byron masuk dengan Alex di gendongannya.

"Byron? Oh, Edele...," Mary menyambutnya begitu melihat sosok kecil di gendongan putra sulungnya, "Sini, Sayang... sini sama Mama ..."

Dengan hati-hati, Byron meletakkan Alex di samping ibunya, dan Alex tidak memberontak. Alex dapat mencium aroma lembut dari tubuhnya. Ia sangat merindukannya.

"Oh, Edele, Sayang, Mama rindu, Nak...." Mary langsung memeluknya hangat

Alex memandang kedua mata itu indah itu. Ia tidak dapat meninggalkannya. Milady Mary sangat membutuhkannya, dan ia membutuhkan Milady Mary juga, ia membutuhkan seorang mama.

"Jangan tinggalkan Mama lagi, putri cantikku, Mama butuh Edele, ya... Sayang..." dengan mengusap pipinya halus, sama sekali tidak menyadari siapa yang sebenarnya yang ada di hadapannya ini

Alex hanya mengangguk, "Edele tidak akan pergi ke mana-mana, Ma."

Mary tersenyum dan mengecup pipi Alex penuh cinta.

Alex tersenyum lega dan kembali tertidur di sana.


TBC

Bagaimana, masih ada yang mengikutinya kah ?  :)


Continue Reading

You'll Also Like

2.8M 302K 39
Zara Foster, mahasiswi Ilmu Sejarah yang meninggal karena menyelamatkan seorang anak kecil, tiba-tiba terbangun sebagai Duchess Griffin di abad ke-19...
56.9K 8K 20
Hore! Aku jadi seorang pangeran yang hidup bergelimang harta dan serba kecukupan di dalam sebuah novel romansa-fantasi! Karena peranku adalah antagon...
1.9M 131K 73
(Bakal direvisi kalo authornya gak males.) Selena, seorang perempuan nolep yg pinter, dia ber transmigrasi ke tubuh seorang antagonis di buku novel...
30.4K 2K 19
Pelacur, wanita penghibur, murahan, atau apapun yang orang lain sematkan padanya tak membuat gadis itu menyesali keputusannya. Awalnya seperti itu, s...