Only Hope

By Camilaaz_

48.3K 5.1K 2.7K

"Bisakah aku menjadi - KAMU- untukmu? Sebagai orang pertama yang menjadi maksud pikiranmu." Kalimat itu, ada... More

Prolog
The beginning-part 1
Story of class- part 2
Why- part 3
Picture??- part 4
Last MPLS!- part 5
Begin!- part 6
Choice- part 7
Miss him!-part 8
Good news- part 9
Line!-part 10
Him-part 11
Meet- part 12
The place- part 13
Really?- part 14
About you- Part 15
Run- part 16
A beautiful day -part 17
Fake- part 18
Telling the truth- part 19
Free- part 20
Miscommunications- part 21
Lockers - part 22
Modus- part 23
First greet- part 24
Again - part 25
Prepare - part 26
Miracle - part 27
Thank you - part 28
Lucky day - part 29
Change (1) - part 30
Change (2) - part 31
Peka? - Part 32
Almost - Part 33
A Problem - Part 34
Letter - Part 35
Mean - Part 36
Focus- Part 37
This's Over? - Part 38
For Reset - Part 40
Part 41

Wrong Opinion - Part 39

610 43 27
By Camilaaz_

Kejujuran.
Untuk saat ini, aku membenci itu.
-Keira-

***

Awan mendung yang terlihat di pagi hari,

burung kecil yang tidak berkicau dengan ramainya,

dan tawa canda yang seolah hilang dari ingatan semua orang,

membuat rasanya aku tidak ingin terbangun dari mimpiku semalam.

"Kei, Keira," suara panggilan membuat kepalaku menjauh dari tumpuan tanganku di meja.

"Hm?" aku menenggak ke arah Feby yang kini berdiri di sampingku.

"MTK? Liat dong hehe," katanya sambil tersenyum meminta, tidak lupa juga dengan alis yang bermain naik turun.

Aku langsung mengambil bukuku yang berada di kolong meja lalu memberikan padanya.

"Asik...." serunya seperti biasa.

Tanpa membalas kesenangannya, aku menumpu tangan kembali dan ingin menenggelamkan wajahku di sana.

"Loh, kayaknya nomer dua bukan pake cara yang ini deh, coba gue samain dulu ya," ujarnya sembari membandingkan jawabanku dengan buku lain yang di pegangnya.

Aku menghela napas. Ada dua tipe orang menyontek yang aku tahu, pertama, menyontek tanpa bertanya dan kedua menyontek dengan terus bertanya dan membandingkan jawaban ke siapapun yang dia tanya.

Dan untuk waktu saat ini, aku tidak mau terlibat dengan tipe kedua, tapi sayangnya orang ini termasuk ke dalamnya.

"Nah! Iya nih, lo salah cara, Kei, aturan lo pak--"

"Feb, kalo menurut lo punya gue salah, yaudah jangan ikutin." potongku cepat.

"Tapi cara yang dipake Sella lebih gampang nih, gak ribet. Coba lo liat deh, Kei," jawabnya sambil membuka dan menaruh kedua buku di mejaku.

Aku merasa kesal dan beranjak dari tempat duduk, "Tutup buku gue dan jangan mikirin jawaban gue yang salah!" kataku sedikit kencang. Sekarang, aku merasakan tatapan semua orang tertuju padaku.

My mood is very messy.

Aku bergegas keluar saat Feby ingin mengatakan sesuatu. Entah untuk melawan ataupun mengiyakan.

Setelah menjauh dari kelas, perasaan kesal masih menyelimutiku.

Namun, pada langkah selanjutnya aku tersadar, mengapa aku harus membentaknya seperti tadi?

Bagaimanapun juga dia berniat berbagi jawaban benar denganku dan aku tidak bisa melampiaskan kekesalanku padanya.

Woah ... My morning was very bad.

Saat memikirkan kebodohanku, tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dari belakang.

Aku berbalik tetapi tidak melihat siapapun, lalu saat kembali melihat ke depan ternyata ...

"Boo!" seseorang yang kuabaikan beberapa hari terakhir, sukses membuat jantungku berpacu cepat.

"Hahaha," ya, Dio tertawa seperti biasanya.

Berusaha bersikap normal, aku berjalan melewatinya begitu saja.

"Kei, lo masih marah?" katanya seraya mensejajarkan posisinya berjalan di sampingku.

Aku tidak menjawabnya, hanya mengendikkan bahu kurasa cukup untuk membuatnya mengerti.

"Aku beneran gak bermaksud rahasiain hubungan mereka, Kei. Serius deh," ujarnya sembari menunjukkan jarinya yang berbentuk V.

Aku memberhentikan langkahku, "Terus maksud kamu apa, Di?" pertanyaan yang sama aku lontarkan padanya lagi.

Walaupun kejadian itu sudah berlalu, tetapi efek yang diakibatkan sangatlah besar, terutama pada hubungan persahabatanku.

"Eum, nggak enak kalo ngomong sambil berdiri ... Kita ke rooftop yuk, biar nggak diganggu orang." ajaknya dengan tersenyum.

Aku memutar bola mata malas dan beralih memandang yang lain.

"Hm, aduh enak banget nih, segerrr."

Aku menoleh kembali padanya, di tangannya sudah ada dua ice cream strawberry dan coklat yang terpampang nyata.

Dio menggoyangkan kedua ice cream itu dengan bersiul bercanda.

Sejenak aku tergiur dan memikirkan tingkat kemarahanku padanya yang sebenarnya sudah mulai mereda.

"Rooftop?" katanya.

Jelas sekali ice cream itu adalah umpan untuk menggiringku mengikutinya.

Aku sedikit berpikir, lalu mengangguk pasti, "Oke!" kemudian kurampas kedua ice cream itu dengan cepat.

"Satu aja woy," keluh Dio tak terima.

Aku tersenyum jahil padanya, "Thank you." dan langsung pergi mendahuluinya.

"Dasar." satu kata yang diikuti iringan tawa Dio, menandakan kepasrahannya atas keinginan jahilku.

Good boy hehe.

*

Beberapa menit sudah berlalu sejak aku dan Dio duduk di rooftop yang biasa ku datangi dengan Vela.

Bunyi detakan detik dari jam yang melingkar di tanganku seperti sebuah sountrack yang mengiringi waktu kami.

Dio menjelaskan semuanya, secara rinci tetapi sedikit berongga.

Sesekali Dio berhenti, sampai-sampai aku harus memandang lurus matanya agar dia mendisplinkan otak untuk terus mengingat lalu berbicara.

Akhirnya semua teka-teki terjawab dari ceritanya. Dio yang selalu bersama Reihan, membuatnya tau segala sesuatu menyangkut kejadian itu.

Aku terkejut saat mengetahui sebuah fakta bahwa Reihan menyukai Aurel lebih dulu daripada Niken.

"Kata Reihan, awalnya dia cuma suka biasa sama Aurel karena sifatnya yang easy going itu, tapi Reihan gak terlalu anggap serius perasaannya ke Aurel."

"Terus?"ujarku karena lagi-lagi Dio membuatku penasaran.

"Terus dia mulai deket sama Niken karena mereka sama-sama pengurus kelas, kan?"

"Hm, iya." aku mengangguk, membenarkan pernyataannya.

"Nah, dari situlah Reihan beneran ngilangin perasaan ke Aurel dan beralih ke Niken yang udah buat dia nyaman, senyaman selimut tetangga haha...." katanya diselingi candaan.

Aku memukul pelan lengannya, "Jangan bercanda, please."

"Ketawa sedikit napa, Kei. Daritadi kamu tuh serius banget." katanya sembari mencubit kedua pipiku.

"Aaaa Di, lepasin, sakit tau." keluhku yang mencoba menyingkirkan tangannya dari pipiku.

Setelah melepaskan, tawa Dio semakin menjadi. "Haha lucu banget, sih." ujarnya tak jelas.

Aku mencoba tidak menanggapinya dan kembali pada pembicaraan yang belum selesai.

"Jadi, pas Reihan udah pacaran sama Niken, dia baru sadar kalo dia cinta sama Aurel? Bener, gitu?"

"That's right." jawabnya cepat.

"Tapi perasaan Aurel gimana? Dia juga cinta sama Reihan?" tanyaku kembali.

Dio mengangguk yakin, "Mereka udah saling jujur."

"Hah? Serius?" aku beranjak dari tempat dudukku, "seharusnya mereka gak boleh kayak gitu dong. Mereka harus pikirin perasaan Niken juga." kataku dengan kesal.

"Tapi mereka nggak berniat untuk bersama, Kei. Mereka tau kalo itu sebuah kesalahan."

"Tetep aja, Di, seharusnya mereka gak pernah saling jujur tentang perasaan mereka, karena salah satunya pasti bakal nekat perjuangin perasaannya." jelasku panjang.

"Kei,"

"Dan itu terjadi sama Reihan, kan?!" kataku melanjutkan.

"Kei!" Dio menarik tanganku sehingga aku terduduk kembali. "Kamu pasti ngerasa kalo di sini Niken satu-satunya yang jadi korban, kan?"

"Mau diliat dari sisi manapun, Niken tetep jadi korban, Di." jawabku yakin.

"Kamu salah. Bukan cuma Niken tapi mereka juga." ujarnya yang membuatku mengernyitkan dahi.

"Kei, denger ya, di sini aku nggak belain siapapun, aku cuma liat dari sudut pandang aku sendiri, karena aku cukup tau masalah ini dari awal sampai akhir."

Dio mengatakannya dengan sangat serius dan membuatku terhipnotis untuk tetap diam.

"Mereka berdua udah berusaha pendam perasaan mereka, tapi ada kalanya perasaan seseorang meledak dan gak peduli lagi sama apa yang diharapkan tuannya," Dio melepaskan pandangannya sejenak.

"Waktu itu aku abis pulang dari latihan basket, tapi ternyata hp aku ketinggalan dan aku terpaksa balik lagi ke lapangan indoor. Saat sampai di sana aku ngeliat mereka, mereka yang terlihat bener-bener tertekan."

Dio melihat ke arahku, "Aku inget banget percakapan mereka yang cukup panjang yang intinya adalah mereka gak bisa lagi sembunyiin perasaan mereka, mereka mau jujur satu sama lain dan saat itu juga mereka harus janji untuk buang jauh-jauh perasaan mereka."

Aku benar-benar terdiam, mencoba mengerti dan memasuki sudut pandangnya.

"Saat itu Aurel nangis sampai suaranya nggak terdengar jelas. Dan Reihan, dia berusaha nahan air matanya biar keadaannya gak jadi tambah buruk."

"Cuma dari situ, aku jadi ngerti, mereka berdua juga menderita karena perasaan yang berusaha mereka pendam." tuntasnya.

Tanpa sadar air mataku menetes seketika, aku menyesal hanya memikirkan opiniku sendiri.

Dio menghapus air mataku perlahan, "Aurel itu sahabat Niken, otomatis Reihan dan Aurel bakal sering ketemu entah itu disengaja ataupun nggak. Dan semua orang pasti gak bakal tahan nyembunyiin perasaannya kalo orang yang dia suka tetep di dekatnya."

"Di, kenapa kamu gak bilang dari awal? Aku nyesel, Di, udah berpikiran jelek sama mereka." lirihku pelan.

"Semuanya udah terjadi, Kei. Reihan juga udah ambil tindakan yang menurut aku bener. Dia jujur sama semua dan gak mau bikin Niken terus mengharapkan yang terbaik dari dia." katanya seraya tersenyum seperti menenangkanku.

"Dan alasan Reihan pergi karena, ini?"

Dio menggeleng, "Bukan, sebenarnya dia udah berniat nyusul kakaknya sebelum masuk SMA dan rencana itu baru bisa terwujud baru-baru ini."

"Jadi bukan karena masalah ini?"

"Masalah ini cuma faktor pendorong yang membuat dia nggak ragu ninggalin semua yang ada di sini." jelasnya, "Dia mau Niken ataupun Aurel bahagia tanpa ada bayang-bayang dia yang udah ngebuat persahabatan mereka hancur." tambahnya.

Aku menutup wajah dengan kedua tanganku, berpikir betapa egoisnya aku karena tidak mau mendengarkan penjelasan Reihan ataupun Aurel seminggu ini. Aku mengutuk diriku sendiri.

Perlahan Dio menarik tanganku untuk beralih pandang padanya, "Sekarang kamu tau caranya bersikap sama mereka, kan? Mereka nggak salah, jadi kamu jangan ngasih tatapan serem kamu itu ke mereka lagi, hehe." kata Dio dengan tertawa kecil.

Aku menatapnya binar, "Emang tatapan aku serem banget, ya? Argh, aku makin ngerasa bersalah, Di." tanyaku sembari menepuk dahiku kencang.

"Serem banget. Aku kan juga kena imbasnya," katanya memasang wajah sedih.

Aku menyipitkan mataku, "Tapi kamu tuh emang pantes dapet itu, karena kamu gak ngasih tau aku dari awal, hu!"

"Lah kan kamu gak pernah nanya sama aku." sangkalnya dengan menahan tawa.

"Lah kan aku gak tau ada masalah kayak gini!" tanggapku cepat.

"Lah siapa suruh gak peka, wle." ujarnya sembari menjulurkan lidahnya.

"Ihhh!" kelewat kesal, aku menarik dan mengencangkan dasinya sehingga lehernya tercekik.

"Ah, stop-stop, Kei." keluhnya berusaha menghentikanku.

"Bilang dulu, siapa yang salah?" tanyaku sarkastik.

"I-iya aku salah. Kamu bener." jawabnya putus asa.

Akupun melepaskan dasinya dan tersenyum penuh kemenangan.

Sedangkan Dio mengatur napasnya yang tidak beraturan sembari menatapku tajam.

"Hahaha." tawaku puas.

"Eh! Ternyata kalian di sini." tiba-tiba Vela datang menghampiri kami.

"Vel kebetulan ada lo, ada yang mau gue omongin," ujarku saat Vela sudah berdiri di depan kami.

"Ngomongin apa? Eh itu anak kenapa, Kei?" Vela memandang bingung Dio.

Aku meliriknya yang masih memegangi dasinya.

"Abis sawan." bisikku yang di dengar oleh Dio.

"Wah, parah ya. Udah dibeliin ice cream plus dikasih informasi, terus bikin sesek napas dan sekarang ngatain aku sawan?!" Dio menggeleng-gelengkan kepalanya serta melipat tangannya di depan dada.

Aku menutup mulutku lalu meringis tertawa padanya, "Sorry hehe."

"Sesek napas? Emang Keira ngapain lo, Di?" tanya Vela dengan menatap aku dan Dio bergantian.

"Hm?" Dio mulai tersenyum nakal, "anak kecil gak boleh tau." katanya yang membuat mata Vela membulat sempurna.

"Kei, wah...." gumam Vela menatapku penuh arti.

Aku tahu sekarang pikiran Vela telah ternodai!

"Eh, ih nggak, apaan sih, Di!" sangkalku lalu memukul Dio dengan keras, "gue abis narik dasinya biar kecekek, abisnya Dio ngeselin, Vel." jelasku tegas.

Aku melirik Dio yang ternyata tengah mengibaskan tangannya dan mengatakan 'bohong' tanpa suara.

"Diooo!" teriakku kesal.

Aku berdiri lalu dengan cepat membawa Vela pergi dari sana. Karena jika terlalu lama di sana, pikiran Vela bisa berjalan kemana-mana.

Dan kami pun pergi meninggalkan 'orang gila' yang tengah tertawa bebas mengiringi kepergian kami.

You're crazy, Mr. Dio.

***

Sip. Sekarang aku update seminggu sekali yaaa, tengkyu banget loh yang udah nungguin 😊 luv luv for you 😘.

Part ini aku pendekin dulu deh, biar nggak pusing bacanya hehe.

Ku tunggu vomment kalian 😉.

Continue Reading

You'll Also Like

446K 33.9K 42
"Seru juga. Udah selesai dramanya, sayang?" "You look so scared, baby. What's going on?" "Hai, Lui. Finally, we meet, yeah." "Calm down, L. Mereka cu...
1.2M 88K 55
BOOK 1 > Remake. 𝘐𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘫𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘭𝘢𝘱𝘢𝘬⚠️ ⚠️𝘥𝘪𝘴𝘢𝘳𝘢𝘯𝘪𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘩𝘰𝘮𝘰𝘱𝘩𝘰𝘣𝘪𝘤 𝘫𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘤𝘢 𝘤𝘦𝘳𝘪𝘵...
995K 31.1K 43
-please be wise in reading- ∆ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ∆ Tentang Vanila yang memiliki luka di masalalu dan tentang Vanila yang menjadi korban pelecehan...
519K 31.2K 44
Anak pungut sepertiku berharap apa dengan takdir? Benar katanya, aku tak pantas diperlakukan layaknya manusia, karena takdirku sudah terlanjur tengge...