Bad Games

By FlaraDeviana

13.1M 169K 3.1K

Ardiaz Bagaskara dan Elora Wildani bermain peran sebagai pasangan di depan keluarga besar Bagaskara demi kea... More

Elora Wildani- 1
Elora Wildani-3
Elora Wildani-4
Elora Wildani-5
Elora Wildani-6
Elora Wildani-7
Elora Wildani-8
Elora Wildani-9
Elora Wildani-10
Elora Wildani-11
Elora Wildani-12
E-Book Bad Games

Elora Wildani-2

247K 12.9K 228
By FlaraDeviana

AKU BERUSAHA FOKUS memeriksa keuangan anak cabang, tetapi otakku tidak mau berhenti memikirkan permintaan Diaz. Setengah prihatin dan ingin membantu, setengah lagi memohon untuk mempertahankan keyakinan bahwa rencana sinting Diaz tidak akan berhasil.

Menikah? Aku menggeleng kecil sambil menaik-turunkan kursor. Apa dia tidak berpikir menikah itu melibatkan dua keluarga bukan kami saja? Bagaimana kalau satu hari nanti ini jadi masalah? Bagaimana kalau kami ketahuan, atau ternyata kami benar-benar tidak cocok jadi pasangan lalu berpisah? Mungkin keluarga besar Bagaskara tidak akan sulit ditangani, tetapi keluargaku? Oma dan Tante bisa lebih semangat menyusahkan Mama di rumah Bandung. Aku bisa sembunyi di Jakarta, tetapi Mama? Bagaimana Mama menghadapi Oma dan Tante? Keadaan ekonomi Papa yang stuck, kehadiranku dan kenangan menghabiskan uang di dokter, dua itu masih jadi momok mengerikan buat Mama. Masa iya, aku memberi satu masalah lagi untuk Mama?

Aku menjauhkan tangan dari keyboard, lalu memijat tulang hidung. Berusaha memangkas pikiran-pikiran tidak enak yang tumbuh lebat di kepalaku. Di tengah usaha kerasku, tiba-tiba kursiku ditabrak kursi lain dari sisi kanan. Aku mengumpat, dan si pelaku tertawa pelan sambil melingkarkan tangan ke lenganku.

"Please deh, Laras! Lagi nggak mood!"

"Udah tahu." Laras, rekan satu bagian di perusahaan, sekaligus teman dekat pertamaku di Jakarta. Dia melepaskan tanganku, lalu menyandarkan kursi ke perbatasan kubikel kami, membuat kami saling berhadapan. "Makanya gue datengin. Siapa tahu gue bisa mengembalikan keceriaan Elora Wildani. So ... what happened?"

"Kerjaan."

"Nyahhh," cemooh Laras. "Kalau ini kerjaan, lo pasti udah turun ke bawah—ngopi. Bukannya masang muka kayak mau dijodohin sama om-om."

Tanpa sadar aku bergerak gelisah di kursi, khawatir mulutku tidak bisa diajak kerja sama. Laras selalu berhasil memberi saran baik di saat otakku penuh, tetapi ini menyangkut privasi Diaz juga. Meski Laras bisa dipercaya tidak akan mengumbar masalah ini, tetap saja terasa salah.

"Oma sama tante lo lagi, ya?"

Aku membimbing tatapan Laras ke layar komputerku. "Benar-benar kerjaan. Gue pusing lihat arus kas di kantor cabang Jawa Tengah. Aneh. Lihat deh, pembelian mesin bulan ini gila banget dan nggak cocok sama nota yang dilampirkan"

"Oke. Oke. Sebebasnya Elora saja! Pokoknya, gue selalu siap jadi tempat sampah lo." Laras menepuk-nepuk bahuku. "Tapi, setelah puas ngeluarin unek-unek, traktir gue sushi. Nggak ada yang gratis Mbak di Jakarta, maklumin, ya!"

Setelah mengatakannya Laras tertawa. Biasanya aku ikut mentertawakan kalimat sarkas bernada jenaka ciptaan Laras, tetapi kali ini otakku menanggapi serius ucapan Laras. Nggak ada yang gratis di Jakarta. Apa Diaz juga berpikir begitu? Apa Diaz sedang menagih balasan untuk semua kebaikan yang dia lakukan padaku?

Dengan santainya Laras kembali ke kubikelnya, sementara aku makin menyuburkan pikiran-pikiran buruk dalam kepala. Namun, baru lima menit, Laras kembali menoleh ke arahku.

"Jangan-jangan berhubungan sama Pak Diaz?"

Sepersekian detik jiwaku berusaha kabur dari badan, meski akhirnya kewarasan berhasil memenangkan pertarungan. Memerintahkan ekspresiku tetap datar dan mengunci bibirku.

Laras menyeret kursi kembali ke hadapanku, seraya mengamati wajahku lamat-lamat. "Mari kita telaah," katanya serius, diikuti lipatan kedua tangan di depan dada. "Pertama. Kenapa lo dipanggil ke ruangan beliau? Jangan alasan kerjaan, please, kerjaan lo wajib melewati Pak Alby buat sampai ke tangan Pak Diaz."

Aku membuka bibir, tetapi Laras lebih dulu melanjutkan kalimatnya.

"Kedua. Kenapa ketemuannya nggak nunggu makan siang? Coffee shop? Restoran dekat sini? Kalian punya peraturan wajib nggak tertulis; kalau mau ketemu harus di tempat umum, tempat terbuka." Satu alis Laras terangkat, makin sibuk menganalisis wajahku, lalu tersenyum jenaka. "Jangan-jangan dia ngajak lo keluar dari area friendzone setelah dua tahun kalian terjebak di sana?"

"What? Friendzone?" Aku tertawa kaku, mengabaikan lilitan kencang yang tiba-tiba terasa di perutku. "Ngaco. Nggak ada istilah friendzone, gue sama dia—"

"Oke. Bukan friendzone, hubungan tanpa status."

"Lebih parah. Ras, beneran deh, gue sama dia—"

"Cemilan-cemilan sore yang biasa diantar si Jamil. Segudang perlakuan special dia yang panjangnya ngalahin makalah internal audit. Lo, yang selalu ikut dia ke acara-acara penting keluarga Bagaskara. Ulang tahun Ibu Maria, ulang tahun pernikahan orangtua dia. Apa sebutan buat cewek-cowok yang menjalani hal-hal itu, hal-hal yang biasanya dilakukan pasangan?" Dengan mata berbinar bagai menemukan harta karun, Laras mendekatkan wajah kami. "Apa tadi dia—"

"Nggak."

"Serius?" Laras mundur teratur dengan wajah kecewa. "Nggak ada pengakuan, atau something yang lebih sekadar obrolan? Ciuman? Sejenis itu?"

"Nggak ada, Ras. Bukan itu yang kami bicarakan."

"Anjir! Kok bisa sih Pak Diaz tahan bersikap normal sama lo, padahal dia selalu on sama cewek sexy dan cantik. Lo good looking, body lo juga uhuy. Plus, otak lo encer. Why?"

"Ya, kami pure temanan, Ras. Kayak gue sama lo, best friend. Bukan Friendzone."

Laras mengangkat kedua bahu, lalu mengembalikan kursi ke posisi awal. "Yakin, El? Nothing special di antara kalian?"

Aku mengangguk tegas. Kemudian memajukan badan dan menghilang di balik kubikel, sementara Laras masih setia mengoceh tentang aku dan Diaz. Tentang hubungan kami yang terlihat lebih dari sekadar teman baik. Tentang cara Diaz memperlakukan aku. Tentang Diaz yang melibatkan aku di segala aspek penting kehidupan laki-laki itu. Untuk kali pertama, setelah dua tahun, aku bertanya pada diri sendiri. Berapa persen omongan ngawur Laras tentang Diaz menyukaiku menjadi kenyataan? Apa aku murni melihat Diaz sebagai sahabat?

Aku menaruh satu tangan di dada, merasakan degup jantung yang melaju drastis setiap kali senyum Diaz muncul dalam ingatan.

Apa iya, selama ini kami tidak sadar terjebak Friendzone?

****

Berulang kali aku membolak-balik posisi tidur di ranjang. Mataku lelah habis berkencan dengan ribuan angka, tetapi otakku yang baik ini enggan mengizinkanku istirahat.

Permintaan Diaz, pertanyaan Laras, risiko buruk untuk orangtuaku. Semua kompak membentuk simpul rumit.

Setelah tiga kali gagal masuk ke alam mimpi, aku mengambil ponsel dari nakas samping ranjang. Berselancar di dunia maya, lalu membaca ulang artikel hasil pencarian tadi sore.

Sstt! Diam-diam doi naksir kamu, loh! Nggak percaya? Ini ciri-cirinya:

Stalking sosmed.

Aku dan Diaz sering memberi love atau comment feeds Instagram. Tidak jarang, saling merespon story Instagram. Aku bertanya dia makan di mana, lalu dia menjawab komplit dengan foto siapa teman makannya. Dia mengomentari buku bacaan yang kupamerkan, dan aku menjelaskan isi buku tanpa dia minta.

Save foto diam-diam.

Sebagian besar foto di ponselku berisi momen kebersamaan kami; foto di tengah kemacetan ibu kota, menunggu pintu bioskop dibuka, dan masih banyak lagi. Beberapa kali dia mengarahkan kamera ponsel kepadaku, lalu aku bergaya secara sukarela.

Lebih wangi dan rapi.

Dia selalu wangi dan rapi, begitu pun aku.

Kenapa aku seperti orang bodoh begini? Membaca, lalu mencocokkan. Sialnya, aku tidak bisa berhenti!

Ingat hal kecil.

Aku ingat makanan kesukaan, sampai hal-hal yang dibenci Diaz. Kalau dia—tiba-tiba pintu kamarku diketuk keras-keras. Spontan, ponsel melorot tepat di keningku saking kagetnya.

Sambil menggosok kening, aku duduk di ranjang dan melihat jam digital di ponsel. 23.00 P.M. Ada dua kandidat yang biasa tidak tahu diri bertamu ke kos-ku di jam orang tidur, tetapi hanya satu orang yang berani datang tanpa menelepon dan naik ke kamar tanpa dijemput, Laras. Lebih dari dua puluh kali orang itu tiba-tiba muncul tengah malam. Alasannya selalu sama, meributkan masalah-masalah kecil dengan sang pacar yang akhirnya memancing umpatanku. Meski malas meladeni kunjungannya, aku tetap berjalan menuju pintu. Berencana mengusir tanpa basa-basi dan menutup pintu. Namun, saat pintu terbuka, omelanku menguap di udara. Bukan Laras, tetapi Diaz.

Diaz mengangkat kantong plastik bening. "Nasi goreng kambing Bang Jacky, favorit kamu. Biasa. Aku habis fitness. Nggak sengaja lihat Bang Jacky lagi masak, terus ingat kamu. Udah sebulan kamu mau makan ini, tapi si Abang libur. Mumpung ada, jadi aku beliin." jelas Diaz panjang lebar, sementara pikiranku berlarian entah ke mana. "Terima kasih, Diaz. Masuk dulu, istirahat sebentar. Walaupun Semanggi ke Kuningan nggak jauh-jauh amat, nggak ada salahnya santai dulu di sini lima sampai sepuluh menit."

Masih diam, aku memiringkan badan dan membuka pintu lebar. Memberi izin dia masuk, toh, ini bukan yang pertama. Sudah beberapa kali dia masuk ke kamar kos-ku, seringnya saat aku tidak enak badan. Dia membawa makanan, menungguiku makan sampai habis lalu pulang. Jadi aku mewanti-wanti diriku sendiri, malam ini serupa biasanya.

Alih-alih masuk, Diaz tertawa pelan seraya memindahtangankan plastik kepadaku. "Bercanda. Aku pulang dulu. Dimakan, ya ...."

Seharusnya aku biarkan saja Diaz pergi, aku juga belum punya jawaban untuk permintaannya, bahkan aku masih bingung mencerna kejadian hari ini. Namun, saat dia memunggungiku, satu tanganku yang bebas meraih cepat ujung kaus birunya. Dia berbalik, dan aku mengedarkan pandangan ke lorong kos yang sepi.

"Masuk," pintaku.

"El, aku—"

"Aku nggak bisa tidur, dan kamu pasti tahu alasannya apa. Ini bukan kantor, dan kita bisa lebih leluasa bicara."

Tanpa bantahan Diaz masuk, dan aku menutup pintu pelan-pelan. Tempat kosku tidak memiliki aturan ketat, tidak punya jam malam, penghuni hidup bebas di dunia masing-masing. Asal tidak membuat keributan, kami diizinkan berbuat apa saja. Seperti hotel.

Dia berdiri di depan meja putih, tempatku menaruh laptop, tas kerja, dan beberapa map. Terlihat sabar menunggu aba-abaku untuk memulai obrolan, sementara aku sengaja menyibukkan diri setelah menaruh nasi goreng di nakas samping ranjang. Aku melipat selimut, menyusun guling di atas bantal, memojokkan boneka Mickey Mouse besar ke ujung kepala ranjang dekat tembok. Apa pun yang kulihat, aku kerjakan untuk meredam debaran yang muncul sejak melihat Diaz tanpa pakaian resmi. Hanya kaus biru oblong lengan pendek dan chinos hitam, lengkap dengan rambut hitam kecokelatan yang dibiarkan berantakan dan sedikit basah. Gelombang aneh yang muncul membuatku kesal pada diri sendiri. Aku pernah melihat Diaz hanya memakai celana pendek tanpa baju saat menemani dia ke Bali, memamerkan ukiran tato yang menghiasi dada sebelah kiri sampai perut, yang melengkapi keindahan garis-garis otot hasil hasil menjaga makan dan rutin berolahraga. Seperti perempuan pada umumnya, aku terkagum-kagum melihat Diaz. Namun, hanya sepersekian detik. Setelahnya, aku kembali melihat dia sebagai lelaki playboy kelas kakap. Sialnya, malam ini, seseorang di dadaku tidak mau berhenti menabuh genderang, memacu detak jantungku sampai rasanya mau meledak.

"El—"

"Permintaan Eyang, pemicunya, jelaskan semuanya," potongku cepat.

Akhirnya aku duduk bersila di ranjang, menemui tatapan yang kuhindari sejak pintu kamar terbuka. Aku tidak boleh terus-menerus kebingungan sendiri, harus diselesaikan dengan segera. Diaz bertahan di posisi awal, dengan bokong bersandar di meja dan mengawasiku penuh perhitungan. Entah apa yang jadi pertimbangannya, tetapi detik selanjutnya Diaz menarik kursi bulat dari depan meja ke samping ranjang lalu duduk di sana.

"Pagi, dua jam sebelum aku berangkat kerja, Eyang telepon. Oktober ini umur aku 32, kata beliau, main-mainnya udah cukup. Aku harus menikah, atau semua yang dikasih sukarela ditarik, termasuk nama aku di daftar warisan."

Diaz berhenti sejenak, memastikan aku mendengar baik-baik ceritanya.

"Kamu tahu, El, sebagian hidup aku habis di sini. Banyak hal udah aku lakuin, aku nggak bisa melepas Mega Tarinka buat alasan begini."

Aku tahu seberapa keras Diaz mengusahakan Mega Tarinka tetap menjadi perusahaan kontraktor besar di Indonesia, siang-malam, kadang hari libur pun Diaz masih suka memutar otak supaya bisnis keluarga ini makin besar. Siklus itu berlangsung sejak dia lulus kuliah, wajar, kalau dia memutar otak sedemikian rupa buat mempertahankan ini.

"Masih mau tahu alasan aku milih kamu? Oke." Diaz tersenyum, dan sisi teguhku yang menolak idenya sedari awal sedikit demi sedikit retak. "Aku ulang. Kamu satu-satunya cewek yang diterima baik Eyang dan Mama, bahkan keluarga besar aku sangat menyukai kamu. Dan aku yakin, orang lain, karyawan-karyawan nggak akan kaget atau berspekulasi aneh-aneh. Mereka tahu kedekatan kita kayak apa. Mereka sering lihat kita menghabiskan waktu berdua. Jadi—"

"Pernikahan macam apa yang mau kamu kasih ke aku? Aku memang nggak suka hubungan formal, tetapi aku dibesarkan dilingkungan yang memegang teguh janji-janji pernikahan. Artinya, kalau satu hari nanti aku memutuskan menikah, itu buat sekali sampai mati."

Aku mengangkat satu tangan saat melihat Diaz membuka bibir, memintanya menunggu sampai aku selesai mengeluarkan pikiran-pikiran sialan yang menggangguku sejak di kantor tadi. Dia sudah banyak bicara, sekarang giliranku.

"Kamu, kamu nggak pernah stay sama cewek lebih dari seminggu. Bagaimana bisa kamu menghabiskan waktu seumur hidup sama aku? Aku. Kamu. Kita pemuja kebebasan. Dan hubungan yang kamu tawarkan ke aku, terlalu terikat dan serius."
Diaz mencondongkan tubuh ke arahku, terlihat makin tidak sabar menyela. Dan, aku makin gigih mempertahankan satu tangan di depan wajahnya.

"Kalau Eyang menginginkan kamu menikah, pasti Eyang mengharapkan cicit dari kamu. Apa bisa kita komit merawat dan membesarkan anak? Anak loh, Diaz, memelihara makhluk hidup lain aja kita malas."

Diaz memajukan kursi sampai kedua lutut menyentuh pinggiran ranjang, menyingkirkan tanganku dari depan wajahnya. Terlihat tidak tahan untuk membalas kata demi kata yang kulempar, tetapi kesusahaan merangkai kalimat. Beberapa kali bibir Diaz terbuka, lalu menutup. Ekspresi laki-laki ini makin absurd, mengikuti situasi hari ini.

"See, kamu nggak bisa jawab, kan? Menikah itu nggak segampang pacaran, Diaz. Itu hubungan rumit. Sebaik apa pun hubungan kita sekarang, nggak menjamin nggak akan ada masalah di sana. Dan yang penting, itu bukan lagi tentang kamu dan aku. Kita melibatkan keluarga aku, keluarga kamu, urusannya udah lebar banget."

"Terus, kamu minta aku nyerah gitu aja? Melepaskan Mega Tarinka?"

Aku menggeleng. Kalimat; Cari cewek yang bisa bikin kamu jatuh cinta, cewek yang layak di depan keluarga kamu. Aku yakin dari sekian banyak cewek di Jakarta, pasti ada satu. Berhenti di ujung lidahku, menolak untuk keluar.

"Cari cewek lain?" Aku mendelik, Diaz lebih dulu menyuarakan ide itu. Kemudian, dia menggeleng lesu. "Aku nggak bisa." Diaz menengadah ke langit-langit kamarku sebentar, lalu kembali membujukku dengan tatapan memelasnya. "Anggap ini games, El. Aku bisa kasih apa pun sebagai hadiahnya, El."

Aku mengembuskan napas lambat-lambat. "Kamu lupa, ya, dipermainan kita bisa kalah."

Dia menggeleng tegas. "Aku ingat, El. Selama ini aku selalu menganggap hidup arena games. Menang. Kalah. Biasa itu, yang penting berusaha dulu." Tanpa memutus pandangan kami, Diaz mengambil dan menaruh satu tanganku ke pahanya. "Aku yakin kita bakal baik-baik saja. Aku bisa jadi suami bertanggung jawab."

Mata Diaz terlihat yakin, dan aku hampir tidak bisa menahan teriakan.

Aku tahu sekeras apa pun usahaku menolak, sekeras itu juga usaha Diaz meyakinkanku. Menyebalkan. Biasanya aku selalu mempunyai cara untuk menghilangkan rasa sebal di saat-saat Diaz keras kepala, mengingat hal-hal baik yang terjadi saat Diaz berusaha sangat keras. Mendapatkan tiket konser Katy Perry di last minute, contohnya.

"El ...."

Namun, malam ini cara begitu tidak berlaku! Sebanyak apa pun hal baik kuingat, tidak ada yang bisa mengurangi rasa berang di dadaku. Entah karena Diaz menganggap pernikahan sebuah permainan, atau yang dia anggap arena games kali ini adalah hidupku, atau mungkin keduanya.

Genggamannya menguat, dan aku melengos.

"Tiga bulan," kataku, "Kamu yakin ini berhasil, aku nggak. Kamu menganggap ini permainan menang-kalah, aku nggak. Ini hidup aku. Berhasil atau nggak rencana ini selalu ada sisi baik-buruk buat aku dan keluarga aku. Aku nggak bisa mempertaruhkan hidup untuk permainan macam itu."

Diaz memiringkan sedikit kepala, mencerna apa yang kukatakan. "Maksudnya?"

"Dating. Kita selalu dekat sebagai teman, bukan di tahap pasangan. Coba dari situ dulu, kalau tiga bulan kita baik-baik saja." Aku mengangguk. "Let's get married." Kedua sudut bibir Diaz berkedut, dan aku buru-buru lanjut bicara, "Tapi, kalau dalam tiga bulan itu kita sama sekali nggak cocok sebagai pasangan ... kamu nggak boleh maksa aku lagi, oke? Silakan cari cewek lain buat menyelamatkan Mega Tarinka."

Senyum Diaz melebar dalam hitungan detik, menarik dan memindahkan satu tanganku yang tersisa ke pahanya. Memasang ekspresi percaya diri seperti biasanya. "Deal. Tiga bulan. Kita pasti baik-baik saja, El."

Aku mengangkat kedua bahu tidak acuh, membiarkan Diaz dan kepercayaan dirinya.

Akhirnya, aku bersikap tolol menurut kepada Diaz untuk menganggap hubungan yang lebih serius sebagai permainan. Hanya saja; aku tidak sudi menaruh hidupku sebagai taruhannya. Menang atau kalah, hubungan baik kami selama dua tahu risikonya.

Continue Reading

You'll Also Like

7M 56.7K 6
Satu kesalahpahaman, dan Emma tidak tahu bahwa kesalahan 'mengajak-orang-asing-bergulat-hebat-untuk-kesan-pertama' bukan hal baik untuk kelangsungan...
72.2K 4.7K 58
COMPLETED! 💓 SEQUEL PERTAMA Open the Door, Please! ----- Aku selalu jatuh cinta pada proses. Seperti; proses mengenalmu dari sebuah nama, lalu berta...
10.5K 1.3K 22
[END] [18+] Summer ingat hari itu, saat ia mempersiapkan pernikahannya dengan Leon. Gaun pengantin, venue, bahkan makanan sudah ia siapkan dengan sem...
286K 23.7K 37
SUDAH KELUAR DALAM VERSI E-BOOK DAN CETAK https://play.google.com/store/books/details?id=_CWKDwAAQBAJ THE ANGELS SERIES book #1 (Beberapa part sudah...