Dear, You... [TRILOGI "YOU" B...

By Sa_saki

66.5K 2.8K 323

Trilogi "You" pindah ke Innovel/Dreame Sa_Saki ya... Insya Allah di sana ada beberapa bab tambahan yang kalia... More

Prolog...
1. Gagal Fokus
2. Topik yang Dihindari
3. Missing Piece
5. Overthink

4. Pertanyaan Di Ujung Lidah

2.1K 255 29
By Sa_saki

Seiring dengan pintu kamar Nigi yang dia tutup, Aran merasakan oksigennya kembali terpasok dengan cukup. Cewek itu melangkah pelan menuruni tangga, menangkap keberadaan Noel dan Tante Zia yang sedang membicarakan sesuatu di meja makan. Dan tepat ketika kaki Aran menapak pada anak tangga terakhir, keberadaannya disadari Noel yang membawa nampan di tangannya.

Tante Zia mengamati reaksi kedua anak muda itu, tersenyum kecil dan berinisiatif mengambil alih nampan berisi semangkuk bubur dan segelas teh hangat yang baru saja dia siapkan untuk Nigi. Mendapat tatapan tanya dari putranya, Tante Zia hanya mengangkat bahu, menjatuhkan lirikannya pada Aran yang masih diam di ujung tangga. "Take you're time," bisik Mami sebelum berlalu, tersenyum ketika melewati Aran yang membalas canggung. Di hadapannya kini Noel berdiri dengan ekspresi yang sulit untuk dia baca, membiarkan beberapa detik terlewat hanya dengan keheningan.

"Maaf, kakak lupa..." bukan karena tak tahu apa yang harus dia katakan, Noel hanya merasa tak pantas harus memberikan terlalu banyak alasan serupa yang dia sendiri sudah bosan mendengarnya. Tentu beberapa tahun belakangan, sebelum hubungan mereka kadang terasa canggung seperti saat ini.

Aran tersenyum tipis, "Nggak apa-apa, bagaimana pun keadaan Kak Gi memang lebih penting, kan?" tersadar dari ucapannya yang ambigu, serta reaksi Noel yang terlihat tak nyaman dengan ucapannya Aran segera menggelang panik. "Ah, bukan maksud apa-apa kok. Maksudnya, lagi pula bukunya kan udah ada," seru Aran menunjukan buku yang sejak tadi di dekapnya ke hadapan Noel.

"Kalau gitu aku pulang, Kak. Pinjem dulu ya bukunya." Tanpa menunggu jawaban Noel cewek itu segera melesat pergi, berlari menuju rumahnya yang dia rasa kini adalah tempat persembunyian paling aman yang bisa dia gapai.

Napas Aran terseok begitu pintu rumahnya berhasil dia tutup. Ayah yang baru berbelok dari ruang tengah dan mendapatinya bersandar di pintu menatap dengan kening berkerut. "Kenapa kamu? Dikejar hantu?"

Aran menggeleng, melangkah menaiki tangga dengan langkah cepat menuju kamarnya. Pintu kamar dia tutup cukup keras, menghampiri meja belajar yang terlihat amat berantakan setiap kali Aran terlalu tenggelam dengan tugas-tugas sekolah. Gerakannya yang tak sengaja menyenggol laptop membuat layar yang semula dalam mode slideshow kini bergeming menampilkan sebuah halaman yang beberapa waktu terakhir selalu dia pandangi tanpa henti, bahkan sampai beberapa jam lalu.

Cewek itu menggeser kursi, menjatuhkan diri di sana dengan mata yang masih fokus jatuh pada layar laptopnya. Satu hal yang kemudian membuatnya berpaling, keberadaan buku puisi yang masih erat dia pegang. Tanpa pikir panjang Aran menutup layar laptop-nya cukup keras. Menghilangkan sejenak kekacauan yang benaknya mulai rangkai.

"Ngerjain hukuman lo sekarang lebih penting, Ran. Lebih penting!" Aran menggerutu pada dirinya sendiri, mulai membuka buku yang dia pinjam dan mengambil bolpoin yang tereletak di atas buku tulis yang sudah terbuka.

***

Bukan keberanian yang dibutuhkan untuk mengajukan satu pertanyaan yang Aran simpan, pun bukan keengganan yang membuatnya membutuhkan waktu untuk mengajukan pertanyaan itu. Yang dia butuhkan adalah ruang untuk menerima jawaban dari pertanyaannya, ruang untuk bisa mengolah dan memahaminya dengan pasti jawaban yang sebenarnya amat sederhana. Hanya saja rasanya situasi yang orang-orang sekelilingnya hadapi tidak pernah sesederhana itu.

"Makan sop buah di musim panas kayak gini memang surga dunia!" ujar Varo ketika Mang Hamid yang memang menjual berbagai jenis es di dekat sekolah SMA Nusantara memberikan mangkuk ketiga.

"Kalau lapar makannya bukan sop buah tapi nasi! Lagian nggak ada kenyangnya ya lo? Mau ngabisin uang saku gue seminggu?" gerutu Aran kesal.

"Pertama, gue memang lapar karena istirahat siang tadi gue nggak makan. Kedua, kalau uang saku lo selama seminggu abis ya itu memang derita lo."

Aarrghhhh... rasanya Aran ingin sekali menjambak rambut pemuda di hadapannya ini. Sayangnya dia terlalu penyayang hingga yang dia lakukan justru hanya mengelusnya lembut, saking lembutnya hingga dia berharap ketombe di kepala Varo jatuh ke mangkuk sop buahnya sendiri. "Hemmm kasian yang kelaparan..." Aran mengeram dalam setiap elusannya.

"Kalau kasian boleh kan gue makan satu mangkuk lagi?"

Tangan Aran yang baru menjauh dari kepala Varo langsung mendarat kembali dengan pukulan yang cukup keras di dahi, terlebih ketika melihat cengiran kotak yang ingin sekali dia remas hingga tak berbentuk. "Nggak. Buah memang bagus, tapi karena lo makannya pakai es jadi nggak bagus lagi. Nanti perut lo sakit makan es kebanyakan, padahal belom diisi nasi."

Bukannya hilang, senyum kotak Varo justru bertambah lebar, "Cieee... Aran gue khawatir nih ceritanya?"

"Mau ditimpuk? Dan stop pakai kata kepemilikan yang bikin merinding itu!"

Varo merengut lesu, memperlambat setiap gerakannya dan mulai hiperbola. "Aran gue memang udah berubah, dia nggak semanis dan selugu dulu. Masa pubertas merubahnya sekejam ini," gumamnya seolah untuk diri sendiri, padahal dia mengatakannya dengan jelas, sengaja agar semua orang yang berada di tenda Mang Hamid mendengarnya. Memang pada dasarnya Varo tukang cari perhatian, jadi Aran lebih memilih mengabaikannya.

"Jadi gue udah bisa ajuin pertanyaan gue, kan?"

"Belum! Sop buah gue belum habis, kalau lo ngomong sekarang itu namanya lo nggak menghargai makanan!" protes Varo dengan gerakan memeluk mangkuk sop buahnya yang tinggal separuh.

"Yah, dan pubertas dengan kejamnya bikin lo segila ini," renung Aran dalam hati.

***

Pada akhirnya bukan di tenda Mang Hamid pertanyaan itu berhasil Aran ajukan, melainkan di jalan setapak yang selalu mereka lalui saat pulang dan pergi ke sekolah. Jalan setapak yang sepi di balik hiruk-pikuk bisingnya ibu kota, jalan setapak yang mejadi saksi bagaimana kedua anak itu tumbuh menjadi remaja dan mempersiapkan diri memalui tahap selanjutnya.

"Ro?"

"Hem?"

"Gue pikir lo nggak denger."

Varo lebih memilih tidak menanggapi komentar Aran, kembali pada topik pembicaraan mereka petang itu.

"Apa lo pikir dia baik-baik aja?" renungnya setelah cukup lama memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan yang Aran ajukan.

Sebelah alis Aran naik, "Di sini gue yang tanya, kalau lo lupa. Gue nggak berharap pertanyaan gue kembali dalam bentuk pertanyaan lagi."

Langkah Varo berhenti, begitu pula dengan laju sepedanya yang dia tuntun. Aran sedikit terlambat menyadari, hingga setelah dia berada beberapa langkah di depan, cewek itu baru berhenti dan berbalik memandang Varo.

"Apa kalau gue bilang Kak Di baik-baik aja, lo bakal percaya? Apa lantas setelah gue bilang kayak gitu dia akan baik-baik aja di sana?"

Varo yang serius adalah sosok yang selalu Aran harapkan hadir setiap kali pemuda itu sudah semakin gila, tapi ketika dia benar-benar muncul di hadapan Aran, hal yang paling tidak bisa Aran lakukan adalah membaca ke mana arah jalan pikiran orang yang dia hadapai itu. Jika Varo yang konyol masih bisa Aran terka-terka, maka Varo yang serius merupakan bongkahan es yang tertanam di dasar lautan antartika, misterius, tak tersentuh. Aran selalu merasa menghadapi orang yang berbeda setiap kali sisi Varo ini hadir.

"Intinya, apa yang lo lihat secara kasat mata nggak selalu nunjukin yang sebenarnya." Varo mengambil langkahnya kembali, melewati Aran yang masih memilih bungkam.

"Kalau yang lo mau tahu apakah Kak Di masih sering hubungin kami, tentu aja sering. Bahkan hampir setiap hari Mama-Papa telepon atau videocall nenek lampir itu, intensitasnya nggak pernah signifikan berubah meski udah lebih dari empat tahun. Kami keluarganya, Ran, dan itu sangat wajar."

Varo memperlambat langkahnya menunggu Aran agar kembali berjalan bersisian. Cewek itu sudah kembali dengan pembawaannya yang serius, terlalu rumit memikirkan sesuatu, meski faktor jawaban Varo sendiri yang membuatnya memasang mode demikian.

"Dia masih sering senyum, kelihatan seneng ceritain bagaimana kehidupannya di sana. Bahkan waktu gue ke sana pas liburan tahun lalu pun dia tetep Nadi kakak kandung yang gue kenal dengan amat baik."

Kepala Aran terangkat untuk memastikan reaksi tetangganya yang satu itu, mendapati senyum tipis namun terasa hambar. Aran memilih memberikan kesempatan pada Varo untuk memakai waktunya senyaman mungkin, menceritakan satu persatu jawaban dari pertanyaannya yang sudah bersarang terlalu lama. Mungkin hanya satu pertanyaan yang telah Aran ajukan, dan satu pertanyaan itu jelas muncul baru-baru ini saja. Sisa pertanyaan lain yang nyatanya ada dan Aran simpan sejak lama, pada akhirnya dijawab Varo satu persatu, meski Varo tidak memerlukan bentuk untuk setiap pertanyaan itu.

Continue Reading

You'll Also Like

127K 4.8K 13
[15+] Grezzitha Handayu diam-diam menyukai Renggala, cowok tanpa cela di sekolahnya. Cowok yang diidolakan banyak orang karena kecerdasan dan tampan...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.9M 331K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
78.2K 7.6K 8
"Kamu ingat, dulu aku pernah bilang sama kamu, aku nggak akan pergi walau seburuk apa pun keadaannya nanti. Aku tetep di sini, nggak akan pernah ting...
1.2K 433 8
Yuk follow dulu ☺ Vote dan komen kalian sangat berharga ✨ Ku kira dia cinta pertama sekaligus cinta terakhirku, tapi ternyata dia hanya sebatas cinta...