Keadaan kelas 11 IPS 4 siang ini cukup tenteram. Hanya ada suara hembusan AC yang menyala, dan suara maut Bu Hazami yang cukup membuat telinga sedikit sakit. Tapi tidak bagi Bara, dia sekarang justru sedang tertidur lelap di mejanya karena semalaman baru tidur jam setengah 3 pagi tadi.
Drap! Drap! Drap!
Suara sepatu hak Bu Hazami semakin mendekat ke arah meja Bara, karena Beliau menyadari ada salah satu muridnya yang asik tertidur pulas. Melihat itu, Abriel mendadak panik, sedangkan Jordy santai-santai saja sembari mengupil.
"Sst, Bar!"
Brak!
"BANG-- eh, Ibu? Ngapain Bu ke meja saya?"
Bu Hazami berkacak pinggang, matanya menatap Bara dengan intens. "Kalo kamu mau tidur di rumah saja sana!"
"Saya juga penginnya begitu, Bu. Tapi 'kan saya nggak bisa pulang."
Brak!
Penggaris panjang berbahan dasar kayu itu sudah menggebrak meja Bara untuk yang kali kedua. "Kamu itu bodoh atau apa sih hah!"
"Ya saya emang bodoh, Bu. Makanya saya sekolah biar pinter,"
Beliau terbelalak. "Oke sekarang mana PR kamu?!"
Bara mengernyit. Tangannya menggaruk kepalanya yang sedikit gatal. "PR yang mana ya Bu?"
"BERDIRI DI DEPAN TIANG BENDERA SAMPAI PELAJARAN SAYA SELESAI!"
Bara menahan nafasnya. Gurunya ini abis makan apa ya?
"Panas, Bu." jawab Bara setelah melirik ke arah lapangan dari jendela kelasnya.
"Gak usah kayak anak cewek kamu! Kulit kamu 'kan udah cokelat! Mau kena panas pun gak masalah! Ayo berdiri!"
Bara berdecak pelan. "Ya biarin. Daripada Ibu, kulitnya putih ... Putih di muka doang maksudnya,"
Murid-murid kelas 11 IPS 4 menahan tawanya, termasuk Abriel dan Jordy. Mereka semua salut sama Bara, paling berani ngebantah ucapan guru. Terutama Bu Hazami yang sepertinya mempunyai seperempat gen T-Rex.
"Melawan ya kamu!"
"Saya nggak ngelawan, Bu. Ya udah saya keluar kelas dulu,"
Bara bangkit dan mengambil sebuah topi dari dalam tasnya. Lalu berujar, "Saya pamit ya, Bu. Lehernya jangan lupa di kasih pemutih juga biar gak belang. Assalamualaikum."
"ANAK GAK TAU SOPAN SANTUN!"
***
Bara mengusap peluh yang bercucuran di dahi dan lehernya. Sudah 15 menit dia berdiri seraya hormat di depan tiang bendera, dia merasa sangat gerah sekarang di tambah tenggorokannya yang terasa kering. Oh, belum lagi matanya yang masih terasa berat.
Shit.
"Bara! Ngapain di situ?"
Bara menengok ke arah kiri ketika mendengar suara perempuan yang memanggil namanya.
"Nyuci baju."
Perempuan itu mengerucutkan bibirnya. "Serius ih!"
"Mata lo katarak emang?"
"Mau minum gak? Nanti gue beliin deh,"
Bara spontan menggeleng. "Gak. Gue gak haus."
"Bohong! Orang bibirnya kering gitu!"
"Gue gak haus, Sonya."
Sonya. Primadona Bintang Harapan setelah Lea. Ngomong-ngomong soal Lea, sedang apa ya gadisnya sekarang?
"Bara, lo pacaran ya sama Lea?"
Bara terdiam. Bukan karena apa, tapi Bara terlalu malas meladeni perempuan seperti Sonya.
"Ck. Bar, Lea itu ya-- cewek matre. Udah gitu kayaknya dia anak yang suka clubbing deh."
Bara tersenyum miring. Matanya enggan menatap Sonya yang sudah duduk di samping tiang bendera.
Clubbing? Minum soda aja Lea gak suka apalagi minum alkohol!
"Terus di Instagramnya juga followersnya 'kan banyak karena dia sering upload foto seksi gitu. Lo curiga gak sih dia simpenan Om-Om gitu?"
Bara kembali bungkam.
"Bar--"
Krriingg!!
Bara menurunkan tangan kanannya. Lantas menatap Sonya. "Kerjaan lo shudzon mulu sama orang. Banyak-banyakin nyebut, Son. Biar lo selalu inget dosa sama karma."
Karena kesal, Sonya kontan menendang kerikil kecil yang ada di hadapannya. Lalu berteriak. "DASAR COWOK SOK ALIM!"
***
"Gue abisin ya?"
Lea mengangguk lesu, badannya dia tumpu 'kan di ambang pintu kelasnya. Sumpah, dia ngantuk banget. Mungkin Bara juga, terlihat dari lingkaran hitam yang ada di kedua mata Bara.
"Rooftop yuk. Tidur bareng, gue ngantuk."
Lea mengerjapkan matanya. Apa tadi? Tidur bareng? Gak salah?
"Hah?"
Bara memukul pelan kepala gadisnya gemas dengan botol minum. "Tidur bareng. Di rooftop."
Lantaran Bara semakin gemas dengan ekspresi Lea yang seperti orang bodoh, pun dengan tiba-tiba Bara menarik tangan gadisnya menuju rooftop.
Untuk sekedar tidur bareng.
"Lepas, Onta!"
"Ihh!"
"Onta ileran!"
Lea mencebikkan bibirnya dongkol ketika kedua telinga Bara sekarang mendadak tuli. Dan dia hanya bisa pasrah mengikuti kemauan Bara yang mengajaknya tidur bareng.
Gak lama kemudian, Bara mendorong pintu yang lumayan rapuh dengan kasar sehingga serbuk-serbuk kayu mengepul di tambah semilir angin langsung menyapa wajah mereka. Alhasil, mata Lea pun sekarang kelilipan.
Good job, Bara.
"Onta!"
Bara menengok ke samping. Gadisnya sedang mengucek-ngucek matanya dengan kasar. "Sini. Gue tiupin."
Bukannya melepas tangannya dan membiarkan Bara membantunya, Lea justru enggan di sentuh oleh Bara.
"Jangan di kucek, Tasha!"
"Perih!"
Kesal, Bara pun menarik paksa tangan gadisnya dan langsung meniupkan kedua mata Lea yang memerah. "Kalo di kucek malah tambah perih, tuh 'kan mata lo merah banget ... Kayak abis..."
Lea berkacak pinggang setelah mengerjapkan kedua matanya. "Abis apa?!"
"Enggak. Ayo, tidur di sana aja."
Bara menggenggam tangan Lea. Sehabis itu dia menariknya ke arah sofa usang yang terletak di tempat yang posisinya lumayan teduh. Lea mengambil nafasnya dalam-dalam, menikmati semilir angin yang menerpa wajah dan rambut panjangnya.
"Enak 'kan di sini?"
Lea mengangguk antusias. Matanya masih mengagumi bangunan di kota Tangerang yang terlihat kecil dari atas sini.
"Aku baru tau di sini ada rooftopnya."
Bara tersenyum simpul. Dan entah dorongan dari mana, dia dengan tiba-tiba memeluk tubuh Lea dari belakang. Lea yang menyadari posisinya yang cukup intim itu pun segera menyikut perut Bara dengan sikunya. "Aduh!"
"Jangan peluk-peluk. Ntar kalo ada yang liat malah di bilang yang enggak-enggak."
"Ayo tidur, gue ngantuk."
Lea menggeleng kuat. "Gak mau tidur di sini!"
"Terus maunya tidur di mana? Hotel? Aduh! Kok di pukul sih?!"
Lea menatap tajam Bara yang mengusap-usap bahunya. "Abis kalo ngomong sembarangan banget! Aku gak suka tau!"
"Ya iyalah lo gak suka. Orang yang lo sukain itu gue."
Lea mendelik. "Nga--"
Braaak!!
"AAAAHH!!"
Dua cowok yang baru datang ke rooftop melongo mendengar jeritan Lea. Termasuk Bara.
"Lo kaget, Tash?"
Lea mengusap dadanya. Menetralkan degup jantungnya yang masih berdetak cepat. Lantas mulai menginjak kaki Bara dengan sekuat tenaga. "Malah nanya!"
"Lah lo ngapa kaget? Gara-gara gue ngedobrak pintu tadi?"
Lea menatap Jordy datar. "Iya! Ngagetin tau gak!"
Ketiga cowok yang ada di rooftop tertawa keras. Termasuk Bara dan Abriel. Melihat itu, malah membuat Lea mencebikkan bibirnya. Lagian kenapa sih Bara ini? Pacarnya di kagetin bukannya ngemarahin Jordy malah ikut ketawa.
"Pacar lo lagi kenapa, Bar?" ledek Abriel di iringi suara tawanya.
"Tau. Gak jelas. Turun sana ke bawah. Tidur barengnya ntar a--"
"ASTOGE LO MAU TIDUR BARENG DI SINI?!"
Bara berdecak melihat ekspresi Jordy yang melotot lebar-lebar seraya berkacak pinggang.
"Kalo iya kenapa? Lo mau ikutan?"
Jordy mengangguk-angguk dengan polos. "Boleh, gue juga mau-- ANJIR SAKIT MONYET!"
"Lo mau? Sini hadapin gue dulu," Bara menepuk-nepukkan dadanya. Kemudian matanya melirik ke arah Lea yang tengah menguap lebar.
"Sana turun ke bawah. Lo cewek sendirian di sini."
"Temenin," pinta Lea manja.
"Gue anterin dia ke bawah dulu."
Jordy mencibir. "Dasar cewek manja."
"Biarin!"
***
"Nanti pulang sekolah lo tunggu sini aja. Biar gue yang jemput ke kelas lo."
Lea mengangguk patuh. "Tapi jangan bolos pelajaran lagi ya?"
"Iya. Gue mau belajar. Biar pinter. Dan biar nurun ke anak-anak kita."
Bugh!
"Kalo ngomong gak usah kejauhan!"
Bara terkekeh. "Kemarin juga lo ngomongnya kejauhan."
"Tapi 'kan aku udah puter balik!"
"Ini ceritanya lagi ngelawak ya, Bundadari?" goda Bara menarik pelan hidung Lea.
"Tau ah sana pergi! Inget gak usah ngerokok sama bolos!"
Bara manggut-manggut. Detik selanjutnya ia terdiam. Hanya ada satu pertanyaan di benaknya.
"Lo mulai sayang sama gue ya?"
***