With Your Body

By Aniwilla

241K 7.8K 393

Ruby Carefanessa. Wanita dengan senyuman miringnya itu selalu menggoda. Paras cantik, tubuh seksi, harta berl... More

00 || Prolog
02 || Pelamar
03 || Alasan
04 || Pasta
05 || Namaku, Ruby
06 || Nyaman?
07 || Kejutan
08 || Hadirnya Intan
09 || Tidak Suka
10 || Siapa Axel?
11 || Keberadaannya
12 || Identitas
13 || Tidak Pernah Menyesal
14 || Nyanyian Bruna
15 || Pria Berbahaya?
16 || Lari
17 || Pikiran Kecil
18 || Sakit Hati?
19 || Abu-abu
20 || Biru
21 || Bodoh
22 || Petir
23 || Penculikan
24 || Bertemu Axel
25 || Pengakuan
26 || Cinta
27 || Api dan Air
28 || Bukan Cemburu
29 || Ayah
30 || Berbintang
31 || Hilang
32 || Gengsi
33 || Pergi
34 || Pudar
35 || Dia Ingin Pergi
36 || Aku Mencintaimu

01 || Dia Tidak Tertarik?

26.1K 388 19
By Aniwilla

===

SUARA gesekan spatula yang berpadu dengan wajan menghasilkan bunyi nyaring di salah satu dapur restoran ternama. Bau masakan yang berbeda-beda menyebar ke penjuru ruangan luas nan mewah itu.

Seorang pria bermata tajam dengan warna biru gelap berpakaian koki terus saja memandang ke arah depan, tidak peduli dirinya yang tengah mengiris paprika. Kaca tembus pandang yang mengarah ke jajaran para pelanggan--tapi pelanggan belum tentu bisa melihat ke dalamnya--membuat lelaki itu leluasa memandang sahabatnya sendiri yang tengah melayani pelanggan sembari mengeluarkan jurus-jurus buaya yang yang ia miliki.

Pria bertubuh tinggi itu, Safir. Menatap pelayan yang masih sibuk berbicara dengan pelanggan cantik yang mengenakan baju kekurangan bahan. Sesekali mereka tertawa membuat Safir menghentakkan pisaunya dengan keras.

Tak lama pelayan yang sedari tadi ditatap Safir memasuki dapur dengan senyuman mengembang. Wajahnya tampan, tidak sepadan dengan pekerjaannya. "Safir, perempuan di meja nomor 17 memesan carbonara."

"Hanya carbonara? Keterlaluan." Safir mendesis seperti orang kepedasan. Ia melirik tajam ke arah Elzar. "Kau ini mau jadi pelayan atau gigolo, hah?"

Elzar hanya mengendikkan bahu tidak tahu. "Kau ini kejam sekali menyuruhku menjadi gigolo. Memangnya aku semurah itu?"

"Aku tidak menyuruhmu, aku hanya bertanya," sahut Safir.

Elzar mengembuskan napas dan menatap Safir dengan senyum manisnya. "Lebih baik kau buat saja carbonara pesanannya! Nanti aku yang akan mengantarkan ke meja."

Safir menggeleng kuat. "Tidak! Aku yang akan mengantarkan carbonara sialan itu."

Elzar melototkan mata tidak terima atas perkataan Safir. "Tidak bisa. Aku yang akan mengantarnya, dia sudah berjanji akan memberi nomor ponselnya untukku."

Safir yang sedang berbicara dengan koki yang lebih tua darinya sontak menoleh menatap Elzar tajam. "Kau makan saja nomor ponsel jalang itu! Pikiranmu sudah sangat menjijikkan, lain kali ikut aku ke dukun. Kita akan membersihkanmu dari aura negatif."

"Memang apa yang salah denganku? Aku hanya meminta nomor ponselnya saja. Lagipula kau tahu aku sudah melajang selama lima tahun, kau bayangkan saja betapa menderitanya aku?" Elzar menatap Safir memohon, berusaha membujuk lelaki itu untuk membiarkannya menjalankan aksi.

"Kau. Bodoh! Tentu saja aku tahu bagaimana rasanya."

Elzar tersadar lantas tergelak sebentar. Selama apa pun Elzar melanjang, tentu saja masih lebih lama Safir dibanding dirinya. Pria tampan yang selalu melampiaskan emosinya pada masakan itu tidak pernah tergoda oleh tubuh seksi wanita. Malah wanita yang tergoda dengan tubuh Safir, yang bagi Elzar biasa saja.

"Jadi biarkan aku yang mengantarnya, ya?" tanya Elzar lagi, mengganggu Safir yang sedang mengatur bumbu dengan koki lain.

Safir mendelik dan mengacungkan pisau bekas mengiris paprika ke arah Elzar. Membuat sahabatnya itu sedikit mundur ketakutan. "Bisa diam tidak? Atau aku akan mencincang mulutmu menjadi beberapa bagian."

Elzar buru-buru menutup mulutnya yang mencebik kesal. Menatap Safir tak habis pikir. Bilang saja dia iri, katanya dalam hati.

Beberapa menit kemudian Safir sudah menggenggam piring berisi pasta carbonara dengan nampan berwarna coklat.

"Kau tidak mau merubah pikiranmu sekali lagi? Ini sangat tidak adil." Elzar masih berusaha membujuk Safir.

Safir hanya memasang wajah jengkel. "Aku ini Bos-mu," katanya penuh penekanan. "Jadi ikuti saja perintahku. Bisa?"

Elzar mendengkus pasrah. Perkataan sang Safir bukan bualan semata, laki-laki itu memang pemilik restoran yang ia tempati bekerja saat ini. Ia bisa saja resign, tapi pelanggan wanita yang datang ke tempat ini begitu banyak dan menawan menurutnya membuat Elzar tak melepaskan kesempatan emas tersebut.

Jika dipikir-pikir Elzar bukanlah seseorang yang kurang berkecukupan. Hanya saja memiliki banyak uang membuat lelaki itu bingung akan menghabiskan uangnya dengan cara apa. Makanya lelaki itu sering sekali menghabiskan malam dengan wanita yang berbeda-beda, untuk berfoya-foya. Tapi, bukan berarti Elzar tipe lelaki tidak baik. Ia sangat baik, terkadang.

"Baiklah, pergi saja kau! Jangan mengganggunya atau aku akan potong habis punyamu," ancam Elzar.

Safir tersenyum miring. "Akan aku lakukan."

"Apa?"

"Menggodanya." Safir berlalu dari dapur dan menuju ke arah wanita itu.

Elzar rasanya ingin menghancurkan kaca di hadapannya saat ini. Sahabatnya itu memang sangat menjengkelkan. Matanya melirik ke arah pintu masuk, banyak pelanggan berdatangan, tapi satu yang membuat Elzar tertarik. Satu sudut bibirnya terangkat ke atas, melihat wanita dengan setelan baju hitam menggoda. Tubuhnya pun jauh lebih menggoda daripada gaun yang ia pakai, seperti model papan atas. Dan jangan lupakan wajahnya yang terlihat cantik bak Dewi turun dari langit. Make-up tipis tidak terlalu mencolok, tapi mampu membuat auranya menajam. Tinggi semampai dengan senyuman menawan.

"Okey, Safir. Ambil saja bekasku! Aku akan melayaninya," gumam Elzar menunjuk wanita itu. Wanita yang bahkan hanya dengan kedatangannya mampu membuat Elzar tertarik.

===

Alunan lagu Look What You Made Me Do dari Taylor Swift mengalun dengan merdunya ke seluruh penjuru restoran. Suasana yang nyaman dan sejuk membuat restoran tersebut ramai dikunjungi banyak orang. Selain itu harga list menu yang dibilang cukup terjangkau membuat siapa saja menjadi pelanggan restoran tidak peduli kalangan atas atau bawah.

Ruby berjalan dengan eloknya menyusuri meja tiap meja sampai akhirnya wanita cantik itu memilih duduk di depan seorang wanita berponi yang sibuk memainkan ponsel.

"Hai Sera," sapa Ruby dengan senyuman mempesona yang selalu ia pamerkan.

Wanita yang dipanggil Sera menatap Ruby dan meletakkan ponselnya ke meja. "Kenapa saat kau datang lagu ini yang terdengar, ya?" ucap Sera pelan sembari menggeleng pelan.

Ruby masih tersenyum. Menatap sekeliling restoran mencoba mendengar dan memahami arti dari lirik lagu tersebut. "Memangnya masalah?"

Sera menghela napas sebagai jawaban. "Ada hal yang ingin aku tanyakan."

Ruby membuka tangannya dan menyenderkan punggung pada sofa. Memperbolehkan sahabatnya bertanya.

Belum sempat Sera membuka mulutnya, seorang pelayan menghampiri mereka. "Permisi dua wanita cantik. Apakah ada yang bisa saya bantu?"

Dia Elzar. Mengangkat satu alisnya bertanya, senyuman semanis mungkin ia tunjukkan pada Ruby berharap wanita itu bisa jatuh dalam pesonanya.

Sera hanya menatap Ruby bingung.

Ruby mendelik malas menatap Elzar. "Memangnya siapa yang memanggil pelayan?" tanya Ruby ketus, membuat senyuman yang bertengger di wajah manis Elzar luntur, meski hanya sebentar.

"Ya ampun, cantik-cantik galak sekali," gumam Elzar pelan, tapi masih mampu didengar keduanya.

"Lebih baik kau pergi. Jangan membuatnya marah," kata Sera memberi usul. "Aku akan memanggilmu nanti jika memang perlu."

Ruby masih menangkap senyuman manis yang setia bertengger di wajah tampan Elzar, sungguh ia sama sekali tidak tertarik dengan senyuman itu. Bagi Ruby semua pria itu sama, hanya mementingkan nafsu mereka.

Dengan berat hati Elzar berbalik membuat mata Ruby tidak sengaja bertatapan dengan pria yang tak jauh berdiri di belakang Elzar.

Sepertinya pria itu juga seorang pelayan. Wajahnya tampan dengan mata biru yang menggoda, sungguh membuat Ruby enggan sekali mengalihkan pandangannya. Alisnya terlukis rapi membuat matanya menjadi setajam elang.

"Kau membunuh orang lagi minggu lalu?" tanya Sera menatap lekat wanita di hadapannya.

Ruby menoleh dengan cepat, balik menatap Sera malas. "Aku tidak membunuh siapa pun."

"Tom. Kau membunuh Tom."

Ruby tersenyum simpul, sepertinya gadis itu senang sekali tersenyum. "Aku tidak membunuh Tom. Saat terakhir aku melihatnya, dia terlihat masih hidup sambil meringis kesakitan."

"Kau ini benar-benar gila. Bagaimana bisa kau berkata seperti itu? Ruby, aku tidak ingin kau terkena masalah."

"Tenanglah. Tidak ada yang berani memberikanku masalah." Ruby masih terlihat tenang.

Sera menghela napas frustrasi jika sudah berbicara pada Ruby.

"Salahkan dia, mengapa mudah sekali tergoda. Mudah sekali merayu dan terus saja berganti wanita seolah wanita adalah mainan," kata Ruby. Ia bersidekap menatap Sera, ingin melihat reaksinya. "Dengar Sera, sayang. Jika wanita memiliki segalanya ia tidak membutuhkan pria. Tapi jika pria memiliki segalanya, ia membutuhkan banyak wanita. Seperti itulah awal mula dari bajingan."

Seperti yang Ruby duga. Reaksi Sera memejamkan matanya erat dan kembali membukanya lagi. Mata itu menatap Ruby hati-hati. "Tidak semua lelaki seperti itu."

Ruby hanya memutar bola matanya malas. Jika memang tidak semua lelaki seperti itu, tapi kenapa banyak sekali lelaki yang menyakiti hati wanita?

"Ada bukti?" tanya Sera kemudian. Sera menatap Ruby kesal. Begitulah wanita di hadapannya jika membalas perkataan orang. "Ruby aku hanya mengkhawatirkanmu, mengertilah sedikit!"

"Aku sangat mengerti."

"Baiklah, lupakan! Kau sudah makan?" tanya Sera mengambil menu makanan. Baginya percuma saja menyuruh Ruby meninggalkan kebiasaanya, kenyataannya hal itu yang membuatnya lebih hidup. Bisa meledak kepala Sera jika harus berdebat terus dengan si keras kepala Ruby.

Ruby menggeleng pelan. "Belum."

"Pelayan!" teriak Sera membuat Elzar buru-buru menoleh dan menghampiri mereka. Senyuman manis dari bibirnya masih terlihat.

"Aku tidak mau kau yang melayaniku. Bagaimana jika pelayan di ujung sana?" tunjuk Ruby ke arah pria bermata biru tadi yang masih ada di sana, pria yang berusaha pergi sayangnya pelanggan di meja itu tidak membiarkan.

Elzar menoleh, menatap Safir lebih tepatnya. Ia memutar bola matanya malas saat tahu yang dimaksud Ruby adalah Safir.

"Ehm, maaf sebelumnya. Dia pemilik restoran ini. Jadi kupikir dia tidak akan mau," ucap Elzar.

Ruby kembali melihat Safir yang memaksakan senyumannya pada pelanggan yang dengan tidak tau dirinya terus menarik lengan lelaki itu. "Lalu bagaimana bisa dia melayani jalang itu?"

Sera menendang kaki Rubby pelan, mengingatkan akan perkataannya yang tidak bisa ia jaga. Tentunya tidak digubris sama sekali oleh Ruby.

Elzar mulai bingung. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ehm, bagaimana ya--

Ruby memotong perkataan Elzar dan bertanya. "Siapa namanya?"

"S-Sa--

"Sarah?" sahut Sera sembari mendengkus geli.

"Bu-bukan. Safir," jawab Elzar dengan susah payah. Sedikit terpaksa memberitahu.

"Oh. Namanya cocok denganmu Ruby."

"Tuan Safir," teriak Ruby membuat pria itu menoleh. Ruby tersenyum manis saat melihat Safir yang melangkah ke arahnya setelah berpamitan sopan dengan wanita gatal sebelumnya.

"Kau pergi saja. Sepertinya kami tidak membutuhkanmu." Sera tersenyum miring melihat perubahan raut wajah Elzar yang terlihat kecewa, tapi tidak lama lelaki itu pergi dengan langkah berat. "Aku kasihan padanya," gumam Sera bersamaan dengan Safir yang baru saja datang.

"Permisi. Kau memanggilku?"

Ruby menatap Sera dengan senyuman penuh arti.

"Cepatlah, aku lapar," sahut Sera malas.

Ruby menatap Safir menggoda. Terlihat jelas mata pria itu memandang Ruby dari bawah ke atas membuatnya tersenyum mengerikan.

"Kudengar kau pemilik restoran ini, ya?" tanya Ruby dengan suara yang lebih mirip seperti desahan.

Safir berusaha menetralkan degup jantungnya saat mendengar suara Ruby, membuat bulu kuduknya merinding meski sedikit. "Ekhm, ya."

Ruby berdiri mendekati Safir dengan senyuman mempesonanya, mata dengan sorot tajam itu terus saja menatap Safir, melihat setiap ekspresi yang lelaki itu tunjukkan.

Safir hanya terdiam melihat Ruby mendekatkan dadanya ke dada bidang miliknya. Tangan kecil wanita di hadapan mengusap dada Safir, membuat darahnya tiba-tiba berdesir tak karuan.

"Boleh aku bertanya?" tanya Ruby pelan, hampir sama dengan sebuah bisikan.

"Silakan," kata Safir lirih. Berusaha terlihat santai.

"Wow. Jantungmu berdebar kencang sekali, ya?" Tangan Ruby sudah ada tepat di dada sebelah kiri, merasakan degup jantung pria di hadapannya.

"Tentu saja, aku masih hidup," jawab Safir enteng.

Ruby hanya tersenyum miring. "Apa aku cantik?" tanya Ruby, mendekatkan wajahnya pada Safir dan mengembuskan napasnya pelan seolah berniat menggoda.

"Pertanyaan macam apa itu?" Safir terlihat kebingungan.

"Kau bilang aku boleh bertanya. Jadi sekarang jawablah."

"Aku tidak begitu mengenalmu, Nona. Apa pantas kau menanyakan hal seperti itu pada seseorang yang kau tidak kenal sama sekali?" tanya Safir berusaha mendorong tubuh Ruby, sayangnya Ruby menahan tangan Safir. Mengusapnya lembut.

"Kenapa? Banyak lelaki yang mengatakan aku cantik tanpa mau berkenalan dulu denganku?" Ruby mencebikkan bibirnya, kemudian menggigit bibirnya sendiri dengan tempo pelan.

"Jangan samakan aku dengan mereka. Karena aku terbiasa mengenal seseorang lewat hatinya, bukan fisik."

"Jangan berpura-pura naif."

Safir menghela napasnya. "Kecantikan seseorang bukan terlihat dari fisik, tapi hati. Jadi lebih baik kau singkirkan dada ratamu itu dari tubuhku sekarang!" Safir menatap Ruby tajam. Perkataannya yang penuh penekanan membuat Ruby sedikit terperangah dan reflek mundur.

Safir. Lelaki bermata biru itu berbalik meninggalkan Ruby tanpa berkata apa pun.

Ruby menatap seorang pria yang berada di meja sebelahnya. "Memangnya dadaku rata?" tanya Ruby kesal sambil mencondongkan dadanya ke hadapan pria yang sepertinya lebih tua darinya. Lelaki itu hampir tersedak. Ia melotot melihat dada Ruby dengan mulut yang menganga.

"Sudahlah, aku sedang tidak mau membunuh orang," kata Ruby ketus sembari mendudukkan dirinya kesal.

Sera sudah tergelak saat mendengar perkataan Safir di bagian akhir. Ini pertama kalinya melihat Ruby tidak bisa membuat pria tertarik. "Lihat! Dia tidak tertarik denganmu, akui saja kalau tidak semua lelaki itu sama. Contohnya dia, pria bernama Safir itu berbeda."

"Dia tertarik denganku Sera. Hanya saja orang itu terlalu gengsi untuk mengatakannya."

Sera mengangkat bahunya tidak acuh. "Jadi apa?"

Ruby mengusap wajahnya kasar. Ia tidak percaya ada dalam posisi sekarang. Rasanya malu sekali saat Safir mengatakan bahwa dadanya rata! "Aku akan menggodanya. Lihat saja sejauh apa dia bisa bertahan."

Sera berdecak. "Jangan membuang waktumu Ruby. Belum tentu juga kau bisa menarik perhatiannya," kata Sera berusaha memberi saran.

"Just wait and see! Kau akan lihat apa yang akan aku lakukan setelah ini," jawab Ruby menantang. Matanya berkilat tajam menunjukkan bahwa ia siap untuk memulai permainan.

Sera mengangguk pasif. "Yeah, just wait and see. Jangan lupakan karma Ruby, kupikir dia juga tampan. Dan tubuhnya juga terlihat seksi."

"Lelaki munafik itu akan tahu akibatnya nanti. Berani berkata seperti itu kepada Ruby," gumam Ruby dengan tangan yang mengepal. Jika wajahnya bisa memerah saat sedang marah, maka mungkin wajah Ruby sudah memerah matang saking kesalnya.

Ada sesuatu dalam diri Safir yang membuat Ruby tertarik, tapi wanita itu sama sekali tidak menyadarinya.

"Oh iya. Aku melupakan kenyataan bahwa kau sudah gila." Sera menghela napasnya pelan dan memanggil pelayan baru.

===


Comingsoon tahun depan😅

Continue Reading

You'll Also Like

61.7K 6.4K 18
Siapa yang akan menyangka, jika taruhan yang Yuki lakukan dengan sahabatnya membuat Yuki terjebak dalam permainan Stefan. Pembuat onar nomor satu di...
955K 18.3K 71
[21+] Tumbukan terakhir sengaja dihantamkan ke lantai, dekat area kepala. Melenceng sedikit dipastikan korban akan mengalami cedera serius. Dua laki...
26.1K 1.9K 26
[CHECK TRAILER!!] (Lanjutan cerita Oh Baby!) "Beky selalu memanggilku pria tiang es mesum, dan selalu saja ku bungkam bibir kecil pedas itu dengan bi...
140K 6.5K 31
Sebelumnya Nayla tidak pernah berpikir akan merasakan cinta di masa putih abu-abu. Terlebih kepada dia, yang sudah mengerjai Nayla di hari pertamanya...