Mantan Housekeeper Bos! (Hous...

Por DhetiAzmi

3M 235K 11.1K

Tidak ada yang menginginkan menjadi orang tua tunggal. Apa lagi alasan itu karena seorang pria yang tidak ber... Más

Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26

Bab 1

222K 11.8K 265
Por DhetiAzmi

Repost!

Versi lengkapnya bisa dibaca di google playbook atau Karyakarsa ya✌️

🌼🌼

Tidak peduli ketika mereka mencaci-maki aku.
Tidak peduli ketika mereka menggunjing aku,

Tidak peduli mereka membenciku,
Karena mereka tidak tahu, bagaimana rasanya menjadi aku. Seorang single mom yang harus berjuang sendirian demi bertahan hidup di tengah-tengah kekejaman dunia.

Aku mendesah lelah, suaraku serak dan sudah tidak bisa lagi berteriak. Jantungku berdebar tidak karuan. Menatap pudar wajah pria yang sedang bergerak di atas tubuhku. Gerakan yang setiap hentakannya mampu membuat aku hilang akal.

"Be—berhen..ngh! Ah, Mas!" jeritku nyaring, diikuti klimaks yang membuat tubuhku menggelinjang geli.

Pria yang ada di atas tubuhku masih terus menghentak sampai kepalaku berputar saking pusingnya. Dan di hentakan terakhir yang cukup kuat, dia klimaks. Menyemburkan semua miliknya di dalam tubuhku.

Aku menghela napas lega. Dia tersenyum setelah mendapatkan pelepasannya, menunduk lalu mengecup bibirku.

"Terima kasih,"

Aku tersenyum, lalu mengangguk. Di pagi hari seperti ini kami melakukan hubungan badan, padahal semalam kami baru saja melakukannya. Benar-benar tidak ada lelahnya, sementara tubuhku rasanya sudah remuk. Aku tidak bisa menyeimbangi tenaga pria ini.

Aku meringis, mencoba bangkit dari atas tempat tidur. Aku berdiri membisu di depan cermin. Di belakangku muncul Steven dengan bathrobe di tubuhnya. Tetesan air jatuh dari rambutnya yang sedikit basah. Aku sedang berada di ruangan di mana kami sering melakukan hal terlarang.

Hal yang seharusnya bisa aku tolak dengan tegas menyangkut harga diriku. Tapi cinta membutakan semua akal sehatku. Satu tahun lebih aku bekerja menjadi Housekeeper seorang pengusaha yang masih lajang walau usianya sudah matang.

Steven tersenyum, duduk di sisi ranjang. Menatapku dengan wajah penuh tanya ketika aku tidak bergerak mendekat seperti biasanya.

Kedua alis Steven menekuk. "Ada apa? Kamu bilang ada hal yang ingin dibicarakan? Kemari, kamu tahu aku 'kan? Aku gak suka berbicara diposisi sejauh ini."

Aku menarik napasku dalam-dalam. Melangkah mendekati Steven yang memberikan senyum manisnya. Aku cukup terpesona, karena itu juga salah satu alasan kenapa aku sangat mencintai pria ini.
Aku duduk menyamping di kedua paha Steven. Steven langsung mengulurkan tangannya, memeluk perutku dan menenggelamkan wajahnya dibelahan leherku, memberikan ciuman kecil di sana seperti biasa.

"Mas, saya ingin bicara serius." Ucapku, mencoba mengambil kembali keberanian yang sempat hilang.

Steven masih menciumi leherku, lalu bergumam. "Katakan saja, aku mendengarkan."

Jantungku berdebar-debar. Keberanian ku kembali menciut dan hampir hilang. Aku takut, takut melihat respons apa yang akan Steven berikan nanti. Tapi aku tidak bisa mundur, ini soal serius yang jelas menyangkut Steven dan pria ini harus mengetahuinya.

Dengan sekali tarikan napas, aku berbicara. "Saya hamil,"

Aku bisa merasakan gerakan tubuh Steven yang mendadak diam. Steven yang tadi sedang bermanja dengan leherku, menjauhkan wajahnya dari sana.

"Kamu—apa?"

Aku menahan napas, aku bisa melihat kerutan di dahi Steven sekarang. Aku tahu Steven mendengar apa yang aku katakan barusan. "Saya Hamil, Mas."

Steven masih tidak bergerak, dan aku mulai merasa takut. Bahkan ketika dia mulai bergerak, menyadari gerakan Steven aku bangkit dan duduk di sisi ranjang di sampingnya.

Steven masih diam. Sampai akhirnya dia menatapku. "Kamu apa, kamu hamil?" ulangnya.

Aku mengangguk. "Iya, Mas."

Steven menegang. "What the fuck! Kamu bercanda 'kan, Re?"

Aku menahan napasku, ketakutan semakin membesar melihat respons tidak percaya Steven. Aku menggeleng. "Saya serius, Mas," Ucapku, memberi jeda diakhir kalimat.

Bangkit dari atas tempat tidur, aku mengambil selembar kertas yang diberikan pihak rumah sakit di dalam tas. Membuang napas perlahan, aku membalikkan tubuh. Mendekati Steven yang setiap gerakan matanya tertuju ke arahku.

"Apa ini?" tanya Steven saat aku menyodorkan kertas ke arahnya.

"Surat keterangan bahwa saya benar hamil, Mas."

Steven menatap kertas itu, lalu mendongak menatapku. Bangkit dari atas kasur, Steven berdiri di hadapanku. Aku tidak tahu bagaimana perasaan Steven mendengar ini. Sekalipun dia masih tidak siap memiliki anak. Tapi, di dalam hatiku yang paling dalam. Aku berharap Steven mau menerima anak ini. Karena janin ini darah dagingnya sendiri.

Aku masih ingat kalimatnya ketika pertama kalinya kami melakukan itu. Memberikan kehormatanku kepada Steven. Steven mengatakan akan selalu ada di sisiku apa pun yang terjadi. Bahkan satu tahun bekerja dengan Steven, Aku selalu diperlakukan istimewa.
Saat tangan Steven terangkat meraih kertas yang masih terulur di satu tanganku. Aku berdebar, sudut bibirku terangkat saking senangnya. Tapi, hal yang terjadi selanjutnya membuat aku diam dan kembali menahan napas.

Steven merobek kertas itu lalu melemparkannya ke wajahku.

"Kamu bercanda? Jika benar kamu hamil, apa hubungannya denganku?" tanyanya, nada  suaranya mendadak berubah dingin.

Aku diam, suara dingin dan asing itu langsung menusuk relung hatiku. "Ka—karena janin yang saya kandung adalah anak kamu, Mas."

Steven berdecih, wajah yang biasanya menampilkan ekspresi lembut mendadak menjadi datar dan mengerikan. "Lalu? Mau kamu apa? Aku nikahi? Jangan bermimpi."

Aku mematung, detak jantungku berhenti sepersekian detik. "A—apa maksudnya, Mas? Bukannya Mas berjanji, bahwa akan selalu ada bersama saya apa pun yang terjadi?"

Steven tersenyum geli mendengar kalimatku barusan. "Kamu percaya?"

"Apa?"

Steven tertawa sumbang. "Apa kamu pikir aku serius mengatakan itu?"

Aku terkejut. "Ma—maksud Mas apa?"

Steven tersenyum miring, lalu melangkah mendekatiku. "Aku tahu kamu nggak bodoh, Re. Aku tahu kamu tumbuh di lingkungan orang yang nggak baik. Ibu mu seorang pelacur dan Ayah mu mati karena hutang judinya. Meski begitu, saat aku melakukan itu kepadamu, kamu memang masih perawan. Sayangnya, aku hanya memanfaatkan itu."

Tubuhku gemetaran. "Maksud—"

"Maksudku, aku nggak serius mengatakan bahwa aku akan selalu ada bersamamu apa pun yang terjadi. Kamu hamil, lalu apa? Ingin aku nikahi? Re, kita melakukannya suka sama suka 'kan? Lalu apa yang harus aku pertanggung jawabkan? Seharusnya, kamu bisa berpikir. Bahwa kita melakukan itu hanya nafsu, nggak lebih. Sekalipun kamu memiliki perasaan kepadaku, harusnya kamu tahu kenyataan. Kenyataan bahwa aku dan kamu, ada di dunia yang berbeda. Kamu, hanya seorang pembantu dan aku majikannya."
Aku mematung, sel-sel di dalam tubuhku mendadak lumpuh mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut Steven.

"La—lalu saya harus ba—bagaimana, Mas. Saya sedang hamil." Aku terbata, air mata sudah berkumpul di kelopak. Mereka seolah berlomba-lomba untuk segera keluar.

Steven berdecak. "Kenapa kamu masih bertanya? Kamu tahu aborsi 'kan? Kenapa nggak kamu gugurkan saja bayi itu dan semua selesai. Kamu aman, dan aku nggak membutuhkan anak itu."

Aku mendongak, air mata tidak bisa aku bendung lagi dan mengalir di kedua pipiku. "Apa kamu sejahat itu? Dia anakmu juga, darah daging—"

"Persetan dengan anakku. Ku bilang gugurkan saja anak itu!" bentakknya. Steven melangkah, membuka bathrobe di depanku. Tubuh polos yang biasanya membuat aku gugup dan malu. Mendadak terlihat menyesakkan hati.

Entah berapa lama aku diam dengan isak tangisku, Steven sudah berdiri di depanku dengan pakaian rapi siap untuk pergi ke kantor.

"Ambil ini, pergi ke rumah sakit dan gugurkan bayi itu." Ujar Steven, Menyimpan paksa uang di telapak tanganku.

Aku masih diam, hatiku semakin mencelos nyeri. Rasanya sangat menyakitkan, bahkan aku tidak tahu bagaimana mengontrol perasaan ini. Menggertakan gigi, aku membalikkan tubuhku dan berbicara. "Saya nggak akan menggugurkan bayi ini."

Steven yang sudah berada diambang pintu diam. Tanpa menatap ke arahku, dia membalas. "Aku nggak peduli. Yang pasti, jangan meminta aku tanggung jawab. Aku nggak akan pernah menikahimu, sekalipun kamu datang memohon dan sujud ditelapak kakiku. Pergi dari rumahku, aku sudah tidak membutuhkanmu lagi. Baik menjadi pemuas nafsuku atau sebagai housekeeper."

**

Bugh!

"Akh," aku memekik sakit ketika sesuatu menghantam dahiku cukup keras.

"Mama!" suara cempreng itu terdengar kesal. Telingaku berdenging mendadak.

Aku membuka mataku yang terasa berat, terkejut ketika melihat wajah gadis kecil di atas wajahku. Aku menghela napas. Mimpi sialan itu lagi.

"Ma! Bangun! Fani lapar," rengeknya, mengguncang bahuku.

Aku meringis, bangkit dari tidurku. Tersenyum melihat Fani memasang wajah kesal yang menggemaskan. "Maafkan Mama, Sayang. Mama kesiangan ya?" tanyaku, mengecup pipinya.

Fani menggeleng. "Tidak, Ma. Ini masih pagi. Tapi Fani Tidak bisa tidur lagi, Fani lapar." rengeknya.

Aku terkekeh, memeluknya gemas. "Oke-oke. Mama akan buatkan kamu sarapan. Ayok bantu Mama di dapur."

Fani langsung memasang wajah ceria. "Yeay!" teriakknya, senang.

Aku terkekeh, beranjak dari atas tempat tidur. Melangkah mengikuti Fani yang sudah berlari lebih dulu. Menatap punggung kecil di depan mataku, senyumku luntur perlahan. Mimpi buruk itu masih terus menghantuiku.

Sudah 5 tahun berlalu, tapi kenangan menyakitkan itu masih saja datang sesekali. Aku menggeleng. Tidak, untuk apa aku masih mengingat kenangan buruk itu. Walau datang tanpa di undang di dalam mimpi atau pikiran, seharusnya aku abaikan saja.

Karena sekarang, aku sudah bahagia dengan pilihanku. Mempertahankan janin yang siapa sangka menjadi gadis kecil yang sangat cantik. Seluruh wajahnya hampir mirip dengan pria itu. Tapi aku tidak peduli, karena Fani sepenuhnya putriku meski tidak diinginkan oleh pria itu.

5 tahun menjadi single mom tidak membuatku mati. Justru aku semakin semangat, apa lagi saat aku tahu. Bahwa aku hidup bukan untuk diri sendiri, tapi juga untuk putri tercintaku.
Aku sudah membuktikan, aku mampu mempertahankan sesuatu yang sempat ingin kubuang karena putus asa. Di atas kerasnya hidup, tapi sekarang sudah menjadi poros dan napas hidupku. Walau aku harus memperjuangkan segalanya.




Seguir leyendo

También te gustarán

1.9M 89.2K 52
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
67.5K 10.5K 35
MAUVE Diawali dengan jatuh cinta pada pandangan pertama. Di atas bus pada suatu sore sepulang latihan tari. Aneh rasanya, gue yang suka nge-cover dan...
277K 29.2K 81
(COMPLETED) . . Masih seputar Ezra dan Yasmin. Masih seputar harapan-harapan semu. Masih seputar Ezra yang terlalu bodoh dengan perasaannya. Juga den...
2.3M 254K 45
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...