Sweet Dream

De nanaanayi

621K 45.4K 6.2K

Bagai bumi dan langit, seperti mentari dan rembulan. Perbedaan keduanya begitu kentara, hingga sebuah takdir... Mais

01. Hinata
02. Naruto
03. Benang Merah
04. Tragedi Karaoke
05. Pandangan Pertama
06. Cabe Merah
07. Tiga Hati
08. Permainan Hati
09. Jodoh ?
10. Pertemuan Keluarga
11. Keberhasilan yang Tertunda
12. Pelarian dan Umpan
13. Langkah Awal
14. Calon Mertua
15. Mengenal Mereka
16. Kesal Tapi Bahagia
17. Bersamamu...
18. Bersamamu Lagi...
19. Bujukkan
20. Perjanjian Untung/Rugi
21. Kencan Ramai-Ramai
22. Bimbang
23. Nyaman
24. Harapan
25. Undangan
26. Sebuah Tanggung Jawab
27. Lavender dan Bunga Matahari
28. Ini Benar-Benar Cinta
29. Familly Gathering 1
30. Familly Gathering 2
31. Benteng Takeshi Gagal
32. Goyah -1-
33. Goyah -2-
34. Rindu Yang Tertahan -1-
35. Rindu Yang Tertahan -2-
36. Ketika Hati Harus Memilih -1-
37. Ketika Hati Harus Memilih -2-
38. Hari Manis Terakhir Dimusim Ini -1-
39. Hari Manis Terakhir Di Musim Ini -2-
40.Sesuatu Yang Salah -1-
41. Sesuatu Yang Salah -2-
42. Maaf Harus Melibatkan Mu -1-
43. Maaf Harus Melibatkan Mu -2-
44. Rencana Pengkhianatan -1-
45. Rencana Pengkhianatan -2-
46. Orang Yang Benar-Benar Mencintaimu -1-
47. Orang Yang Benar-Benar Mencintaimu -2-
49. Pantaskah Dipertahankan? -2-
50. Petaka Besar -1-
51. Petaka Besar -2-
52. Cinta Yang Terlambat -1-
53. Cinta Yang Terlambat -2-
54. Perjuangan Terakhir -1-
55. Perjuangan Terakhir -2-
56. Restu Yang Pupus -1-
57. Restu Yang Pupus -2-
58. Ketika Rasa Sayang Itu Terkikis -1-
59. Ketika Rasa Sayang Itu Terkikis -2-
60. Kesempatan Terakhir
61. Pembuktian Cinta -1-
62. Pembuktian Cinta -2-
63. Akhir Mimpi Indah Yang Menjadi Nyata
64. Epilog
65. Dokumentasi

48. Pantaskah Dipertahankan? -1-

6.8K 627 68
De nanaanayi

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto

Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata

Pintu bercat putih itu terbuka, Naruto menarik nafas lega ketika sesosok yang ia nanti berdiri dihadapannya. Senyum tipis mengambang dari bibir merah kecokelatannya. Hinata berdiri di hadapannya dengan keadaan baik-baik saja.

"Kau tahu..?" Berjalan mendekat pada gadis yang pucat pasi karena ketakutan, Naruto tak buang waktu, mengulurkan tangannya lalu menarik Hinata hingga berada dalam pelukannya. "Aku sangat khawatir saat kau tak berada di sel itu... Aku takut mereka memindahkanmu ke tempat lain..."

Hinata mendongakkan kepalanya, menatap Naruto dengan pandangan menyendu, dari raut wajah tannya, Hinata dapat melihat seberapa gelisahnya pria itu ketika ia menghilang dari hadapannya.

"Katakan..." Naruto melepas pelukannya, menangkup sepasang pipi gembul itu, hingga mutiara ungunya dengan safir biru Naruto beradu. "Apa mereka melakukan hal buruk padamu?"

Hinata menggeleng pelan, ia menahan tangis melihat pria yang telah ia sakiti itu masih sangat perhatian padanya. Setitik air mata mengalir dari kelopak bagai bunga lili itu. Ia tak mampu menjawab, bibirnya kelu saat melihat Naruto sangat mengkhawatirkannya.

"Aku baik-baik saja... mereka hanya melakukan pemeriksaan urine padaku..." Suara lirih milik Hinata nan lembut itu bergema di telinga Naruto, namun ia mengerutkan dahinya ketika Hinata melepaskan pelan sepasang telapak tangan besarnya dari pipi gembul sang gadis.

Hinata mengambil jarak dari Naruto, ia mundur beberapa langkah. Bukan tanpa alasan gadis dengan mata sewarna lavender itu mejauh dari Naruto, keberadaan Minato, pria yang hampir mewariskan seluruh gennya pada Naruto, yang membuat gadis Hyuuga ini cukup tahu diri. Setelah apa yang dilakukannya pada Naruto, Hinata cukup sadar diri untuk untuk bergantung pada sang mantan Inspektur.

Hinata berojigi, membungkukkan badannya sembilan puluh derajat di hadapan pria yang pernah melamarkan dirinya untuk Naruto di hadapan sang ayah. Memberi salam penghormatan sekilas pada sahabat masa kecil Hyuuga Hiashi tersebut.

"Apa kabar, Tou-, hm...., Namikaze-sama..." Cukup tahu diri, Hinata meralat panggilan ayah yang sempat ia sematkan pada Minato. Ia merasa tak punya muka untuk memanggil Minato dengan sebutan Tou-chan setelah apa yang di lakukannya pada putra kebanggan pria separuh baya pirang itu.

Minato tersenyum tipis, menutupi perasaan kecewanya. Pria Namikaze ini adalah tipe orang yang mampu memanagement emosinya dengan baik, hingga perasaan yang ia rasakan kini dapat tertutupi sempurna. "Aku baik-baik saja Hinata-chan...." Jawab Minato tanpa beban, lengkap dengan senyuman tipis yang tersungging di bibirnya.

Lalu pandangannya teralih pada sekujur tubuh Hinata, bukan bermaksud genit, ia cukup miris melihat penampilan puteri kesayangan Hyuuga Hiashi ini. Semua pakaian mewah dan perhiasan yang biasa melekat pada tubuh moleknya kini berganti dengan kaos abu-abu sederhana di padukan celana training Hitam.

Melihat sang ayah yang menjelajahi pandangannya pada Hinata membuat Naruto mengikutinya, ia baru sadar mini dress mewah yang ia kenakan saat baru datang ke kantor polisi kini berganti dengan pakaian lusuh, begitupun dengan sepasang anting-anting mutiara di telinga dan gelang titanium yang melingkar di pergelangan mulusnya kini telah raib.

"Apa mereka melucuti perhiasanmu?" Naik pitam, Naruto seolah ingin menerjang laboratorium pintu dimana Hinata keluar setelah pemeriksaan urine.

Cukup dengan satu tangan, Minato menggenggam tangan besar sang putera, langkah brutal Naruto dengan mudah dapat di hentikan. "Jangan bertingkah kekanakan Naruto, tak cukupkah pangkatmu di turunkan, apa kau berharap di pecat secara tidak terhormat!!!!! Kau tahu betul seorang tahanan tak di izinkan membawa bahan senyawa logam selama proses penyidikan."

Deg. Jantung Hinata berdegup kencang, saat Minato melontarkan kenyataan tentang nasib karir Naruto. "Darimana Minato-san tahu tentang penurunan pangkat Naruto-kun... Kami-sama...., semua ini karena ku.... Keluarga Namikaze pasti sangat terpukul..."

Naruto terengah, menenangkan degup jantungnya yang terpompa tak beraturan, ucapan sang ayah cukup membuatnya mengendalikan diri.

"Ini bukan dirimu yang ku kenal, nak." Ucap Minato dingin, ia memang berlalu meninggalkan dan membiarkan Naruto menyusul Hinata, usai menyampaikan kekecewaannya pada sang putera. Namun diam-diam pria paruh baya dengan mata sebening lautan itu, masih berkeliaran di seputaran kantor polisi untuk mengintai gerak gerik sang anak.

"Aku lihat ruanganmu masih belum di bereskan, ku rasa kita masih bicara disana sebentar, sebelum penggantimu datang..." Meletakkan kedua tangannya di belakang pinggang, Minato kemudian melenggang pergi meninggalkan Naruto dan Hinata berdua di koridor.

"Pergilah... Ayahmu ingin bicara..." Ucap Hinata lembut, bibirnya melengkungkan senyuman kecut.

"Aku akan bicara padanya setelah keadaanmu aman..." Mendekat beberapa langkah, Naruto kemudian dengan lembut mengelus pucuk kepala Hinata.

Hinata menarik tangan tan itu dari helaian indigo tebalnya, menjauhkan usapan Naruto pucuk kepalanya walau ia tahu itu sangat terasa nyaman. "Aku akan baik-baik saja...., mereka tak melakukan hal buruk padaku... semua ada kode etiknya, bukan? Malam ini Komisaris mengizinkanku tidur di ruang interogasi..., jadi kau tak perlu khawatir...."

Menarik nafas lega, Naruto cukup merasa tenang ketika mengetahui Hinata tak menghabiskan malamnya di sel yang dingin dan pengap. "Akan ada yang menjagamu?"

Hinata kembali tersenyum tipis, lalu ia mengangguk sekilas. "Beberapa polisi wanita... kau tak perlu cemas...." Ucap Hinata lembut seraya mengusap pelan lengan kekar Naruto yang tertutup kaos dalaman putih. "Bicaralah dengan Ayahmu... Lalu pulanglah dan istrahat... aku akan baik-baik saja..."

Naruto cukup lama terdiam dan membiarkan Hinata mendominasi pembicaraan. Safir birunya menatap tajam mutiara keunguan milik Hinata yang kini mulai di penuhi bulir-bulir air mata. Ia mendekatkan langkah lebarnya hingga jarak antara mereka kini tak berarti lagi.

"Bagaimana bisa aku tidur nyenyak di rumah, sementara kau ketakukan disini, belum lagi jika penyakit asmamu kambuh...?"

"Kau tak perlu khawatir, aku sudah diizinkan menelpon rumah dan meminta Yugao untuk menitipkan obat pada Kou-san saat dia datang kesini.... lagi pula...." Hinata menjeda kalimatnya lalu menundukkan pandangannya. "Aku akan merasa sangat bersalah jika Kushina Ba-san melihatmu sakit...." Lirih Hinata, sambil memutar bola matanya sendu.

"Dia akan sangat marah jika kau tak memanggilnya Kaa-chan..." Ujar Naruto sembari menyipitkan sebelah matanya, tak lupa tatapan menggoda dari sebelah matanya yang terbuka membuat Hinata tak mampu menolak pesona biru samudera yang terpancar dari sepasang iris teduhnya.

"Dia akan sangat membenciku jika tahu apa yang terjadi padamu...." Jawab Hinata pelan, tanpa berniat mendongak dari tundukannya.

"Aku berani bertaruh itu tak akan terjadi..." Jawab Naruto sambil ikut menundukkan kepalanya, menatap ubin-ubin dingin yang di injak oleh sepatu pantofel hitamnya.

"Kau tak akan mengerti perasaan seorang wanita... jika seseorang yang mereka sayangi disakiti, kami akan sangat membenci orang itu..."

"Apa itu juga terjadi padamu...?"

Pertanyaan Naruto sukses membuat Hinata terkesiap, kepala Indigo yang sejak tadi menunduk kini mendongak, mutiara dan safir mereka beradu. "Apa maksud Naruto-kun..."

"Khe...." Naruto tertawa santai sembari memasukkan satu tangannya di saku celana bahan yang ia kenakan. "Tak usah di pikirkan...." Jawab Naruto santai, lalu ia menyeringai lebar hingga semua gigi-gigi putih nan rapinya nampak, seolah ia tak merasakan beban berat yang baru saja ia tanggung.

Hinata kembali menundukkan kepalanya, sepasang tangan mungil putihnya lalu meremas ujung kaus abu-abu yang ia kenakan. Rasa gelisah masih menyelimuti benaknya, hari esok tentu akan menjadi hari berat yang harus ia hadapi, berita dirinya terlibat dalam kasus mafia internasional pasti sudah sampai ke telinga kakak dan ayahnya.

"Naruto-kun tak perlu terlalu mengkhawatirkanku..." Jawabnya lirih sembari membalik arah membelakangi si pria. "Kau sudah banyak menanggung semua masalah akibat dari ku.... kali ini biarkan aku menanggung semuanya sendiri." Tambah Hinata tanpa sedikitpun berniat berbalik untuk melihat Naruto yang kini memandang sendu punggung kecilnya.

Tersenyum tipis... Naruto membiarkan Hinata menghilang di balik pintu bercat hitam yang di hubungkan dengan ruang interogasi tempat Hinata akan menghabiskan sisa waktu menanti pagi.

...

"Jadi...?" Cukup beberapa menit mengawasi tingkah gusar salinannya yang duduk tepat dihadapannya kini, Minato cukup jengah jika harus lebih lama melihat Naruto yang terus mengusap tengkuknya yang tidak gatal ataupun sakit itu. Sebuah kebiasaan Naruto kala tengah gelisah yang sudah ia hafal sejak lama. "Tak mau menjelaskan sesuatu pada Ayahmu ini?"

Mendongakkan kepala bersurai pirang yang di pangkas cepak itu, bulir-bulir keringat jagung nampak jelas membasahi kening berwarna bagai madu milik Naruto. Lulusan terbaik Akademi Kepolisian Jepang itu, nampaknya harus memberi penjelasan pada sang Ayah, jika tidak hari akan semakin pagi, dan mau tak mau mereka akan terusir dari ruangan ini. "Ini semua karena aku terlalu gegabah Tou-chan-"

Minato menghela nafas cukup panjang, menundukkan kepalanya sejenak, sembari menyandarkan keningnya pada kepalan tangannya. "Kau menutup-nutupi keterlibatan Hinata dalam kasus ini?"

"Hinata tak sepenuhnya terlibat, Tou-chan, dia bahkan tak mengetahui sama sekali bahwa Toneri adalah seorang buronan." Naruto memberi penjelasan, walau tak dapat ia pungkiri raut kekecewaan tercetak jelas pada wajah tampan sang Ayah yang mulai menua.

"Walau Ayah sangat kecewa padamu...."

Naruto tersenyum kecut, ia tahu konsekuensinya, kekecewaan yang di tanggung oleh orang tua dan keluarganya. Namun sebagai pria sejati ia tentu tak bisa tinggal diam ketika melihat calon istrinya begitu ketakutan ketika berhadapan dengan hukum. Sejak kecil Naruto memang di ajarkan oleh kedua orang tuanya untuk berprilaku lembut pada wanita, terlebih pada wanita yang berada di kehidupannya.

"Aku tak bisa menahan diri untuk tidak melindunginya, Tou-chan..."

"Sekalipun apa yang telah kau perjuangkan dengan susah payah harus kau lepas?" Minato membalikkan pertanyaan pada Naruto, dan itu cukup membuat Polisi pirang itu terkesiap. "Kau tidak memikirkan harga diri kedua orang tua dan kakek nenekmu, kami sangat menaruh kebanggaan padamu."

"Apa kalian masih akan tetap bangga padaku, jika aku melindungi karirku dengan mengorbankan reputasi seorang gadis, kalian memberiku tanggungjawab atas Hinata, dan dengan egoisnya aku melepaskan tanggungjawab itu demi karirku?"

Kali ini senyuman Minato tampak lebih lebar. Ia bangkit dari kursi yang dulu menjadi kursi kebesaran sang putera. Berjalan mendekat pada salinannya itu, lalu menepuk bahu tegap sang putera. "Ku akui, aku sangat kecewa atas penurunan pangkatmu, nak," Minato tersenyum sambil memejamkan matanya, mengenang masa-masa ketika sang putera masih bermain di pangkuannya.

Dan kini waktu telah merubah bocah kecil yang selalu bermain di pangkuannya itu menjadi pria dewasa yang bertanggungjawab. "Tapi..., disisi lain, Ayah sangat bangga padamu Naruto, mungkin saat ini kau gagal dalam karir kepolisianmu, tapi kau tak gagal sebagai seorang Polisi, terlebih lagi, kau berhasil membuktikan bahwa kau adalah pria sejati yang bertanggungjawab."

Tangan Naruto terangkat, menumpu tangan besar sang ayah yang bertengger dibahunya, dan menggenggamnya. "Pegang kata-kataku, Tou-chan..., kupastikan lencana-lencana penghargaan itu akan kembali tersemat di bahuku dan akan ku kembalikan pangkat Inspektur, atau mungkin lebih tersemat pada klan Namikaze."

Tersenyum simpul, pria paruh baya yang masih terlihat bugar dan tampan itu, kenal betul dengan watak sang putera. Anak kebanggaannya itu tak pernah menarik kembali janji yang telah di lontarkannya. "Ayo pulang." Ucap Minato seraya melirik sekilas ke arah pintu keluar, "kau membuat ibumu khawatir."

...

Membuka kelopak matanya yang baru ia pejamkan dua jam, Naruto nampak tak begitu menikmati waktu istrahatnya yang begitu singkat. Kembali ke kediaman Namikaze tak membuatnya dapat meregangkan otot-otot barang sebentar saja.

Memutar bola mata sejernih samudera miliknya, ingatan Naruto tak dapat lepas dari gadisnya yang kini tengah berurusan dengan aparat hukum negara. 'Apa Hinata tidur dengan nyenyak semalam....?" Ia bahkan tak memperhatikan dirinya sendiri.

Naruto bisa dikatakan sama sekali tak nyenyak dalam tidurnya yang singkat, hanya sekedar melepas rasa kantuknya yang amat berat dini hari tadi. Ia bahkan lupa untuk menanggalkan kaos putih yang seharian ia pakai kemarin.

Mengusap kasar tengkuknya, setelah mendudukkan diri, Naruto menanggalkan kaos putih yang sudah bau dengan keringatnya sendiri. Seusai mandi dan bersiap ia sudah memutuskan untuk kembali ke kantor polisi dimana dirinya mengabdi. Walau kini tak tahu pekerjaan apa yang harus ia lakukan di tempat itu, mengingat penurunan pangkatnya semalam, nampaknya sang Komisaris masih enggan memberinya tugas setelah kelakuannya yang tidak profesional.

Belum juga kaos putih itu tertanggal sempurna dari tubuh bidangnya, konsentrasi Naruto terpecah ketika pintu kamarnya di ketuk. Kepala kuning itu tertoleh dan safir birunya langsung tertuju pada sumber suara ketukan itu.

"Naruto.... kau sudah bangun...?"

"Kaa-chan...." Naruto bergumam pelan ketika suara yang amat akrab di telinganya itu menggema dari balik pintu. Ia ingat sesuatu, bahwa ketika ia tiba di rumah dini hari tadi bersama sang Ayah, wanita paruh baya dengan surai bagai warna darah itu sudah tertidur lelap disofa karena kelelahan menanti mereka.

Alhasil, Naruto harus menunda untuk bicara dengan sang ibu perihal penurunan pangkatnya, karena Minato lebih dahulu menggendong istri tercintanya itu masuk kedalam kamar. "Ya, Bu aku sudah bangun..." Jawab Naruto sambil kembali meneruskan kegiatan melepas kaosnya dan bergegas turun dari ranjang.

"Kaa-chan sudah memasakkan ramen kesukaan mu...."

Begitu pintu kamarnya terbuka, Naruto sudah di sambut dengan senyuman hangat Kushina. Tak seperti biasanya, wanita yang pernah menyandang Klan Uzumaki di depan namanya ketika ia masih gadis itu, sama sekali tak memampakkan tanda-tanda kemurkaannya, padahal semalaman ia sudah di buat cemas oleh putera semata wayangnya itu.

Menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, Naruto tampak kikuk dengan sikap sang ibu, mengingat kesalahannya yang membuat Kushina khawatir cukup fatal. Namun istri Namikaze Minato itu seolah sudah melupakan tindakan sang putera yang membuatnya cemas.

"Kau tidak marah padaku, bu?" Tanya Naruto sambil menyipitkan sebelah matanya, ia bersiap untuk menerima bogem mentah yang akan dilayangkan oleh sang ibu.

Namun perkiraan polisi ini meleset, Kushina memang mengulurkan tangannya. Tapi alih-alih menjitak atau meninju kepala durian sang putera, Kushina malah menepuk pelan pucuk kepala kuning yang merupakan warisan dari suaminya itu.

"Turunlah dulu... ada banyak hal yang perlu kita bicarakan...." Kushina tersenyum sekilas, lalu menurunkan tangannya dari pucuk kepala sang putera. Ia merasa cukup pegal untuk berlama-lama berjinjit. Maklum tinggi bocah yang dulu bergelung nyaman di rahimnnya itu, kini sudah dua puluh centi meter melebihi tingginya dan untuk mencapai pucuk kepala sang putera ia harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk berjinjit.

Bibir merah kecokelatan milik Naruto tersenyum tipis sambil menatap punggung kecil sang ibu yang mebelakanginya. Ia tahu..., Minato sudah lebih dahulu memberitahukan istri tercintanya itu perihal masalah yang ia hadapi.

...

"Kemana yang lain?" Kepala kuning Naruto menoleh ke kanan dan kiri, ruang makan yang selalu terasa hangat itu, kali ini benar-benar terasa sepi.

"Ayahmu sudah berangkat pagi-pagi ke kedai... Kakek dan nenekmu juga ikut mereka ingin membantu di kedai untuk hari ini." Suara Kushina membuat Naruto sedikit tersentak, ia menoleh kearah pintu yang menghubungkan ruang makan dengan dapur, tampak wanita paruh baya yang telah melahirkannya itu membawa mangkuk besar yang mengepul.

"Makanlah, mumpung masih panas..." Kushina meletakkan mangkuk besar mengepul itu diatas meja makan dengan taplak meja bermotif kotak-kotak, bersamaan dengan sang putera yang duduk dihadapannya.

"Kaa-chan tidak ke kedai...?" Tanya Naruto sembari meraih dengan hati-hati mangkuk besar yang sudah di pastikan berisi makanan kesukaanya itu.

"Tidak..." Kushina tersenyum tipis seraya mengamati sang putera yang kini tengah meraih sumpit.

Naruto yang baru saja hendak menyumpitkan mie dengan kuah panas itu, kini terkesiap dan menatap sendu wajah sang ibu. "Apa Kaa-chan sakit?"

Kushina menghela nafas pelan. Ia mencoba mengatur nada bicaranya agar tidak meledak-ledak, sesuai yang dianjurkan sang suami. "Kau habiskan saja dulu ramenmu..." Mengelap kedua tangannya pada bagian paha celemek hijau yang melapisi dress kuning mudanya, Kushina lalu berbalik memunggungi sang putera untuk kembali menuju dapur. "Aku akan menyiapkan bekal untuk Hinata."

Deg. Jantung Naruto seolah berhenti sejenak, ia letakkan sumpit bambu yang sedianya akan dia gunakan untuk menyuapkan mie ramen kemulutnya. Ucapan sang ibu yang menyinggung tentang Hinata, membuat dirinya bertanya-tanya, sejauh apa sang Ayah menceritakan tentang gadis itu.

...

"Kau sudah menghabiskan makananmu....?" Kushina muncul dari dapur sambil menenteng rantang plastik merek internasional berwarna ungu muda, warna favorit calon menantunya.

Naruto tersenyum tipis, walau ia tahu bahwa ibunya itu sudah mengetahui tentang masalah Hinata. Namun nampaknya Kushina tak mengurangi sedikitpun perhatiannya pada Hinata.

Dilihat warna rantang yang digunakan Kushina untuk mengemas bekal Hinata, Naruto tahu bahwa ibunya masih sangat memperhatikan Hinat. Ya, Kushina memang memiliki koleksi perlengkapan dapur plastik dengan warna yang terbilang lengkap.

"Ini untuk Hinata....." Kushina meletakkan rantang itu diatas meja makan, lalu melangkah menuju rak kayu yang terletak di ruang keluarga yang berada tepat di depan ruang makan, tanpa dibatasi sekat.

Mengikuti gerak-gerik sang ibu, Naruto dapat melihat Kushina mengeluarkan buku tebal berbahan bludru dengan warna merah. Ia kenal betul benda apa itu. Album Keluarga Mereka.

...

"Kaa-chan ingin berbicara sebentar denganmu, bolehkan...?" Kushina mendekap erat album foto itu dan berdiri disamping Naruto dengan tatapan memohon.

Naruto mengerutkan dahinya heran. "Kenapa harus meminta izin seperti itu, bu....? Tentu saja boleh...., tidak seperti biasanya..."

Kushina tersenyum tipis, menarik kursi kayu yang berada disebelah sang putera dan duduk disana, meletakkan album besar itu diatas meja, lalu membentangkannya hingga membuat Naruto sedikit menggeser mangkok ramennya yang sudah kosong.

"Ini dirimu saat berusia satu tahun... saat itu kau baru belajar duduk...."

Naruto tersenyum tipis melihat foto yang di tunjuk oleh ibunya. Gambaran dirinya yang tengah duduk sambil menggigit telinga boneka rubah kesayangannya semasa kecil.

Kushina tersenyum menatap gambaran mahluk mungil yang dulu bergantung hidup dengannya. "Waktu cepat sekali berlalu.... dulu kau adalah bocah kecil yang lucu dan selalu mengadu padaku ketika mengalami kesulitan..." Kushina memelankan suaranya, dengan tangan yang mengelus foto Naruto kecilnya yang begitu menggemaskan. "Sekarang setelah dewasa, bayi besarku ini seolah tak membutuhkanku lagi...." Ucap Kushina dengan nada lesu dan raut wajah kecewa.

"Kenapa bicara seperti itu, bu...?" Naruto buru-buru menggenggam satu tangan Kushina yang sibuk mengelus fotonya.

"Ibu marah padamu..." Kushina mengerucutkan bibirnya, pertanda bahwa wanita itu masuk dalam mode merajuknya yang terkendali. Karena bila tak terkendali makan semua perabotan yang ada di rumah ini sudah porakporanda.

"Tentang Hinata?" Dengan satu tangannya yang lain Naruto merangkul bahu sang ibu. Inilah keberuntungan Kushina, di usia paruh bayanya ia bahkan masih bisa mendapatkan perhatian dari dua pria tampan di dekatnya. Suami dan puteranya.

Mengangguk pelan. Kushina lalu mendongak menatap safir biru sang suami yang terwaris pada puteranya. "Sudah tak percaya pada Kaa-chanmu ini...?"

Bola mata kelabu Kushina yang berkaca-kaca membuat pertahanan Naruto runtuh. Sedetik kemudian ia mendaratkan kepala cepaknya pada bahu kecil sang ibu. "Apa ibu benar-benar marah padaku...?" Cicitnya sambil memeluk hangat Kushina. Pelukan yang amat ia rindukan. Rasanya sudah lama sekali tak melepaskan penat di bahu ibu tercinta. "Itaiiiii..." Jeritan keluar dari mulut Naruto ketika jitakan gemas dari sang ibu mendarat di pucuk kepalanya.

"Baka gaki...." Namun sesaat kemudian jitakan itu berganti dengan elusan hangat di surai cepaknya. Naruto merasakan seperti kembali berada dimasa kecilnya, dimana setiap masalahnya hanya akan selesai setelah mendapatkan pelukan sang ibu. "Aku marah karena kau tak bicara apapun padaku... tentang keterlibatan Hinata dalam kasus yang kau hadapi...."

"Aku tak ingin Ibu bersedih... Ibu sangat menyayangi Hinata..."

Kushina menjauhkan tubuh besar sang putera yang bertumpu pada tubuh mungilnya, mengadu permata tanzanitenya dengan safir biru sang putera, lalu kedua tangannya menangkup rahang tegas sang putera yang semasa kecil merupakan sepasang pipi gembul yang menggemaskan.

"Jawab Ibu, dengan jujur.... Apa kau sangat mencintai Hinata?"

Naruto mengangguk pasti.

"Lebih dari Shizuka?"

Kembali mengangguk cepat, Naruto menjawab pertanyaan sang ibu.

"Apa itu semua karena Kaa-chan? Bagaimana bila ku katakan aku sudah tak menyayangi Hinata lagi?"

つづく
Tsudzuku

Hai hai.... Nana kembali... maaf baru kembali dari dari hibernasi.... semoga chap kali ini cukup panjang untuk menutup ke vacuman nana selama sepuluh hari... Doakan semoga saya punya banyak waktu luang untuk memberikan yang terbaik untuk kalian yah....

Continue lendo

Você também vai gostar

199K 9.8K 32
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
238K 21.7K 43
bangtan's and redvelvet's instagram \\-slow update, harsh words // ©soushiijuicy, 2018
244K 15.8K 42
TAMAT "Aku tidak bisa melepaskan mereka berdua. Kalian bisa menyebut aku serakah, tapi aku ingin memiliki mereka berdua" -Uchiha Sasuke "Siapa yang p...
334K 17.7K 53
Mereka berdua telah menikah namun tidak ada satupun sahabat,rekan kerja dan kerabat yang mengetahui mereka sudah menikah yang mengetahui hanya ibu da...