JANGAN LUPA TINGGALKAN ZEZAK YACH.
With ❤ , acha.
"Mayang, Bara mana ya? Dari tadi di cariin kok gak ada?"
Mayang menengok ketika beliau sedang memotong sebuah kue untuk di pindahkan ke piring.
"Di taman belakang mungkin, Kak? Kenapa emang?" Santy-- Kakak kedua Mayang (Ibunya Bara) mengernyit.
"Tadi aku udah cari ke taman belakang kok, tapi nggak ada siapa-siapa. Itu ... Mau minta tolong angkatin galon."
Meletakkan pisaunya, Mayang lalu bangkit. "Bentar, aku cari dulu."
Santy mengangguk, "Nanti langsung suruh angkatin aja ya, May. Air galon bener-bener abis soalnya,"
Dan sekarang Mayang sedang mencari-cari keberadaan Bara, putra semata wayangnya yang sangat amat dia sayangi. Beliau terus mencari, dari lantai 2 sampai lantai dasar yang sekarang sedang di laksanakan syukuran karena rumah baru Ibunya. Dari taman belakang, seluruh kamar, kolam renang, hingga halaman depan pun gak ada. Mayang sampai panik di buatnya, otaknya berpikir bahwa Bara sedang kabur.
Tapi, masak sih Bara kabur? No. Bara nggak mungkin kabur.
"Zidan, ngeliat Bang Bara nggak?"
Zidan-- keponakan Mayang yang masih berumur 8 tahun mengangguk. "Liat. Ada di dalem."
Mayang mengernyit bingung. "Tante udah cari kok. Tapi nggak ada tuh?"
"Ada, Tante. Ikut ngaji."
Mayang yang semula agak membungkuk mulai menegakkan tubuhnya, maka beliau mengintip mencari Bara di ruang tengah-- tempat acara berlangsung.
Gotcha!
Mayang tersenyum hangat ketika putranya ikut bergabung bersama pengajian bapak-bapak. Untungnya ini sudah ayat terakhir surah yasin, dan ketika Bara mendongak, matanya langsung menangkap sosok Mamanya yang mengisyaratkan agar menemuinya.
Pun Bara bangkit, seraya mengucapkan permisi kepada orang-orang yang lebih tua darinya.
"Iya, Ma?"
Mayang tersenyum, tangannya bergerak mengusap kepala Bara dengan lembut. "Mama sayang sama kamu,"
Senyuman Mayang menular, itu sebabnya sekarang Bara ikut tersenyum. "Bara juga sayang sama Mama. Jadi, manggil cuma buat ngomong ini doang?" goda Bara.
Mayang berkacak pinggang, sebelah tangannya menjewer pelan telinga Bara. "Durhaka kamu! Tolong angkatin galon ke dispensernya. Bisa 'kan?"
Bara menjentikkan jarinya. "Kecil itu mah. Mama tau gak yang besar itu apa?"
"Apa memangnya?"
"Cinta Bara ke Mama sama Papa," jawab Bara menaik-turunkan alis tebalnya sembari berjalan meninggalkan Mayang yang tersenyum haru.
Bara nggak sadar, kalau Mayang sekarang tengah menatap punggungnya sambil menangis. Menangis karena terharu. Menangis karena bahagia. Dan menangis karena Tuhan ternyata terlalu baik padanya karena mengirimkan Bara pada waktu yang tidak mereka sangka akan terjadi.
Mayang mencintai Bara, sangat. Dan beliau bersumpah, tidak akan membiarkan seorang pun yang akan mengambil Bara dari hidupnya.
Tidak akan pernah.
***
Bara mengunyah daging teriyakinya dengan lambat seraya menunggu telefonnya di angkat oleh Lea. Akhirnya yang di tunggu-tunggu oleh Bara datang juga, Lea langsung mengangkat telfonnya.
"Kok lama? Kemana aja?"
Di lain tempat, Lea memutar bola mata malas. "Abis bersih-bersih,"
"Bersih-bersih rumah?"
"Bersih-bersih badan. Kenapa nelfon?"
Bara berdecak. "'Kan kita pacaran. Masa' pacarnya nelfon pake di tanya. Lo udah pernah pacaran belum sih?"
"Um, tiga kali."
"So, mantan kamu ada tiga? Gantengan mana kalo di bandingin sama gue?"
"Ya mantan aku lah! Mantan aku tuh ganteng-ganteng, pinter dan rajin lagi! Idaman lah pokoknya."
"..."
Lea menggigit bibir bawahnya, dia jadi mengutuk dirinya sendiri yang mulutnya kebangetan banget. Duh, dia jadi takut kalau Bara marah. Bagaimana kalau tiba-tiba Bara ngamuk ke mantan-mantan Lea dan ngebunuhinnya satu-satu?
"Bara ... Kamu-- marah?"
Sekarang Bara malah menaikkan alisnya. "Marah kenapa?"
"Kok tadi diem aja?"
"Gue lagi ngunyah makanan tadi."
"Tapi ... Marah gak?"
Bara terkekeh. "Ngapain marah? Dia itu cuma mantan lo dan bukan siapa-siapa lo lagi. Sedangkan gue-- gue pacar kamu. You're mine and i'm yours."
"..."
"Lo udah makan?"
"Ha--hah? Um, belum,"
"Kenapa belum?"
"Diet,"
Bara mendengus kasar. "Kalo pacaran sama gue gak boleh diet!"
"Kenapa?"
Nanti badan lo gak enak buat di peluk.
"Ya nanti jadi kurus. Kayak anak yang kurang gizi, gue gak mau punya pacar yang kekurangan gizi."
"Yaudah nanti aku makan."
Bara tanpa sadar tersenyum, hingga ada seseorang yang mengagetinya.
"Doorr!"
Bara tersentak, hp yang sedang di genggamnya pun hampir jatuh kalau aja dia nggak buru-buru menangkapnya kembali. Bara yang sudah memasang wajah garangnya pun menengok, dan dalam sekejap ekspresinya berubah menjadi teduh saat tahu siapa yang barusan mengagetinya.
"Angga? Lo kemana aja anjir baru nongol sekarang?!" cowok berkacamata yang bernama Angga pun tertawa.
"Sibuk ngabisin duit gue,"
Bara berdesis, "Gak lucu,"
"Gue pindah ke Bogor sekarang, gila, kita berapa tahun ya gak ketemu?"
"Dua. Gue udah gak ketemu sama lo dua tahun."
Angga mengangguk, duduk di sebelah Bara. "Sekarang lo bikin pangling. Padahal dulu gantengan gue."
"Biasanya orang jelek itu suka ngaku-ngaku kalo dirinya ganteng." ucap Bara sarkastik.
Angga mendelik. "Babi. Lo dari dulu tetep jago ngomong ya. Kangen nih gue btw, peluk dong."
Bara berdecak. "Lo dari dulu tetep maho ya."
"Sialan, gue gak maho! Gak bisa bercanda banget sih lo! Bikes deh." Bara mengernyit. "Bikes apa'an?"
"Bikin kesel."
Mata Bara membulat. "Anjing, bahasa lo kenapa kayak gitu sih? Jauh-jauh dari gue."
Angga tersenyum misterius dan dia dengan otak setengah warasnya langsung memeluk tubuh Bara dengan erat. Bahkan dia mengusap-ngusap hidungnya di leher Bara.
Hingga tiba-tiba ...
"YA AMPUN KALIAN SEDANG APA?!"
***
Lea menggigit jari dan bibirnya bergantian dengan gelisah. Dia sedari tadi terus memikirkan percakapan Bara dan seseorang yang samar-samar di ketahui bernama Angga. Mungkin Bara lupa, kalau sejak ada suara 'Dor!' tadi-- Bara terlalu asik mengobrol dengan orang itu hingga lupa mematikan sambungannya.
Dan Lea bisa mendengar percakapan Bara dengan orang itu dari awal sampai akhir.
Dia ... Angga.
Lea mengenali suara tersebut.
Dan Lea baru mengetahui bahwa Bara punya hubungan dengan Angga. Bukan, bukan hubungan yang aneh-aneh, tetapi sejenis hubungan keluarga-- maybe?
Ddrrt!
Lea melirik ponselnya, lalu dengan segan dia mengambil ponselnya. LINE dari Ciko.
Ciko?
Anciko Einstein : Malam, Lea. Apa kabar?
***