Superstar (BXB)

由 liejohnlie

111K 8.1K 1.1K

"Grand Prize for 3 Luckiest Winner: Having One Night Romantic Dinner with The Rising Star Rahardian Permana i... 更多

1. Kejutan Super Aneh
2. Love : Action Speaks Louder than a Words
3. Welcome Nightmare
4. Revealed Truth
5. Bibit-Bibit Cinta
6. Daffa Permana
7. Kecewa
8 : Welcome Nightmare... Again?
9. Akward Moment
10. Percakapan Menarik
11. Brother and Sister
12. Jealous
13. Sebuah Rasa
14. Is this Love?
15. Give Up
17: Nightmare or Sweet Dream?
18 : PHP vs CLBK
19 : It's Hurt
20 : Forgiveness
21 : Menebus Kesalahan
22 : The End
Teaser : Superstar Season 2

16. I Think I Start to Like You

3.2K 283 56
由 liejohnlie

"Halo..." Daffa membuka percakapan melalui aplikasi Line Call yang masuk pada ponsel Reihan.

"Kemana saja kamu, Rei?" tanya seorang wanita di seberang telfon tajam. "Kak Lina bilang kamu akan segera menghubungiku sendiri setelah dia memberitahu kamu nggak jadi pulang hari ini. Tapi mana buktinya? Sudah tiga jam aku menunggu dan kamu tetap nggak ngasih kabar kalau bukan aku yang menelfon duluan. Kenapa kamu jadi setega ini padaku sih, Rei?"

"Ehem... ehem..." Daffa berdeham memulai permainan. "Ini Dhea, yah?" ujarnya menerka pura-pura tidak tahu.

"Reihan!!! Jangan bercanda!!!" sentak Dhea jengkel.

"Oh, maaf, maaf, aku bukan Reihan."

"Siapapun kamu, cepat berikan telfonnya pada Reihan!" jerit gadis itu tak sabaran.

"Hmm... apa kamu yakin nggak mau berbicara denganku? Awas menyesal lho nanti," tanya Daffa penuh penekanan yang kontan membuat lawan bicaranya bungkam sejenak.

Di seberang, Dhea mengerutkan kening memutar otak. Suara pria yang sedang berbicara dengannya saat ini terdengar sangat familiar. Telinganya kerap kali mendengar suara berat nan sexy itu, tapi dia tidak ingat pastinya di mana.

"Asal kamu tahu, nona cantik, seorang pemuda dekil barusan dengan susah payah menerobos para bodyguard yang mengawalku hanya untuk menyerahkan ponselnya padaku. Dia bilang ingin memberi kejutan kekasihnya sebagai permintaan maaf darinya. Dia bukannya sengaja mau mengabaikanmu tapi memang dari pihak panitia melarang penggunaan ponsel selama acara berlangsung. Lalu, apa kamu masih tetap marah setelah mengetahui usaha kerasnya untuk membuatmu senang itu?" ulas Daffa berbohong dengan senyum licik menghiasi bibirnya, lantas menatap Reihan yang langsung membalas dengan jempol terangkat.

"Astaga... aku nggak menyangka Reihan sampai senekat itu demi menyenangkanku," lirih Dhea pelan berbicara pada dirinya sendiri, lalu terdiam dalam sesal. Gadis itu jadi merasa bersalah sudah emosi terlebih dulu sebelum mengetahui dengan jelas duduk perkaranya.

.....

"Halo.... halo? Apa kamu masih di sana, cantik?" panggil Daffa memecah keheningan. "Gimana? Kalau kamu masih tetap mau mengomeli kekasihmu itu, ok, akan kuserahkan ponsel ini pada pemiliknya sekarang juga."

"Jangan... jangan, tunggu dulu!" potong Dhea cepat. "Aku sudah nggak marah lagi padanya kok. Uhmm... kalau boleh tahu, kamu siapa? Suaramu terdengar nggak asing tapi aku sama sekali nggak punya clue dengan siapa aku bicara sekarang ini."

"Coba nyalakan kameramu, sayang," pinta Daffa lembut yang membuat pemuda di sebelahnya langsung meninju pelan pangkal bahunya dengan mata melotot ganas. Reihan tentu tidak terima kekasihnya dipanggil sayang oleh pria lain, terlebih di depan matanya pula.

"Kyaaaa..." Dhea berteriak histeris setelah menyalakan kamera ponselnya, lalu setelahnya layar mendadak jadi gelap.

"Lho, kenapa kameranya langsung dimatikan, cantik?" tanya Daffa bingung.

"Jangan pakai vidcall Kak, aku malu. Aku baru saja pulang dari kampus dan belum sempat mandi. Rambutku lepek dan wajahku kotor terkena debu seharian. Aku nggak pede, Kak."

"Lho, kenapa kamu nggak pede, sayang? Tadi sekilas kamu terlihat ok kok, nggak ada yang salah dengan penampilanmu. Dhea itu cantiknya alami bukan polesan. Pantas saja kalau Reihan sampai tergila-gila sama kamu," puji Daffa yang berbuah sikutan pada pinggangnya disertai tatapan membunuh dari pemuda di sebelahnya.

"Ya ampun, Kak Rahadian ini bisa aja, hihihi..." balas Dhea malu-malu kucing. Entah mimpi apa semalam dirinya bisa sampai digombali secara live oleh aktor pujaannya.

"Oh iya, Dhe, sebelum lupa! Aku juga mau memberitahumu kalau Reihan nggak jadi pulang hari ini karena salah satu pihak sponsor ada yang tertarik untuk mengaudisinya. Mereka sedang mencari wajah baru sebagai bintang iklan untuk launching produk teranyar mereka. Kamu berdoa saja siapa tahu kekasihmu itu bisa lolos audisinya." Tidak tanggung-tanggung, Daffa membual sekalian sembari menatap Reihan dengan alis terangkat sebelah, memancing pemuda itu menempelinya dan membisikkan sesuatu pada telinganya. "Aktingmu benar-benar luar biasa, Daff!"

"Suara apa itu, Kak?" sergah Dhea saat samar-samar mendengar gemerisik sisa hembusan nafas Reihan yang sampai pada speaker ponsel.

"Oh, sorry, Dhe, barusan managerku mendatangiku sambil membisikkan sesuatu. Sepertinya aku harus menyudahi percakapan kita. Dia membutuhkanku untuk menjadi salah satu juri dalam audisi pencarian bintang iklan baru. Apa kamu mau bicara dengan Reihan sebagai gantinya?" tawar Daffa sembari menoleh ke arah pemuda di sebelahnya yang membalas dengan lambaian tangan serta gelengan kepala tanda menolak .

"Hmm... boleh, deh. Thanks yah, Kak!"

"Aduhh... maaf sekali lagi yah, cantik. Kekasihmu itu baru saja dipanggil oleh panitia audisi karena sekarang tiba giliran dia perform," ucap Daffa pura-pura menyesal yang membuat Reihan spontan melingkarkan tangan pada bahu kekarnya, bermaksud untuk berterima kasih. Tapi buru-buru ditariknya kembali karena mendadak jadi malu sendiri. Bukankah selama ini dia yang selalu protes jika Daffa merangkul pundaknya tapi kenapa sekarang malah dia yang jadi agresif seperti itu?

"Ok, nggak papa kok, Kak. Tolong sampaikan saja salamku pada Reihan. Bilang padanya untuk segera menghubungiku setelah acara audisinya selesai nanti. Makasih banget yah, Kak!"

"Sama-sama, cantik! Ok, kalau gitu sekarang aku tutup dulu yah telfonnya."

"Eh, tunggu, tunggu, Kak! Jangan ditutup dulu telfonnya," sela Dhea cepat. Tampaknya gadis itu masih belum rela mengakhiri kesempatan langka yang entah kapan bisa dia dapatkan lagi untuk berbicara langsung dengan aktor pujaannya.

"Ya, ada apa lagi, Dhe?"

"Hmm... aku mendadak jadi malu nih, Kak."

"Nggak usah sungkan seperti itu, Dhe, bilang saja..."

"Kalau nggak keberatan, tolong kakak minta Reihan menyerahkan merchandise yang kutitipkan padanya untuk ditanda tangani langsung oleh kakak sendiri. Aku yakin dia pasti lupa memberikannya pada Kak Rahadian."

"Tentu saja aku nggak keberatan, Dhe. Malah dengan senang hati, aku akan menanda tangani barang-barang koleksimu itu. Tapi sayangnya, sampai detik ini Reihan sama sekali nggak pernah memintaku untuk menanda tangani apa-apa darinya, persis seperti dugaanmu itu."

"Tuh kan, emang dasar pelupa itu anak!" cibir Dhea. "Tapi untunglah dia masih ingat aku ini pacarnya, Kak, hihihi..." sambungnya lagi sambil terkekeh sendiri tatkala mengingat pengorbanan Reihan yang jauh-jauh datang ke Bali dan sekarang malah nekat menerobos bodyguard demi menyenangkan hatinya.

"Jangan terlalu senang dulu, Dhe! Cepat atau lambat akan kubuat Reihan juga melupakanmu!"

"Dan satu lagi, Kak... uhmm... tolong awasin Reihan supaya nggak lirik-lirik cewek lain di sana yah, Kak. Secara pemenang lainnya cewek semua, kan."

"Pasti itu, Dhe!" balas Daffa cepat. "Tenang saja, aku jamin nggak akan ada satupun wanita yang bisa mendekati kekasihmu itu selama dalam pengawasanku!" lanjutnya mantap dan tersenyum culas, "termasuk kamu juga, Dhe. Aku mau Reihan hanya untuk diriku sendiri!"

"Wah, thank you very much yah, Kak. Maaf kalau aku terlalu banyak request. Aku sungguh beruntung bisa mengobrol langsung dengan aktor idolaku yang ternyata begitu luar biasa baiknya. Sama sekali berbeda dengan yang diceritakan Reihan selama ini. Sekali lagi thank you banget yah, Kak. Semoga Kak Rahadian semakin tenar dan sukses dalam segala hal."

"Amin. Thanks yah doanya, Dhe! Kalau nggak ada apa-apa lagi, aku tutup dulu yah telfonnya. Aku harus buru-buru naik panggung untuk menjadi juri sekarang."

"Ok, Kak! Senang banget bisa mengobrol dengan Kak Rahadian. Selamat bekerja dan kutunggu film terbarunya yah, bye..."

"Bye, Dhea..." Daffa memutus panggilan, lantas segera mengembalikan ponsel pada pemiliknya. "Mana terima kasihnya, Rei?" tanyanya menyindir saat mendapati wajah datar pemuda di sebelahnya.

"Thanks!" balas Reihan singkat sambil merengut dengan bibir maju sepersekian senti, lalu menyimpan kembali ponsel miliknya ke dalam kantong celana.

"Kamu kenapa malah jadi cemberut gitu sih, Rei? Bukannya aku sudah membantu menyelesaikan masalahmu dengan Dhea?"

"Aku mendadak jengkel sama kamu, Daff!"

Daffa menghela nafas setengah frustasi. "Kenapa lagi sih, Rei? Apa aku berbuat salah lagi barusan?"

"Kenapa kamu memanggil Dhea dengan sebutan 'sayang' di depan mataku, yang notabene adalah pacarnya sendiri? Aku nggak terima, Daff!"

"Lho, kamu kan pacarku, Rei. Apa yang menjadi milikmu jadi milikku juga sekarang, termasuk Dhea pacar nggak pentingmu itu. Jadi, boleh donk aku memanggilnya dengan sebutan sayang," elak Daffa santai.

"Sialan, aturan dari mana itu, Daff!" protes Reihan tidak terima. "Lagian sejak kapan aku jadi pacarmu, hah? Kamu bahkan belum pernah menembakku lagi, Daff!" Reihan langsung reflek menutup mulut dengan tangannya. "Sialan, aku keceplosan!"

"Ow, jadi ini inti permasalahan sebenarnya?" Daffa mengangguk-anggukan kepala paham. "Kamu mau aku menembakmu lagi, iya?" tanyanya menggoda sambil memicingkan mata.

"Nggak!!!" Reihan menggeleng cepat dan jadi salah tingkah sendiri.

"Tenang saja, kamu nggak usah sepanik itu. Aku nggak akan melakukannya sekarang," Daffa mengulurkan tangan untuk memegang lembut bahu Reihan. "Aku nggak mau menembakmu di pinggir pantai seperti ini. Aku mau yang lebih berkelas. Aku ingin mempersiapkan hari jadi kita nanti seromantis mungkin. Aku mau melewati candle light dinner hanya berdua denganmu, ditemani lantunan musik akustik dan sebuket karangan bunga berisi seratus tangkai mawar merah sebagai pemanisnya. Saat itulah kamu akan memutuskan untuk menerimaku atau menolakku sebagai kekasihmu," lanjut Daffa sembari menyibakkan beberapa helai surai yang jatuh menutupi sebagian mata Reihan akibat hembusan angin pantai. Daffa ingin pemuda di hadapannya itu bisa menangkap keseriusan dalam tiap sorot matanya.

"Apaan sih, Daff? Nggak usah aneh-aneh, dasar kelainan!" Reihan memasang tampang jijik seraya menepis tangan Daffa agar menjauh dari wajahnya. Lalu dia membuang muka karena perasaan aneh mendadak menyusup tanpa diundang. Memangnya dia seorang cewek apa, yang harus ditembak dengan cara seperti itu? Dan parahnya lagi, meski omongan Daffa itu terdengar norak dan murahan, hatinya malah bersorak kegirangan tidak tahu malu. Membuat Reihan jadi stres sendiri sekarang. Bisa-bisanya dia merasa ke-gr-an hanya karena rayuan yang terlontar oleh sesama batangan seperti dirinya?

"Sudahlah, daripada kamu melantur ngomong nggak jelas seperti itu. Mendingan kamu tutup mulut dan temani aku menyaksikan matahari yang hendak tenggelam di depan," Reihan mencoba mengalihkan pembicaraan saat kedua manik matanya tak sengaja menangkap sang surya yang tampak membesar tengah bercengkerama dengan permukaan laut.

"Hmm... apa kamu belum pernah melihat sunset sebelumnya, Rei?" tanya Daffa sambil mengalihkan pandangan ke depan, mengikuti tatapan pemuda di sebelahnya.

"Belum, Daff. Ini pertama kalinya buatku dan aku nggak menyangka akan seindah ini," balas Reihan tanpa menoleh, menikmati pemandangan detik-detik fajar menyingsing di hadapannya.

"Apa kamu tahu, Rei? Kata orang, pendaran sinar mataharinya akan terlihat jauh lebih indah ketika kamu menyaksikannya bersama orang yang kamu sayangi," celetuk Daffa sekenanya, berniat menggoda.

"Oh yah?" tanya Reihan meragukan, lalu perlahan menyandarkan kepalanya pada ujung bahu Daffa. "Hmm... sepertinya orang itu benar, Daff. Mataharinya terlihat jauh lebih indah sekarang."

Astaga, Daffa tiba-tiba ingin berteriak kegirangan. Niatnya hanya ingin bercanda tapi malah ditanggapi serius oleh Reihan. Tak ayal, perasaan bahagia seketika menyeruak meliputi hatinya. Nggak pernah terbesit dalam otaknya jika dari mulut yang biasanya selalu mencaci maki dirinya akan terlontar kata-kata seindah itu.

Daffa jadi terharu hanya dengan mendengar kalimat sederhana Reihan, membuatnya mengulurkan cepat tangannya untuk menggenggam erat salah satu tangan pemuda itu. Lalu dia perlahan ikut menjatuhkan pelipisnya menempeli ujung kepala Reihan. Tidak ada satupun dari mereka yang berniat membuka suara. Keduanya terdiam dalam syahdu dengan tangan saling bertaut satu sama lain, seraya terpana menikmati keindahan sunset di alam terbuka. Semilir angin pantai dan deruan ombak menjadi saksi bisu dua insan yang tengah dimabuk asmara.

Reihan memutuskan untuk membebaskan dirinya sejenak dari logika yang selalu membelenggunya. Dia ingin mengalir mengikuti hatinya yang terasa begitu nyaman saat berada di dekat Daffa meski terbentur fakta mereka berdua adalah sesama pria. Debaran hebat yang sudah lama tidak dia rasakan seperti saat pertama kali berjumpa dengan Dhea dulu, kini kembali menyerang jantungnya tanpa ampun, bahkan lebih dahsyat. Membuat Reihan menyerah dan tidak kuasa meluputkan diri dari jeratan cinta terlarang.

Sayangnya, nasib baik belum sepenuhnya berpihak pada dua sejoli itu, sebab sekarang gantian ponsel Daffa yang memekik heboh dari balik kantong celana. Artis tampan itu pura-pura tuli, mencoba mengabaikan. Dia tidak ingin momen romantis yang dengan susah payah akhirnya bisa dia peroleh bersama pemuda incarannya jadi rusak begitu saja.

Namun sial, orang yang tengah menghubungi Daffa tersebut pantang menyerah, hingga deringan tanpa henti ringtone ponselnya mengusik Reihan juga pada akhirnya. Dia bukan Daffa yang bisa bersikap cuek seolah tidak mendengar apa-apa. "Angkat dulu tuh telfonnya, Daff! Siapa tahu penting," Reihan buka suara seraya menarik kepalanya dari ujung bahu Daffa.

"Argh, siapa sih, ini? Mengganggu saja kerjaannya!" Daffa mengomel seraya mau tak mau mengeluarkan ponsel dari kantong celananya. Lalu pemuda itu mendecak sebal saat mendapati nama yang terpampang pada layar gadget itu.

"Halo! Ada apa???" tanya Daffa geregetan membuka percakapan.

"Ow... mai... gat... Mas Daffa, gawat!! Gawat banget!! Lembing gawat dorayaki kenti Justin Bieber belumbung disunat!!!"

"Bella!!!" sentak Daffa jengkel. Asistennya itu bukan saja merusak momennya bersama Reihan, tapi juga membuat darahnya naik seketika karena bahasa aliennya yang super belibet. Sementara Reihan malah terkekeh kecil memandangi wajah bete pemuda yang kedua alisnya hampir bertemu akibat kerutan yang memenuhi keningnya.

"Kalau kamu nggak bisa ngomong dengan bahasa Indonesia yang jelas, akan kumatikan telfonnya sekarang! Kamu sudah mengganggu waktuku, ngerti!"

"Ih... Mas Daffa selalu gitu deh samosir eike. Jahara mulu kayak eike ini pencoleng mawaria maling Mas Daffa penyami gebetan ajijah. Padalarang niat eike indang bagaskara menelfon Mas Daffa. Eike mawaria bilang kalalo si kue lapis legit busuk indang sekeranjang adinda di Bali dan barusan meneror eike punya hape beti tanya Mas Daffa dimandul. Kan eike shock, kaget, dan binunah tinta adinda pegangan sampai mewong jatoh, harus jawab kayak apose."

"Hah? Apa kamu serius, Bel?" tanya Daffa terkejut, setengah tak percaya. Hatinya serasa mencelos saat mendengar Marisca berniat mencarinya. Lalu menoleh ke arah Reihan seraya bangkit dari duduknya. "Sorry, Rei, ada hal penting yang mau aku diskusikan dengan Bella. Kamu tunggu sebentar di sini yah, jangan kemana-mana!"

"Ok, Daff..." Reihan mengangguk sambil tersenyum, memandangi sejenak postur Daffa yang menjauh sebelum melayangkan kembali tatapannya ke arah sunset yang segera usai di hadapannya.

"Rei... maaf, sepertinya kita harus segera kembali ke hotel sekarang." Daffa menepuk pelan bahu Reihan sambil sedikit membungkuk, membuat pemuda itu mendongakkan kepala menatap ke arahnya. "Ada hal urgent yang harus aku diskusikan dengan Bella. Sementara menunggu, kamu bisa mandi dan bersiap-siap dulu untuk aku ajak dinner nanti. Nggak papa kan, kamu nggak bisa melihat sunsetnya sampai habis?"

"It's ok, Daff," Reihan mengulum senyum.

"Sorry banget yah, Rei. Aku janji, next time aku pasti akan menemanimu menyaksikan sunset sampai selesai," ucap Daffa sambil mengulurkan tangan, berniat mengajak Reihan agar segera beranjak dari duduknya.

"Ok, Daff. Aku pegang janjimu itu," balas Reihan seraya menyambut tangan Daffa untuk bangkit berdiri.

Kemudian Daffa memacu langkahnya sedikit terburu, dengan jemari yang masih mengenggam erat tangan Reihan seolah enggan melepasnya. Awalnya Reihan menurut, tidak protes seperti biasanya karena tempat itu terlihat sangat sepi. Namun saat kedua matanya mulai menangkap tanda-tanda kehidupan di depannya, dia mulai merasa gelisah dan sedikit was-was. "Daff, bisakah kamu lepas gandengan tanganmu?" pintanya pelan.

Daffa tidak bereaksi, terus berjalan cepat tanpa sedikit pun mengendurkan genggaman tangannya, bahkan lebih erat dari sebelumnya. Dia juga mengabaikan beberapa pasang mata yang mulai menatap aneh ke arahnya.

Di sisi lain, Reihan hanya bisa pasrah mengekor langkah pemuda yang menariknya sedikit memaksa dengan kepala tertunduk. Tangannya mulai terasa kebas akibat kuatnya cengkeraman jemari Daffa, namun berusaha dia tahan dan membuang jauh keinginan untuk memberontak. Dia tidak ingin memancing keributan yang nantinya malah membuat mereka berdua jadi pusat perhatian.

Sejatinya Reihan itu sangat sensitif terhadap perasaan Daffa. Dia tahu betul bila mood sang artis tengah memburuk pasca menerima panggilan dari Bella, yang bisa saja meledak kalau dirinya bersikeras melepas genggaman tangannya. Reihan tidak ingin membuat image baik Daffa sebagai seorang public figure terkenal tercoreng, lantaran berhembus gosip tidak sedap akibat bertengkar dengannya di muka umum. Jadi dia memilih untuk mengalah dan menuruti segala keinginan sang superstar untuk saat ini.

"Daff, apa ada masalah?" tanya Reihan concern, sesaat setelah mereka berdua masuk ke dalam mobil.

"Nggak ada, Rei," jawab Daffa sambil menoleh dan tersenyum.

"Sungguh?" Reihan memastikan dan dibalas anggukan ringan oleh Daffa. "Kamu bisa cerita padaku jika kamu punya masalah, Daff. Aku memang belum tentu bisa membantu menyelesaikan masalahmu, tapi setidaknya membaginya dengan orang lain akan mengurangi beban pikiranmu," ujarnya serius menatap wajah Daffa.

"Ah... thanks yah sudah perhatian padaku," balas Daffa sambil mengulurkan tangan mengacak pelan rambut Reihan. "Tenang, aku baik-baik saja dan nggak ada yang perlu kamu khawatirkan. Aku hanya butuh secepatnya bertemu Bella untuk menyelesaikan beberapa kontrak kerja macet yang belum dilunasi pihak sponsor saja kok," terangnya mencoba menenangkan Reihan. Kemudian mengalihkan pandangannya ke depan sembari menyalakan mesin mobil.

Sementara Reihan terus memindai sosok pemuda yang tengah melajukan kendaraan di sampingnya. Hatinya terasa mengganjal, masih belum puas dengan jawaban Daffa. Dia yakin pemuda itu sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Dia ingin mengorek lebih jauh, namun sepertinya Daffa sama sekali tidak berniat berbagi dengannya. Reihan juga tidak mungkin memaksa Daffa untuk cerita karena malah berpotensi menimbulkan adu mulut karena dia sadar dia bukan siapa-siapanya. Dia tidak punya hak untuk ikut campur urusan pribadi Daffa. Jadinya Reihan hanya bisa berharap dalam diam, semoga feelingnya salah dan semuanya baik-baik saja seperti ucapan Daffa barusan.

"I think I start to like you, Daff..."

TBC

繼續閱讀

You'll Also Like

1.9M 116K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
288K 2.6K 5
Tak selamanya kisah cinta berakhir indah. Iya, apalagi kisah cinta antara dua laki-laki yang sedang dalam perjalanan mencari jati dirinya. Dalam ceri...
226K 12.4K 49
Regha, seorang anak kuliahan dari Majalengka terjebak dikisah dilema dimana perang batin dan akal menyelimutinya. Zaki, Seorang Konglomerat yang begi...
162K 12.9K 25
Bipolar disorder sebenarnya sudah dikenal dan diperhatikan oleh banyak negara maju di dunia. Tiga sampai Lima orang dari setiap seratus orang dewasa...